Pemerintah Amerika Serikat memasang iklan propaganda kehidupan beragama di negeri itu. Usaha membujuk pandangan muslim dunia terhadap AS yang dianggap memusuhi Islam. Siapa dapat untung?
Bisnis tak mengenal ideologi. Paham boleh berbeda, tetapi uangnya bisa diterima. Sebuah majalah yang meneguhkan diri sebagai majalah Islam pada penerbitan akhir Bulan Ramadhan, dalam sampulnya berjudul “Menguak Propaganda Amerika”. Namun, di bagian dalam, tak malu-malu memasang iklan propaganda itu.
Iklan propaganda yang menggambarkan sebuah kisah kehidupan muslim di Amerika. Cerita tentang seorang guru muslimah asal Lebanon yang mengajar di sekolah umum dan agama Islam di Ohio. Propaganda yang sama juga dimuat majalah, Koran dan televise lain yang tak meneguhkah paham tertentu dalam penerbitannya.
Memang masyarakat Indonesia menjelang dan selama bulan puasa seperti dijejali iklan propaganda dari Amerika itu. Mulai dari Koran, majalah sampai televisi. Iklan yang ditayangkan ada lima jenis, tentang guru muslimah tadi, imigran penjual roti asal Libya, para medis yang bertugas di Pemadam Kebakaran New York, wakil dekan Fakultas Kedokteran dan mahasiswi Indonesia yang mengambil kuliah penyiaran di Misouri, Columbia.
Menurut seorang pegawai di Agency Mckan Erickson, agensi periklanan yang memasarkan propaganda ini, hampir semua televisi swasta mendapat iklan propaganda itu. “Kecuali Indosiar, TV 7 dan Lativi,”katanya. Sedangkan media cetak yang kebagian untung : Kompas, Republika, Media Indonesia, Pelita, Suara Karya, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Rakyat Merdeka, Pikiran Rakyat, Suara merdeka, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Waspada, Sumatera Ekpres, Lampung Pos, Singgalang, Riau Pos, Banjarmasin Pos, TEMPO, Fajar, Serambi, SABILI, Panjimas dan Pantau. Pemilihan media massa, menurut sumber di Mckan itu, berdasarkan coverage area media tersebut. ‘’Tadinya kami mau di media nasional saja yang penting mengena ke muslim, tetapi rupanya pertimbangan kami perlu juga media yang terbit di daerah, agar lebih mengena,’’ujarnya.
SCTV salah satu televisi swasta sampai menayangkan iklan propaganda itu 2 sampai 3 kali sehari. Menurut jurubicara SCTV, Budi Darmawan, agensi pemilik produk iklan itu yang datang menawarkan. “Selama Bulan Ramadhan ini memang bisa sampai tiga kali penayangan sehari. Tergantung mereka, bagi kami pokoknya selama mereka mau beli air time, kami tayangkan,”ujar Budi.
Tayangan untuk televisi ada dua durasi yaitu 60 dan 120 detik dengan bayaran sekali tayang Rp 6 juta sampai Rp 24 juta. Sedangkan untuk media cetak menghabiskan biaya hampir empat miliar rupiah. Menurut jurubicara Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Stanley Harsha, Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan dana 15 juta US dolar untuk iklan propaganda itu.
Menurut Stanley, ide iklan propaganda itu muncul secara alami, setelah berdialog dengan kelompok-kelompok masyarakat muslim. “Kami menyadari idealnya semua orang bisa ketemu dan berdiskusi, sehingga bisa mencapai pemahaman bersama. Tapi, kan, tak mungkin mengundang jutaan orang untuk datang ke rumah duta besar. Jadi kami memilih menggunakan cara iklan semacam ini,”katanya.
Rentetan peristiwa pasca 11 September 2001, menurut Stanley membuat pemerintah AS sadar bahwa harus menjelaskan kepada dunia posisinya. “Kami harus banyak melakukan dialog dengan dunia luar, terutama komunitas muslim. Apalagi komunitas muslim Indonesia punya perasaan nggak enak (bad feeling) terhadap kami, orang Amerika,”ujar Stanley. Karena itu pemerintah AS lebih ingin mendengar pihak lain, daripada bicara sendiri dan merasa paling benar. “Pada saat yang bersamaan, kami ingin juga agar mereka mendengar dan memahami Amerika. Kami ingin semua happy,”kata Stanley merendah.
Menurut pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Ade Armando, iklan propaganda yang dilakukan pemerintah AS itu adalah diplomasi dalam bentuk lain. “Slogan mereka itu winning heart and mind, memenangkan hati dan pikiran orang agar bersimpati,”ujar Ade kepada Nunuy Nurhayati dari TEMPO News Room. Upaya itu, memang lazim dilakukan AS untuk membangun sekutunya.
Karena itu, menurut Ade, yang aktif di The Habibie Centre, sasaran iklan itu kepada kalangan yang sudah moderat sikapnya terhadap Amerika. “Sebab, kalangan Islam yang moderat itu juga merasa gusar dengan yang dilakukan Amerika akhir-akhir ini,’’ujarnya. Tetapi, propaganda itu, menurut Ade tak ada artinya bagi kalangan radikal di Indonesia. “Untuk, yang garis keras, kampanye itu sih memang tidak akan ada artinya sama sekali. Karena sudah terbentuk persepsi Islam di kalangan Islam garis keras di Indonesia mengenai Amerika, yaitu musuh Islam,’’kata Ade.
Ahmad Taufik, Rommy Fibri dan Purwanto
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar