Memakai batik warna kuning, Haji Maulwi Saelan, sudah siap di depan meja di ruang kerjanya. Di kepalanya bertengger songkok rotan khas Sulawesi Selatan. Kolonel Purnawirawan Saelan, menerima TEMPO di rumah yang juga sekaligus kantornya. Dari rumahnya yang sederhana di Jalan Bendungan Jatiluhur, pucuk gedung MPR/DPR, Senayan, tampak jelas. Disana pula ketetapan-ketetapan MPRS yang dianggap menistakan Presiden Pertama, Ir.Sukarno, dibahas.
Hasilnya Sidang Tahunan MPR 2003 yang ditutup Kamis pekan lalu, rekomendasi dari Komisi Saran tentang Sukarno adalah menyerahkan kepada Presiden untuk merehabilitasi nama baik para pahlawan yang telah berjasa pada negara dan bangsa, termasuk Bung Karno. “Seharusnya ketetapan MPRS yang menyudutkan itu dicabut juga dengan ketetapan lembaga tertinggi negara itu,”kata bekas ajudan Presiden Sukarno itu.Mantan Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa itu menerima Ahmad Taufik dari TEMPO dan fotografer Budiyanto untuk wawancara. Inilah petikannya :
Bagaimana taggapan Bapak mengenai ketetapan-ketetapan MPRS yang isinya menyudutkan Bung Karno?
Ketetapan-ketetapan MPRS itu harus dicabut. Memang ada pendapat, bahwa nama Bung Karno sudah dijadikan nama lapangan terbang, istora, proklamator dan sebagainya, dengan fakta itu dianggap sudah direhabilitasi Bagi saya, tidak cukup, seharusnya ada ketetapan MPR, terserah caranya, langsung dicabut atau memberi perintah kepada Presiden untuk merehabilitasi nama Bung Karno. Tetapi, harus berdasarkan keputusan MPR bukan hanya diserahkan soal rehabilitasi itu kepada presiden.Tetap harus ada clearance, tak bisa dilepaskan begitu saja.
Kenapa sih anda begitu ngotot harus ada clearance?
Karena dalam, pasal 6 Tap MPRS No.XXXIII tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Presiden Sukarno, disebutkan penyelesaian secara hukum. Tapi nyatanya tak terjadi, Bung Karno tak dibawa ke pengadilan, tetapi ‘disimpan’ saja hingga meninggal dunia. Padahal Bung Karno ingin dia diadili, biar semua tuduhan yang menyangkut dirinya bisa dijelaskan di sidang pengadilan secara terbuka.
Apa benar Bung Karno minta di mejahijaukan?
Benar, Bung Karno berharap-harap persoalannya masuk ke pengadilan, tapi sudah tiga tahun sejak dicopot dari kekuasaannya, terus diusut, tapi nggak masuk-masuk ke pengadilan, Bung Karno berharap biar semuanya clear. Biar ada keputusan. Belakangan Bung Hatta juga minta begitu, tetapi tak dikabulkan. Di tunggu-tunggu sampai Bung Karno meninggal. Setidak-tidaknya dengan cara itu turut sengaja membunuh Bung Karno.
Jadi kalau ada keputusan harus dihapuskan dengan keputusan juga?
Ya, dong, harus disesuaikan dengan itu. Jangan dibiarkan begitu saja, kan, ironis sekali kan. Kalo itu berlaku, disebut einmalig, hanya berlaku sekali, terus tidak ada pencabutan, itu naif sekali, dimana moralnya, etis dan hati nurani kita. Kita akui dia sebagai pahlawan, proklamator, tetapi persoalannya tidak diclearkan. Orang yang dihukum (karena kriminal) saja, selalu ada suratnya. Ini persoalan yang besar, kok, tak ada keputusan apa-apa untuk menjernihkannya.
Kenapa sih MPR nggak mau mengeluarkan tap MPR untuk membersihkan nama Bung Karno?
Karena sampai sekarang masih banyak orang-orang atau kekuatan yang pada saat tap MPRS soal Bung Karno dikeluarkan, masih bercokol di MPR, tentunya, mereka merasa, kalau dikeluarkan tap MPR untuk memperbaikinya, berarti dulu mereka yang salah. Itu, kan sensitif sekali, saya bisa merasakan juga ke khawatiran mereka. Maka dari itu dicarilah satu solusi terbaik, win-win solution, dimana mereka (para antek orde baru) tak kehilangan muka, tapi tetap harus ada juga clearence. Entah dicabut, direvisi, diserahkan kepada pemerintah, tapi harus keluar dari TAP MPR. Sebab jangan menunggu kalau semua itu diungkit kembali, akan tampak kesalahan mereka.
Selain Tap MPRS soal pencabutan kekuasaan Sukarno, juga ada Tap MPRS soal Supersemar, menurut Bapak yang mana saja yang harus dicabut?
Semua itu memang berkaitan satu sama lainya. Soal Supersemar, itu kan, surat perintah untuk pengamanan bukan untuk penyerahan kekuasan. Surat perintah kok bisa dijadikan landasan hukum untuk dikeluarkan satu TAP MPR. Kemungkinan besar, diarahkan kesana, karena SK itu bisa saja dicabut setiap waktu. Nah, kalau dicabut, kan, Supersemar tidak ada. Dengan memegang surat perintah 11 Maret 1966, itu kan, Suharto membubarkan PKI. Kan, tak sesuai dengan perintah. Berarti itu insubordinasi (membangkang) nanti ditegur oleh Bung Karno. Disusul surat Bung Karno tanggal 13 Maret, yang menyatakan bahwa yang dilakukan Suharto beda dengan perintah Bung Karno, perintahnya hanya untuk keamanan dari Kepala Negara. Berdasarkan itu mau memberikan landasan hukum pada SP 11 Maret itu, padahal isinya bertentangan dengan yang sebenarnya. Pelaksanaan SP 11Maret juga tak sesuai. Yang dilakukan Suharto adalah mengambil alih kekuasaan. Padahal itu hanya surat perintah penugasan. Lalu kalau ada ketetapan MPR, kan, berdasarkan dokumen yang asli. Dokumen asli Supersemar ada nggak? Sekarangkan diragukan, yang aslinya nggak ada, dimana.
Bapak pernah lihat?
Ya, nggak, karena itu langsung diberikan kepada Suharto. Cuma saya masih merekam, saat surat itu dibacakan Roeslan Abdulgani di Radio Republik Indonesia. Tapi dokumen yang aslinya nggak kelihatan, sampai sekarang katanya hilang. Masak dokumen begitu pentingnya bisa hilang, kan, nggak masuk akal. Apalagi kemudian Tap MPRS, kok, mendasarkan keputusannya dengan surat yang tak jelas keberadaannya .
Jadi menurut bapak mana yang harus dicabut?
Saya tidak tahu prosedurnya. Tapi yang penting prinsip nya adalah meng- clearkan, dan rehabilitasi Bung Karno bahwa tidak terlibat dengan peristiwa 30 September itu. Bung Karno disangka terlibat sehingga harus diturunkan dari jabatan, dan harus diperlakukan secara adil melalui pengadilan, itu yang ditunggu oleh Bung Karno, supaya jelas. Tapi selama 3 tahun tidak jalan. Suharto tak berani berhadapan dengan Bung Karno. Kalau pengadilan menyatakan tak ada bukti terlibat, mau tak mau kekuasaan Suharto harus dihentikan saat itu juga. Itulah yang ditakutkan Suharto.
Kenapa sih TAP MPRS yang memojokan BK harus keluar saat itu?
Untuk mengambil kekuasaan dari Bung Karno. Sebelum diadakan Tap MPRS itu, diadakan perubahan anggota MPRS. Sehingga totally cenderung kepada pihak yang mengeluarkan Tap itu.
Apakah saat itu tentara masih menyatakan di belakang Bung Karno?
Benar, tentara masih di belakang mendukung Bung Karno, hanya MPRS saat itu mencari jalan agar semua yang dilakukannya legal sesuai konstitusi. Tapi, kemudian direkayasalah gelombang demonstrasi untuk pembenaran ketetapan MPRS yang diambil itu. Seperti mau cuci tangan.
Atau waktu itu ada tekanan?
Mungkin eksternal, karena Bung Karno dari dulu mengatakan untuk Indonesia, Asia Afrika, New Emerging Forces, jadi ada kekuatan lain yang tak suka dengan kampanye Bung Karno itu.
Kalau dari Tentara siapa yang menekan Bung Karno?
Suharto sebagai Kostrad
Bung Karno tahu tidak keadaan waktu itu?
Tahu. Cuma beliau mengatakan nggak mau, padahal waktu itu kata Bung Karno,”saya bisa mengadu kekuatan.” Karena dia yakin masih banyak pasukan yang mendukung dia. Bung Karno tahu kapal perang Amerika saat itu sudah berada di perairan dekat Indonesia. Kalau kita konflik, kontak akan pecah seperti Korea. Beliau tidak mau.
Apa dia pernah ngomong secara khusus kepada Bapak?
Ya. Pak Hartono dari Marinir datang ke istana mengajak Bung Karno ke Surabaya, dan dia siap mati-matian di belakang Bung Karno. Kalau Bung Karno ke Surabaya, lalu pecah perang antara tentara, penjajah datang, Amerika masuk. Pecahlah Indonesia. Tapi Bung Karno, hanya minta diantarkan ke Bogor.
Sebetulnya berapa dekat bapak dengan Bung Karno?
Biasa, beliau itu suka ngobrol. Apalagi sebagai ajudan, kami sebagai pengamanan, harus menjaga keselamatan beliau, like and dislike kami sudah kenal dia begitu dekat. Apalagi pada waktu beliau sudah mulai diisolir. Dilarang ada orang bertamu, ya, kami saja sebagai ajudan yang ngomong-omong dengan beliau. Makanya saya bisa cerita banyak dalam buku saya, kami ngobrol banyak dengan beliau
Sejauh mana isolir itu?
Tak boleh siapapun kecuali keluarganya.
Sejak kapan?
Mulai terasa sejak Supersemar. Ruang geraknya juga sudah dipersempit, tidak boleh lagi naik helikopter, kalau jalan hanya melalui darat. Hanya boleh ada di Jakarta dan setelah itu tak boleh keluar dari Bogor.
Keluarganya?
Keluarganya pun kalau mau datang harus punya izin, kalau mau ke Bogor juga sudah mulai ada izin. Izin semakin ketat saat Bung Karno tinggal di Wisma Yaso (sekarang jadi Museum ABRI Satria Mandala), kelauragnyapun tak boleh mengengok, tak boleh nonton televisi, membaca surat kabar, majalah atau bacaan lainnya.
Bagaimana perlakuan Suharto kepada Bung Karno waktu itu?
Perlakuannya kepada Bung Karno sangat kejam, saya sesali, apakah Suharto tahu atau tidak, saya tidak tahu, tetapi perlakuannya di lapangan begitu tak manusiawi. Sogol Djauhari Abdul Muchid, anggota polisi dari Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden, menyaksikan bagaimana orang-orang dapur istana, tak memberikan nasi ataupun roti, saat Bung Karno minta sarapan. Mereka bilang tak ada nasi, roti juga tidak ada. Akhirnya Bung Karno minta izin pergi ke rumah isterinya hanya untuk sarapan. Sampai begitu perlakuannya.
Apalagi pengalaman yang buruk yang dilakukan terhadap Bung Karno?
Bung Karno, kan, sakit ginjal, bahkan sempat pingsan sebelum upacara 17 Agustus 1965. Kami, kan sudah tahu obat-obat apa dan program-program apa yang diperlukan untuk beliar. Apalagi sudah kami berikan pada tim dokter daftar obat-obatnya. Pada waktu kami tak ada lagi bertugas harusnya diteruskan, tetapi nyatanya tidak. Kami dengar kalau beliau sakit yang diberikan hanya obat flu, sedangkan yang paling penting itu obat untuk fungsi ginjalnya, tapi tak diberikan.
Harusnya siapa yang memberikan?
Ya, yang jaganya dia, yang menggantikan saya, karena saya kan dimasukkan ke dalam penjara.
Siapa harusnya?
Yang menggantikan kami, yang ajudannya Norman Sasono itu
Kembali ke peristiwa 30 September, Bung Karno dekat dengan para perwira muda yang memberontak itu?
Bung Karno itu itu dekat dengan Yani, dekat sekali, bukan sekedar dekat karena Yani, Kepala Staf Angkatan Darat. Tentu Bung Karno sebagai Panglima Tertinggi mendapat informasi-informasi, antara lain dari Yani. Soal dewan jenderal, Bung Karno juga dapat informasi pertama kali dari Yani. Dewan Jenderal itu ada dua versi, versi satu bilang untuk intern Angkatan Darat sendiri sebagai evaluasi kenaikan pangkat dan pemberian gelar, versi lain Dewan Jendral, ada jenderal-jenderal yang mau melakukan kup. Yani mengatakan kepada Bung Karno,“mereka-mereka itu (para tentara yang diisukan sebagai Dewan Jenderal) sudah di bawah tangan saya. Ndak usah kuatir.”
Akhir-akhir menjelang 30 September, hampir setiap hari, Kepala seksi satu, Kepala Staf I, MBAD Mayor S.Parman selalu berada di belakang di Istana Merdeka, di serambinya. Bung Karno selalu menemuinya, sekitar Jam 6 -7 pagi. Setiap hari ngomong dengan Bung Karno. Makanya, waktu kup itu beliau menjadi korban saya kaget juga
Kalau dengan Untung, Bung Karno dekat?
Ketemu Bung Karno paling satu dua kali saja. Satu kali pada waktu saya laporkan bahwa dia menjadi komandan batalyon dan kedua pada waktu Idul Fitri. Kan biasanya, kalau Idul fitri masing-masing penjaga istana datang bertemu Presiden, salaman.
Cuma dua kali?
Paling dua kali. Karena tidak semua bisa ketemu. Untuk masuk di Cakrabirawa, sebagai konsesus semua angkatan, semua yang dikirim tidak dites lagi, semua sudah clear, sudah steril dari angkatannya masing-masing. Yang seleksi angkatannya, kami tak seleksi lagi. Untuk angkatan darat, satu batalyon terdiri dari satu kompi Banteng Raiders.,Jawa Tengah. Yang dulu terkenal selalu ikut Yani, menumpas PRRI. Kemudian terjun ke Irian Barat dan disenangi oleh Pak Yani dan Pak Harto. Untung itu anak buah kesayangannya Pak Harto Sebelumnya ada Ali Ibram, nah, Untung dikirim itu menggantikan Ali Ibran menjadi Komandan Batalyon I. Di bawahnya ada 4 kompi, satu kompi Banteng Raiders. Banteng Raiders ini tidak semuanya bergerak. Cuma satu, peletonnya, Dul Arif, ada 60 orang.
Pada waktu sehari sebelumnya peristiwa 30 September itu, kan, ada acara Musyawarah Teknisi di Istora Senayan, Itu tugasnya batalyon satu, kompinya Untung. Saya masih ketemu Untung di sana, malah saya tegor dia karena satu pintu tidak terjaga, terbuka. Mungkin, ada anak buahnya yang sudah berada di Lubang Buaya, kali.
Bagaimana dengan kesaksian Bambang Widjanarko di depan Mahmilub soal secarik kertas yang diberikan Untung lewat Sogol kepada Bambang Widjanarko?
Itu bohong, omong kosong, kenapa BambangWidjanarko bisa begitu ya. Itu direkayasa, tak ada pemberian kertas itu, Sogol juga bilang pada saya tidak ada. Saya pernah tanya dengan Bambang Widjanarko, kenapa kok bisa begini, kenapa dia omong kosong, Bambang Widjanarko hanya diam saja.
Pada saat yang dikatakan Bambang menyerahkan surat itu anda dimana?
Oo, saya bersama Bung Karno, di belakangnya, di sebelah Bung Karno itu ada Leimena.
Bagaimana ceritanya menjelang G30S?
Acara di Istora senayan, tanggal 30 September 1965, mulai pukul delapan malam sampai pukul 23.30. saya sebagai wakil Komandan Resimen Tjkarabirawa mendampingi beliau pulang ke Istana Merdeka. Sampai pukul 24.00 setelah melapor ke presiden saya meninggalkan istana kembali ke rumah saya di Kebayoran baru, Jakarta Selatan. Rupanya, Bung Karno pergi lagi ke Hotel Indonesia menjemput Ibu Dewi, tapi saya sudah tak bersama beliau lagi, itu sudah tugasnya Mangil, DKP.
Jam berapa bapak tahu kejadian penculikan dan pembunuhan para Jenderal itu?
Paginya, sebelum subuh saya dapat telepon dari ajudan yang satu dari polisi, Sumirat yang mengatakan ada penembakan di rumahnya Pak Nasution dan Pak Leimena. Saya bilang, Ok, deh, saya cek. Terus dia telepon lagi bahwa bukan ditempatnya Leimena, tapi di tempatnya Nasution. Saya mau cek ke istana, putus Kemudian saya pikir,Bung Karno itu kalau tidak ada di istana ada di tempat Dewi, di Wisma Yaso, kalau tidak ada di Slipi, tempatnya Haryati (dekat Hotel Orchid). Pukul 05.30, Saya langsung ke menuju Slipi untuk mencari Bung Karno. Baru keluar halaman rumah, bertemu dengan voorijder anak buahnya Mangil. Saya Melalui radio transmitternya voorijeder tadi saya kontak Mangil, dimana dia berada. Ternyata Mangil bersama Bung karno dari rumah Dewi menuju Istana, saat itu sudah berada di Air Mancur, dekat jalan Budi Kemuliaan, saya bilang jangan terus (ke istana) ke Slipi saja ke tempatnya Haryati, karena di sekitar istana ada tentara yang tidak dikenal, tanpa identitas jangan masuk.
Bapak tahu ada tentara tanpa identitas dari mana?
Dari Sumirat
Tanpa identitas maksudnya?
Ya, tak ada tanda-tanda dari kesatuan mana, hanya pakaian hijau saja.
Sekitar pukul 06.30 (tanggal 1 Oktober 1965), Bung Karno sampai ke rumah Haryati, lalu kami omong-omong soal kondisi. Terus, kami kontak dulu angkatan-angkatan. Tak ada yang bisa di kontak, lalu saya kirim Letnan Suparto untuk mencari hubungan. Kebetulan mendapat hubungan dengan Pak Omar Dhani. Pak Omar Dani kan panglima angkatan udara, kita punya SOP untuk keamanan presiden, kalau via darat adalah tank, panser, kalau via laut ada Varuna, kalau via udara ada jet star semuanya harus siap. Karena yang bisa di kontak Panglima AU, kami arahkan Bung Karno dibawa ke sana, Pak Omar Dhani, sedang berada di Pangkalan Udara Halim.
Siapa yang mengusulkan ke Halim?
Itu, karena itu prosedur kita. Bung Karno juga tahu pada saat itu, karena yang bisa dikontak adalah Pak Omar Dhani. Sebelumnya kami juga sudah siapkan rumah di Jalan Wijaya, tempat kenalannya Mangil, tetapi karena merasa paling aman, karena ada pesawat yang bisa stand by untuk menyelamatkan Presiden, ya, kami bawa ke Halim. Karena kami tidak tahu sama sekali situasi saat itu. bagi kami pasukan pengawal presiden, yang penting save-nya dulu. Itu tugas utama kami.
Lalu rombongan pembawa Presiden Sukarno berangkat ke Halim dengan mobil. Bung Karno, di dalam mobil bersama ajudannya Sumirat, Mangil di mobil depan dan saya berada di mobil belakangnya. Sampai di Halim pukul 07.30. Sebenarnya kami ingin langsung ke Jet Star, rupanya di ruangan komando operasi Halim, sudah menunggu Pak Omar Dhani dan Leo Watimena. Kami berhenti dan masuk kesana.
Pada waktu itu sudah tahu ada pembunuhan jenderal di Lubang Buaya?
Baru diceritakan dan di laporkan ada pembunuhan disitu, yang melaporkan Omar Dhani. Lalu datang Brigjen Supardjo, yang membawa helikopter mencari-cari Bung Karno, dicari ke istana, lalu dia tahu Bung Karno ada di Halim. Disana dia minta petunjuk Bung Karno. Tapi Bung Karno menahannya, tunggu semuanyanya jangan bergerak, nanti saya ambil over semuanya. Bung Karno minta jangan ada pertempuran. Supardjo kecewa tak bisa berbuat apa-apa lagi, menurut apa yang dikatakan Bung Karno.
Soal Dewan jenderal, Bambang Widjanarko di depan Mahmilub bilang ada pertemuan Tampak Siring yang dihadiri Leimiena, Chairul Saleh dan sejumlah menteri lainnya, yang merayakan ulang tahun Bung Karno dan sempat membicarakan soal Dewan Jenderal?
Itu omong kosong, biasanya kalau kami ke Tampak Siring itu kalau ada tamu atau kalau istirahat. Waktu saya ditahan, saya ketemu panglima di Bali di tempat tahanan, dia juga ditahan karena tuduhan yang sama mengetahui pertemuan Tampak Siring. Itu bener-bener ngomong kosong. Saya juga heran, sewaktu ditanya oleh penyidik soal pertemuan itu, saya bilang nggak ada. Tidak ada pertemuan itu sama sekali. Padahal Bambang itu paling deket dengan Bung Karno, saya heran dia omong yang nggak-nggak dan jadi pembenaran untuk menyudutkan Bung Karno.
Siapa saja ajudan yang paling dekat dengan Bung Karno waktu itu?
Sabur, Wijanarko dari Angkatan Laut, Sumirat Kepolisian, Saya dari Angkatan Darat dan Kardono pilot Helikopter dari Angkatan Udara
Setelah tak lagi bertugas di Istana?
Saya kembali ke CPM
Saat masih menjadi ajudan sampai 1967, Maulwi Saelan dipanggil untuk dimintai keterangan oleh Kopkamtib, tapi rupanya bukan sekedar dimintai keterangan. Maulwi di tahan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat, selama 4 tahun 8 bulan, setahun menjelang bebas di karantina di kamp konsentrasi di dekat Taman Mini. Lalu dipulangkan tepat ke rumahnya di Jalan Bendungan Jatiluhur (tempat wawancara ini) dengan bis mini.
Tak lama kemudian dipanggil KSAD, Makmud Murod, ke Markas Besar AD. Lalu saya dipanggil oleh KASAD di MBAD, Makmun Murod, namanya direhabilitir dan diberikan tanda penghargaan jasa-jasa. “Tanda jasa apa,”kata Maulwi tertawa getir.
Sudah selesai tugas anda sebagai tentara, kata Makmun Murod, pensiun nggak boleh dirapel. “Kalau dapat, ya lumayan juga, tapi, ya, sudahlah yang penting bebas,”kata Ketua Yayasan Syifa Budi, pemilik Sekolah Islam Al-Azhar Kemang
Menurut anda apa yang terjadi sebenarnya saat itu?
Merebut kekuasaan, siapa yang berada di atas. Untung itu komandan, bagus teknisnya, tetapi intelektualitas kurang, dia bisa diombang-ambingkan. Dia tidak pikir panjang apa yang dia lakukan. Dia akan turut Suharto, karena Suharto dekat dengan dia. Dia tidak tahu bahwa yang dia lakukan saat itu insubordinasi, menjatuhkan pemerintahan yang sah, itu pemberontakan. Katanya membela Bung Karno, membela Bung Karno apa? Bung Karno, itu, kan, kepala pemerintahan. Yang dia lakukan justru, menjatuhkan Bung karno.
Memang, saat itu sedang terjadi persaingan di tubuh Angkatan Darat. Mereka yang ingin berkuasa terhalang oleh Yani. Yani sebenarnya dekeat dengan Bung Karno, dan yang direncanakan Bung Karno memimpin tentara. Suharto dan beberapa orang di bawahnya kurang klop ke Yani. Jenderal Ahmad Yani lebih ke Amerika Serikat pemikirannya, lebih bebas, tetapi dia setia kepada Bung Karno. Kalau Suharto itu mau dipecat tetapi dipindahkan oleh Bung Karno, sekolah ke Seskoad, Bandung. Lalu dipindahkan ke Kostrad. Kostrad itu dulu kan, tentara cadangan, tidak berfungsi seperti sekarang sangat menguasai.
Maulwi Saelan,
Lahir di Makasar 8 Agustus 1926
Ayah dari 6 anak.
Pendidikan :
Frater School Makassar, HBS Makassar, Tokubetsu Tjugako, SMA C Makassar, Physical Security, The Provost Marshal General’s School, Fort Gordon-USA
Karir :
Sebelum kemerdekaan sampai kemerdekaan RI sebagai Pemimpin harimau Indonesia dan Pimpinan laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi
1949-Letnan Satu Polisi Militer TNI AD, Yogyakarta
1949-Perwira POM Komisi Militer Teritorial Indonesia
1951-Komandan Detasemen CPM, Bandung
1952-Komandan detasemen CPM, Purwakarta
1953-Komandan Detasemen CPM Makassar
1954, Wakil Komandan Batalyon VII CPM, Makassar
1962-Komandan POMAD PARA
1962-Komandan POMAD TJADUAD/MANDAL/TRIKORA, Makassar
1962-Kepala Staf Resimen Tjakrabirawa, Jakarta
1963- Pangkat Kolonel, wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa
1966- Ajudan Presiden RI Bung Karno
Lainnya :
Penjaga gawang, kapten kesebelasan nasional Indonesia (PSSI), pada Asian games di New Delhi, Tokyo, Olympic Games di Melbourne 1956, Juara Asia pra Fifa 1958, Ketua PSSI 1964-1967
Mengarang buku Sepakbola tahun 1970
Buku “Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66 : Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa” tahun 2002.
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu