Senin, Oktober 27, 2008

Nur Hidayat Calon Presiden



Siapa calon presiden 2009-2014? Jajak pendapat (Polling) yang dikelola blog ini, memilih Nur Hidayat sebagai calon Presiden mendatang.

Nur Hidayat dipilih 48 persen pengunduh, mengalahkan tiga kandidat lainnya. Ratna Sarumpaet satu-satunya perempuan yang berpotensi menjadi Calon Presiden, dipilih 17 persen, angka yang sama diperoleh calon muda bekas aktivis mahasiswa ITB, Fadjroel M. Rachman. Kivlan Zein, satu-satunya calon militer, hanya dipilih 15 persen pengeklik.

Kenapa hanya empat orang itu yang diusung sebagai kandidat? Alasan pertama, keempat orang ini punya modal semangat. Mereka tak mampu membuat iklan di televisi, tak memiliki partai sebagai “kendaraan” politik mereka. Tiga orang sipil yang menjadi calon merupakan “korban” orde baru.

Ratna Sarumpaet, sempat ditahan beberapa bulan menjelang kejatuhan Soeharto, karena menggerakkan masyarakat melawan diktator orde baru itu. Fadjroel Rachman ditahan tiga tahun, saat memprotes kehadiran Menteri Dalam Negeri Rudini di kampus ITB, Bandung. Saat itu Rudini menjaga kebijakan pertanahan rezim orde baru yang merugikan rakyat. Nur Hidayat divonis 19 tahun penjara, karena dituduh terlibat pemberontakan di Talangsari Lampung. Nur Hidayat diberi amnesti oleh pemerintahan Habibie setelah Soeharto tak lagi berkuasa.

Lalu kenapa ada Kivlan Zein? Memang Kivlan Zein punya sejarah negatif, menggerakan Pam Swakarsa melawan gerakan pro demokrasi, setelah Soeharto tumbang (1998). Namun, Kivlan dikhianati atasannya Wiranto dan ia berani melawan. Dibandingkan Wiranto dan Prabowo, Kivlan saat ini termasuk tentara yang berani “terbuka” dan mengakui kesalahan yang pernah diperbuat di masa lalu.

Siapa Nur Hidayat?

Dalam tulisan Al-Chaidar dalam buku Tragedi Lampug Berdarah, disebutkan Nur Hidayat Assegaf lahir di Kuningan Cirebon Jawa Barat tanggal 26 Maret 1959. Nur Hidayat yang dikenal sebagai pimpinan (amir musyafir) Front Komando Mujahidin (FKM) dalam peristiwa Talangsari ini. Dulu ia pernah bekerja pada kantor Bea dan Cukai di Pulau Karimun Jawa, Riau. Ia juga seorang karateka tingkat nasional. Ia berhenti kerja dan kembali ke Jakarta.

Selama menganggur ia sempat bergaul dengan para preman di sekitar Pasar Santa, Jakarta Selatan. Lalu bersama “preman” yang sadar mengkaji ke-Islam-a, lalu menguasai masjid Santa. Jamaah masjid itulah kemudian sepakat “hijrah” ke Lampung membentuk komunitas masyarakat yang lebih Islami. Pada tahun 1983 Nur Hidayat diangkat sebagai Panglima Selatan.

Pada saat membuat komunitas itulah, tahun 1989 Nur Hidayat dan kawan-kawan diganggu pihak aparat “keamanan” setempat. Lalu terjadi tindak kekerasan, dan berakhir dengan pembantaian warga Talangsari oleh tentara. Ada tentara yang menjadi korban, tetapi rakyat yang hanya bersenjata parang, dan panah dari jeruji sepeda, banyak yang tewas, bukan hanya laki-laki tetapi juga perempuan dan anak-anak.

Nur Hidayat divonis 19 tahun penjara dengan tuduhan subversif. ditahan di LP Cipinang, Jakarta, dan bebas mendapat amnesti (pengampunan) dari Presiden BJ Habibie pada 1998, setelah menjalani hukuman sembilan tahun lebih. Nur Hidayat, tidak seperti para teroris yang membunuh orang tak bersalah atau turis, yang ia lawan tentara dan kesewenang-wenangan penguasa. Pantas saja jika pengunjung blog ini memilihnya menjadi salah satu calon presiden. Selamat berjuang!

(AT/27 Oktober 2008)

Minggu, Oktober 26, 2008

Obat yang Meracuni

Adnan Buyung Nasution pernah menderita penyakit aneh. Tujuh dokter gagal mendiagnosisnya. Obat yang ditenggaklah penyebabnya.


Adnan Buyung Nasution tampak mahir melakukan gerakan yoga di lapangan rumput rumahnya di Pasar Jumat, Jakarta Selatan. Ketika ditemui Tempo, Rabu dua pekan lalu, dia terlihat lebih segar. Rambutnya, yang putih keperakan, dicukur pendek. Ketika itu, dia sedang bersiap-siap pergi ke Ujung Kulon selama tiga hari tiga malam bersama tujuh rekannya untuk bertualang--demikian katanya. “Abang mau refreshing dulu.”

Penampilannya itu sungguh jauh berbeda dibanding dua bulan lalu. Ketika itu, banyak yang mengira Buyung sudah tak bakal ada di tengah-tengah kita lagi. “Saya sempat berdoa waktu itu, ya Allah, kalau belum takdir, kembalikan kesehatanku. Tapi, kalau sudah takdir, ambillah, ikhlas aku, ambil dengan tenang, damai, tanpa rasa takut dan sakit,” katanya.

Penyakitnya itu datang tiba-tiba: gatal-gatal sekujur tubuh, dari ujung jari kaki sampai batok kepala, dan kulit terkelupas hingga belang-belang. “Belum pernah saya alami sebelumnya,” kata Buyung memperlihatkan bekas berupa bintik-bintik hitam yang masih tampak di tubuhnya.

Ketika itu, sudah berbagai dokter spesialis didatangi, seperti dokter khusus penyakit orang tua (geriatri) serta spesialis alergi dan kulit. Dari tujuh dokter, tidak ada satu pun yang bisa mengobatinya. “Diagnosis mereka, karena saya banyak pikiran. Bagaimana enggak berpikir? Banyak masalah harus dipecahkan, apalagi saya anggota Dewan Pertimbangan Presiden,” katanya.

Bahkan beberapa dokter menduga penyakit Buyung itu akibat “dibikin” orang alias kena santet. “Yang ini saya enggak percaya,” katanya. Buyung sempat dikira terkena virus yang menyerang daya tahan tubuh (HIV) dan penyakit kulit berbahaya yang mengenai saraf.

Belum sembuh dari serangan gatal, sebulan kemudian muncul serangan berikutnya: sakit perut dan buang-buang air besar. “Semalam bisa sepuluh kali. Pagi-pagi bangun tidur saya pingsan, lalu pingsan lagi saat di meja makan,” katanya.

Buyung dilarikan ke sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. Namun, seusai dia diobservasi, dokter tetap tidak bisa menemukan penyakitnya. ”Hanya dibilang peradangan perut. Sebabnya apa, dokternya juga tidak tahu,” ujarnya.

Berkat bantuan sejawatnya, Nono Anwar Makarim dan istri, Buyung disarankan ke dokter ahli kanker (onkologi) di Rumah Sakit Mount Elizabeth Singapura, Ang Peng Tiam. “Karena rekomendasi Nono, saya langsung diterima. Kalau orang lain, bisa menunggu satu-dua bulan,” katanya.

Dokter Ang, menurut Buyung, geleng-geleng kepala melihat kondisinya yang lemah tanpa tenaga sama sekali. Di sana, Buyung mendapat pemeriksaan menyeluruh selama dua minggu: darah, feses, dan air kencing. Tubuhnya dipindai. “Saya bersih, alhamdulillah. Tadinya dikira kanker. Karena peradangan di perut, ada dugaan tumor ganas,” ujarnya.

Apa kesimpulan Ang? Buyung keracunan obat. Pasiennya itu terlalu banyak mengkonsumsi obat. Maklum, dia bisa menenggak 15 butir tiap hari, pagi, siang, dan malam, untuk berbagai penyakitnya. Padahal bisa jadi ada obat yang bertentangan. Lama-kelamaan, semua itu menyebabkan Buyung pingsan dan tekanan darahnya rendah sekali, 80/40. Berat badannya turun 15 kilogram dalam sebulan. “Kalau orang lain, sudah ‘lewat’,” katanya.

Buyung tidak hanya punya jam terbang lama di ruang sidang, tapi juga untuk urusan mengkonsumsi obat. Maklum, dia sudah lama punya riwayat penyakit darah tinggi dan jantung. Pada 1990, dia menjalani operasi bypass jantung di Belanda. Waktu itu, dia sedang “dibuang” selama tujuh tahun oleh rezim Orde Baru. Hidup di negara orang, dia melarat. Sekolah pun tak kunjung selesai, gara-gara profesornya sakit. “Saya frustrasi, depresi berat, dan kena serangan jantung,” kisahnya.

Pada 2000, Buyung kembali kena serangan jantung, dan dibawa ke Australia untuk dipasangi stent--semacam silinder supermungil untuk membuka pembuluh darah jantung yang tersumbat. Nah, hitung saja, sudah berapa lama Buyung “bergaul” dengan obat-obatan tekanan darah tinggi dan jantung.

Sebelum seluruh tubuhnya dihajar gatal dan buang-buang air besar, obat-obatan yang dikonsumsi Buyung itu sebenarnya sudah menyampaikan pesan kepada tubuhnya. Dia awalnya terkena gatal “hanya” di kaki hingga paha, pada Februari 2007. Sejak saat itu, pasukan obatnya bertambah dengan obat alergi, antara lain Celestamin, Bestalin, Claritin, dan Medixon. Sedangkan obat jantung yang ditenggak di antaranya Plavix, Diovan, Lasix, dan Imdur. “Semua obat alergi disuruh stop oleh dokter, enggak boleh dipakai lagi. Hanya obat jantung yang masih boleh diminum,” katanya.

Apa yang menimpa Buyung mengingatkan kita pada hakikat obat itu sendiri. Ya, obat adalah racun. Ia bisa menyembuhkan, sekaligus meracuni. Tubuh pun bisa mengalami alergi atau bereaksi negatif--seperti gatal-gatal di sekujur tubuh yang menimpa Buyung--terhadap obat yang selama ini menyembuhkannya.

Menurut dokter spesialis alergi dan imunologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Iris Rengganis, reaksi tubuh seperti itu bisa akibat obat yang tidak cocok dengan kondisi badan atau bertentangan dengan jenis obat lain. Itu yang disebut reaksi anafilaktik, yaitu tubuh bereaksi terhadap obat sebagai benda asing yang masuk ke dalam tubuh. “Karena itu, harus segera diberikan suntikan adrenalin. Jika terlambat, bisa meninggal,” katanya.

Ada juga obat yang diberikan hanya sedikit tapi tubuh sensitif terhadapnya. Misalnya obat tuberkulosis. Tubuh yang sensitif terhadap obat itu langsung bereaksi. Penggunaannya dalam jangka lama akan berefek samping ke organ hati. Akibatnya, pasien akan tampak kuning. “Bisa merusak ginjal atau lever,” kata dokter spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Ari Fahrial Syam.

Obat yang dikonsumsi dalam dosis berlebih atau dalam jangka waktu lama juga bisa sangat berbahaya. Misalnya pemberian antibiotik. Lamanya penggunaan antibiotik juga bergantung pada penyakitnya. Biasanya dokter sudah menentukan dosis yang harus dihabiskan sesuai dengan aturan. Jika aturan dilanggar, kuman, virus, atau penyebab penyakit lainnya menjadi resisten terhadap antibiotik tersebut.

Setiap obat memang punya “karakter” sendiri. Reaksi pada tubuh yang berbeda ada kemungkinan juga berlainan. Apalagi untuk obat yang sudah dikonsumsi bertahun-tahun oleh penderita penyakit kronis, yang bisa berdampak negatif pada tubuh. Yang muncul bisa berupa gatal-gatal, bisul, dan lain-lain.

Kalau sudah demikian, menemukan penyebab asalnya tidak mudah. Itu terbukti dengan kasus Buyung. Tujuh dokter tak bisa menyimpulkan apa penyebab gatal di sekujur badannya itu.

Sejak dokter meminta Buyung menghentikan konsumsi obat-obat alergi, kondisinya membaik. Semua dugaan akan penyakit misterius, dan berbahaya, pupus sudah. Berat badannya bertambah. Kini bahkan dia berada pada kondisi ideal: berat 60 kilogram dengan tinggi 167 sentimeter. “Sudah bagus, ideal sekali. Kalau dulu, sampai 70 kilogram. Suka capek,” katanya.

Nah, untuk menjaga kebugarannya pada usia 74 tahun, Buyung lari seminggu tiga kali. Yoga, yang ditekuninya sejak 30 tahun lalu, tetap dijalankan. “Yang penting sekarang rehabilitasi,” katanya. Menurut Mauly Nasution, anaknya, dokter juga melarang Buyung mengkonsumsi durian, cokelat, daging kambing, dan wine. “Maklum, kondisi tubuh Ayah sudah tak sekuat dulu,” katanya.

Ahmad Taufik, Iqbal Muhtarom

Dimuat Majalah Tempo Edisi 27 Oktober-2 November 2008