Ketika ditemui TEMPO di ruang pemeriksaan Kejahatan Keras, Reserse Polda Metro Jaya, Achmad Tazul Arifin alias Sabar, 34 tahun sedang tertidur disofa warna hijau tua. Badannya yang kurus ditekuk menelungkup ke samping dengan tangan masih terborgol di samping dengkul. Ketika dibangunkan, Achmad Tazul Arifin, tergagap dan duduk di sofa. Di bawah meja warna cokelat tua, terdapat piring berisi bekas somay yang masih meninggalkan sisa beberapa potong somay, bekas makan Sabar.
Di dalam ruangan selebar tiga kali empat meter Tazul Arifin dijaga oleh satu orang petugas reserse berpakaian preman. Sedangkan dipintu masuk ruang Jatanras ada dua polisi dua polisi duduk seperti resepsionis. Seorang perwira polisi kemudian membangunkan Tazul. Perwira itu bertanya mengenai kasus peledakan BCA Hayam Wuruk, 15 April 1999 lalu. Apa benar kamu berada di lantai dua? kata perwira polisi itu. Tazul mengiyakan. Ada pertanyaan lain, apa yang kamu bawa waktu perampokan itu. Belati atau parang? Dijawab oleh Sabar, “belati.” TEMPO kemudian mengimbuhi pertanyaan, apa benar kamu yang disebut Piping, sekali lagi jebolan Akademi Management Indonesia angkatan 1985 itu mengiyakan.
Pertanyaan perwira polisi itu untuk men-cross cek pengakuan tersangka perampokan BCA yang sudah tertangkap. Di dalam BAP itu ada nama Rojak, Mustaqin dan Rajito yang sudah ditangkap polisi. Masih dalam BAP kasus pengeboman dan perampokan BCA itu disebutkan ada 25 tersangka yang ikut serta. Achmad Tazul Arifin disebut-sebut dalam BAP pada urutan ketiga dengan nama Piping. Piping berada di urutan nomor tiga setelah Amir (alias Umar, disebut sebagai pimpinan Kelompok Angkatan Mujahidin Islam Nusantara), dan Jaya. Di depan cetak nama Piping diberi tanda, dan oleh polisi dikatakan ini nama-nama yang diberi tanda polisi memberi tahu bahwa tanda itu untuk membedakan orang yang berbahaya.
Saat itulah kemudian TEMPO mewawancarai Achmad Tazul Arifin, pria yang berambut cepak keriting, berkulit sawo matang, dengan tinggi badan 160 cm yang mengaku sudah punya empat orang anak. Dalam wawancara itu tidak nampak wajah sedih atau menyesal dari Tazul. Ia malah nampak berusaha bercerita kronologis. Ia terkadang mencoba mengelak dari pertanyaan apa yang menjadi target dibalik usaha pembunuhan Matori Abdul Djalil itu. Berikut wawancara khusus dengan Achmad Tazul Arifin.
Tazul Arifin ditangkap pada hari Kamis 9 April pukul 23.00 WIB. Setelah sebelumnya jajaran Reserse Mobil pimpinan Kapten Syafii pagi hari subuh sudah menggeledah rumah BTN di Total Persada Raya, Blok I.2 nomor 12, Keluruhan Doyong, Jatiuwung, Tangerang. Tetapi pada saat penggerebekan itu Tazul tidak berada di tempat. Baru malam harinya, ketika Tazul pulang dengan sepeda motor bebek, polisi meringkusnya.
Polisi mengatakan Anda termasuk kelompok AMIN yang ikut merambok dan mengebom BCA Hayam Wuruk?
Benar. Tetapi kelompok AMIN sendiri sudah bubar setelah perampokan BCA itu.
Mengapa sampai bisa bubar?
Anggota Amien yang berjumlah 40 orang tersebar kemana-mana. Saya sendiri sempat kabur ke Jawa, ke Semarang. Tiga bulan kemudian saya balik lagi ke Jakarta dan menemui Assadulah tempat saya mengaji.
Bagaimana sebenarnya Anda bisa bergabung dengan kelompok AMIN itu?
Assadulah ada ketika kelompok AMIN juga ada. Assadulah ini kelompok pengajian, saya ikut mengaji. Di pengajian itu ada Muh. Ichwan alias Muh. Sholeh alias Zulfikar dan Assadul alias Ahmad Riadi. Masuk pengajian itu saya dibaitkan dengan motto mendengar dan taat.
Anda sudah merasa akan masuk kelompok pengajian tertentu yang menyimpang dari pengajian umum?
Pada awalnya pengajian-pengajian biasa, pengajian Al Qur’an. Memang kemudian kok menjadi radikal, radikal membela Islam. Assadulah sering berbicara agar semua peraturan harus peraturan Islam.
Maksudnya ingin memperjuangkan berdirinya Negara Islam Indonesia, seperti ramai dikabarkan, atau punya induk organisasi lain?
Bukan. Kalau perjuangan membuat negara itu terlalu jauh. Kami berusaha memasyarakatkan Islam dikalangan kami sendiri saja.
Berapa anggota pengajian ini?
Anggota Assadulah itu saya tidak tahu jumlahnya. Karena saya hanya mengaji kepada Assadulah. Di samping Assadulah ada Zulfikar itu. Pimpinan itu yang mungkin tahu siapa-siapa saja muridnya.
Anda sudah kenal dengan Assadulah dan Zulfikar?
Assadulah alias Ahmad Riadi itu saya kenal sebagai pegawai Departemen Sosial Pusat. Zulfikar kenal dengan saya setelah saya kembali dari Semarang. Ketika saya tanyakan perkembangan keadaan dan bagaimana yang saya harus lakukan, Assaulah mengatakan agar saya mengikuti Zulfikar. Saya ikut dengan Zulfikar.
Bagaimana hubungan Kelompok AMIN dan Assadulah itu?
Dari pengajian itu, kemudian saya diperintahkan oleh Assadulah untuk ikut AMIN. Mereka sepertinya sudah punya link. Saya diperintahkan oleh Assadulah, saya nurut masuk kelompok AMIN.
Anda masuk kelompok AMIN yang latihan militer di Maseng, Caringin, Bogor?
Iya. Sekitar satu bulan sebelum perampokan BCA 15 April 1999 itu.
Dikelompok AMIN kabarnya Anda menjadi pelatih lempar sangkur, dan panjat tali karena Anda bekas anggota Menwa ketika mahasiswa?
Semua anggota AMIN ikut latihan melempar belati. Saya pernah ikut pencinta Alam Kampala dan Menwa juga. Saya bisa panjat tambang montenering. Saya bawahan dikelompok AMIN. Danru (Komandan Regu) saya Rojak. Katanya ada empat Danru yang lain, salah satunya yang saya masih ingat Danru Jais. Danru-Danru ini dibawah Komandan Amir alias Umar.
Kelompok Amir itu yang kemudian merampok Bank BCA. Anda sendiri dapat berapa uang?
Saya tidak dapat apa-apa. Setelah perampokan saya langsung ke Jawa, AMIN bubar.
Anda pernah ketemu anggota AMIN yang lain?
Tidak pernah.
Bagaimana dipengajian kok bisa ada senjata?
Saya juga tidak tahu senjata itu berasal dari mana. Kalau pimpinannya pasti tahu.
Lalu siapa yang memerintahkan membunuh Matori Abdul Djalil?
Setelah saya ikut dengan Zulfikar, saya disuruh nunggu. Saya sendiri punya usaha dagang makanan kecil di Cibitung. Sampai pada hari Kamis 2 April lalu, sekitar pukul 15.00 WIB saya diundang ke rumah Zulfikar. Saya diundang di rumahnya Zulfikar di Gang Buaya I, Tanah Abang. Nomor rumahnya saya lupa. Di sana sudah ada Assabulah, Zulfikar, dan Sarmo.
Apa yang dibicarakan di rumah Zulfikar itu?
Zulfikar bilang ini kamu ‘kan bisa naik motor bantuan Sarmo untuk menghabisi orang PKI yang menyusup ke kelompok Islam. Ini STNK-nya, kunci motor, dan uang untuk bensin Rp 400 ribu.
Anda tidak tanya, siapa orang PKI yang disusupkan ke kelompok Islam itu?
Tidak.
Kapan Anda survey ke rumah Matori?
Seharusnya hari Jum’at sudah survey. Sarmo minta hari Jum’at untuk survey, tetapi saya bilang saya tidak bisa, saya masih ada pekerjaan. Akhirnya disepakati hari Sabtu pukul 10.00 WIB di depan Rumah Sakit Pondok Indah. Pada waktu itu diserahkan senjata dan dua pager. Pada saat survey ke rumah di Tandjung Mas itu Sarmo memberitahu bahwa yang dituju Matori. Sarmo sendiri sepertinya sudah hapal jalan-jalannya, mungkin dia sudah survey terlebih dahulu.
Mengapa setelah tahu Matori Abdul Djalil yang jadi sasaran Anda tidak berusaha mencegah?
Saya harus patuh. Apalagi Sarmo bersemangat sekali. Saya terpengaruh dia. Saya juga tidak enak, saya sudah diserahi motor, sudah dikasih uang. Di dalam hati kecil saya, bicara mudah-mudahan tidak jadi-tidak jadi.
Benarkah targetnya membunuh? Lantas mengapa tidak menggunakan pistol saja?
Targetnya memang membunuh. Kalau masalah golok, itu atas permintaan Sarmo sendiri. Pada rapat hari Kamis itu, Sarmo usul untuk pake golok saja. Alasannya biar enggak bunyi. Rapat setuju.
Mengapa Matori Abdul Djalil harus dibunuh?
Katanya orang PKI. Saya tidak tahu. Mungkin kalau Zulfikar tertangkap dia pasti tahu. Kalau saya pelaksana saja, saya patuh.
Bagaimana Anda ketemu pada hari minggu untuk merencanakan membunuh Matori?
Saya ketemu Sarmo di pos, dekat Rumah Sakit Pondok Indah, sekitar jam 06.00 WIB. Sarmo mengenakan kaos dan celana training seperti orang habis lari-lari. Dari sana saya berboncengan ke Tandjung Mas. Setelah melewati 20 meter di samping rumah Matori, Sarmo bilang sudah kami di sini saja. Tunggu di sini, siapin pistolnya, kalau ada orang mengejar, kata Sarmo sambil menepuk paha saya yang masih duduk di motor. (tangan Sarmo yang diborgol menirukan tangan Sarmo yang menepuk-nepuk). Sarmo berjalan berbalik arah ke rumah Matori. Saya sendiri tidak tahu bagaimana kejadiannya, saya siap di motor.
Tiba-tiba Sarmo sudah dibelakang motor dan diteriakin rampok-rampok. Saya sendiri tidak sempat lagi mengambil senjata. Saya pegang stang motor, motor jalan. Massa terus mengejar, Sarmo panik minta di mana pistol-di mana pistol. Pada saat Sarmo menarik tas itu motor terjatuh. Pada akhirnya saya lari-lari. Saat itu tas dan pistol sudah ditangan Sarmo.
Pada saat lari-lari masuk jalan desa, ada tukang ojek. Tukang ojek itu kemudian kami paksa mengantar ke depan jalan. Kemudian saya dan Sarmo ada angkotan kota, saya berdua naik angkot. Tetapi kemudian massa mengejar, kami turun dari angkot. Turun dari angkot Sarmo mengacung-acungkan pistol dan menembak ke atas. Massa kelihatan marah mengejar Sarmo yang membawa senjata. Pada waktu itu massa tidak ada yang memperhatikan saya, saya lari tanpa dikejar.
Kemana Anda lari setelah itu?
Saya lari, terus, lalu ada jalan kecil saya masuk. Kemudian ada angkot saya naik. Dari angkot itu saya turun.
Di mana itu?
Lupa. Lalu saya naik taksi menuju rumah Abdul Azis di Kedoya.
Siapa Abdul Azis itu?
Abdul Azis salah satu anggota Assubulah yang saya kenal. Dari rumah Abdul Azis saya ceritakan kejadian itu. Abdul Aziz kemudian menelpon Zulfikar. Kemudian saya diajak oleh Abdul Aziz naik motor ke Masjid Ataqwa di Kemanggisan, di sana ternyata saya bertemu dengan Zulfikar. Kepada Zulfikar saya ceritakan kejadian-kejadian, bahwa motor tertinggal, Sarmo dikejar-kejar massa. Dari Zulfikar itu saya diberitahu bahwa Sarmo mungkin mati dikeroyok massa. Kemudian kami pulang dan istirahat di rumah Abdul Aziz.
Kabarnya celana yang ada noda darah ditemukan di Kedoya dan baju Anda ditemukan di Cengkareng?
Celana ditempat Abdul Aziz. Baju memang disimpan di rumah saudara saya di Cengkareng.
Apakah Anda tidak melarikan diri ke luar kota misalnya?
Besok harinya dari rumah Abdul Aziz, Abdul Aziz menelpon Assadulah. Kemudian saya berboncengan motor dengan Abdul Aziz ke Senen. Tempatnya di bawah toko buku walisongi, Gunung Agung, saya ketemu Assabulah. Dari Assabulah itu saya tahu bahwa Sarmo sudah mati. Assabulah kemudian memberi lagi uang kepada saya, katanya ini untuk lari, uangnya sebesar Rp 400 ribu. Pada waktu itu saya bilang, tidak usah memberi saya uang. Karena saya patuh kepada Assabulah. Jadi saya tidak enak menerima uang itu. Tetapi diminta untuk diterima, katanya untuk lari.
Mengapa kemudian Anda tidak lari seperti yang disarankan Assabulah?
Dari Senen itu kami berpencar. Saya masih sempat membonceng Abdulah Aziz, kemudian saya berpisah. Perasaan saya mulai tidak enak. Dalam hati saya lebih baik saya bertanggungjawab saja. Itu yang membuat saya tidak lari ke luar kota.
Bagaimana ceritanya Anda sampai ditangkap polisi?
Saya ditangkap polisi ketika pulang ke rumah naik sepeda motor. Saya habis jalan-jalan, lihat-lihat. Saya ditangkap polisi.
Bagaimana Ada senjata-senjata api di rumah Anda?
Senjata-senjata api itu tidak tahu asalnya dari mana. Tetapi saya diberi oleh Zulfikar, katanya di suruh merakit pistol. Kebetulan ada teman dari teknik yang bisa merakit. Jadi rencananya mau dirakitkan. Psitol itu ‘kan belum jadi.
Anda gunakan untuk apa uang yang dari Assabulah?
Uang itu belum saya gunakan. Uang itu ‘kan disita polisi. Jadi tidak benar kalau polisi bilang uangnya hanya Rp 130 ribu. Uangnya masih ada Rp 300 ribu lebih. Karena saya baru pake uang itu sekitar Rp 50 ribu.
(Pewawancara Edy Budiyarso untuk TEMPO)
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu