Beberapa hari setelah seorang panitia menyampaikan undangan diskusi buku seorang kawan yang rajin menulis, Septiawan Santana K, saya bertemu dengan seorang kawan yang ikhlas. Ternyata, kawan lama saya itu kini sudah dipanggil “Habib SBY”. Memang, saat bertemu sudah berkopiah putih, memakai baju ghamis (baju panjang putih khas orang Arab) dan semacam selendang putih.
Saat bertemu sang “habib” itu langsung nyerocos, “masih kerja di dunia jurnalistik, kan?”
Saya mengangguk.
“Tahu apa arti tulisan?”katanya.
“Jaga Tuh Lisan! Nah, jadi kalau nulis jangan sembarangan, sama seperti ngomong (lisan) jangan asal ngejeplak!”
Waduh! K.O, gue.
Nah, judul buku yang kini sekarang kita bahas berkait seperti cerita di atas. Menulis Itu Ibarat Ngomong.
Judul ini bukan sekadar comot atau untuk menarik orang untuk membeli atau membacanya. Tapi sebuah makna yang mendalam, jika kita mau memahaminya. Memang menulis itu adalah terjemahan dari omong-omong, yang disusun berupa huruf-huruf.
Jika omongan hanya berguna untuk yang mendengar (tidak tuli), tulisan bahkan berguna bagi semua orang, juga untuk orang yang buta (bila sudah di-braille-kan), dan bisa dibacakan (di Wyata Guna biasanya adanya relawan reading). Bahkan dengan tingkat buta hruf yang sudah semakin kecil, sebuah tulisan menjadi berguna. Coba lihat, (jika kita mau memperhatikan keadaan sekitar), tukang becak, yang menunggu penumpang, masih membaca sobekan koran.
Maaf, saya pun, jika sedang ke toilet, lebih senang membaca, sampil menunggu pup tuntas. Apa jadinya bila saya bicara sendiri saat “nongkrong”.
Memang, pada masa lalu terkenal sastra lisan. Namun, bisa hilang tanpa jejak bila yang melisankan itu tak ada lagi, atau lupa. Tapi, tulisan, di dinding piramid di Mesir, misalnya, atau dalam peti Yesus, menyisakan ilmu pengetahuan (penelitian dan perkembangan lainnya). (Lihat lampiran tulisan Kuburan Yesus, Menurut Cameron, Majalah Tempo, 11 Maret 2007, hal.114).
Kitab-kitab suci buku-buku hadits atau wahyu, menunjukkan bahwa omongan (sabda) orang-orang “suci” atau “pesuruh” Tuhan perlu dikumpulkan dan dituliskan. Apa jadinya bila sampai saat ini, Al-Qur’an, Injil, Weda, Tripitaka atau lainnya cuma lisan-lisan yang katanya…katanya?
Secara judul saya sepakat Menulis Itu Ibarat Ngomong. Karena tulisan adalah kumpulan omong-omong. Buku yang dikemas secara apik dan trendi (bukan singkatan salah satu calon Walikotan Bandung), tentu akan membuat orang lebih banyak menulis dibanding omong-omong tok. Jika omong-omong cuma menjadi ghost ships (kapal setan)- yang berlayar sekehendak nafsu yang mengatakannya, maka tulisan adalah cara mengerem atau mengendalikannya.
Karena dalam tulisan ada perenungan (kembali) dari sekadar omong-omong. Bisa perenungan yang berasal langsung dari pikiran seseorang atau karena masukan berasal dari referensi yang ia temui kemudian. Prinsip menulis itu ibarat ngomong, memudahkan seseorang untuk mau menulis, seperti mudahnya (selama tak terganggu saluran suaranya) orang itu ngomong.
Berkembangnya blogger kini, menunjukkan bahwa menulis hampir sama kebutuhannya dengan ngomong. Sehingga, nanti tak ada lagi orang yang bilang, “aku gak bisa nulis!”
Menulis bagian dari menjaga omong-omong, Jaga Tuh Lisan!
Mulailah menulis pikiranmu, sekarang juga.
Ahmad Taufik
Untuk diskusi buku Menulis Itu Ibarat Ngomong, Milad Unisba, Bandung, 14 Agustus 2008
Lampiran 1
Kuburan Yesus, Menurut Cameron
Kuburan Yesus Kristus dan sembilan anggota keluarganya ditemukan para pembuat film di Talpiot, Yerusalem. Kontroversi merebak. Bisa jadi, sekadar sensasi.
AHAD lalu, jutaan pasang mata menyaksikan siaran internasional Discovery Channel, siaran khusus film dokumenter penemuan kuburan Yesus Kristus dan keluarganya. Pembuat film Kanada kelahiran Israel, Simcha Jacobovici, dan sutradara asal Hollywood, James Cameron, mengklaim: tulang-belulang dalam peti mati (osarius) yang mereka temukan 27 tahun lalu di Talpiot, Yerusalem, milik Yesus Kristus dan sembilan anggota keluarganya.
Kuburan itu ditemukan saat mereka mendapati sebuah gua ketika membongkar reruntuhan sebuah apartemen di selatan kota tua Yerusalem. Gua tua yang diperkirakan berusia 2.000 tahun lebih itu menyimpan sepuluh peti mati. Pada salah satu peti itu tercantum nama “Yesus putra Yusuf”. Sedangkan pada dua peti lain tercantum nama Maria. Mereka yakin temuan itu adalah peti mati dari Bunda Maria dan Maria Magdalena.
Dalam konferensi pers di New York, Amerika Serikat, Senin pekan lalu, dua insan film itu menyitir prasasti di kuburan yang menunjukkan 6 dari 10 peti itu sebagai peti mati dari Yesus, Bunda Maria, Maria Magdalena, Matius, Josa (Yusuf, saudara Yesus), dan Judah (kemungkinan anak Yesus). Mereka menyertakan arkeolog, ahli statistik, dan spesialis urai golongan darah (DNA) yang memastikan keaslian belulang tersebut. Sudah diperkirakan penayangan itu akan menghebohkan, bahkan bisa mengguncang keyakinan penganut agama Nasrani.
Selama ini dipercayai Yesus tidak dikuburkan dalam peti. Karena Yesus wafat pada Sabtu, dan dalam kepercayaan Yahudi di masa Yesus hidup, Sabtu hari libur, tak mungkin ada pembuat peti mati pada saat itu. Di samping itu, orang Yahudi umumnya tidak pernah memakai peti mati. Jenazah biasa dipikul ke kuburan, di atas tandu sederhana.
Dalam Injil Lukas dan Matius disebutkan pada masa itu ada dua jenis kuburan. Orang biasa dikubur di bawah tanah tanpa memakai tanda. Sedangkan keluarga mampu, seperti Yusuf dari Arimatea, membuat gua yang digali di dalam liang karang. Gua ini dijadikan tempat pemakaman keluarga. Pada saat kuburan keluarga telah penuh dengan tulang-belulang, barulah tulang-belulang itu dipindahkan ke dalam peti batu yang disebut ossuari.
Dalam kitab Injil Matius itu dijelaskan bahwa seorang kaya murid Yesus, Yusuf Arimatea, pergi menghadap penguasa yang menyalib Yesus, Pilatus, meminta mayat gurunya. Yusuf mengkafani mayat Yesus dengan kain putih dan menguburnya di dalam sebuah bukit yang baru digalinya, lantas menutup dengan batu besar.
Bunda Maria dan Maria Magdalena dalam Injil itu dijelaskan duduk di depan kubur itu, hingga akhirnya terjadi gempa bumi yang menggulingkan batu tersebut dan menunjukkan kebesaran Tuhan. Yesus bangkit ke langit, begitulah yang tertulis dalam Injil dan dipercaya umat kristiani.
Menurut teolog asal Jerman, Paul Althaus, dalam Jesus: God and Man, kuburan Yesus tak akan bisa bertahan di Yerusalem selama satu hari, bahkan satu jam. Banyak yang tak menghendakinya. Sebaliknya, menurut Doktor John Crossan, salah satu yang percaya adanya kuburan itu, hukum Romawi pada waktu itu melarang penguburan Yesus. Karena itu, ia dikuburkan di makam tak bernama. Kuburan itulah milik Yusuf Arimatea yang diduga ditemukan Cameron dan kawan-kawan.
Guru besar Universitas Bar-Ilan, yang juga pernah menjadi ketua tim penggalian kuburan itu, Amos Kloner, tak percaya. “Nonsens, dan klaim itu tak berdasarkan bukti. Hanya untuk jualan film tersebut,” katanya. Menurut Kloner, tak ada yang baru dalam film dokumenter itu. “Semuanya sudah dipublikasikan dan tak ada dasar mereka menyatakan makam tersebut identitas Yesus dan keluarganya,” ujarnya.
Apa pun, yang jelas, The Burial Cave of Jesus menimbulkan reaksi di berbagai belahan dunia, seperti halnya film The Da Vinci Code dan The Passion.
Ahmad Taufik (The Jawa Report, Christian News Wire, ChristianAnswer.net, Mangucup.org, Ynetnews)
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu