Sebuah pesan pendek masuk dalam telepon genggamku, "...(sayang teks sudah kehapus)...umi malu punya anak kayak kamu." (?) Pengirimnya tertulis nomor kakak yang paling aku sayangi.
Ah, aku gak berpikir terlalu jauh!
Sehari setelah itu, saat aku sedang menghadiri ujian doktor temanku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, masuk nomor telepon kakakku itu. Aku ambil dan sudah siap dengan sumpah serapah. Namun, yang terdengar adalah suara ibuku, tanpa memberi kesempatan untuk menjawab, "...umi diteror!" Klik, telepon mati. Waduh!
Usut punya usut, apa penyebabnya? Rupanya setelah tampil sebagai peserta dan ikut berkomentar dalam acara Debat TV-One, keluarga ketua Front Pembela Islam (FPI), menteror keluargaku. Aku yang dalam acara Debat itu berada di pihak penentang SKB (Surat Keputusan Bersama), dianggap memojokkan para pembela tindakan kekerasan atas nama Tuhan dan Agama Islam.
Saat itu, aku berkomentar menanggapi Mahendratta, yang berada di pihak penerima SKB, "puas...puas...mengambil istilah Thukul, udah keluar SKB? Sekarang bagaimana cara mengawasi orang-orang Ahmadiyah? Apakah orang salat akan ditongkrongi, siapa yang nongkrongi, polisi, pemerintah MUI atau FPI? saya yakin anda tak akan puas, dikasih ati (SKB), pasti minta rempelo!"
Rupanya pernyataan itu dijadikan dasar, untuk menteror Ibu dan kakakku, aku dianggap membela akidah yang sesat (Ahmadiyah).
Pembela FPI dan keluarganya, telah berlaku pengecut. Apa tidak berani menghadapi aku, toh aku yang berbuat dan berkata begitu, aku siap mempertanggujawabkan semua yang aku ucapkan. Bahkan sebaiknya anda menonton lebih lengkap acara itu. Karena pada komentar kedua, dan terakhir menjelang acara itu, saya sempat melontarkan pernyataan, "...biar seribu nabi palsu dinyatakan, semuanya tak mengurangi kemuliaaan Nabi Muhammad."
Tapi kenapa orang-orang yang mengaku "Islam" lebih senang berbuat kekerasan dan kezaliman pada orang lain, bahkan menebar teror secara pengecut?
Acara Debat di TV-One, hanyalah sebuah tontonan, semua pihak bahkan tidak puas. Kelompok Ahmadiyah, merasa tak mendapat porsi yang layak dalam acara itu. Kelompok pro-SKB, yang tampak serius dalam acara itu, lengkap dengan teriakan takbir, juga tampak tak puas.
Saya tahu, acara di TV memang dikemas untuk sebuah tontonan. Kebetulan saya kenal sang produser dan juga beberapa teman yang bekerja di TV itu. Bahkan, orang-orang yang berada di pro SKB, banyak saya kenal mulai dari Alfian Tanjung, Dosen Uhamka, Zaky dan temen teman dri Gerakan Pemuda Islam (GPI). Kami masih bisa bersalaman, setelah acara selesai.
Namun, orang-orang yang menerima informasi setengah-setengah dan berpikiran picik tak mampu menangkap isyarat itu. Puluhan pesan pendek beredar, ada yang menuduh saya sebagai pengkhianat dan dajal, ada pula (Fauzan Al-Anshari) yang menuduh saya tak sopan menunjuk aktifis-aktifis "Islam" dengan tangan kiri saya pada acara debat itu. Saya memang tak bisa meminta semua orang memahami posisi dalam televisi, debat dan sikap saya dalam berbangsa ini.
Saya apreciated dengan TV-One, sebaiknya memang kekerasan, bisa dipindahkan ke tempat yahg lebih elegan dengan debat, dan dialog, yang bisa ditonton banyak orang. Sehingga TV kita tak lagi menampilkan adegan kekerasa, seperti yang dilakukan FPI, LPI di Monas, 1 Juni lalu, Polisi di berbagai tempat dan juga kawan-kawan mahasiswa. Mari kita selesaikan persoalan bangsa ini dengan dialog. Jangan ada yang merasa paling benar, sehingga negeri ini selalu dilemahkan dan pihak asing yang mengincar kekayaan alam, saat kita sebagai bangsa sedang lemah dan kocar-kacir.
Jakarta, 26 Juni 2008
"Saya yang masih dirundung sedih" (tapi saya bisa menerima ini, sebagai sebuah resiko, jalan hidup saya, yang mungkin tak dimengerti banyak orang, bahkan saya sendiri pun tak mengerti)--aku cuma mau mengalir seperti air.
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu