Senin, September 17, 2007

4. Kontak Lagi

Tak punya harapan lagi bertemu Olie, sudah seminggu dia tak pernah mengontak aku. Aku juga tak pernah melihatnya lagi di halte tempat pertama kali kami bertemu. Tiga hari setelah kegagalanku mengejar bis, pada jam yang sama aku mencoba menunggui dan mencarinya. Selama tiga hari, setiap hari mulai pukul 15.00, aku menunggu di halte itu, sampai menjelang maghrib, aku selalu pulang dengan tangan hampa.

Hari ke empat aku mulai mencoba melupakan Olie, aku kembali menekuni pekerjaanku, sebagai asisten pengacara dan menyelesaikan skripsi ku. Aku tak lagi pergi ke halte dekat Hotel Panghegar.

Tit…tit…tit…bunyi serantaku, tanda ada pesan masuk.

Aku tak lagi bernafsu, sudah seminggu ini, pesan seranta masuk cuma dari kantor atau teman kuliah. Aku baru saja usai makan, siang, lagi enak-enaknya mata tunduh. Apalagi angin sepoi-sepoi menambah nikmatnya hidup kalau bisa selonjoran di sofa, lalu tertidur sampai azan ashar, setelah itu menyeruput kopi, oooh.

Dengan mata tinggal separuh aku pencet tanda baca pesan dalam seranta ku. “Temui aku, di halte biasa pukul 16.30, jangan nggak!”

Yihuiiii! Aku terlompat kegirangan.

Mata tak lagi tunduh, pikiran segera kembali. Wajah Olie muncul terus dalam benakkku. Dada terasa deg-degan menunggu waktu yang dijanjikan Olie untuk bertemu. Saat itu juga aku langsung masuk ke kamar mandi, mengosok-gosokan sabun ke seluruh badan, dan lebih lama di bagian yang paling sensitif, keramas dan bercukur. Aku shalat zuhur dengan riang, dalam bacaan shalat selalu terbayang wajah Olie, begitu juga rukuk dan sujud, mulutku terus komat-kami menyebutkan rasa syukur.

“Alhamdulillah, terima kasih ya, Allah, kamu temukan lagi aku dengan Olie!" Gumamku dalam hati.

Pukul 15.00 aku sudah di halte itu, aku memastikan diri tak telat, lebih baik menunggu satu setengah jam, daripada pikiran jadi gak keruan selama seminggu. Untuk mengusir rasa bosan aku membaca buku yang ku bawa dari rumah “The sexual Wilderness” karangan Packard.

Inginnya mendapat informasi sambil menunggu, malah wajah Olie terus terbayang dalam lembaran-lembaran buku itu. Menunggu satu setengah jam, terasa lama sekali, tiap dua menit mataku menengok kiri kanan, aku tak tahu di mana letak kantor Olie sebenarnya di kiri atau di kanan halte, atau malah di seberang jalan. Tapi aku yakin, kali ini aku akan bertemu Olie.

Benar saja lima menit kurang dari waktu yang dijanjikan perempuan manis dengan rambut tergerai , tubuh dibalut terusan warna putih sedikit di bawah lutut. Sebagai sekretaris Olie cukup berpenampilan sopan, biasanyanya seorang sekretaris, minimal memakai rok di atas lutut. Namun melihat betis Olie saja, lelaki bisa dibikin bernafsu.

Dari kejauhan wajahnya tampak riang, tetapi setelah beberapa meter dan ia melihatku ia mencoba menyembunyikan senyumannya dengan wajah cemberut. Tapi aku tahu ia sedang berpura-pura cemberut. Bukankah pesannya itu berarti dia ingin bertemu aku?

"Hallo Olie," ku sapa lebih dahulu memecah kekakuan.

"Hmmmm," dia cuma begitu.

"E, sorry ya minggu lalu, aku sampai sini cuma lewat lima menit, bis Damri-udah jalan. Maklum deh naik angkot kan gak bisa diprediksi, dia ngetem lama di BIP."

"Bohong, pasti udah ada janjian ama yang lainya, ya?"

Aku diam saja. Kuambil tangannya, ku genggam, dan ku remas, entah dari mana keberanian itu muncul. Olie diam saja, tak berontak, tak menolak dan tak berusaha melepas tangannya dari tanganku.

"Nggak usah naik bis ya, kita jalan aja sebentar cari angin."

"Ya, tapi jangan sampai masuk angin."

Wajah Olie tak lagi ditekuk. Senyum kembali menghiasi bibirnya. Benar tebakanku , memang tadi ia berpura-pura marah, tapi kini tak lagi.

Aku juga lagi senang, hatiku berbunga-bungan, ada cewek cantik bersamaku, udara lagi bagus, dan kantong juga lagi berisi.

"Kamu suka ice cream?"
"Boleh!"

Hanya sepuluh menit menyusuri jalan bungsu, di trotoar yang lebar, tepat di depan Hotel Istana, aku menyeberang jalan. Tak jauh dari situ ada tempat minum dan makan kue, Rasa. Aku pernah diajak oleh temanku. Tempat itu salah satu yang terbaik di Kota Kembang

Penulis Bondan Winarno di Koran Kompas (Minggu, 02 Desember 2001 :Jalansutra ; Nostalgia Bandung) pernah menulis tentang Rasa. “ Di Jalan Tamblong, masih termasuk dalam kawasan "segitiga Braga" ada sebuah restoran bistik yang dulu cukup terkenal. "Steakhouse Rasa", begitu namanya dulu, kalau saya tidak salah ingat. Pemiliknya adalah seorang perempuan Sunda cantik yang menikah dengan laki-laki kulit putih. Restorannya terdapat di dalam sebuah rumah-toko model Belanda - jauh menjorok ke dalam dari bagian depannya. Para tamu harus menunggu lama untuk makanan yang dipesan. Untungnya di situ ada buku-buku tamu yang sudah ditandatangani dan dibubuhi komentar ratusan tamu yang sudah datang sebelumnya. Makan di "Rasa" - pada waktu itu - selalu merupakan kenangan eksklusif yang menyenangkan.
Sekarang tempat itu sudah diubah total menjadi bakery merangkap café. Kita bisa beli berbagai kue lezat, atau duduk di situ sambil makan atau sekadar minum es krim. Menunya tidak sebatas steak atau spaghetti seperti di masa lampau, tetapi sudah diperluas mencakup berbagai hidangan Indonesia lainnya. Laksanya cukup enak di sana. Es krim Coconut Royale juga boleh dicoba. "

"Kamu mau minum apa?"
"Kamu?"
"Disini ada yang enak namanya Pinacolada."
"Apaantuh?"
"Campuran nanas, cocacola dan icecream mocha, rasanya seeedap deh, mau coba?"
"Iya deh."
"Pinacolada dua?"

"Kuenya?"
"Aku berdua saja sama kamu, aku gak kuat makan sendiri."
"Oke, aku pesan cake strawberry chese, kamu suka?"

Olie hanya mengangguk.

Aku tak mau melepaskan tangannya dari tanganku, ku remas-remas, seperti orang melepaskan rindu. Olie diam saja. Mulutku seperti kelu. Kami hanya bisa saling melepaskan rindu seperti itu.

Sampai minuman dan makanan datang, kami baru bisa bercakap-cakap lagi. Aku ceritakan pencarianku ke rumahnya setelah gagal mengejar bis.

"Aku masuk daerahmu, tanpa nama lengkap, tanpa alamat, tiga jam aku muter-muter gak juga ketemu. Masak aku musti teriak-teriak Olie….Olie…Bisa-bisa aku dituduh sedang jual minyak oli lagi, jarang-jarang kan, biasanya orang teriak minyak….minyak, jual minyak tanah."

Olie tergelak, dia menepuk-nepuk bahuku. "Ah, bisa aja kamu?"

"Akhirnya aku ketemu orang suci di situ."
"Siapa tuh?" Dia terpancing
"Santo Yusuf."
"Iiih, itu, kan, nama rumah sakit?"
"Iya, memang aku ketemu plang nama rumah sakit Santo Yusuf, dari situ aku menemukan jalan keluar."

Olie kembali tergelak, tak terasa dua jam sudah kami habiskan di Rasa.

"Kamu suka nonton gak?"
"Terserah kamu."

Aku segera membawa Olie menuju Plaza, bioskop yang biasa memutar film kungfu, film kesukaan aku. Walaupun dua kali ganti angkot, jarak dari Rasa ke Plaza cuma duapuluh menit.

"Kamu suka film mandarin?"
"Aku jarang nonton bioskop, gak ada waktu?"
"Oke, kita nonton film ini ya, aku tidak ingat judulnya, karena memang aku cuma suka bintangnya Wang Sun Chien, artis cantik asal Hongkong bergigi bajing."

Dua karcis bioskop di deretan belakang, sekantung pop corn dan dua coca cola. Aku membimbing Olie, karena film sudah dimulai sepuluh menit. Sambil merangkak dalam gelap sebelah tanganku memegang erat Olie. Tempat bagian belakang ketemu juga setelah dibantu senter penjaga bioskop. Mataku terus menatap layar, tangan Olie tetap dalam genggaman.

Sesekali mulut menunyah pop corn dan menyeruput coca cola. Setelah jagung berontak ludes, Tak ada lagi yang dikunyah, Tanganku semakin keras, meremasnya. Wajahku ku dekatkan ke wajahnya. Olie menengok, saat itulah ku sambar bibirnya. Kami saling melumat. Tanganku terus meremas, kini bukan lagi tangan, tapi sudah merambat ke dada.

Di layar, Wang Sun Chien juga sedang asyik dengan Tilung.

Lebih dari dua puluh menit kami saling melumat dan meremas. Olie terengah-engah. Aku terus bernafsu. Sayangnya film dilayar sudah the end, aku juga menghentikan lumatanku, Olie merapikan baju dan rambutnya, kami kembali seperti biasa saja. Saat lampu bioskop sudah menyala terang, kami sudah lebih siap jika dilihat orang. Aku berlagak menguap, seperti orang ngantuk.

Aku puas, walaupun tidak tuntas.

Malam itu aku antarkan Olivia Fransisca, begitu nama lengkapnya . Tapi menjelang gang masuk ke rumahnya, Olie meminta aku cuma mengantarkan sampai tempat itu

"Agar kamu pulangnya gak nyasar. Kamu tinggal lurus saja sampai ke Matahari."
"Kenapa sih?"
"Gak, kakakku cerewet? Udahlah pulang sana, nanti kita ketemu lagi."
"Ok, ya, kontak aku lagi, ya?"

3. Terbayang-bayang

Kegagalan mengejar waktu, dan bis, membuat aku penasaran. Aku langsung saja ke sasaran, Cicadas. Perasaanku menggebu-gebu, paras Olie yang mulus, terus terbayang-bayang. Aku tak lagi menunggu bis berikutnya, tetapi naik angkot, walaupun lebih mahal tiga kali lipat, tapi lebih cepat sampainya. Tak ada angkot yang langsung ke Cicadas, aku harus tiga kali ganti. Tak tampak lagi, bis yang mungkin dinaiki Olie.

Di depan Matahari, Cicadas, angkot berhenti., menembus pedagang kaki lima, dan jalan kecil yang jorok dan berliku-liku. Selokan warna abu-abu, campuran air sabun, kotoran manusia dan rumah tangga, mengambang. Bau menusuk hidung. Tak kubayangkan, wajah semanis dan semulus Olie, tinggal di pemukiman seperti itu.
Anak-anak muda, tampak nongkrong di pinggir-pinggir rumah yang berhimpitan. Beberapa dari mereka tampak main gitar, dan minum-minuman keras KTI (Ketan Item) buatan cap Orang Tua, Semarang.

Kata-kata punten, terpaksa mengalir dari mulutku saat melewati kerumunan seperti itu. Jika tidak, jangan harap bisa pulang dengan selamat, minimal menjadi sasaran bogem mentah atau pemerasan. Keringat mengalir dari tubuhku antara lelah dan perasaan tak enak, udara dingin menambah tak enak di badan. Azan Maghrib terdengar, awan mulai menghitam, gelap mulai membekap hari. Aku belum juga menemukan rumah Olie.

Mau bertanya? Aku tak tahu nama lengkapnya, aku yakin Olie, Cuma nama diri, nama panggilannya saja. RT/RW atau nama gangnya, juga tak tahu. Jika aku bertanya pada orang sekitar selalu bertanya, RT-RW-nya berapa? Kalau tidak tahu aku kelihatan seperti orang tolol. Mahasiswa tingkat akhir, yang sudah magang kerja, masih tolol. Ampunnn deh!

Sampai suara toa di masjid mengumandangkan azan Isya, aku juga belum ketemu titik terang. Harapanku bisa bertemu Olie, di sekitar itu juga belum ada penampakan.

Keringat bercampurnya udara dingin, bikin perut keroncongan. Lorong-lorong gang di perkampungan yang katanya terpadat di dunia itu, membuat kepalaku pusing. Aku mencoba mengingat-ingat jalan keluar, ternyata tak mudah, aku hanya berputar-putar.

Santo Yusuf! Huruf besar orang suci itu memberikan titik terang. Aku terus menuju nama orang suci itu, ya, itu nama sebuah rumah sakit, aku ingat, aku pernah mengunjungi seorang kawan yang kena muntaber dirawat di rumah sakit itu. Ini lah jalan keluarku. Aku berada di belakang rumah sakit itu, ku kitari, akhirnya ku temukan jalan besar di depan rumah sakit itu. Ternyata cukup jauh, dari tempat awal aku memasuki pemukiman tempat Olie tinggal di Departemen Store Matahari, Cicadas.

Aku kembali mencari jalan menuju Matahari. Tujuanku, Cuma satu, isi kampung tengah. Aku ingat tak jauh dari Matahari, persis di sebelah bioskop kelas bawah ada sate kambing, murah, seporsi 400 perak dengan nasi munjung dan kuah gule. Entah, kambing dari mana bisa dijual semurah itu? Biasanya, seporsi sate kambing di tempat lain paling murah seribu perak. Ah, gak peduli, yang penting kenyang.

Seperti kebiasaanku, sepuluh tusuk kambing ku habis kan dulu. Setelah habis, baru kusikat nasi dan kuah gule, ditambah bumbu kacang bekas sate yang sudah kulahap habis duluan.Lebih mudah menghabiskan nasi dan kuah gule, bila dibandingkan makan nasi bareng sate. Tak perlu dikunyah lagi, langsung telen.

Segelas teh tawar hangat setelah makan, melengkapi kenyangnya perutku.
Cuma masalahnya, masih ada urusan lagi yang belum diselesaikan, di bawah perut. Gagalnya bertemu Olie dan sepuluh tusuk sate kambing, bikin si "otong" ngamuk, minta penuntasan.

Selesai makan, kaki langsung melangkah ke bioskop murah di dekat tukang jual sate itu. Bioskop segede lapangan bola itu, Cuma separuh beratap, di bagian depan beratap langit. Bayar Cuma cepek, dapet dua film lagi. Tapi bukan itu tujuanku. Di dalam bioskop, bukan film yang dilihat, tetapi, orang-orang yang berpasangan yang bercintaan. Banyak juga pelacur yang menjajakan diri di dalamnya. Ya, lumayan, buat pelampiasan.

Semula aku duduk di bagian depan, berlagak gak peduli. Setelah film mulai main, aku mencari sasaran, melihat orang yang paling hot bermesraan di bioskop itu., Setelah tiga kali pindah, di bawah atap seng sebelah kanan, seorang lelaki muda dengan perempuan yang cukup cantik dan bersih, tampak asyik masyuk. Tangan si lelaki masuh ke samping baju perempuan, meremas-remas dengan nafsu, tangan si cewek juga mencari resleting celana si lelaki. Aku terus membayangkan, yang terjadi di depanku itu adalah aku dengan Olie.

"Akhhhhh." Aku merintih, bersamaan dengan rintihan si pria muda itu. Sang perempuan sibuk mencari tisu di kegelapan malam membersihkan yang berceceran di celana panjang lelaki itu. Celana jeansku juga terasa basah, ada yang menembus dari dalamnya.

Film kedua baru setengah main, aku pulang dengan gontai, tetapi lumayan, otot-otot ku terasa lebih fresh. Bayangan kemulusan Olie, wajahnya, tanganya, betisnya, buah dadanya, ooooh. Bayangan itu terus terbawa sampai aku tertidur di kamar kos-ku.

2. Janjian

Tit…tit…tit…, serantaku berbunyi, tanda ada pesan masuk. “Temui aku di halte dekat Hotel Panghegar, pukul 16.30.Olie”

Waktu baru menunjukkan pukul 12.30 saat seranta masuk. Saat itu perutku sedang berkecamuk ngorok, minta diisi. Aku memang sedang antri mengambil makanan di Warung Gratya, di daerah Sekeloa. Warung makan itu terkenal tempat mahasiswa makan. Selain makanannya beragam kita juga bisa mengukur kemampuan kantong. Pernah dalam suatu masa paceklik, kantong lagi cekak, aku hanya makan sepiring junjung nasi putih, sepotong tempe dengan kuah semur campur kuah gulai. Cuma cepek jigo atawa Rp 125, sama dengan ongkos angkot dari Dago ke Kebon Kelapa.

Tapi saat seranta masuk dari Olie, aku makan cukup bergizi, dengan telur, daging semur, tempe dan kerupuk, hanya gopek. Maklum duit masih ada. Buat makanan nggak usah iritlah.

Selepas azan ashar, aku mandi dan shalat. Hatiku deg-degan. Saat shalat yang terbayang bukan Tuhan atau bacaan shalat, tetapi wajah Olie.

Ada perasaan, aku akan mendapat cewek baru.Baru sekali kenalan lagi. Ini tantangan.

Dengan jeans butut, dan atasan t-shirt, serta sepatu kets, aku naik angkot jurusan Kebon Kelapa. Perjalanan dari Dipati Ukur ke Markas Polwiltabes, dekat Hotel Panghegar, terasa jauh. Mataku terus melirik jam tangan, kawatir kelewat waktu, dan Olie meninggalkan ku.

Sial, angkot yang ku tumpangi kosong. Ia ngetem lama sekali di depan Bandung Indah Plaza (BIP).

Waktu menunjukkan pukul 16.30 saat aku mengatakan “Pinggir” di depan kantor polisi di Jalan Jawa. Angkot langsung menepi, dan aku membayar dengan terburu-buru, duit logam pun jatuh ke bawah jok sopir. Aku langsung lari, menyeberang jalan. Dari kejauhan ku dengar sopir mengumpat. Tapi aku tak peduli.

Aku berlari-lari kecil mengejar waktu. Tepat di depan Hotel Panghegar, sekitar 20 meter dari halte tujuan kulihat Bis Damri maju bergerak pelan. Waduh!

Benar saja, saat sampai di halte, Olie sudah tak ada. Anjriiit! Aku mengumpat..

1. Kenalan

Perapatan Jalan Braga, baru saja lewat. Aku lagi asyik berangin-angin, dengan jendela terbuka lebar. Bis Damri jurusan Cikapundung-Cicaheum berhenti di halte dekat Hotel Panghegar. Tiba-tiba, duk! Sebuah pantat dihempaskan di bangku sebelahku yang sedari tadi kosong. Aku kaget.

Dengan berat kepala ku palingkan ke kanan, seorang perempuan, berambut panjang melebihi bahunya. Dari tempat duduknya dapat ku taksir, tingginya tak jauh dari tinggi tubuhku. Badannya juga proporsional. Hidungnya bangir, tidak mancung, juga tidak pesek. Matanya sedikit sipit. Kulitnya, amboi ! Kuning mulus bak duku Palembang mutu nomor satu.

Ketika bus mulai bergerak, Aku mencoba mulai membuka percakapan,”haredang, ya?”
“Iya, Nih”jawabnya.
Aha, pancinganku kena. Jarang ada orang yang mau menanggapi pernyataan orang yang baru dikenal, apalagi Cuma kata basa-basi.
"Pulang kerja?" Aku mulai berani
"Ya," jawabnya singkat, "Kamu?"
"Abis jalan-jalan," kataku sekenanya.

Memang aku habis jalan-jalan cari angin dan cari buku-buku bekas di Jalan Cikapundung, persis di sebelah gedung PLN. Di trotoir itu biasanya terhampar buku-buku, majalah-majalah dan bacaan-bacaan bekas. Ada juga buku-buku baru, tentu saja yang bajakan. Karena harganya bisa separuh harga dari toko buku.

"Abis beli buku," kataku sambil membuka tas kresek dan memperlihatkan beberapa buku yang aku beli. Ia ikut memegang dan melihat buku-buku yang aku perlihatkan padanya.
"Aku Alex, kamu?"
"Olie."

Namanya selicin perkenalan kami. Cuma bedanya, kalau olie mesin warnanya gelap, apalagi yang bekas. Tapi kalau Olie, yang ini bersih kulitnya.

Dari percakapan, akhirnya aku tahu Olie, bekerja menjadi sekretaris di sebuah perusahaan tekstil, tak jauh dari tempat ia naik bis tadi,

Ia bercerita, kalau kakaknya Pinkan, juga pernah bekerja disitu. Tapi kini sudah pindah ke kantor lain.

Olie enak diajak bicara. Dia lebih banyak cerita tentang diri, keluarga dan segala macam, juga pekerjaannya.

"Kamu berasal dari mana?"
"Ciamis," katanya singkat.

Pantas memang, nama tempat asalnya saja, artinya, air (cai) manis.
Karena terlalu asyik ngobrol, tak terasa tempat tujuanku turun di Pasar Kosambi sudah lewat.

"Kamu turun dimana?"
"Cicadas."
"Memang rumahmu dimana?"
"Di Cicadas, di belakang Matahari."

Aku berikan nomor telepon dan nomor serantaku.

"Siapa tahu kamu mau kontak aku lagi."

Si Moncong Botol Penyembuh Stroke

Lumba-lumba dipercaya dapat membantu penyembuhan stroke. Meski ada kritik, terapi ini terus berkembang.

***-
IDA Bagus Oka tertatih-tatih masuk ke kolam renang. Mantan Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional itu mengenakan pelampung kuning, dituntun Carla Henco, perempuan warga negara Jerman, ke air. Setelah ia beselonjor, dua ekor ikan lumba-lumba mendekati pelan-pelan dan mencium-cium ujung telapak kaki kanan lelaki itu. Oka, yang hanya mengenakan celana pendek, tampak meringis geli. “Saya bisa, bisa…, bisa...,” katanya berulang-ulang sembari menggerakkan sendiri kedua kakinya.

Sesekali, Jack dan John--nama dua lumba-lumba itu--menggulung badan Oka hingga hampir menenggelamkannya. Karena memakai pelampung dan diawasi Henco, Oka tak sampai kelelep. Walaupun tampak kesulitan ketika digulung binatang bermoncong botol, Oka selalu tersenyum. .”Jack..., John..., come here please,” begitu Oka memanggil-manggil mereka agar datang kembali mendekatinya.

“Bermain” dengan lumba-lumba di kolam Hotel Melka, Lovina, Buleleng (Bali utara) menjadi kegiatan rutin akhir pekan Oka dalam tiga pekan terakhir ini. Laki-laki 69 tahun ini divonis dokter terkena stroke. Bekas Gubernur Bali itu kesulitan menggerakkan tangan dan kaki serta terhambat dalam berbicara.

Setelah ditangani secara medis, Oka mencoba cara alternatif untuk fisioterapi atau melakukan latihan fisik. Pilihannya jatuh pada Jack dan John. ”Baru empat kali terapi setelah dua kali datang, kaki kanan saya sudah mulai terasa ringan. Saya akan rutin seminggu sekali ke sini,” katanya. Wajahnya tampak memerah segar setelah berlatih, akibat aliran darah lebih banyak mengalir ke kepala.

Jack dan John adalah lumba-lumba hidung botol (bottle nosed dolphin), jenis yang dapat dimanfaatkan untuk terapi lumba-lumba (dolphin assisted therapy), yang dipercaya membantu penyembuhan stroke, autisme, dan beberapa gangguan bergerak akibat kerusakan saraf. Selain si hidung botol, dari sekitar 80 jenis lumba-lumba yang ada di dunia, hanya ada dua jenis lagi yang punya kemampuan terapi, yaitu spinner dolphin dan spotted dolphin.

Menurut Karl Guenther Meyer, pemilik Hotel Melka yang sudah mengoperasikan dolphin assisted therapy selama setahun ini, saat melakukan terapi, lumba-lumba tidak perlu diarahkan oleh semacam pawang. Sebab, binatang mamalia laut itu memiliki kemampuan mengirimkan suara berfrekuensi tinggi--sekitar 2-13 MHz--ke bagian-bagian tubuh manusia, dan menerima kembali suara tersebut, atau disebut echolocation. Nah, dari kiriman ultrasound yang dipantulkan kembali oleh tubuh manusia itulah lumba-luma dapat mendeteksi bagian tubuh yang bermasalah. Terbukti saat Oka masuk kolam, flipper langsung menyosor kaki kanannya.

Kemampuan menangkap ultrasound, suara berfrekuensi tinggi di atas batas ambang pendengaran manusia (di atas 20 ribu Hz), dimiliki beberapa hewan seperti anjing, kelelawar, dan lumba-lumba. Kelebihan si hewan laut itu adalah mampu menyalurkan suara tersebut ke tubuh manusia. Penembakan pulsa suara berfrekuensi tinggi seperti ini, menurut pakar suara dari Amerika Serikat, Roger Hardy, lebih aman dibandingkan penggunaan sinar laser (X), karena ultrasound tak menggunakan radiasi ionisasi.
Adapun cara kerja “penyembuhan” dengan suara berfrekuensi tinggi lumba-lumba adalah merangsang perbaikan dan penggantian sel-sel rusak dalam tubuh. Meyer menjelaskan, manusia hanya menggunakan sekitar 20 persen kapasitas setiap organnya dalam beraktivitas, sedangkan 80 persen lainnya menganggur. Lumba-lumba, dengan kemampuan alaminya, mampu mendistribusikan dan mensubsidikan sel sehat menuju bagian dari sel yang rusak atau abnormal.

Seperti terapi lainnya, pengobatan bersama si moncong botol ini harus dilakukan rutin. Menurut Meyer, minimal dua bulan. Adapun Oka, yang baru setiap akhir pekan selama tiga minggu terapi, sudah merasakan manfaatnya. Pasien lainnya, Bing Wijaya, 53 tahun, warga Singaraja, bahkan sembuh dari lumpuh setelah delapan kali terapi. ”Hasilnya benar-benar memberi saya harapan baru,” ujarnya. Bin sudah bisa menggerak-gerakkan tubuhnya lebih baik.

Selain untuk “mengobati” stroke, menurut Meyer, terapi lumba-lumba juga dipercaya dapat membantu penyembuhan kanker. Inilah yang baru dimulai di kawasan wisata Lovina itu. “Kami mengundang dua orang penderita kanker, terapi dua minggu gratis,” ujarnya. Kini pengobatan itu sedang berjalan.

Terapi dengan bantuan lumba-lumba mulai banyak dipraktekkan di beberapa negara sejak akhir 1990-an, terutama untuk membantu anak-anak autis dan penderita down syndrome. Lumba-lumba dipercaya dapat menyembuhkan orang karena binatang ini beberapa kali telah menolong orang tenggelam di laut dan membantu menyembuhkan luka mereka. Bila dilihat di Internet, cukup banyak klaim sukses terapi ini, namun banyak juga kritiknya. Umumnya, kritik dilandaskan pada minimnya uji coba ilmiah dan klinis atas terapi ini.

“Tidak ada bukti ilmiah bahwa terapi lumba-lumba membantu penyembuhan. Ini hanya bersifat rekreasi,” kata Bernard Rimland, Direktur Autism Research Institute di San Diego, Amerika Serikat. Bahkan Michael Westerveld, ahli saraf dari Universitas Yale, AS, lebih skeptis. “Bila ada keberhasilan terapi lumba-lumba, ini merupakan efek yang sama bila berinteraksi dengan binatang jinak lain seperti anak anjing,” katanya.

Kritik lainnya adalah biaya terapi lumba-lumba yang mahal. Di Lovina, pasien harus merogoh kocek Rp 40 juta sebulan termasuk akomodasi dan konsumsi. Harga itu pun jauh lebih murah dibanding paket yang sama di AS, misalnya, yang mencapai Rp 400-500 juta. Karena “murah”, usaha yang dirintis sejak tahun lalu di Lovina itu kebanjiran pasien terutama dari luar negeri, seperti dari Singapura, Malaysia, Amerika, dan Eropa.

Bisakah terapi ini diterima secara medis? Menurut Nurdjaman Nurimaba, ahli penyakit saraf Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, terapi lumba-lumba, seperti terapi lainnya--wicara, gerak, hidro, getar, atau penyinaran--merupakan bagian dari fisioterapi aktif. Lumba-lumba merupakan gabungan dari terapi hidro dan getaran suara (ultrasonografi). “Sonar hewan tersebut pada prinsipnya sama dengan terapi getaran untuk menghilangkan sumbatan. Soal seberapa efektifnya, saya tak tahu persis,” ujarnya. Namun semua fisioterapi hanya bisa dilakukan setelah bagian saraf otak ditangani terlebih dahulu secara medis. “Karena itu, walaupun dengan terapi, masih harus disertai obat lainnya,” katanya.

Di luar semua kritik dan keraguan, terapi lumba-lumba tetap berkembang. Di Indonesia, selain di Lovina, terapi lumba-lumba untuk anak-anak autis juga ada di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Itu mungkin karena lumba-lumba selama ini dipercaya sebagai binatang penyayang manusia.

Ahmad Taufik, Made Mustika (Singaraja)