Banjarmasin, Balikpapan dan Palembang menghidupkan kembali air sebagai bagian dari kehidupan kota. Majalah TEMPO memilih tiga kota itu sebagai tokoh arsitektur 2008.
Indonesia negara kepulauan, tidak bisa dipisahkan dengan air. Tujuh belas ribu lebih pulau dipersatukan oleh 3,1 juta kilometer kubik perairan teritorial. Sumber air datang dari gunung, sungai, danau dan laut. Banyak kota yang dibikin di dekat sumber-sumber air tersebut, hampir 300 kabupaten dan kotamadya dari 472 tersebar di pesisir, sisanya berada di daerah aliran sungai dan pegunungan.
Pada masa lalu dan masih terasa hingga kini sumber-sumber air itu menjadi berkah bagi masyarakat dan segala makhluk hidup yang berada di dekatnya. Namun, karena air seringkali difitnah dan disia-siakan, yang pada awalnya merupakan berkah menjadi sumber petaka. Kota-kota dan pemukiman penduduk hancur tergerus saat air melimpah ruah, dan krisis air bersih baik saat hujan apalagi musim kemarau. Rob di bagian utara Jakarta atau banjir di Kota Malang, Jawa Timur beberapa pekan lalu cukup mempritahinkan. Karena letak kota dingin di Jawa Timur itu di ketinggian 667 di atas permukaan laut.
Di Indonesia, sungai lebih banyak menjadi bagian belakang rumah tangga dan pabrik. Sehingga menjadi tempat pembuangan limbah, baik sampah industri rumah tangga, maupun logam beracun sisa pabrik. Tak heran jika seringkali terdengar penduduk yang terdampak limbah terserang berbagai macam penyakit, atau matinya makhluk hidup lainnya, seperti ikan dan biota yang ada.
Saat ini, seiring menguatnya otonomi daerah mulai timbul kesadaran pentingnya, menghidupkan air. Kota-kota yang berada di sekitar sumber air tersebut berbenah menjadikan daerahnya layak untuk kehidupan, sekaligus mencegah bencana yang bisa datang tiba-tiba.
Berbekal kesadaran dari daerah-daerah yang menghidupkan air itulah Majalah Tempo memilih tokoh-tokoh di balik perubahan tersebut. Bersama tim juri pemilihan tokoh arsitektur versi Tempo 2008, Nirwono Yoga, Yori Antar, dan Bambang Eryudhawan, majalah ini mencari model pembangunan kawasan pemukiman kota dengan basis air.
Arsitektur dalam pemilihan ini bukan dalam arti sempit, sebuah model bangunan, tetapi dalam arti luas yaitu lanskap sebuah kawasan pemukiman di kota yang mengalami perubahan karena ada unsur air yang kuat disana. Begitu juga dengan tokoh, bukan sekadar arsitek dalam arti lulusan jurusan arsitektur perguruan tinggi, tetapi orang yang menggerakkan dan memberi inspirasi bagi perubahan sebuah kawasan pemukiman tersebut.
Ada lima kreteria suatu tata ruang kota dengan konsep kota air, bisa berupa di daerah pinggiran sungai atau pantai (laut). Transformasi perubahan pemukiman itu terjadi karena partisipasi publik, ruang atau kawasan itu bisa diakses langsung oleh masyarakat, hijau, memiliki pengelolaan air dan pembuangan limbah yang baik serta terpadu. Kreteria tersebut bukan asal comot, namun juga berkaitan dengan ditetapkannya 2008 sebagai tahun sanitasi internasional. Serta penghargaan yang diberikan Departemen Pekerjaan Umum terhadap penilaian kinerja pemerintah daerah akhir November lalu.
Nah, lima kreteria itu diharapkan bisa memenuhi standar kualitas hidup daerah yang berubah tersebut menjadi kawasan yang bersih, sehat, hijau dan menghargai kearifan lokal. Adanya partisipasi publik menempati urutan tertinggi dalam penilaian itu diikuti
public realm (akses publik),
go green (hijau), pengelolaan air dan limbah.
Tarakan, Balikpapan dan Banjarmasin mewakili Kalimantan berdasarkan unsur air sangat kuat di tiga kota itu. Surabaya dipandang kota yang paling tepat mewakili Pulau dengan penduduk terpadat di Indonesia, Jawa dengan alasan ada usaha birokrasi setempat mengajak masyarakat ikut bersama menjaga sungai, istilahnya jogo kali Palembang mewakili Pulau Andalas alias Sumatera, karena kota itu punya ciri khas yang berhubungan dengan air.
Juri menganggap ada kota yang hidup dari air. Artinya, kalau tidak ada air kota itu mati. Jadi hidup matinya kota tersebut tergantung air, seperti Banjarmasin, Palembang, dan Surabaya. Sisi lain kota-kota pantai, Balikpapan, dan Surabaya. Kecuali Surabaya, di kota yang lainnya sungai tidak berperan penting.
Soal peran pemerintah dan masyarakat. Pada Kota Palembang, Surabaya, Banjarmasin, dan Balikpapan peran pemerintahnya kuat. Palembang, Surabaya dan Tarakan ada unsur target untuk meraih penghargaan Adipura. Pada Balikpapan dan Banjarmasin pada awalnya peran pemerintah kuat, kemudian masyarakat ikut berperan serta. Bahkan disitu muncul tokoh-tokoh yang menggerakkan masyarakat.
Setelah melakukan reportase dan sejumlah wawancara dengan sumber-sumber di daerah tersebut pilihan mengerucut menjadi lima kota : Balikpapan, Banjarmasin, Palembang, Tarakan dan Surabaya. Lalu dua kota terakhir tersingkir dengan alasan yang berbeda. Tarakan dianggap terlalu luas cakupannya, karena sebuah pulau yang baru dibangun kembali oleh walikotanya, Jusuf Serang Kasim. Sedangkan Surabaya, baru merupakan proses belum ada hasilnya, itupun karena peran birokrasi pemerintahan kota setempat.
Kampung Atas Air Margasari di Balikpapan, dulunya, kawasan seluas 10 hektar dengan 140 rumah merupakan daerah kumuh dengan pengaturan tata ruang yang amburadul. Saat air surut, sampah rumah tangga menumpuk, karena laut menjadi satu-satunya tumpuan tempat pembuangan. Namun, kebakaran pada 1992 mengubahnya. Arbain Side, 46 tahun, seorang bekas lurah Margasari merelokasi 200 keluarga keturunan Bugis, yang tinggal di situ.
Arbain tak membuang suku yang biasa hidup di laut, tetapi mengenalkan hidup dengan lingkungan tertata baik. Gagasan itu ternyata didukung pemerintah pusat dan daerah. Hasilnya tak mengecewakan, kini kawasan itu tertata rapi dan bersih dengan suasana laut yang indah. Tiap rumah ada fasilitas mandi cuci kakus dengan memperhatikan estetika lingkungan, terdapat pula saluran khusus pembuangan limbah yang tersalurkan ke tempat penampungan sementara, lalu masuk mesin pengurai menjadi cairan ramah lingkungan.
Ada yang dibuang ke laut dalam keadaan sudah bersih terkadang dipergunakan petugas pemadam kebakaran untuk memadamkan api. Kini Arbain dipercaya pemerintah kota untuk mengubah 20 kawasan kumuh. Balikpapan kini tengah menuju waterfront city, kawasan air menjadi muka kota itu.
Masih di Kalimantan, Kampung Mahligai, di Kelurahan Sei Jinggah Kota Banjarmasin pada 1987 terbilang pemukiman tidak sehat, tidak bersih, akses jalan tak karuan dan rawan kejahatan. Namun berubah sejak Fatturahman, tokoh masyarakat setempat turun tangan menata menjadi kawasan yang bersih dan sehat. Hasilnya Kampung Mahligai dinyatakan sebagai pemukiman terbersih dan hijau pada tahun 2005 di Kota Banjarmasin. Bahkan Rumah Toga Kampung Mahligail mewakili model perumahan lestari Kalimantan Selatan, ke tingkat nasional. Memang saat Tempo meninjau pekan lalu beberapa bagian kota terendam banjir, tapi Kampung Mahligai, selamat.
Benteng Kuto Besak dan Pasar 16 Ilir Palembang, Sumatra Selatan juga termasuk kawasan yang berubah drastis. Kawasan ini sebelumnya merupakan pusat buah di kota Palembang dan tempat pemukiman padat dengan gubuk yang kumuh. Hanya tukang buah dan orang yang terpaksa karena ingin menyeberang ke Ulu. Karena disini sangat becek, bau dan penuh pelaku tindak kriminal yang tak segan-segan menunjam orang dengan senjata tajam.
Namun, sejak setelah Eddy Santana Putra memimpin Kota Palembang pada 2003, gubuk-gubuk kumuh dibongkar, Benteng Kuto Besak yang dibangun pada 1780 dipugar, Pasar baru 16 Ilir dibangun, taman di pinggir sungai selebar 500 meter dibuat bersih dan nyaman. Kawasan itu kini menjadi kebanggaan
wong Plembang. Warga bisa berkumpul menikmati Sungai Musi mengalir dengan jembatan Ampera yang sebagai ciri khas kotanya. Tak heran jika pemerintahnya berani menjadikan sebuah undangan wisata, Visit Musi 2008. Berbagai event internasional digelar yang terakhir Festival perahu naga akhir November 2008 lalu. Palembang kembali ke jati diri sebagai disebut
Venice from the east. Kisah kota sungai, atau kota
de stad der twintig eilanden (kota 20 pulau) masih bisa dijual sebagai cerita wisata.
Jika menengok kisah sukses kota-kota di pinggir sungai dan tepi pantai di dunia, seperti Bangkok, Thailand, Istanbul Turki dengan Sungai Bosfurus, Shanghai Cina yang dalam dua tahun mengubah sungainya atau Venesia di Italia yang terkenal dengan wisata kanal membelah kota. Negeri jiran Singapura pun dalam waktu yang singkat berhasil mengubah pinggiran sungai menjadi tempat piknik yang enak, ikan di dalamnya tampak hidup berseliweran.
Memang, jika melihat tiga kota yang menjadi pilihan Tempo masih jauh dari seperti contoh kota di manca negara itu. Tetapi melihat perkembangannya sudah pada posisi yang benar. Nah, diharapkan contoh sebuah kawasan pemukiman di tiga kota pilihan Tempo di atas, dapat menginspirasi kota-kota lain yang memiliki sungai atau pantai mulai mengingat kembali air yang ada di sekitarnya bisa menjadi amat berguna, menjadi berkah bagi kehidupan warganya bukan malah menjadi musibah. (***)