Sabtu, Februari 28, 2009

Futuristik Beraksen Lokal


Beberapa daerah membangun dan membenahi bandar udaranya. Tidak terjebak pada gaya lokal dan tradisional, melainkan fituristik, modern, dan fungsional.

**-
WAHAI warga Jakarta, bersiaplah iri bila berkunjung ke Makassar. Jangan kaget bila Bandar Udara Soekarno-Hatta tampak kusam dan ketinggalan zaman bila dibandingkan dengan Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar. “Ini di Makassar atau Beijing, ya?” demikian seorang pejabat dari Jakarta mengungkapkan kekagumannya. Kesumpekan lapangan terbang Cengkareng seolah lepas ketika memasuki terminal kedatangan penumpang ibu kota Sulawesi Selatan itu. Pejabat itu tak percaya. Dia merasa bukan berada di negeri sendiri.

Terminal bandara itu bergaya modern futuristik. Tiang-tiang baja putih, dinding kaca biru, dan atap lengkung laksana ombak dengan sebelas lekukan, menjadi perhatian utama penumpang yang baru turun dari pesawat. Putih biru menjadi warna dominan pada desain luar ataupun interior ruang.

Dinding kaca biru setinggi 12 meter membuat pandangan penumpang di ruang tunggu keberangkatan begitu lepas. Mereka bisa menikmati warna langit atau melihat pesawat yang berjejer di landasan pacu. Kaca biru itu tak sekadar memberi kesan modern, tapi juga fungsional: menjadi penerangan alami ketika siang, sekaligus menghemat listrik.
Lengkungan (arch) berulang pada atap terminal berstruktur metal diekspos dalam plafon. Atap melengkung mirip ombak secara filosofis diartikan sebagai semangat dasar masyarakat Bugis-Makassar yang menggelora. Atap yang tinggi itu juga membuat udara bebas bergerak, sekaligus memberikan kesan luas. Bila udara terlalu panas dan lembap, orang tidak merasa sesak dan terperangkap. “Kami memilih bentuk atap dengan bentangan lebar karena paling cocok untuk iklim tropis Indonesia,” kata kepala tim arsitek bandara internasional itu, Panogu Silaban, dari biro arsitek Atelier 6.

Adalah Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla yang memutuskan memilih desain yang disodorkan biro arsitek Atelier 6 dari beberapa peserta sayembara desain Bandara Hasanuddin. Atelier, yang berarti ruang dalam bahasa Prancis, mengajukan ide arsitektur modern, bukan yang beridentitas lokal seperti banyak diterapkan pada bandara lain di Indonesia. “Fungsionalisme dan proses (alur aktivitas) itu yang paling utama,” kata Nurrochman Sidharta, principal Atelier 6 sekaligus konseptor bandara tersebut.

Menurut Sidharta, jangan karena mengutamakan estetika identitas lokal, fungsi bandara jadi tak tercapai. Itu sebabnya, desain bergaya Tana Toraja yang ditawarkan tim lain tak terpilih. Namun, agar masih terasa di negeri sendiri, Panogu dan kawan-kawan menambahkan identitas lokal berupa motif kain sulam mandar warna kuning, oranye, merah bata, dan cokelat pada langit-langit terminal. Sang arsitek juga membangun bentukan anjungan (kepala kapal) Phinisi dalam bentuk struktur metal di pintu masuk terminal penumpang.

Tak sekadar bentuk yang futuristik seperti airport di mancanegara, bandara seluas 52 ribu meter persegi yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 26 September tahun lalu itu juga memperhitungkan keleluasaan dan keamanan naik-turunnya pesawat. Landasan pacu diubah, yang mulanya menghadap gunung kini ke arah sebaliknya. “Untuk memudahkan lepas landas dan mengurangi risiko kecelakaan,” kata manager proyek pengembangan Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Syamsul Alam, kepada koresponden Tempo di Makassar, Irmawati.

Sarana penunjang bandara bernilai Rp 580 miliar itu lumayan lengkap. Ada lift untuk orang cacat, eskalator, conveyor, travelator, ruang tunggu bandara dengan sekat kaca, serta kamar mandi setiap 20 meter. Saat ini jumlah penumpang 4,6 juta per tahun atau 12 ribu orang sehari. Pada masa mendatang, setelah kawasan Indonesia timur lebih berkembang, bandara ini diharapkan mengelola 7 juta penumpang setahun atau rata-rata 20 ribu orang per hari. “Jadi, jumlah kamar mandi dan toilet tidak boleh disepelekan, karena ini untuk menampung kebutuhan penumpang,” kata Bambang Eryudhawan, Wakil Ketua Ikatan Arsitek Indonesia.

Bandara ini juga memiliki terowongan bawah tanah untuk menyeberang jalan ke lapangan parkir. Ada dua alternatif angkutan yang bisa digunakan selain kendaraan pribadi, yaitu taksi dengan pembayaran berdasarkan zona, dan bus bandara yang hanya mengantar hingga gerbang utama bandara atau poros tol. Menurut arsitek senior Atelier 6, Fauzi Maskan, ada rencana membangun transportasi massal seperti kereta api untuk menghubungkan bandara dan Kota Makassar, yang berjarak 22 kilometer. “Terjangkau angkutan publik sangat penting bagi sebuah bandara,” ujarnya.

Atelier 6 juga memikirkan pengembangan bandara ini. Salah satunya dengan membangun berdasarkan modul berbentuk V. Bila bandara dirasakan sudah padat dan membutuhkan terminal baru, bangunan bisa diperpanjang ke kanan atau ke kiri berdasarkan modul tersebut.

Menurut Syamsul, tahap kedua pengembangan bandara ini dibangun dengan biaya Rp 700 miliar dari anggaran negara. Lengkap dengan patung pahlawan nasional Sultan Hasanuddin. “Nantinya pesawat jenis B747 yang berkapasitas 450 orang bisa mendarat,” kata Manajer Operasional PT Angkasa Pura I Cabang Bandara Hasanuddin, Suharsoyo.

Namun bandara ini masih memiliki kelemahan. Tempo melihat hasil kerja kontraktor tak rapi. Misalnya pemasangan marmer, yang masih menyisakan perekat pada marmer yang pecah. Profil struktur atap bagian eksterior tertutup. Akustik gedung juga buruk sehingga suara pengumuman tak jelas dan bergema. Menurut arsitek in charge Fauzi, itu terjadi karena tak ada perlakuan atau finishing khusus untuk meredam bunyi. “Banyaknya kontraktor lokal mengganggu koordinasi, dan budget terbatas juga menurunkan kualitas,” katanya.

Sebelum Makassar, Palembang sebenarnya sudah terlebih dahulu membenahi bandaranya. Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II sudah dapat didarati pesawat berbadan besar sejak 2005. Lapangan terbang itu dibangun dari biaya Japan Bank International Cooperation dan dana pendamping anggaran negara, yang total mencapai Rp 604 miliar.
Unsur kaca juga mendominasi ruang tunggu penumpang, sehingga bisa terlihat lalu-lalang pesawat. “Pemandangan transparan ke landas pacu menimbulkan perasaan lapangan udara yang luas kepada penumpang,” kata General Manager Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II, Yon Sugiono, kepada Arif Ardiansyah dari Tempo.

Secara umum konsep arsitektur bandara ini merupakan perpaduan antara modern dan tradisional. Untuk memberikan kekhasan lokal, pengumuman di bandara menggunakan tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan bahasa wong kito Plembang. Namun sifat simpel dan fungsional bangunan lebih menonjol. Seluruh areal bandara lengkap hotspot wifi, untuk memanjakan peselancar dunia maya.

Menurut Yon, yang lebih penting dari bentuk bangunan adalah pelayanan yang cepat, aman, dan nyaman. “Di sini banyak penumpang yang merasakan kemudahan dalam pelayanan di bandara,” ujarnya.

Iwan, warga Kalidoni, membenarkan klaim Yon. “Orang tua saya baru pertama kali naik pesawat tapi saya tidak khawatir, paling tidak sampai boarding saya bisa memantau dari luar kaca,” katanya. Bandara ini pun mendapat penghargaan dari Dinas Perhubungan sebagai bandara dengan pelayanan terbaik, tiga tahun berturut-turut.

Ahmad Taufik, Amandra Mustika Megarani

Impor Rahmat VS Impor Radikalisme

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Rodham Clinton saat berceramah di depan media massa dalam kunjungannya ke Indonesia pekan lalu menyatakan Indonesia sebagai surga bagi berkembangnya kebhinekaan dan demokrasi. "Indonesia, sebuah negara yang menunjukkan dengan jelas Islam, modernitas dan demokrasi tak hanya bisa hidup bersamaan, tetapi juga tumbuh bersama,"katanya.

Terlepas dari agenda di balik pernyataan itu atau sekadar diplomasi, ucapan itu bukan sekadar omong kosong. Islam berkembang biak seiring dengan pergerakan Indonesia sampai menuju gerbang kemerdekaan. Menilik sejarah masuknya Islam di Indonesia, justru berkembangan karena masuk secara damai melalui perdagangan, perkawinan dan akhlak dalam kehidupan sosial mereka, bukan dengan jalan kekerasan, pedang. Sejarah juga membuktikan "kejayaan" Islam yang dikembangkan dengan "pedang" jalan kekerasan di Eropa malah kini tak bertahan lama.

Masuknya paham radikalisme agama (Islam) pernah terasa saat tentara paderi (tahun 1836) pimpinan Tuanku Tambusai melakukan gerakan purifikasi pelaksanaan ajaran Islam mulai dari Tambusai, Barumun, Padang Lawas sampai ke Mandailing di Sumatera. Gerakan beraliran Wahabi (karena para tokohnya menjadi penganut aliran garis keras setelah berkunjung dan belajar di Saudi Arabia) itu beraksi dengan tangan besi, menyerang kampung-kampung dengan membakar, membunuhi, memperkosa , merampas harta dan emnjadikan perempuan sebagai budak belian. Namun, aliran seperti itu tak mendapat tempat di hati warga nusantara yang cinta damai dan hidup gotong royong.

Fundamentalisme = Zionisme

Fundamentalisme seharusnya bermakna positif, begitu juga radikalisme. Secara kata fundamentalisme berarti ajaran kembali ke ajaran dasar (basic/fundamen) begitu juga radikalisme ajaran yang kembali ke akar (radix). Namun, kata itu menjadi makna negatif karena para pelaku yang puritan atau konservatif mengaku melakukan gerakan kembali ke dasar atau ke akar. Padahal yang mereka lakukan adalah tindakan primitif dengan jalan kekerasan dengan semangat yang diskriminatif (atas nama agama, suku/ashobiyah bahkan Tuhan).

Fundamentalisme dulu awalnya lebih banyak dipengaruhi karena tekanan penguasa (pemerintah) terhadap para penganutnya. Namun, belakangan Fundamentalis lebih banyak dipengaruhi dari ajaran Kaum Wahabi yang dibawa oleh para pelajar atau santri-santri yang belajar di Timur Tengah, khususnya di Saudi Arabia. Di negeri Arab itu perbedaan dan demokrasi diharamkan, untuk mencegah timbulnya pemberontakan, mereka "mengekspor" paham Wahabi ke negeri lain.

Di Saudi Arabia para ulama berkumpul di Dewan Ha'iah KibarAl-Ulama dan al-Lajnah al-Daimah li'l-Buhuts al-'Ilmiyyah wa'l ifta'(The Permanent Council for Scientific Research and Legal Opinions). Lajnah ini dipimpin oleh Ulama Wahabi pro Pemerintah Kerajaan Saud, 'Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (1911-1999), sampai meninggalnya ia adalah mufti agung Kerajaan Saudi Arabia.

Saudi Arabia mendidik banyak orang asing, diantaranya dari Indonesia. Namun selain itu mereka juga mendanai organisasi-organisasi dan gerakan-gerakan "Islam" pro Wahabi di Indonesia. Untuk urusan santri atau pelajar mereka masuk lewat pesantren, pendidikan bahasan Arab milik Kerajaan Saudi (yang sekarang di Pejaten—seberang Republika). Dana mereka masuk lewat lembaga-lembaga, yayasan-yayasan bahkan partai politik, ada juga lewat individu-individu yang datang langsung ke Indonesia, tinggal bersama masyarakat, sumbang sana sumbang sini, atau lewat lulusan-lulusan Saudi Arabia, diantaranya kini ada dalam kabinet yang sekarang. Fundamentalisme kini bahkan berkembang juga memainkan agama untuk kepentingan politik, demi untuk mengoyang kekuasan tertentu, atau memperoleh keuntungan materi.

Kelompok ini lebih patut dikatakan sebagai Islam politik. Karena mereka bermain di wilayah politik di manapun berada untuk merusak kehidupan yang harmonis suatu masyarakat/negara. Islam politik ini mempunyai jaringan yang cukup kuat dengan mata rantai di beberapa negara Islam di dunia seperti Malaysia, Bangladesh, Pakistan, Afghanistan, Kuwait, Uni Arab Emirat, Yaman, Oman, Qatar, Bahrain, Saudi Arabia, Mesir, Syria, Jordania, Lebanon, Palestina, Turki, Aljazair, Sudan, Maroko, Tunisia, Kyrgistan, Uzbekistan, Chechnya, Somalia, Lybia, dan juga sudah menyebar di negara-negara Eropa, Amerika dan juga Australia.

Pengalaman di Pakistan, Afghanistan, Irak dan juga Indonesia, Islam garis keras justru merusak ketahanan sebuah bangsa. Sehingga akhirnya, karena lemah dan sering terjadi keresahan sosial, pihak asing mudah masuk di dalamnya. Saya yakin, biang keladi semua itu berasal dari Zionisme.

Zionisme, bukan hanya berasal Israel, tapi bisa dalam berupa-rupa wajah. Intinya adalah penjajahan (imprealisme) dalam segala bidang, mulai dari moral sampai keuntungan material. Zionisme Islam, berpusat di Saudi Arabia, melihat tindak tanduknya mengimpor keresahan lewat wahabisme ke berbagai negara, melemahkan negara yang berhasil disusupinya. Saudi Arabia dalam kasus serangan Israel ke Gaza atau Lebanon misalnya, tak pernah mengecam negara itu. Karena segala perlindungan kerajaan Saudi Arabia berada di tangan Zionis (Israel dan Amerika Serikat).

Zionisme Kristen, pernah ditunjukkan saat George Bush berkuasa di Amerika Serikat. Tangannya di Indonesia kini ada dalam radikalisme kelompok kristen yang semangat merusak kehidupan yang harmonis. Ada beberapa pengusaha dan pejabat Indonesia yang menjadi "agen" dari zionisme kristen ala "George Bush" itu. Zionisme Yahudi ada dalam pemerintah Israel yang ekspansif kini. Tak semua orang Yahudi zionis, karena di Israel sendiri ada orang-orang Yahudi yang baik, yang memahami sejarah, bahwa orang-orang tua mereka pernah bisa hidup berdampingan pada saat zaman Nabi Muhammad SAW. Mereka pernah merasakan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.

Waspada Wahabi

Kelompok Wahabi berusaha merasuk dalam kehidupan masyarakat dalam wajah "kesalehan". Namun, dalam prakteknya dia merusak kehidupan yang harmonis. Kelompok ini menganggap mazhab lain sebagai sesat dan menyesatkan. Mereka dengan berpatokan pada hadis:"Kullu bid'ah dhalaalah wa kullu dhalaalah fî n-naar".(semua inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka).

Kata "bid'ah" yang mereka tuduhkan hanyalah kata pelembut, untuk `kafir', Contoh2 yg diklasifikasikan sebagai bid'ah menurut paham Wahabi :-berziarah ke kubur termasuk kubur Nabi, tawassul, baca qunut, talqin, tahlil, istighatsah, berzikir berjamaah,membaca maulid diba' ataupun burdah yang berupa puji-pujian pada Nabi yang biasa dilakukan kaum MusliminMenurut mereka (kaum Wahabi) pelaku-pelaku seperti itu akan masuk neraka, alias kafir.

Dari sinilah akhirnya kaum Wahabi yang mengaku sebagai pengikut Salafy ini layak diberi gelar "Kelompok Takfir" (jama'ah takfiriyah), kelompok yang suka mengkafirkan golongan lain yang tidak sepakat dengan ajarannya. Oleh karena itu, tempat-tempat bersejarah Islam seperti rumah tempat lahir Nabi, rumah Ummul Mu'minin Khadijah tempat tinggal Nabi dan banyak tempat-tempat bersejarah lain yang masuk wilayah kerajaan Arab Saudi kini telah dihancurkan. Kalau tidak mendapat protes dari segenap kaum Muslimin sedunia niscaya kuburan Nabi pun sudah diratakan dengan tanah, sebagaimana yang terjadi di makam para sahabat dan syuhada' Uhud di Baqi' Madinah dan para keluarga Rasul di Ma'la , Makkah.

Wahabi kemudian dikenal sebagai gerakan anti-ilmu pengetahuan dan menjadi salah satu sumber keterbelakangan umat Islam. Mereka menolak apapun yang baru, seperti teknologi dan jaringan informasi. Dengan tegas mereka menolak demokrasi. Mereka mengurung perempuan di dalam rumah, menganggap pembantu rumah tangga (tenaga kerja wanita) sebagai budak, sehingga bisa diperlakukan semena-mena. Mereka mengharamkan nyanyian, membenci kesenian, keculai tari perut di ruang-ruang tertutup mereka. Memanjangkan jenggot bagi laki-laki dewasa adalah kewajiban. Buku-buku tasawwuf dan filsafat yang merupakan salah satu kekayaan Islam adalah barang-barang haram. Praktik kehidupan sosial seperti ini tampak nyata dalam kehidupan masyarakat Afganistan di bawah kekuasaan Taliban yang berideologi Wahabi.

Dengan keuntungan minyak yang seolah tak ada habisnya, penguasa Arab Saudi kemudian mengekspor ideologi Wahabi ke seluruh dunia, tidak hanya ke negara-negara Islam, melainkan juga ke Eropa dan Amerika. Menurut Hamid Alghar, dalam buku Wahhabism: A Critical Essay, kelompok ini berhasil meraih pengikut sekitar 10 persen dari keseluruhan umat Islam di seluruh dunia. Anak-anak muda yang menyediakan diri menjadi martir dalam kegiatan bom bunuh diri di Eropa dan Amerika Serikat beberapa tahun ini adalah generasi yang benar-benar terdidik secara "barat." Ideologi yang diekspor oleh penguasa Saud-Wahabi telah menggerakkan anak-anak muda Islam didikan "barat" untuk melakukan aksi terorisme.

Keluarga Saud dan Wahab yang sekarang menguasai otoritas politik dan agama di Arab Saudi sesungguhnya bukanlah keluarga yang cukup saleh, bahkan boleh dibilang bejat secara moral. Stephen Sulaiman Schwartz, The Two Faces of Islam: The House of Sa'ud from Tradition to Terror, menyebut keluarga al-Saud sangat gemar menghambur-hamburkan uang untuk berjudi dan bermain perempuan. Dengan kelakuan semacam itu, pangeran Saudi saat ini mencapai 4.000 orang. Artinya, seorang raja yang memiliki ratusan isteri dan selir bukanlah dongeng di Arab Saudi.

Schwartz menyebut dukungan terhadap Wahabi yang dilakukan oleh penguasa Arab Saudi saat ini adalah bentuk pengelabuan atas praktik tak bermoral yang mereka lakukan. Ideologi yang disebarkan oleh keluarga mantan bandit inilah yang kemudian dianut, atau setidaknya mempengaruhi, kelompok Islam Indonesia yang belakangan ini begitu gemar mengkafirkan dan mengeluarkan fatwa sesat terhadap mereka yang berbeda pendapat. Pengetahuannya terhadap Islam dan sejarahnya begitu dangkal, mereka bahkan adalah orang-orang yang sebetulnya tidak religius. Karena kekerasan tidak akan muncul dari religiositas. Rasa rendah diri yang membuat kelompok brutal.

Nah, tentunya kita tak mau Nusantara ini hancur lebur karena paham-paham tersebut, yang sesungguhnya punya agenda tersembunyi dari "tangan imprealisme jahat". Gerakan "pemaksaan syariat", penyeragaman "pemahaman" dan satu kepemimpinan dunia, merupakan tangan-tangan kotor yang berusaha memecah belah, mengganggu kehidupan harmonis, dan menciptakan keresahan sosial. Sehingga upaya yang tengah dibangun bangsa ini untuk bangkit menjadi terhambat. Kita tak boleh menyerah.

Walaupun kelompok zionisme berwajah wahabi di Indonesia kini seringkali bersatu dengan Islam politik yang merusak tatanan kehidupan bangsa. Memperkuat rasa solidaritas, toleransi, tolong menolong adalah cara efektif melawan mereka, dibandingkan cara-cara kekerasan seperti yang mereka lakukan terhadap bangsa ini. Kini semua tergantung kita rakyat Indonesia memilih menerima impor rahmatan lil alamin atau impor limbah radikalisme agama. Tak semua barang impor buruk, tetapi tentu kita pilih-pilih impor yang berguna dan bermanfaat bagi negeri ini. Kalau ada yang lebih baik buatan dalam negeri, itu dulu yang didaya gunakan.

Samarinda, 22 Februari 2009

Ahmad Taufik
Ketua Garda Kemerdekaan

makalah untuk diskusi yang di selenggarakan PMII Kalimantan Timur di Gedung Gubernur Kal-Tim di Samarinda, penulis mewakili Yayasan Az-Zahra-Balikpapan

Sumber bacaan : Rendah Diri Kaum Wahabi, Tuanku Rao (MOP), Greget Tuanku Rao (Basyral Hamidy Harahap).