Sabtu, April 26, 2008

Pengakuan Pembunuh Matori A.Djalil

Ketika ditemui TEMPO di ruang pemeriksaan Kejahatan Keras, Reserse Polda Metro Jaya, Achmad Tazul Arifin alias Sabar, 34 tahun sedang tertidur disofa warna hijau tua. Badannya yang kurus ditekuk menelungkup ke samping dengan tangan masih terborgol di samping dengkul. Ketika dibangunkan, Achmad Tazul Arifin, tergagap dan duduk di sofa. Di bawah meja warna cokelat tua, terdapat piring berisi bekas somay yang masih meninggalkan sisa beberapa potong somay, bekas makan Sabar.

Di dalam ruangan selebar tiga kali empat meter Tazul Arifin dijaga oleh satu orang petugas reserse berpakaian preman. Sedangkan dipintu masuk ruang Jatanras ada dua polisi dua polisi duduk seperti resepsionis. Seorang perwira polisi kemudian membangunkan Tazul. Perwira itu bertanya mengenai kasus peledakan BCA Hayam Wuruk, 15 April 1999 lalu. Apa benar kamu berada di lantai dua? kata perwira polisi itu. Tazul mengiyakan. Ada pertanyaan lain, apa yang kamu bawa waktu perampokan itu. Belati atau parang? Dijawab oleh Sabar, “belati.” TEMPO kemudian mengimbuhi pertanyaan, apa benar kamu yang disebut Piping, sekali lagi jebolan Akademi Management Indonesia angkatan 1985 itu mengiyakan.

Pertanyaan perwira polisi itu untuk men-cross cek pengakuan tersangka perampokan BCA yang sudah tertangkap. Di dalam BAP itu ada nama Rojak, Mustaqin dan Rajito yang sudah ditangkap polisi. Masih dalam BAP kasus pengeboman dan perampokan BCA itu disebutkan ada 25 tersangka yang ikut serta. Achmad Tazul Arifin disebut-sebut dalam BAP pada urutan ketiga dengan nama Piping. Piping berada di urutan nomor tiga setelah Amir (alias Umar, disebut sebagai pimpinan Kelompok Angkatan Mujahidin Islam Nusantara), dan Jaya. Di depan cetak nama Piping diberi tanda, dan oleh polisi dikatakan ini nama-nama yang diberi tanda polisi memberi tahu bahwa tanda itu untuk membedakan orang yang berbahaya.

Saat itulah kemudian TEMPO mewawancarai Achmad Tazul Arifin, pria yang berambut cepak keriting, berkulit sawo matang, dengan tinggi badan 160 cm yang mengaku sudah punya empat orang anak. Dalam wawancara itu tidak nampak wajah sedih atau menyesal dari Tazul. Ia malah nampak berusaha bercerita kronologis. Ia terkadang mencoba mengelak dari pertanyaan apa yang menjadi target dibalik usaha pembunuhan Matori Abdul Djalil itu. Berikut wawancara khusus dengan Achmad Tazul Arifin.

Tazul Arifin ditangkap pada hari Kamis 9 April pukul 23.00 WIB. Setelah sebelumnya jajaran Reserse Mobil pimpinan Kapten Syafii pagi hari subuh sudah menggeledah rumah BTN di Total Persada Raya, Blok I.2 nomor 12, Keluruhan Doyong, Jatiuwung, Tangerang. Tetapi pada saat penggerebekan itu Tazul tidak berada di tempat. Baru malam harinya, ketika Tazul pulang dengan sepeda motor bebek, polisi meringkusnya.


Polisi mengatakan Anda termasuk kelompok AMIN yang ikut merambok dan mengebom BCA Hayam Wuruk?

Benar. Tetapi kelompok AMIN sendiri sudah bubar setelah perampokan BCA itu.

Mengapa sampai bisa bubar?

Anggota Amien yang berjumlah 40 orang tersebar kemana-mana. Saya sendiri sempat kabur ke Jawa, ke Semarang. Tiga bulan kemudian saya balik lagi ke Jakarta dan menemui Assadulah tempat saya mengaji.

Bagaimana sebenarnya Anda bisa bergabung dengan kelompok AMIN itu?

Assadulah ada ketika kelompok AMIN juga ada. Assadulah ini kelompok pengajian, saya ikut mengaji. Di pengajian itu ada Muh. Ichwan alias Muh. Sholeh alias Zulfikar dan Assadul alias Ahmad Riadi. Masuk pengajian itu saya dibaitkan dengan motto mendengar dan taat.

Anda sudah merasa akan masuk kelompok pengajian tertentu yang menyimpang dari pengajian umum?

Pada awalnya pengajian-pengajian biasa, pengajian Al Qur’an. Memang kemudian kok menjadi radikal, radikal membela Islam. Assadulah sering berbicara agar semua peraturan harus peraturan Islam.

Maksudnya ingin memperjuangkan berdirinya Negara Islam Indonesia, seperti ramai dikabarkan, atau punya induk organisasi lain?

Bukan. Kalau perjuangan membuat negara itu terlalu jauh. Kami berusaha memasyarakatkan Islam dikalangan kami sendiri saja.

Berapa anggota pengajian ini?


Anggota Assadulah itu saya tidak tahu jumlahnya. Karena saya hanya mengaji kepada Assadulah. Di samping Assadulah ada Zulfikar itu. Pimpinan itu yang mungkin tahu siapa-siapa saja muridnya.

Anda sudah kenal dengan Assadulah dan Zulfikar?

Assadulah alias Ahmad Riadi itu saya kenal sebagai pegawai Departemen Sosial Pusat. Zulfikar kenal dengan saya setelah saya kembali dari Semarang. Ketika saya tanyakan perkembangan keadaan dan bagaimana yang saya harus lakukan, Assaulah mengatakan agar saya mengikuti Zulfikar. Saya ikut dengan Zulfikar.

Bagaimana hubungan Kelompok AMIN dan Assadulah itu?

Dari pengajian itu, kemudian saya diperintahkan oleh Assadulah untuk ikut AMIN. Mereka sepertinya sudah punya link. Saya diperintahkan oleh Assadulah, saya nurut masuk kelompok AMIN.

Anda masuk kelompok AMIN yang latihan militer di Maseng, Caringin, Bogor?

Iya. Sekitar satu bulan sebelum perampokan BCA 15 April 1999 itu.

Dikelompok AMIN kabarnya Anda menjadi pelatih lempar sangkur, dan panjat tali karena Anda bekas anggota Menwa ketika mahasiswa?

Semua anggota AMIN ikut latihan melempar belati. Saya pernah ikut pencinta Alam Kampala dan Menwa juga. Saya bisa panjat tambang montenering. Saya bawahan dikelompok AMIN. Danru (Komandan Regu) saya Rojak. Katanya ada empat Danru yang lain, salah satunya yang saya masih ingat Danru Jais. Danru-Danru ini dibawah Komandan Amir alias Umar.

Kelompok Amir itu yang kemudian merampok Bank BCA. Anda sendiri dapat berapa uang?


Saya tidak dapat apa-apa. Setelah perampokan saya langsung ke Jawa, AMIN bubar.

Anda pernah ketemu anggota AMIN yang lain?

Tidak pernah.

Bagaimana dipengajian kok bisa ada senjata?

Saya juga tidak tahu senjata itu berasal dari mana. Kalau pimpinannya pasti tahu.

Lalu siapa yang memerintahkan membunuh Matori Abdul Djalil?


Setelah saya ikut dengan Zulfikar, saya disuruh nunggu. Saya sendiri punya usaha dagang makanan kecil di Cibitung. Sampai pada hari Kamis 2 April lalu, sekitar pukul 15.00 WIB saya diundang ke rumah Zulfikar. Saya diundang di rumahnya Zulfikar di Gang Buaya I, Tanah Abang. Nomor rumahnya saya lupa. Di sana sudah ada Assabulah, Zulfikar, dan Sarmo.

Apa yang dibicarakan di rumah Zulfikar itu?

Zulfikar bilang ini kamu ‘kan bisa naik motor bantuan Sarmo untuk menghabisi orang PKI yang menyusup ke kelompok Islam. Ini STNK-nya, kunci motor, dan uang untuk bensin Rp 400 ribu.

Anda tidak tanya, siapa orang PKI yang disusupkan ke kelompok Islam itu?

Tidak.

Kapan Anda survey ke rumah Matori?

Seharusnya hari Jum’at sudah survey. Sarmo minta hari Jum’at untuk survey, tetapi saya bilang saya tidak bisa, saya masih ada pekerjaan. Akhirnya disepakati hari Sabtu pukul 10.00 WIB di depan Rumah Sakit Pondok Indah. Pada waktu itu diserahkan senjata dan dua pager. Pada saat survey ke rumah di Tandjung Mas itu Sarmo memberitahu bahwa yang dituju Matori. Sarmo sendiri sepertinya sudah hapal jalan-jalannya, mungkin dia sudah survey terlebih dahulu.

Mengapa setelah tahu Matori Abdul Djalil yang jadi sasaran Anda tidak berusaha mencegah?

Saya harus patuh. Apalagi Sarmo bersemangat sekali. Saya terpengaruh dia. Saya juga tidak enak, saya sudah diserahi motor, sudah dikasih uang. Di dalam hati kecil saya, bicara mudah-mudahan tidak jadi-tidak jadi.

Benarkah targetnya membunuh? Lantas mengapa tidak menggunakan pistol saja?

Targetnya memang membunuh. Kalau masalah golok, itu atas permintaan Sarmo sendiri. Pada rapat hari Kamis itu, Sarmo usul untuk pake golok saja. Alasannya biar enggak bunyi. Rapat setuju.

Mengapa Matori Abdul Djalil harus dibunuh?

Katanya orang PKI. Saya tidak tahu. Mungkin kalau Zulfikar tertangkap dia pasti tahu. Kalau saya pelaksana saja, saya patuh.

Bagaimana Anda ketemu pada hari minggu untuk merencanakan membunuh Matori?

Saya ketemu Sarmo di pos, dekat Rumah Sakit Pondok Indah, sekitar jam 06.00 WIB. Sarmo mengenakan kaos dan celana training seperti orang habis lari-lari. Dari sana saya berboncengan ke Tandjung Mas. Setelah melewati 20 meter di samping rumah Matori, Sarmo bilang sudah kami di sini saja. Tunggu di sini, siapin pistolnya, kalau ada orang mengejar, kata Sarmo sambil menepuk paha saya yang masih duduk di motor. (tangan Sarmo yang diborgol menirukan tangan Sarmo yang menepuk-nepuk). Sarmo berjalan berbalik arah ke rumah Matori. Saya sendiri tidak tahu bagaimana kejadiannya, saya siap di motor.

Tiba-tiba Sarmo sudah dibelakang motor dan diteriakin rampok-rampok. Saya sendiri tidak sempat lagi mengambil senjata. Saya pegang stang motor, motor jalan. Massa terus mengejar, Sarmo panik minta di mana pistol-di mana pistol. Pada saat Sarmo menarik tas itu motor terjatuh. Pada akhirnya saya lari-lari. Saat itu tas dan pistol sudah ditangan Sarmo.

Pada saat lari-lari masuk jalan desa, ada tukang ojek. Tukang ojek itu kemudian kami paksa mengantar ke depan jalan. Kemudian saya dan Sarmo ada angkotan kota, saya berdua naik angkot. Tetapi kemudian massa mengejar, kami turun dari angkot. Turun dari angkot Sarmo mengacung-acungkan pistol dan menembak ke atas. Massa kelihatan marah mengejar Sarmo yang membawa senjata. Pada waktu itu massa tidak ada yang memperhatikan saya, saya lari tanpa dikejar.

Kemana Anda lari setelah itu?

Saya lari, terus, lalu ada jalan kecil saya masuk. Kemudian ada angkot saya naik. Dari angkot itu saya turun.

Di mana itu?

Lupa. Lalu saya naik taksi menuju rumah Abdul Azis di Kedoya.

Siapa Abdul Azis itu?

Abdul Azis salah satu anggota Assubulah yang saya kenal. Dari rumah Abdul Azis saya ceritakan kejadian itu. Abdul Aziz kemudian menelpon Zulfikar. Kemudian saya diajak oleh Abdul Aziz naik motor ke Masjid Ataqwa di Kemanggisan, di sana ternyata saya bertemu dengan Zulfikar. Kepada Zulfikar saya ceritakan kejadian-kejadian, bahwa motor tertinggal, Sarmo dikejar-kejar massa. Dari Zulfikar itu saya diberitahu bahwa Sarmo mungkin mati dikeroyok massa. Kemudian kami pulang dan istirahat di rumah Abdul Aziz.

Kabarnya celana yang ada noda darah ditemukan di Kedoya dan baju Anda ditemukan di Cengkareng?

Celana ditempat Abdul Aziz. Baju memang disimpan di rumah saudara saya di Cengkareng.

Apakah Anda tidak melarikan diri ke luar kota misalnya?

Besok harinya dari rumah Abdul Aziz, Abdul Aziz menelpon Assadulah. Kemudian saya berboncengan motor dengan Abdul Aziz ke Senen. Tempatnya di bawah toko buku walisongi, Gunung Agung, saya ketemu Assabulah. Dari Assabulah itu saya tahu bahwa Sarmo sudah mati. Assabulah kemudian memberi lagi uang kepada saya, katanya ini untuk lari, uangnya sebesar Rp 400 ribu. Pada waktu itu saya bilang, tidak usah memberi saya uang. Karena saya patuh kepada Assabulah. Jadi saya tidak enak menerima uang itu. Tetapi diminta untuk diterima, katanya untuk lari.

Mengapa kemudian Anda tidak lari seperti yang disarankan Assabulah?

Dari Senen itu kami berpencar. Saya masih sempat membonceng Abdulah Aziz, kemudian saya berpisah. Perasaan saya mulai tidak enak. Dalam hati saya lebih baik saya bertanggungjawab saja. Itu yang membuat saya tidak lari ke luar kota.

Bagaimana ceritanya Anda sampai ditangkap polisi?

Saya ditangkap polisi ketika pulang ke rumah naik sepeda motor. Saya habis jalan-jalan, lihat-lihat. Saya ditangkap polisi.

Bagaimana Ada senjata-senjata api di rumah Anda?

Senjata-senjata api itu tidak tahu asalnya dari mana. Tetapi saya diberi oleh Zulfikar, katanya di suruh merakit pistol. Kebetulan ada teman dari teknik yang bisa merakit. Jadi rencananya mau dirakitkan. Psitol itu ‘kan belum jadi.

Anda gunakan untuk apa uang yang dari Assabulah?

Uang itu belum saya gunakan. Uang itu ‘kan disita polisi. Jadi tidak benar kalau polisi bilang uangnya hanya Rp 130 ribu. Uangnya masih ada Rp 300 ribu lebih. Karena saya baru pake uang itu sekitar Rp 50 ribu.

(Pewawancara Edy Budiyarso untuk TEMPO)

Laporan Hak Asasi Manusia 1998

Pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia masih terus terjadi. Bahkan sepanjang tahun 1998 merupakan puncak dari pelanggaran hak asasi manusia yang berakhir dengan ‘dipaksaturunnya’ penguasa tunggal sang penentu pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, Soeharto.

Soeharto, meletakkan jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia, pada 21 Mei 199, setelah berkuasa selama 32 tahun lebih. Turunnya Soeharto tentu saja tidak berjalan mulus, setelah ditandai dengan tertembaknya 4 orang mahasiswa Universitas Trisakti, dan ratusan orang luka-luka akibat kekejaman aparat keamanan terhadap unjuk rasa mahasiswa pada 12 Mei.

Peristiwa itu memicu kemarahan masyarakat, yang dimanfaatkan oleh kekuatan preman untuk membuat kerusuhan pada 13-14 Mei, yang memakan korban ratusan warga keturunan Cina dibunuh dan diperkosa, serta ribuan rakyat terpanggang api, di tengah reruntuhan dan puing-puing bangunan megah di ibukota Jakarta.

Untuk mencegah kerusuhan yang lebih luas dan keadaan yang tidak menentu, ribuan mahasiswa berduyun-duyun datang ke gedung MPR/DPR dan menguasai gedung itu sejak 16 Mei, sampai akhirnya Soeharto, mengalihkan jabatannya tanpa pertanggungan jawab lebih dahulu kepada Wakil Presiden Bachruddin Jusuf Habibie.

Walaupun Soeharto sudah tak berkuasa lagi, pelanggaran hak asasi manusia masih terus berjalan. Pemerintahan BJ Habibie dengan perangkat kekuasaannya, baik institusi birokrasi sipil, maupun mesin perang militer terus melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Yang paling menonjol adalah terjadinya konflik horizontal antar masyarakat.
Konflik itu berhasil dibangun pemerintahan sesudah Soeharto turun dengan cara merekayasa kelompok masyarakat lain melawan kelompok masyarakat lainnya. Ini dapat dilihat dengan adanya PAM Swakarsa untuk melawan mahasiswa saat unjuk rasa menentang Sidang Istimewa MPR. Kemudian dibentuknya lembaga, ekstrayudisial lain, DPKSH dan rencana merekrut rakyat dengan pasukan baru, rakyat terlatih.

Tahanan dan Narapidana Politik

Pembebasan tahanan politik (Tapol) dan narapidana politik (Napol) merupakan langkah politik yang seharusnya dilakukan pemerintahan Bachruddin Jusuf Habibie sebagai upaya melakukan rekonsiliasi nasional. Hal ini untuk membedakan pemerintahan yang lalu, rezim orde baru di bawah Jenderal (purnawriawan) Soeharto, dengan pemerintahan yang baru orde reformasi. Tapi, ternyata hal itu tak dilakukan Habibie dengan tuntas. Masih adanya kekhawatiran terhadap bahaya tapol/napol korban politik orde baru yang dilepas, menunjukkan pejabat pemerintah masih terjebak dalam proses pembodohan yang dilakukan pemerintah orde baru selama 32 tahun.

Menurut Koordinator Aksi Pembebasan Tapol/Napol, Gustaf Dupe, pemerintah Habibie seharusnya membebaskan semua tapol/napol yang menjadi korban politik pemerintahan orba. Kalau pemerintah BJ Habibie ingin melakukan reformasi dan rekonsiliasi nasional. ‘’Ini langkah hakiki politik ke depan kalau mau rekonsiliasi. Tanpa pembebasan itu, rekonsiliasi hanya omong kosong,’’katanya.(Kompas, 8 Januari 1999). Dupe mempertanyakan, cara pemerintah yang masih setengah hati membebaskan tapol/napol yang menjadi korban politik orba itu, sedangkan Soeharto sebagai Presiden yang gemar memenjarakan orang yang tidak disukainya dan berbeda pandangan politik sudah turun dari jabatannya.

Padahal setelah Soeharto tumbang dan Presiden baru BJ Habibie membebaskan beberapa tahanan dan narapidana politik empat hari setelah ia berkuasa, timbul sebersit harapan. ‘’Tak perlu takut lagi mengkritik pemerintah, karena tak akan lagi dipenjarakan bagi mereka yang bersuara keras. Sedangkan yang sudah terlanjur dipenjara dan ditahan sudah mulai ada yang dilepaskan. Apalagi dengan, kata-kata manis dari Menteri Kehakiman Muladi,‘’ mereka akan diberi amnesti (ampunan).’’ Namun kata-kata Muladi itu tidak hanya berhenti sampai disitu, ada kata-kata yang menandakan pemereintahan BJ Habibie masih kepanjangan tangan dari rezim yang lama, rezim Soeharto yang menindas. Kata-kata itu hanya sedikit, ‘’tapi harus selektif,’’ujar Menteri Kehakiman. Namun berimplikasi jauh dan menyakitkan.

Orang yang masuk dalam pemberian pengampunan versi Muladi, terutama orang yang mengkritik pemerintah, lalu dihukum dengan pasal-pasal penyebar kebencian atau hatzaai artikelen. ‘’ Nah, pasal-pasal hatzaai artikelen, yang terdapat pada pasal 154-156 KUHP, itu, warisan kolonial. Undang-undang itu termasuk UU anti subversi sudah sejak lama saya berfikir, tidak layak lagi diterapkan di Indonesia,’’katanya.

Sebagai langkah awal pemerintah membebaskan Sri Bintang Pamungkas (Ketua PUDI) dan Muchtar Pakpahan (Ketua SBSI), Selasa dinihari pekan lalu. Lalu paket berikutnya, 5 orang lagi, antara lain Nuku Sulaiman (pembuat stiker Soeharto Dalang Segala Bencana -SDSB) dan Andi Syahputra (pencetak Majalah Suara Independen). Tuntutan dan unjuk rasa agar seluruh tapol dan napol dibebaskan semakin meruyak. Malah dua hari sebelum Bintang dan Pakpahan bebas, di Penjara Cipinang, Jakarta Timur diadakan selamatan atas kemenangan reformasi.

Ratusan orang hadir, termasuk jurnalis cetak, elektronik dalam dan luar negeri. Mulai dari berambut pirang, bermata sipit sampai orang-orang berkulit hitam. Memang tampak yang hadir sangat beragam. Mungkin itulah awal reformasi menuju demokrasi. Para sipir juga tak memasang tampang angker seperti biasanya, saat Suharto masih berkuasa. ‘’It’s Amazing,’’kata Timothy Ryan, Ketua Perwakilan Serikat Buruh Amerika Serikat untuk Indonesia.

Para napol juga diberi kesempatan mengungkapkan pikirannya yang selama ini terkekang lewat sel-sel besi dan hanya menggumpal dalam benak. Tapi ada satu kesamaan tuntutan ‘’Bebaskan seluruh tapol dan napol, tanpa kecuali.’’

Selain tujuh orang yang sudah dibebaskan masih ada 179 orang yang ditahan di 25 penjara di seantero nusantara. Selain itu masih ada 8 orang yang ditahan di rumah tahanan militer dan 200 orang lebih yang ditahan dan belum diadili, antara lain menyangkut kasus tanah Belangguan, Jawa Timur, kasus Aceh Merdeka, Timor Timur, dan Irian Jaya. Diantara para narapidana politik itu, 13 orang yang terkait dalam G30S/PKI, 17 orang kasus Lampung. Dua diantaranya perempuan, Nurhayati kasus Aceh Merdeka dan Dita Indah Sari Ketua Umum PPBI (kasus buruh) di penjara perempuan Tanggerang.

G30S/PKI Nanti Dulu

Kebebasan tapol dan napol ini tampaknya masih menjadi kosmetik politik pemerintah Habibie. Ini terbuktinya dari seleksi orang-orang yang dibebaskan. Bintang dan Pakpahan adalah tokoh yang menjadi sorotan internasional, dan dengan harapan pembebasan tapol dan napol ini pemerintah punya bargain yang kuat dengan para kreditor asing, diantaranya, International Monetary Fund (IMF).

Kebebasan tapol dan napol ini berawal dengan dipanggilnya Muladi oleh Presiden B.J. Habibie, Jum’at pekan lalu. Pada pertemuan itu hadir pula beberapa petinggi militer. Hasilnya, ada tiga kreteria para tapol dan napol segera dibebaskan. ‘’Tidak terlibat dalam Gerakan 30 September, bukan gerakan yang berniat mengganti ideologi negara dengan marxisme dan leninisme, serta yang di dalam gerakan politiknya menggunakan cara-cara kekerasan,’’kata Muladi.

Kenapa G30 S/PKI tidak bisa dibebaskan? ‘’Kegiatan 30 September 1965 itu betul-betul suatu kejahatan keamanan nasional,’’ujar Muladi memberi alasan.
Selain G30S/PKI, yang tak akan dibebaskan menurut sumber itu kasus PRD dan Xanana Gusmao. Kenapa? ‘’Itu masalah lain, yang akan kita pertimbangkan. Tapi prinsipnya saya setuju untuk meninjau kembali terpidana politik atau mereka yang tersangkut dengan kasus-kasus politik,’’ujar Muladi.

Dita Indah Sari, Ketua Pergerakan Persatuan Buruh Indonesia (PPBI), yang ditahan sejak awal Juli 1996, karena menggerakkan unjuk rasa buruh di Surabaya Jawa Timur, menolak diberi amnesti. Padahal pemerintah sudah memberikan lampu hijau untuk dibebaskannya pejuang perempuan itu. ‘’Berikan saja kebebasan itu pada orang-orang yang sudah tua,’’katanya. Memang ada syarat untuk pembebasan Dita, yaitu tidak boleh berpolitik sampai tahun 2004. Kekerasan tekad Dita itu akhirnya menyurutkan keinginan pemerintah membebaskannya. terbukti pada saat pengumuman pembebasan narapidana dan tahanan politik pada akhir Desember 1999, nama Dita tidak termasuk dari orang-orang yang dibebaskan. Sama seperti halnya Ustad Hussein Al-habsyi, seorang guru mengaji yang buta yang sampai kini masih mendekam di LP Lowokwaru, Malang, Jawa Timur. Ustad itu menolak mengajukan permohonan grasi kepada pemerintah.

Peristiwa satir terjadi pada pukul 03.00 dinihari, Senin, akhir Juli 1998, jeruji besi sel Wilson bin Nurtiyas digergaji petugas LP Cipinang, Jakarta Timur. Kenapa? Ternyata, Wilson, ketua Departemen Pendidikan dan Propaganda Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) underbouw Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang dihukum penjara 5 tahun, menolak keluar dari penjara. Wilson termasuk 50 orang tahanan dan narapidana politik (tapol/napol) yang diberi ampun pemerintah B.J. Habibie.

Penolakan Wilson ini maksudnya agar, semua tapol/napol yang masih ditahan dibebaskan tanpa syarat. Memang, menurut Wilson keberadaan tapol/napol, itu hanya korban politik Suharto untuk melanggengkan kekuasaannya. ‘’Jadi, kalau sekarang Suharto sudah turun, lalu alasan apalagi?’’tanya Wilson. Akhirnya Wilson dan rekannya Ken Budha Kusumandaru, ‘dipaksa keluar’ oleh petugas LP Cipinang. Kejadian seperti itu menandai masih pilih bulunya dalam pembebasan napol/tapol.

Dagangan Politik dan Campur Tangan Militer

Diskriminasi pembebasan tapol/napol itu dikecam banyak pihak. Setidaknya oleh 16 orang tahanan politik yang masih mendekam di LP Cipinang. Menurut Fauzi Isman, napol dalam kasus Lampung, 1989, yang juga salah satu penandatangan surat pernyataan bersama, Xanana Gusmao, Kolonel A.Latief, Budiman Sudjatmiko, Yacob Rumbiak dan lainnya, pembebasan yang dilakukan pemerintah sekarang sekadar dagangan politik untuk kepentingan diplomasi internasional. ‘’Jangan jadikan kami barangan dagangan politik, dong,’’ujar Fauzi.

Pernyataan itu bukan tanpa alasan. Sebab sejak B.J. Habibie menjadi Presiden menggantikan Suharto, orang yang pertama kali dibebaskan adalah tokoh yang menjadi sorotan dunia internasional, Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan. Untuk menutupi itu, belakangan pemerintah juga membebaskan napol/tapol yang masa pidananya tidak sedikit, seperti Nuku Sulaiman, yang akan bebas dua bulan lagi, bahkan ada Ahmad Taufik, dan Eko Maryadi, yang sudah bebas bersyarat sejak Juli 1997 pun dimasukkan dalam daftar orang yang mendapat Amnesti, lucu .

Pembebasan tapol/napol yang diskriminatif itu juga mengundang curiga banyak pihak, bahwa itu hanya kosmetik politik pemerintahan B.J.Habibie. Menteri Kehakiman, Muladi tidak membantah kecurigaan itu, tapi ia berkelit bahwa pihaknya sudah punya kreteria tapol/napol yang akan diberi amnesti atau abolisi.

Kreteria tersebut adalah, tidak terlibat dalam kasus G30S/ PKI, bukan dalam gerakan menggantikan ideologi negara dan tidak ada tindakan pidana lain dalam perkara pidana politiknya. Ternyata, belakangan ketahuan kreteria seperti itu merupakan kebijakan yang keluar dari pertemuan tiga jalur ; Menteri Kehakiman, Panglima ABRI dan Jaksa Agung.

Memang, pemerintah Habibie, tak punya wewenang penuh untuk pembebasan tapol/napol itu, karena berkaitan dengan keinginan militer, yang punya musuh-musuh politik pada masa kejayaannya saat Suharto berkuasa. Setiap orang yang masuk ke penjara dengan alasan politik ; menghasut, menyebarkan kebencian atau permusuhan terhadap pemerintah, stabilitas keamanan dan lain sebagainya, selalu terdapat ‘tangan’ militer turut campur di dalamnya. Ketika saya masuk penjarapun, Menteri Penerangan Harmoko, waktu itu, juga melaporkan kepada Badan Koordinasi Stabilitas dan Keamanan Nasional (Bakorstanas) Daerah DKI Jakarta, meminta agar saya dan kawan-kawan yang menerbitkan Buletin Independen ditindak. Surat tertanggal 25 Januari 1995 itu ditunjukkan polisi penyidik kepada saya untuk meyakinkan bahwa, penahanan dan penyidikan terhadap saya dan dua orang kawan saya Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo, bukan keinginan pihak kepolisian, tapi atas permintaan Harmoko dan militer yang tergabung dalam Bakorstanasda Jaya.

Contoh lain, pemimpin perlawanan untuk Kemerdekaan Timor Leste, Xanana Gusmao, misalnya, walau punya daya tawar tinggi terhadap dunia internasional, masih belum bisa dibebaskan. Karena sampai sekarang ABRI belum memberi ‘lampu hijau’. Apalagi, ABRI punya alasan, Xanana di penjara karena perbuatan pidananya membunuhi tentara saat menjadi pemimpin gerilyawan di Timor Timur. Jadi, kalaupun Xanana dibebaskan, itu karena pemerintah benar-benar sudah terjepit, terutama soal bantuan dari dunia internasional.

Melihat kebijakan seperti itu, tentu saja napol semacam Hussein Alhabsyi yang dihukum seumur hidup karena tuduhan sebagai dalang peledakan Candi Borobudur, 1985 tidak bisa bebas. Karena guru ngaji tuna netra yang kini masih ditahan di LP. Lowok Waru, Malang, Jawa Timur tak punya modal apa-apa sebagai daya tawar politik ke dunia internasional.

Militer dalam hal ini ABRI selalu campur tangan dalam urusan politik.Di rumah tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta Pusat, misalnya, buku kunjungan yang berisi daftar tamu yang mengunjungi selalu diminta oleh pihak militer yang diwakili Komando Distrik Militer (Kodim) Jakarta Pusat untuk difotocopy. Para petugas petugas jaga kunjungan di Rutan Salemba, mengaku tak bisa menolak permintaan Kodim.

Menurut keterangan pers akhir tahun 1998 Departemen kehakiman, dalam rangka pemberian amnesti, abolisi, grasi dan rehabilitasi terhadap narapidana/tahanan politik, Departemen Kehakiman telah membentuk tim kelompok kerja nasional pembebasan napol dan tapol yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Kehakiman, Departemen Luar negeri, departemen dalam negeri, departemen hankam, kejaksaan Agung, Bakin, BIA dan Polri. Dari data-data yang dihimpun tim tercatat 232 narapidana/tahanan politik yang tersebar di berbagai Lapas/Rutan di seluruh Indonesia. Yang sudah dibebaskan sampai Bulan November 1998 sebanyak 109 orang berdasarkan keputusan presiden N0.80/1998, 82/1998, 85/1998, 105/1998, 123/1998, 125/1998, 126/1998, 127/1998 dan nomor 42/G/1998 dengan perincian : 39 memperoleh amnesti, 62 orang abolisi, 3 orang grasi dan 5 pembebasan bersyarat. Sekarang ini sedang diproses pemberian amnesti sebanyak 22 orang, 7 orang abolisi, 16 orang grasi, dan rehabilitasi 26 orang. Tim pokjanas pembebasan narapidana/tahanan politik masih terus melakukan seleksi terhadap narapidana/tahanan politik yang memenuhi persyaratan memperoleh pembebasan untuk diajukan kepada Presiden. (28 Desember 1998).

Berdasarkan surat keputusan presiden B.J.Habibie No.101/G/1998, tertanggal 31 Desember 1998, memberikan grasi kepada 16 orang tahanan politik Islam, terdiri dari 15 orang yang terkait dengan peristiwa Lampung dan satu orang yang terlibat dalam kasus Komando jihad di Medan.

Sedangkan berdasarkan keputusan presiden No.202/1998, diberikan amnesti pada 20 orang narapidana dalam kasus Timor Timur. Pada keputusan No.203 diberikan rehabilitasi pada 26 orang narapidana yang telah menjalani hukuman semuanya narapidana politik Islam.

Tahanan dan narapidana politik selama Suharto berkuasa....
Dilepas oleh pemerintahan transisi Habibie
Rombongan pertama
Rombongan kedua

Kloter Akhir Desember 1998

Grasi kepada :
1. Sudarsono alias Masdar, pidana penjara 17 tahun dalam kasus Lampung dan dituduh melakukan tindak pidana subversi, bebas dari kewajiban menjalani sisa penjara yang masih harus dijalaninya.
2. Tardi Nurdiansyah, kasus Lampung penjara, 17 tahun.
3. Fauzi bin Isman, kasus Lampung 20 tahun penjara
4. Sugeng Yulianto alian Sugimin, kasus Lampung, pidana penjara seumur hidup ditahan di LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
5. Riyanto alias Yanto, seumur hidup, kasus Lampung, LP Nusakambangan.
6. Hariyanto bin Yusuf, kasus Lampung, seumur hidup, LP Nusakambangan.
7. Fachruddin alias Sukirna, kasus Lampung, seumur hidup, LP Nusakambangan
8. Zamzuri bin Muh Raji, subversi kasus Lampung, seumur hidup, LP Nusakambangan
9.Fadhillah alias Sugito bin Wiryo Perwito, subversi Lampung, seumur hidup, LP Nusakambangan
10.Abadi Abdullah bin Siswo Martoto, penjara 20 tahun, subversi Lampung
11. Munjaeni alias Munjen, kasus subversi Lampung, 20 tahun penjara
12. Solihin alias Shodikun, kasus subversi Lampung, 13 tahun penjara
13. Arifin bin Kayan, kasus subversi Lampung, 15 tahun penjara
14. Muh.Mushonif bin Ahmad Marzuki, 20 tahun kasus subversi Lampung.
15.Sri Haryadi alias Sofyan bin Sukam, pidana penjara seumur hidup dalam kasus subversi Lampung.
16. Timzar Zubil alias Sudirman, penjara seumur hidup komando jihad -pengikut Imron, LP Tanjung Gusta, Medan.

Amnesti untuk :
1. Alipio Pascoal Gusmao, Rutan Bau Cau
2. Paulino Cabral
3. Mario Jose Maria
4. Miguel Da Jesus
5. Agustino Da Costa Belo alias Acai/Agus
6. Eusibio Dos Anjos Marques
7. Alberto Freitas
8. Lamberto Freitas
9. Chlermi Soares
10. Joaquim Carvalho De Araujo alias Lalete, Rutan Ermera
11. Luis Gonzaga
12. Helder Martins
13. Manuel Gomes
14. Matheus Carlos Tilman
15. Lorico Lopes, Rutan Maliana
16. Zakarias Sake
17. Hernani Doelindo De Araujo
18. Rui Laku Mau
19. Basco Da Gama
20. Tito Dos Reis

Abolisi diberikan pada tersangka :
1. Alfonso Manuel alias Matitfei, Lapas Dili
2. Matias Marsal Soares alias Furama
3. Dominggus Pereira alias Timas
4. Matias Guovea alias Hunuk
5. Sesario Freitas, Rutan Bau Cau
6. Aniceto Soares
7. Miguel Correira

Rehabilitasi diberikan kepada :
1. Haji Abdul Gani Masykur
2. Muhammad Noer Husain
3. Achmad Husain
4. Achmad Maman Haji Suaeb
5. M. Ali Wahab
6. Muhdar Yahya
7. Muhammad Nur Djafar
8. Ahsin Jumana
9. Abdullah Yakub
10. Mansyur
11. Yusuf Abdullah
12. Abubakar Mansyur
13. Ahmad Jafar
14. Rusli M.Nur
15. H. Sulaiman M. Ali
16. H.Usman Adam
17. Muhtar Hadiyono
18. Agus Fachry H.Abdul Gani Masykur
19. Anwar bin H.Muhammad
20. Kusjaya Firman Kasa
21. Abdul Hakim
22. Zaenal Arifin alias To’o
23. Muhammad Mahmud
24. Abubakar Ismail
25. Ichwanuddin Ibrahim
26. Prof.H.Oesman Al-Hamidy


Masih menunggu beberapa tahanan politik dan narapidana politik yang belum dibebaskan. Diantaranya, yang berada di LP Cipinang : Budiman Sudjatmiko, Petrus Haryanto, I.G.Anom Astika, Yakobus E.Kurniawan, Wilson Nurtias, Ign D.Pranowo, Suroso, Ken Budha Kusumandharu (kasus PRD), Fauzi Isman, Sudarsono (kasus Lampung), Abdul Latief, Bungkus, Asep Suryaman, Marsudi (kasus G30S/PKI), Xanana Gusmao, Joao F. de Camara (Timor Timur), dan Yacob Rumbiak (OPM).

Di tempat lainnya, Agus (Kasus Tanah Tinggi) berada di Rutan Salemba. Di penjara Tanggerang, ada Garda Sembiring (PRD). Di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, Berar Fathia (Calon Presiden).

Lalu di luar Jakarta, ada : Hussein Al-Habsji, seorang ustadz tuna netra yang kini mendekam di LP Lowokwaru, Malang, Jawa Timur. Agustiana dkk, (kasus kerusuhan di Tasikmalaya, Jawa Barat, 26 Desember 1996) Ia kini berada di LP. Ciamis, Jawa Barat. Tjio Kim Tjang, (kerusuhan di Rengasdengklok, Jawa Barat, 30 Januari 1997.) Sadam Husein dan Suhardi, tokoh Komite Rakyat Pekalongan, Jawa Tengah, menggelar aksi 5 Februari 1998 di Pekalongan. Kasus GPK Warsidi, Lampung, 14 diantaranya dihukum di Nusakambangan, dan 1 di Lampung. Choen Husen Pontoh dkk (PRD di LP Kalisosok, Surabaya), Gerakan Aceh Merdeka, OPM Irianjaya, Timor Timur, dan lainnya, yang masih ditahan di beberapa tempat di seluruh Indonesia.

Selain yang berada di dalam negeri, masih ribuan orang Indonesia yang tidak bisa pulang ke tanah air, karena stempel orde lama, dan pembangkang. Rezim Suharto, tak menyukai orang-orang kritis itu kembali ke Indonesia. Sehingga, orang semacam, Yeni Rosa Damayanti, Jusfik Hajar, Pipit, dan lainnya, dianggap kuman yang akan merusak kehidupan rakyat Indonesia. Padahal itu keinginan Suharto dan antek-anteknya untuk berkuasa dan sewenang-wenang terhadap negri dan bangsa ini.

Namun bagi Muladi yang niat baiknya masih diragukan banyak pihak, mengizinkan orang-orang yang berada di luar negeri untuk pulang ke tanah air. ‘’Tap bagi yang berkaitan dengan orde lama kami akan mengadakan clearance dulu,’’katanya.

Menentang Seleksi

Seleksi pembebasan tahanan dan narapidana politik disayangkan dan ditolak banyak pihak. Begitu juga bagi bagi orang Indonesia yang tidak bisa kembali ke tanah air. ‘’Kalau rezim penguasa sudah diganti otomatis para tahanan politik harus dibebaskan, termasuk yang berada di luar negeri,’’kata Sri Bintang.

Direktur Eksekutif Perhimpunan Bantuan Hukum dan hak asai Manusia Indonesia (PBHI), Hendardi, juga tidak sepakat dengan seleksi Muladi. ‘’Kalau pemerintah yang baru mau mendapat point dari rakyat, pemerintahan yang sekarang harus berbeda dengan yang dulu. Ya, harus membebaskan tanpa kecuali,’’katanya.

Rezim orde baru di bawah Suharto, memang paling rajin menghukum orang yang berbeda pandangan dan keyakinan politik. Dan jalur hukum sering digunakan untuk merepresi rakyat seolah-olah keadilan akan dicapai di lembaga peradilan. ‘’Padahal itu sesuatu pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan terkonsepsi dengan prinsip seolah-olah keadilan akan dicapai. Padahal prinsipnya mau merepresi lewat tangan peradilan.’’ujar Hendardi. (**)

Napol PKI
Cipinang
Kolonel A.Latief
Sersan Mayor Boengkoes
Nathanael Marsudi
Asep Suryaman

Napol Islam
Ustadz Husein Al-habsyi (LP Lowokwaru, Malang)


Napol PRD
Cipinang
Budiman Sudjatmiko
Petrus Haryanto

Tanggerang Pria
Garda Sembiring

Tanggerang Wanita
Dita Indah Sari

Coen Hosen Pontoh (Surabaya)

Napol Timor Timur
Xanana Gusmao (dipindah ke cabang LP Cipinang)
Joao de Camara (Cipinang)

Napol Papua Merdeka
Yacob Rumbiak (Bebas bersyarat sampai...)

Napol Lampung,
Nur Hidayat (bebas bersyarat sampai...)

Belakangan setelah ada desakan dari luar negeri dan tidak tertangani kerusuhan-kerusuhan yang terus merebak di penjuru tanah air, pemerintah memindahkan Xanana Gusmao, ke suatu rumah di Jln. Percetakan Negara VII No.47, Jakarta Pusat dan dinyatakan sebagai cabang LP.

6 Mei, Cemas, BBM Naik

Saat pemerintah mengumumkan kenaikan bahan bakar minyak (BBM), sudah menjadi pemandangan umum kemudian terjadi antrian. Tapi kenaikan BBM pekan lalu memang mempunyai makna yang hebat. Seluruh sudut kota tempat ada Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU) mengalami kemacetan, bahkan merembet ke jalan-jalan disekit itu. Bahkan ada tempat yang mengalami macet total.

Herannya para pengantri itu bukan hanya kendaraan umum atau kendaraan biasa, tapi juga sedan-sedan mewan Mercedes bens, Jeep Pajero, BMW dan lain sebagainya ikut antri, dan rela bermacet-macet selama 4 jam atau lebih hanya untuk puluhan liter bensin. Bahkan ada beberapa jeep mewah membawa jerigen kosong untuk diisi di SPBU tersebut. Aneh?

‘’Ah, nggak, masyarakat kita memang rentan. Bukan karena mereka tidak punya. Mereka itu cemas walau punya duit,’’kata psikolog dari Universitas Indonesia, Sartono Mukadis.

Cemas karena apa? ‘’Mereka cemas karena ketidakpastian, apalagi melihat sikap pemerintah sekarang ini. Saat tuntutan masyarakat meluas, ekonomi belum bisa stabil, tiba-tiba menaikkan harga BBM. Ini, kan, menambah kecemasan masyarakat,’’kata Sartono Mukadis.

Soal kecemasan seperti itu, menurut, Sartono, bukan dominasi orang yang tidak berpnya saja, tapi juga orang yang punya. ‘’Pada dasarnya mereka cemas. Dan kecemasan seperti itu tidak memandang orang berpunya atau tidak berpunya. Pada orang yang berpunya, kebetulan mereka punya kesempatan, punya uang untuk kemudian mempertontonkan kecemasan itu lewat tindakan antri atau borong barang. Kalau orang miskin punya kesempatan dan memiliki untuk bisa membeli apapun, mereka juga akan ikut mengantri. Jadi kecemasan seperti itu tidak nela orang kaya atau orang miskin,’’kata Sartono.

Memang pikiran cemas seperti itu, menurut Sartono, membuat orang menjadi irrasional. ‘’Memang irrasional. Kalau anda tanya pada orang kaya yang ngantri tidak akan mendapat jawaban yang memuaskan. Memang begitu keadaannya,’’ujarnya.

Menurut Sartono, pikiran cemas yang terjadi saat ini, karena unsur pemerintah. ‘’Masyarakat sudah tak bisa percaya lagi pada pemerintah. Makanya, walaupun bikatakan sembilan bahan pokok mencukupi, masyarakat tetap mendoborong sembako itu, juga saat bersamaan ketika harga BBM diumumkan naik,’’katanya.

Kecemasan terjadi yang dipertonton masyarakat seperti itu, menurut Sartono, menunjukkan sentimen pasar seperti itu. ‘’Itulah, sentimen pasar, menunjukkan orang tidak lagi berpikiran rasional. Hal seperti itu juga yang terjadi terhadap rush BBM, dolar, atau saat ramai-ramai mengambil duit ke bank,’’katanya.

Menurut Sartono, ada satu kata yang terjadi saat itu, lumayan. ‘’Nah, kata lumayan itu yang terjadi. Sehingga jadi lucu, mobil mewah ikut ngantri. Padahal hanya untuk dapat bensin misalnya 60 liter, katakanlah Rp 30 ribu. Buat kita itu nggak masuk diakal. Tapi itulah, sentimen pasar, simbol pasar,’’kata Sartono Mukadis.

Kecemasan seperti itu, Menurut Sartono, adalah kecemasan jangka pendek. ‘’Apapaun mereka menjadi cemas. Ini tidak bisa disalahka. Karena keadaanlah yang membuat terjadi begitu,’’katanya.

Menurut Sartono, kecemasan seperti itu dalam bahasan psikologi dinamakan Angst Neurotism atau Mass Neurotism. “Neurotis massa, ketakutan massa. Dimana suatu ketakutan dan orang sudah nggak percaya apapun. Ini berbahaya bagi perkembangan bangsa kita,’’katanya. (Sekian)

Carmel Budiardjo ; Mandiri, Gigih dan Tua

Mandiri! Itulah yang dikesankan dari perempuan tua berambut putih, Carmel Budiardjo. Pada saat kedatanganku (1 Oktober 1994), ia hanya ditemani dua relawan yang bekerja paruh waktu tak dibayar, seorang perempuan muda (yang menjemputku di Bandar Udara Heathrow, London) dan lelaki berusia sekitar 35 tahun. Relawan perempuan, hanya bertugas menjemput dan setelah itu libur. Jadi pada hari kerja Carmel, dengan organisasinya TAPOL, hanya ditemani seorang saja yang membantu. Padahal TAPOL pada waktu itu sangat dimusuhi pemerintah Indonesia, karena sangat kritis dan berhasil mengundang simpati aktifis hak asasi manusia di Inggris dan sekitarnya.

Dalam benakku Carmel, yang sebelumnya aku dengar sangat ditakuti oleh pemerintah Indonesia, adalah orang yang kejam. Ternyata ia adalah seorang perempuan tua yang lembut dan keibuan. Perempuan ini mempunyai dua anak, tapi kedua-duanya tinggal di luar negeri ikut bersama suaminya dan anak-anaknya. ‘’Beginilah hidup di negeri barat orang tua hidup sendiri saat tuanya,’’katanya.

Foto anaknya menempel di dinding rumahnya. Carmel tinggal di sebuah rumah tingkat dua berwarna abu-abu yang sederhana pinggiran ke arah selatan Kota London. Ruang tamu, dapur sekaligus ruang makan dan satu kamar ada dilantai bawah, tempat Carmel tidur seorang diri. Sedangkan dilantai atas satu ruangan lengkap dengan komputer dan mesin fax, sebagai ruang kerja, yang menerima ribuan surat dan ribuan informasi dari mancanegara. Di ruang atas juga ada satu kamar kosng yang memang disediakan untuk para aktifis dari Indonesia atau dari tempat lain berkunjung ke London dan tidak punya tumpangan, ia bisa tinggal disana.

Sebagai orang yang mandiri Carmel biasa masak sendiri. Kesukaannya masak atau bikin gado-gado. ‘’Bumbunya instant tinggal dikasih air hangat sudah jadi. Lalu taoge, kacang panjang dan kool dicampur, kan, jadi,’’katanya dengan bahasa Indonesia yang masih fasih. Namun, kadang-kadang bila aku mencoba bahasa Indonesia, yang ia tak mengerti, karena bahasa baru baginya, ia minta persamaannya dalam bahasa Inggris. Hampir semua masakan yang dibuat serba instant. Di kulkasnya ada bubuk tahu, yang bisa dibuat tahu dalam sepuluh menit. Setiap pagi ia menyediakan nasi goreng untuk tamunya, yang tidak cocok dengan roti. ‘’Sesekali saya makan babi, padahal sebagai orang Yahudi saya dilarang makan babi oleh negara saya. Memang, saya bukan penganut agama yang taat,’’katanya. Ia mengaku orang tuanya berasal dari Polandia, tepatnya orang Polandia keturunan Yahudi.

Selain mengkampanyekan persoalan hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia, terutama soal masalah pembantaian tahun 1965 dan Timor-Timur, tiap bulan ia harus mengirimkan ribuan buletin TAPOL yang dikirim ke manca negara, termasuk ribuan pelanggannya di Indonesia. ‘’Pelanggan kami paling banyak dari Indonesia dan Belanda,’’katanya. Untuk mengurusi soal buletin beberapa relawan membantunya dalam parun waktu, ada yang bertugas hanya mengelem amplop, mencekrek lembaran-lembaran buletin sampai mengirimkannya ke pos. Tapi, bila ada tamu dari Indonesia yang datang ke London, ia yang akan mengantar sendiri tamu-tamu itu.

Biasanya tamu-tamu yang datang mengkampanyekan soal pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia yang dilakukan, rezim orde baru. Maka, Carmel akan membawa ke tempat-tempat yang relevan untuk kampanye. Antara lain, front office -kementerian luar negeri Inggris- urusan Asia Tenggara, Radio BBC London, Panos Institute -sebuah lsm mengenai negara-negara berkembang, Amnesty International, dan kantor-kantor media massa dan jurnalis-jurnalis di Inggris.

Carmel, tidak punya mobil. Ia akan mengantar tamunya dengan naik bis kota (tingkat), menuju stasiun kereta api bawah tanah paling dekat, untuk bisa masuk ke tengah kota. ‘’Saya gratis naik kendaraan umum disini, karena umur saya sudah tua, enaknya tinggal di Inggris, ya begini,’’katanya berkelakar. Ia akan cekatan jalan kaki berkilo-kilo menuju tempat tujuan dengan kecepatan yang cukup cepat dibandingkan aku yang waktu itu masih berusia 29 tahun.

Carmel, mengaku mengalami hal-hal yang tidak enak saat tinggal di Indonesia. Ia ditahan tanpa diadili selama 3 tahun. ‘’Untungnya saya bisa melarikan diri dari penjara bukit duri,’’katanya. Maksudnya, setelah dibantu pihak Inggris, ia bisa keluar dan segera dilarikan ke luar negeri. ‘’Saya tidak yakin akan masih hidup bila masih ada di Indonesia, dan saya tak akan kembali ke Indonesia sampai kapanpun,’’ujarnya.

Carmel kawin dengan Budiardjo seorang pegawai pemerintah asal Purwokerto. Dari suami Indonesia ia mendapat anak perempuan (saya lupa satu atau dua orang), yang kini sudah kain dan juga sudah punya anak lagi. ‘’Saya sudah punya cucu,’’katanya. Dalam mengelola TAPOL, Carmel dibantu Liem Soei Liong, seorang Indonesia keturunan Cina yang nasionalis, dan masih ditangkal masuk ke Indonesia sampai sekarang. (AT)

Sejak Muda, D.N. Aidit Menekuni Ajaran Karl Marx

PARIS, pada malam Valentine, 14 Februari 2000. Restoran Indonesia di Rue de Vaugirard, jantung ibu kota Prancis, penuh sesak. Para muda-mudi dan sejumlah pasangan berumur memenuhi deretan meja di kedai makan berlantai dua itu. Alunan lagu-lagu daerah Indonesia, yang mengalun dari pojok ruangan, mudah membawa ingatan melayang jauh ke Tanah Air. Aroma sedap masakan Indonesia membubung dalam udara malam musim dingin, memikat para tamu Asia dan Eropa. Dengan sabar, mereka menantikan pesanan menu, yang malam itu diantarkan oleh seorang pria baya berbaju batik abu-abu lengan panjang.

Koki merangkap pelayan sekaligus pemilik kedai makan itu bernama Sobron Aidit, 66 tahun. Ia mahir memasak dan menyajikan berbagai menu khas Indonesia. Padahal, delapan tahun silam, tatkala memulai restoran ini bersama tiga orang rekannya--Khusnul, Umar Said, dan Budiman Sudarsono, sesama pelarian politik dari Indonesia--Sobron bahkan tak tahu membedakan semur dan rendang. Pria asal Belitung, Sumatra Selatan, ini memang tidak terlahir sebagai ahli boga. Ia lebih tepat disebut sebagai sastrawan dan budayawan. Ia juga adik kandung Dipo Nusantara (D.N.) Aidit, tokoh PKI yang masyhur pada zamannya.

Karya Sobron yang baru diterbitkan adalah Cerita dari Tanah Pengasingan--kumpulan cerita kenangan yang melukiskan aneka detail pengalaman dari perjalanan hidupnya selama hampir empat dasawarsa di Cina dan Eropa. Dan empat dasawarsa di tanah pengasingan bukan cuma tak memupus kemampuan menulisnya dalam bahasa Indonesia yang renyah sekaligus pekat oleh sentuhan sastra, tapi juga tak menghapus cinta Sobron kepada tempat kelahirannya. “Tanah air yang hanya bisa dipandang dari jauh adalah hal yang terlalu menyakitkan,” ujarnya.


Kisah hidup Sobron Aidit terjalin di antara poros Jakarta-Beijing-Paris. Ia tumbuh dewasa di Jakarta. Kuliah di Jurusan Sinologi Universitas Indonesia, Sobron aktif menulis sejak kanak-kanak dan menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)--organisasi yang berinduk ke PKI--pada masa organisasi kebudayaan itu berjaya, di era sebelum 1965. Ia kemudian dikirim ke Cina dalam rangka “persahabatan budaya” Indonesia-Cina. Ketika peristiwa G30S-PKI 1965 pecah di Indonesia, Sobron termasuk dalam mereka yang dicekal kepulangannya ke Indonesia. Sejak saat itu, bekas mahaguru sastra dan bahasa Indonesia di Universitas Beijing ini resmi menjadi pelarian politik.


Dari Cina, ia menyeberang ke Prancis pada 1981 dan hidup di negeri itu sampai sekarang. Ayah sepasang putri ini resmi memegang paspor Prancis pada 1993. Toh, hidup di rantau tak membuat Sobron berhenti menulis--dalam bahasa Indonesia--kegiatan yang dimulainya sejak ia berusia 13 tahun. Karangannya tersebar di berbagai majalah dan koran Indonesia: Zenith, Kisah, Sastra, Mimbar Indonesia, Bintang Timur, dan Harian Rakyat--sekadar menyebut beberapa. Selama di Eropa, Sobron menjadi salah satu penunjang utama penerbitan pers alternatif.

Pria yang mahir enam bahasa ini dua kali memenangi hadiah sastra (1955-1956 dan 1961) dan mengarang beberapa buku yang dilarang pada masa Orde Baru, seperti Ketemu di Jalan, Derap Revolusi, dan Pulang Bertempur. Ia juga menyelesaikan sejumlah kumpulan cerpen selama di Eropa--yang sudah diterbitkan antara lain Razzia Agustus. Akhir-akhir ini, ia pun aktif menulis cerpen lewat internet.

Tiga pekan silam, wartawan TEMPO Ahmad Taufik menemui Sobron di Paris untuk sebuah wawancara khusus. Petikannya:


Pada masa Presiden Soeharto berkuasa, restoran milik para pelarian politik Indonesia dianggap berbahaya. Apakah hal itu sekarang masih berlangsung?

Memang dulu ada surat edaran dari Kedutaan Besar RI agar para staf lokal dan para diplomat tidak makan di restoran kami. Tapi itu tidak banyak pengaruhnya. Orang datang ke sini karena mau makan enak. Mana sempat berpolitik sambil makan? Anak-anak Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang makan di sini biasanya bilang begini, “Pokoknya, kami makan.”


Benarkah kedai makan ini dulu dianggap sebagai kiblat politik orang-orang Indonesia di pengasingan?

Tempat ini dijuluki “kedutaan Indonesia tidak resmi” oleh para pengunjung. Mereka tanya ini-itu. Kami bilang, “Kedutaan yang punya hak menjawab pertanyaan Anda.” Tapi mereka bilang, informasi tentang Indonesia tidak lengkap kalau tidak mampir ke restoran ini.

Siapa saja yang sering makan di sini?

Macam-macam, termasuk para diplomat. Kami melayani pengunjung dalam berbagai bahasa: Cina, Jawa, Jerman, Inggris, Prancis, Belanda, dan Indonesia. Duta besar ASEAN semuanya makan di sini, kecuali Indonesia. Juga duta besar Cina. Pendek kata, dengan tenaga sedikit, kami berhasil menjalankan usaha ini.

Kalau sudah berhasil begini, apa masih ingin pulang ke Indonesia?

Tentu, dong. Cinta tanah air tak dapat hilang begitu saja. Ini suatu hal yang sulit diterangkan dari segi akal. Sebagai warga negara Prancis, saya mendapat berbagai kemudahan: dokter, opname, kendaraan umum, semuanya gratis. Sementara itu, kalau pulang ke Indonesia, harus memulai dari nol lagi. Tapi itu bukan masalah. Yang betul-betul menjadi soal bila kita berniat pulang adalah keamanan.

Tapi bukankah Abdurrahman Wahid sudah bilang semua pelarian politik Indonesia tak akan dihalangi jika ingin kembali ke Tanah Air?

Gus Dur memang bilang begitu. Tapi penyelenggara negara kan bukan cuma Gus Dur? Dan Tap MPRS XXV/1966 (yang berisi pelarangan PKI dan penyebaran ajaran marxisme-leninisme di Indonesia. Ketetapan MPRS ini pula yang membuat orang-orang yang dituduh terlibat PKI tidak dapat kembali ke Indonesia) belum dicabut.

Sebagai keluarga D.N. Aidit (Ketua Komite Sentral dan Politbiro PKI 1954-1965), Anda tak diizinkan pulang ke Indonesia di bawah rezim Orde Baru. Bagaimana rasanya?

Sedih sekali. Jadi, kita ini orang yang berbangsa dan bertanah air tapi tidak diakui. Tanah air itu cuma bisa dilihat dari jauh. Kami cuma datang ke Indonesia tapi tidak pernah bisa pulang ke sana untuk seterusnya.

Jika ketetapan MPRS di atas dicabut, Anda berniat pulang?


Tentu. Itu hal yang normal sekali. Chiang Kai Sek (Presiden Taiwan 1949-1975), misalnya. Perjuangan dan hidupnya untuk Taiwan, tapi dia ingin mati di Cina Daratan, tempat ia lahir dan dibesarkan. Kami juga selalu berpikir untuk kembali ke Indonesia. Tapi mau bagaimana? Tidak ada jalan. Sementara itu, pendidikan anak-anak harus dipikirkan. Saya punya dua anak perempuan. Yang sulung, Wita, lahir di Jakarta. Adiknya, Mita, lahir di Beijing. Dua-duanya sudah pernah ke Indonesia.

Mengapa memilih ke Prancis? Bukankah sebelumnya--sejak 1963--Anda tinggal di Cina?


Pada 1981, saya keluar dari Cina. Tapi saya tidak memilih ke Paris. Saya dan anak-anak ingin pergi ke negara berbahasa Inggris: Kanada, Australia, atau Singapura. Tapi Singapura kan negara ASEAN. Kami takut diekstradisi. Jadi, pilihannya Kanada atau Australia. Tapi tidak ada yang membantu. Eh, tahu-tahu sudah ada di Paris. Saya juga tidak mengerti kenapa bisa begini karena tidak pernah terpikir akan pergi ke Prancis.

Siapa yang membantu Anda masuk ke Prancis?

Tidak ada. Kami tidak punya visa ke Prancis. Maka, kami melarikan diri dari Cina dengan maskapai penerbangan Cina. Sampai di bandar udara (Paris), kami ditangkap dan diinterogasi. Kepada petugas duane, saya katakan kami tidak punya visa dan minta perlindungan politik kepada pemerintah setempat. Kami sudah mendapat informasi agar jangan sekali-kali bohong jika ditanya petugas duane. Jadi, saya katakan apa adanya. Kami sudah tidak cocok hidup di Cina, tapi juga tidak bisa pulang ke Indonesia, negeri asal kami.

Apa saja yang mereka selidiki sebelum memutuskan menerima Anda?

Mereka tanya semuanya. Saya bilang, 60 persen keluarga saya di Indonesia dibunuh, dipenjarakan, dan disiksa. Lalu, mereka cek keterangan saya ke Interpol.

Siapa saja nama keluarga di Indonesia yang Anda sebut?

Tentu saja D.N Aidit. Sebab, data tentang Bang Amat (sebutan Sobron untuk D.N. Aidit) kan ada di mana-mana. Polisi Prancis mengecek Interpol Spanyol dan Jerman. Cocok. Artinya, saya tidak bohong tentang keadaan keluarga kami. Maka, saya mendapat izin masuk dan mendapat perlindungan. Ibaratnya, kami ditangkap untuk dilindungi. Mereka menawarkan tempat, tapi saya bilang kami sudah punya penginapan.

Peristiwa itu terjadi pada masa Prancis dipimpin Presiden Francois Mitterrand. Apakah Anda minta izin sebelumnya kepada Mitterrand untuk masuk ke sana?

Saya kirim surat kepada Presiden Mitterrand. Mereka cek ke kantor presiden dan ketemu surat itu. Memang belum dibalas, tapi saya sengaja berangkat sebelum ada balasan. Jadi, kalaupun tidak boleh, kami sudah berangkat.

Mengapa Anda tidak ikut Djawoto (Duta Besar Indonesia untuk Cina 1965-1966)? Bukankah dia juga melarikan diri ke Eropa?

Dia ke Belanda. Sedangkan saya tak sedikit pun ingin ke Belanda. Di sana sudah penuh dengan “kampung Melayu”, ha-ha-ha.... Eh, di Paris ternyata ketemu juga teman-teman lama. Ada Umar Said, Kusnizar (sesama pelarian politik dari Indonesia).

Paspor apa yang Anda gunakan sebelum resmi menjadi warga negara Prancis pada 1993?

Paspor Jenewa, berikut travel document--dengan catatan berada di bawah perlindungan politik--yang berlaku untuk seluruh dunia kecuali Indonesia (Sobron tertawa terkekeh-kekeh). Indonesia baru bisa saya kunjungi setelah saya menjadi warga negara Prancis. Untuk menjadi warga negara Prancis, kami harus tinggal 10 tahun di sana tanpa jeda (sekarang cuma lima tahun).

Ada syarat khusus yang harus dipenuhi sebagai pelarian politik?

Kami harus menunjukkan tidak lagi terlibat kegiatan politik. Perjanjian itu betul-betul kami taati. Kalau ada orang Indonesia berdemonstrasi di Belanda atau Paris, kami tidak pernah ikut. Akhirnya, saya dan anak-anak jadi mendapat paspor Prancis pada 1993. Waktu itu, petugas imigrasi bertanya, “Apa yang Tuan lakukan setelah menjadi warga negara Prancis?” Saya jawab, “Cari tiket dan berkunjung ke Indonesia.”

Bagaimana rasanya kembali ke Indonesia setelah 30 tahun?

Seperti rusa masuk kampung. Gila, Jakarta tampak begitu besar dan hebat,
tapi dalam pengertian fisik. Ada jalan raya, hotel, gedung pencakar langit. Tapi kemiskinan masih tetap seperti dulu. Perbedaan kaya dan miskin sangat mencolok. Pada Maret 1993, saya datang ke Jakarta dan Bali. Desember tahun yang sama, saya kembali lagi dan tinggal di Indonesia hingga Januari 1994. Saya sempat ketemu teman-teman lama, antara lain almarhum Oyik (Satyagraha Hoerip). Setelah itu, saya lebih sering pulang. Pada 1999, saya dua kali ke Indonesia.

Apa pernah merasa diikuti intel selama di Indonesia?

Diikuti, tapi untung saya tidak tahu. Bertahun-tahun kemudian, intel itu bilang, “Gila, yang kami ikuti dulu itu kalian?” Dunia itu kecil. Sebab, si intel ini rupanya masih ada hubungan keluarga. Mereka juga repot mengikuti kami karena acara kami adalah ke restoran, mandi-mandi di laut, ke bar, ke diskotek. Saya pergi ke Diskotek Tanamur di Tanahabang Timur dan jantung serasa pecah karena musik yang berdentam, ha-ha-ha.... Pendek kata, kerjaan kami berfoya-foya. Jadi, untuk apa juga diinteli?

Anda masih punya keluarga di Jakarta?

Ada keluarga istri saya di Kayuputih, Rawamangun. Dari pihak saya, ada Murad Aidit. Abang saya ini pernah 13 tahun ditahan di Pulau Buru. Dia doktor (cum laude) dari Universitas Patrice Lumumba, Moskow. Sekarang, dia berdiam di Depok bersama keluarganya. Usianya 72 tahun dan masih sehat. Saban kali saya telepon, istrinya bilang dia sedang ada di masjid.

Bagaimana dengan orang tua Anda?

Ayah saya, Abdullah Aidit, adalah mantri kehutanan pada zaman Belanda. Pada masa perjuangan, dia pernah menjadi anak buah Bung Tomo, pada 1947. Ayah meninggal dunia di Belitung pada 1968. Sebagai bapaknya D.N. Aidit, Ayah dianggap tersangkut PKI. Jadi, sewaktu dia meninggal, tak ada yang berani menguburkannya. Setelah 48 jam lebih jenazah itu didiamkan saja, akhirnya Palang Merah memakamkan Ayah di Desa Tanjungpandan, Belitung.

Siapa yang mengabarkan berita kematian ini kepada Anda?

Saya membacanya dari Kompas. Rasanya luar biasa sedih. Begitu takutnya orang dengan PKI pada waktu itu. Dan situasinya memang begitu. Kalau ada orang yang masuk PKI, seluruh keluarganya otomatis dianggap PKI.

Ketika D.N. Aidit menjadi tokoh politik terkenal di era sebelum 1965, apakah dia menggalang keluarganya berpolitik?

Dia tidak memengaruhi kami sejauh itu atau memberikan pendidikan politik secara khusus. Dia hanya memberikan buku-buku sejarah Indonesia untuk dibaca, antara lain karangan Sanusi Pane serta sejumlah buku lain.

Anda sering bertemu dengan D.N. Aidit?

Jarang. Dia tinggal di Jakarta. Kami hanya berjumpa saat dia pulang ke Belitung. Sejak muda, dia sudah menunjukkan bakat politik. Dia jarang ada di rumah. Kami bingung, “Bang Amat ini ke mana?” Setelah dicari, ketemunya di pelabuhan. Dia sedang bertanya-jawab dengan para buruh kapal keruk. Padahal, saat itu umurnya belum lagi 19 tahun. Lain dengan kami. Kalau kami pulang ke Belitung, ya, jalan-jalan.

Apa saja yang dia pelajari?

Dia banyak membaca, antara lain teori-teori Karl Marx. Sejak muda, dia sudah serius belajar. Dia menekuni nilai-nilai lebih dari ajaran Marx. Kalau datang ke Belitung, dia juga selalu meninggalkan kesan-kesan yang baik, misalnya membuat kandang ayam, menanam pisang, atau memasangkan bambu tempat mengalirkan air. Saat dia kembali ke Jakarta, banyak orang datang ke rumah kami membawa ayam dan pisang. Katanya, “Ini tanamannya Amat sewaktu dia menginap di rumah kami.” Dia juga rajin mengurus sunatan massal untuk anak-anak di kampung.

Maksudnya anak-anak di kampung Anda di Belitung?

Betul. Biaya sunatan massal kan lebih murah. Biasanya mereka datang ke ibu saya dan dikasih peci seorang satu. Daerah kami dikenal sebagai penganut Islam yang taat. Kami semua tamat sekolah mengaji, termasuk Bang Amat.

Pernahkah orang tua Anda menanyakan mengapa si Amat itu tamat sekolah mengaji tapi kok jadi komunis?

Tidak. Barangkali juga karena hidup mereka terpisah. Ayah di Belitung, sedangkan Amat di Jakarta. Kami juga tidak pernah menentang Bang Amat karena kami tahu dia berpihak kepada orang miskin. Saya juga demikian. Tapi kemudian kok jadinya naif sekali: berpihak kepada orang miskin dan membenci orang kaya. Jadi, saya pelajari sendiri apa-apa yang ingin saya ketahui--termasuk komunisme. Saya tidak pernah merasa dicekoki abang saya.

Apakah Anda aktif di Partai Komunis Indonesia?

Saya tidak pernah aktif di dalam organisasi (di bawah naungan PKI), apalagi di partai. Saya hanya giat di lembaga persahabatan Indonesia-Cina bersama Prof. Priyono, Henk Ngantung, Djawoto. Saya juga banyak terlibat di lembaga persahabatan Indonesia-Vietnam serta Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).

Selama di Jakarta, Anda tinggal bersama D.N. Aidit?


Tidak pernah. Kami sekota tapi beda tempat. Saya merasa tidak bebas kalau tinggal bersama abang saya.

Bagaimana hubungan Anda dengan D.N. Aidit ketika dia sudah menjadi politisi penting dan tokoh PKI yang berpengaruh?


Dia pernah memanggil saya dan bilang, “Pernah kau berpikir bahwa namamu Sobron Aidit? Ini soal nama Aidit. Kau bisa mendapat kesulitan karena memakai nama ini.” Saya mengerti maksud dia baik karena Bang Amat aktif di politik. Dia meminta saya tidak memakai nama Aidit karena jika terjadi apa-apa, keluarga bisa ikut kena. Cuma, darah saya masih muda. Jadi, saya bilang, “Aidit itu kan nama bapak kita. Dan sebelum kau terkenal, nama saya sudah Sobron Aidit.” Ha-ha-ha..., gila juga. Waktu itu, saya sudah mulai banyak mengarang di majalah.

Anda praktis menekuni dunia sastra dari Jakarta-Beijing-Paris. Bahkan, di Beijing, Anda diangkat menjadi mahaguru bidang sastra. Apa betul?

Saya tinggal di Beijing dari 1963 sampai 1981. Saya ke Cina dikirim Lekra. Tugas saya di Beijing adalah membantu menerjemahkan Peking Review ke dalam bahasa Indonesia. Saya juga mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing.

Bagaimana bisa tiba-tiba mengajar sastra Indonesia? Bidang studi Anda bukannya sinologi?

Memang vak saya bukan bahasa Indonesia. Tapi saya diminta mengajar sastra Indonesia karena saya banyak menulis dan mengarang. Lalu, pada 1 Januari 1964, saya diangkat menjadi mahaguru di Universitas Peking (sekarang Beijing). Umumnya orang Indonesia yang ke Cina diangkat menjadi mahaguru.

Anda tetap mengajar setelah muncul Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP), 1966-1976, di Cina, yang membuat banyak sekolah ditutup?

Tidak. Peristiwa itu membuat semua orang asing ditarik dari jawatan. Perubahan besar-besaran terjadi di seluruh negeri. Revolusi ini mulai melanda seluruh negeri pada 1966. Kami ke desa--ribuan kilometer di selatan Beijing--dan ikut “sekolah 7 Mei”.

Apa saja yang Anda lakukan di sekolah 7 Mei?

Kami bertani, beternak, menyatukan diri dengan kaum petani. Jadi, apa saja kami lakukan di sana, termasuk bertanam padi. Periode sekolah ini berlangsung dari 1966 sampai 1979. Pada 1979, saya ditarik ke Beijing menjadi penyiar Radio Beijing. Setelah itu, mereka tidak lagi memperpanjang kontrak saya sehingga saya keluar dari Cina ke Eropa.

Di mana Anda berada ketika terjadi peristiwa G30S di Jakarta?

Di Beijing. Peristiwa berdarah 1965 itu kami dengar dari radio. Tapi belum ada bayangan tentang apa yang terjadi karena informasinya hanya dari radio itu. Ratusan orang Indonesia ada di Beijing pada waktu itu.

Apa reaksi Anda dan kawan-kawan setelah mendengar berita itu?


Pikiran kami terguncang. Kami tidak tahu dan tidak menyiapkan diri untuk situasi seperti ini. Tahu-tahu terjadi begitu saja. Kami lalu diminta menandatangani sejumlah pernyataan mengutuk PKI dan mendukung rezim baru. Itu tidak kami lakukan, kemudian paspor kami dicabut. Tapi saya punya banyak paspor. Djawoto, bekas Duta Besar RI untuk Cina, yang mencabut paspor itu, kemudian lari ke Belanda. Yang menandatanganinya selamat dan bisa pulang ke Tanah Air.

Apa sikap pemerintah Cina terhadap Anda sekalian yang memilih tidak pulang ke Indonesia?

Mereka benar-benar menyerahkan seluruh putusan ke tangan kami. Tapi pemerintah Cina betul-betul pro-Sukarno dan tidak mendukung pemerintahan baru. Demonstrasi melanda kedutaan masing-masing. Kedutaan Besar Cina di Jalan Gajah Mada, Jakarta, diserbu. Sedangkan pemerintah Cina menentang pemerintahan Soeharto, yang dianggap sebagai rezim fasis. Propaganda yang disiarkan pemerintah di Radio Beijing sangat keras menentang pemerintahan Soeharto.

Dokter yang Tak Pernah Datang

Apa yang dilakukan Soeharto 24 jam sebelum sidang peradilan? Minum teh, makan ubi madu dan mendengarkan burung tekukur

Keheningan malam pecah dengan teriakan ‘’Allahu Akbar!’’ berkali-kali. Waktu baru menunjukkan pukul 02.30 Kamis dinihari pekan lalu, saat sekitar 30 orang berpakaian putih-putih dan mengenakan sorban datang dari arah Jalan Tanjung dan langsung ke depan gerbang rumah Soeharto yang terkunci rapat. Rombongan yang menamakan diri Front Antikomunis dan Cinta Tanah Air ini berhenti, seorang diantaranya keluar dari barisan itu berbicara dengan penjaga rumah Soeharto.

Setengah jam kemudian, pintu gerbang dibuka dan rombongan itu melangkah ke halaman rumah Jalan Cendana No.6 itu. “Kami mau berdo’a untuk beliau,” kata salah seorang diantaranya. Selama 10 menit kelompok itu mengangkat kedua belah tangannya ke arah langit. Lalu takbir, ‘’Allahu Akbar!’’ Seorang tampil ke depan menghadap ke rumah itu dan berpidato. Isinya mengutuk orang-orang yang berniat mengadili bekas orang nomor satu itu. Ia juga mengutuk para jaksa dan hakim. Setelah itu, dengan tertib mereka melangkah ke luar pagar dan berjalan kaki ke arah Jalan Tanjung, pintu gerbang bercat hijau ditutup kembali. Heningpun kembali menyergap.

Memang selama 24 jam sebelum Soeharto diadili tak ada sesuatu yang istimewa di kediamannya. Sejak Rabu siang TEMPO berada di tempat itu hanya ada satu mobil Toyota Kijang di seberang rumahnya. Itupun pergi dan tak pernah kembali. Ketika TEMPO mendekati halaman rumah itu, dua orang penjaga rumah bersafari coklat tua beranjak perlahan. ‘’Wartawan, ya, pak?’’katanya,’’ “Bapak di dalam, sedang makan siang.”

Setelah berbincang sesaat ketahuan, siang itu ada tamu. “Hanya ada Pak Kiai di dalam,” katanya. Yang dimaksud adalah Kiai Mashuri. Tak jelas dari mana. Sampai menjelang malam kawasan itu sepi. Di bundaran Jalan Tanjung – Cendana, tampak dua tentara duduk di trotoar, seorang beranjak pergi saat didekati. Hingga gelap datang hanya ada tukang sate, nasi goreng dan beberapa mobil melintasi kawasan itu.

Menjelang tengah malam sejumlah pria berbadan tegap dilengkapi radio komunikasi yang nongol dari saku celananya berjaga-jaga di Jalan Suwiryo. Di mulut jalan Yusuf Adiwinata sejumlah pria duduk-duduk di bangku panjang dekat kios rokok. Bicaranya lamat-lamat, tentang bus yang meledak 3 jam yang lalu di Jalan Margasatwa, 500 meter dari gedung Departemen Pertanian. Sampai habis azan subuh tak ada peristiwa lain kecuali 30 orang pria bersorban di atas.

Pukul 05.30 pagi, para wartawan media cetak dan elektronik dalam dan luar negeri mulai berdatangan memenuhi depan pintu gerbang rumah bekas diktator orde baru itu. Otto Cornelis Kaligis, salah seorang pengacara Soeharto datang pukul 07.10, tak lama kemudian mobil VW biru Juan Felix Tampubolon memasuki pintu gerbang. Keluar dari mobil mendekati pagar dan berbicara di depan para jurnalis, ‘’sejak pukul 07.00 Pak Harto diperiksa oleh tim medis yang terdiri dari 23 dokter ahli. Jadi tidaknya berangkat ke persidangan, baru akan ditentukan setelah pemeriksaan ini.’’

Dua puluh menit kemudian 4 motor voorijder dan dua mobil patroli polisi masuk ke halaman rumah Soeharto. ‘’Kami diperintah untuk mengawal Soeharto ke tempat persidangan,’’kata Sersan Mayor Polisi G.Sunaryo. Tak lama kemudian berdatangan para pengacara Soeharto lainnya. Pukul 08.28 tiga kendaraan KIA Carnival keluar dari garasi samping kanan rumah itu. Tampubolon yang duduk di depan salah satu mobil itu berteriak-teriak,’’pengadilan…pengadilan.’’ Para wartawan berusaha melongok ke dalam mobil yang berkaca perak, memantul dan tak tembus pandang. Tak ada apa-apa. ‘’Pak Harto tidak ikut, sedang berbaring di tempat tidur,’’kata seorang penjaga berbisik. Memang, kendaraan patroli polisi tak beranjak dari tempatnya.

Apa yang dilakukan Soeharto?Menurut sekretaris pribadinya, Anton Tabah, kegiatan Soeharto tiap hari sudah terjadual. Bangun pukul 04.30, berkumur, shalat dan minum setengah gelas air putih. Lalu tidur lagi hingga pukul 08.00. dan keluar kamar menuju ke teras belakang rumah. Duduk di kursi malas, di atas meja kecil di sampingnya tersedia segelas air teh manis. Camilannya sepiring ubi madu dari Cilembu, atau pisang rebus atau jagung rebus. Sambil mengunyah makanan Soeharto mendengarkan suara burung tekukurnya yang kabarnya bisa menirukan 19 jenis suara. Tak ada yang mengganggunya. Kecuali para mubalig, seperti KH Maftuh Ihsan dari MUI, Kiai Mashuri atau Zainuddin MZ yang datang sekitar pukul 10 pagi.

Bisa dipastikan tak ada pemeriksaan medis 23 dokter ahli pagi itu. Kecuali dokter itu memang sudah tinggal di dalam rumah itu selama 24 jam penuh. ‘’Tubuh Pak Harto kini lebih berisi dibandingkan saat diperiksa di Kejaksaan Agung dulu. Wajahnya, tak lagi sepucat mayat,”kata Anton. Inilah tipu-tipu cara rezim orde baru, saat kamera televisi, wartawan, ribuan masyarakat menunggu di Auditorium Departemen Pertanian dan jutaan mata pemirsa di seluruh nusantara, Soeharto justru asyik menikmati ubi madunya sambil mendengar tekukur. Kluk..krrruk!

Ahmad Taufik, Tomi Lebang dan Darmawan Sepriyossa (pernah dimuat Malajah Tempo)

1 Agustus with Lia Aminuddin

Dunia Metafisis Membenarkan Banjir Bandang

Berdasarkan pengalaman pahit dua tahun yang lewat saat tinggal di daerah Sunter, Jakarta Utara, Lia Aminuddin, 51 tahun, pimpinan Yayasan Salamullah, yang juga membentuk majelis taklim, mengajak jamaahnya untuk mengungsi pertengahan Agustus ini. Kenapa mengungsi? ‘’Pada pertengahan Agustus ini akan datang banjir bandang, yang akan menenggelamkan sebagian besar wilayah Jakarta,’’kata Lia, yang dulu dikenal sebagai ahli merangkai bunga.

Kali ini Lia ‘melihat’ banjir itu datang dari ‘kacamata’ metafisik dari alam yang tidak bisa ditembus secara kasatmata. ‘’Saya dibimbing oleh Malaikat Jibril untuk bisa melihat itu semua. Saya hanya menyambungkan kebenaran ramalan Badan Meteorologi dan Geofisika, lewat kekuatan yang saya miliki,’’katanya.

Menurut Ramalan BMG, pada Bulan Agustus matahari berada di atas garis khatulistiwa dan keadaan bumi kita sedang dirundung malang, dimana di kutub utara sedang mencair gletser itu, yang menimbulkan badai dan air pasang laut. Dan itu akibat, angin dan gelombang laut, kemungkinan mempengaruhi lautan sekitar kepulauan Indonesia. Dimana air pada waktu itu juga pasang, dan curah hujan sangat besar pada waktu itu. Dari beberapa alasan yang lain, yaitu kebakaran hutan dimana kita tak ada lagi ada penyerapan secara langsung karena tanah kita menjadi tandus. Sangat dimungkinkan banjir pertengahan Agustus itu sangat besar dan melebihi daripada yang kita perkirakan.

‘’Tentu saja saya tahu itu juga dari dunia metafisis, saya mendapat ilham, pada pertengahan Agustus bencana itu akan datang.Tanda-tanda yang saya peroleh begitu rinci kenapa terjadi bencana di seluruh dunia. Saya diberitahukan bahwa sekarang bumi ini banyak mengalami bencana. Ini karena ada perubahan tatasurya. Ketika terjadi percobaan nuklir di India dan Pakistan baru-baru ini, orbit matahati itu terjadi perubahan dan guncangan. Akibatnya bulanpun berubah orbitnya. Itu juga mengubah hak edar yang lain-lainnya, antara lain venus, merkurius. Akibat perubahan itu matahari dan bumi begitu dekat disitulah terjadinya pemanasan global,’’katanya.

Pemanasan global menyebabkan pori-pori bumi memuai dan menyebabkan pergesekan panas pada urat-urat bumi, yang menyebabkan gempa. Itu sangat dimungkinkan pada dataran yang luas seperti benua. Sehingga nanti banyak wilayah-wilayah di seluruh benua yang retak karena gempa tektonik dan gunung meletus. Dan apabila gesekan itu sampai pada kutub, maka itu yang menyebabkan kutub mencair. Akibat kutub mencair ini, akan banyak sekali kemalangan, karena badai dan gelombang itu yang membawa ek kutub itu menjadi akan mengubah lingkungan sekitarnya. Akibat itu maka akan terjadi badai, mau tidak mau lautan itu saling mempengaruhi karena gelombangan pasang arus laut itu. Karena keadaan semacam itu ditambah lagi pada Bulan Agustus matahari berada di atas khatulistiwa, sehingga air yang menguap dan ditampung oleh awan itu lebih banyak dari biasanya. sehingga curah hujan pada pertengahan Agustus itu sangat besar.

‘’Saya pernah mengalami itu dua tahun yang lalu, lima hari tak ada listrik, tak ada telepon, tak ada hubungan dengan dunia luar. Untung waktu itu saya punya simpanan makanan. Untung juga bak penyimpanan air bersih juga penuh, untung juga saya punya WC di atas. Jadi saya tidak kekurangan air bersih, tidak kekurangan makan, bisa masak, bisa mandi dan sebagainya. Kami tidak bisa turun ke bawah, juga tidak bisa keluar rumah, karena untuk jalan itu kita harus berenang, tak ada orang yang lewat berjualan, toko-toko tutup karena banjir. Pengalaman itu sangat tidak mengenakkan. Padahal pada waktu itu, hujan tidak diberitahukan seperti itu yang akan terjadi. Saat ini seluruh abgian Indonesia akan mengalami banjir bandang itu. Kita lihat sudah terjadi di Papua Nugini dan Cina,’’katanya.

Nah, dalam keadaan seperti itu, kalau ada keluarga yang tidak mempunyai makanan di rumah atau air bersih, sungguh kasihan sekali. Karena mereka tidak bisa keluar rumah, dan tidak bisa menemui toko yang buka berjualan, karena banjir itu. ‘’Saya ingin mengimbau masyarakat sebelum waktu banjir bandang itu datang, mereka mempersiapkan bahan makanan cukup, paling tidak untuk waktu satu minggu. Dulu saja, hujan hanya beberapa jam saja, saya menderita lima hari. Apalagi sekarang, yang kabarnya bakal lebih besar,’’katanya.

Bencana itu akan datang pada pertengahan Agustus. ‘’Saya merencanakan tanggal 13 Agustus bersama jamaah saya sekitar 100 orang dari pengajian Salamullah, akan pergi ke puncak, cari tempat untuk mengungsi. Mudah-mudahan tidak betul, tetapi berdasarkan pemberitahuan BMG itulah saya ‘mengecek’ ke ‘atas’, dan petunjuk itu datang membenarkan datangnya bencana banjir itu,’’katanya.

Lia juga mengimbau kepada masyarakat untuk mempersiapkan makanan, untuk minimal seminggu di rumah, air bersih, penerangan non listrik, gas, minyak tanah, obat-obatan, menyelamatkan surat-surat berharga dan tindakan lainnya. ‘’Kalau tidak terjadi ya, alhamdulillah, tapi kita akan mengantisipasi. Sebab kalau terjadi, andaikan kita sudah siap, kesulitan itu akan sedikit. Juga bagi yang memiliki peralatan elektronik atau listrik agar membawanya ke tempat yang lebih tinggi. Ada baiknya bila pada pertengahan Agustus bila masyarakat melihat gelagat acara kurang baik, untuk cepat-cepat mengambil tindakan menyelamatkan diri, sebelum terlambat,’’katanya.

Soal politik bagaimana? ‘’Ya, saya hanya bisa menonton saja, saya tahu apa yang akan terjadi, tapi itu baru buat diri saya saja,’’katanya.

Untuk memberitahu kepada masyarakat, Lia sudah memberitahu lewat internet. ‘’Tetapi saya tidak tahu apakah mereka membaca atau tidak, yang penting saya sudah berusaha memberitahu. Juga melalui jamaah saya, di pengajian ini,’’katanya. (sekian)

Timor Leste : Wawancara dengan Xanana

JAJAK pendapat rakyat Timor Timur tinggal dua hari lagi. Masyarakat di bumi Loro Sae berharap-harap cemas terhadap hasil penghitungan suara nantinya. Kedua belah pihak yang pro otonomi dan pro kemerdekaan kian bersitegang mendekati hari H. Dua hari lalu, beberapa warga Timtim ditembak oleh kelompok pro-otonomi. Ini dijadikan bahan kampanye oleh kelompok pro kemerdekaan untuk meraup kemenangan, hari Senin besok. Banyak yang meramalkan kedua kelompok masih bisa saling menahan diri, namun mereka tidak menjamin hal yang sama terjadi sesudah hasil perhitungan suara diumumkan nanti. Untuk mengetahui suara dari kelompok pro kemerdekaan, Andari Karina Anom dan Ahmad Taufik (TEMPO) menemui Ketua CNRT, Xanana Gusmao di LP Khusus, Salemba. Petikannya:

Ada laporan dari Zacky Makarim kepada Wiranto. Mereka khawatir jika pro-otonomi kalah. Mereka hitung pro-kemerdekaan mendapat 60 persen dan pro otonomi 40 persen. Bagaimana menurut anda?

Saya kira itulah yang benar-benar .....sudah berusaha untuk membuktikan bahwa kalau mau fifty-fifty. Jangan kasih uang, kasih makan, Semua intimidasi dilalukan untuk mencapai hasil yang seimbang. Menurut kami, itu bisa mempengaruhi keputusan MPR. Kami sudah mendapatkan sinyal dari pihak pro-otonomi bahwa untuk mereka bukan hasil jajak penapat itu yang merupakan keputusan terakhir, tapi mereka menunggu keputusan MPR. Karena mereka tau akan kalah. Kalau dipikir 40 persen, dia pikir bahwa semua distrik di perbatasan sudah dikuasai milisi. Tetapi milisi yang bukan orang Timor timur, tetapi milisi yang didatangkan dari luar.

Jadi, bagaimana anda memperkirakan hasil akhir jajak pendapat?

Saya tahu akhir-akhir ini banyak kesulitan. Misalnya banyak pengungsi yang sudah lari lagi ke Atambua sekarang jumlahnya sudah hampir 5000. Ada juga pengungsi yang keluar dari tempat area-area TPS. Sekarang, karena takut mungkin saja tidak bisa ke TPS untuk melakukan voting.

Benarkah orang-orang pro-otonomi sudah mengadakan negosiasi dengan anda. Eurico Guttteres kabarnya pernah datang menemui anda?

Secara prinsip mereka tidak mau bicara tentang masalah ini karena secara prinsip juga mereka masih menunggu keputusan MPR. Sehingga mereka tidak mau bicara sesuatu yang belum dipastikan.

Ada kesan anda sekarang dijadikan sandera Pemerintah Indonesia karena anda baru akan dibebaskan tanggal 15 September...

Saya sudah tidak percaya lagi pada Pemerintah Indonesia soal 1 September itu. Kepada 200 juta rakyat Indonesia saja mereka bisa berbohong terus setiap hari, apalagi kepada warga Timor Timur yang cuma 100 ribu orang. Kita merasa sudah...

Bagaimana tanggapan anda soal kekerasan yang terjadi di hari-hari terakhir ini?

Ini bukan usaha yang terakhir dari mereka, tetapi dalam rangka jajak pendapat, kita tidak tahu apa yang terjadi sekarang atau besok. Tapi dalam rangka jajak pendapat, ini usaha-usaha terakhir untuk memblokir, dan merusak karena mereka tahu rakyat Timtim tidak akan merusak. Saya tahu itu. Sebelum pembantaian di Liqcuisa dan Dili, mungkin saja banyak yang mau memilih otonomi, tapi karena kalian sudah membunuh begini, mereka nanti tidak mau memilih. Itu karena kalian sendiri. Bukan karena kami yang bilang kalian itu buruk, tapi kalian sendiri yang membuktikan bahwa kalian itu tidak punya perasaan.

Bagaimana anda melihat itikad baik Pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini?

Lebih dari Wiranto sendiri. Kalau Wiranto tidak bisa, dia bukan seorang jenderal, tapi saya tahu dia bisa. Hanya mereka yang masih mau bertahan.

Dukungan kepada kelompok pro otonomi semakin kuat dengan kedatangan tim PDIP, Golkar juga dukungan dari TNI. Bagaimana dampaknya bagi kemenangan kelompok anda?

Mereka masih menggunakan mentalitas orde baru. Mereka kira dengan intimidasi rakyat suka pada mereka. Walaupun sekarang saya bisa bilang karena intimidasi, teror dan pembunuhan mungkin rakyat kami akan khawatir dan takut, tetapi apa yang telah mereka buat tidak akan dilupakan.

Ada pesan khusus untuk teman-teman CNRT?

Saya minta semua untuk tetap menenangkan diri, mengontrol rakyat, berbicara pada pemuda-pemuda bahwa kita harus bersikap dalam sikap politik kita. Saya meminta kepada rakyat di Los Palos supaya mereka jangan turun. Saya sedih sekali atas pembunuhan yang sadis terhadap tokoh tradisonal yang punya pengaruh di Los Palos. Saya minta semua rakyat untu tetap mempersiapkan diri tanpa ketakutan. Sebab, dunia interasional sekarang ada di belakang kita. Merekalah yang akan meyakinkan Pemerintah Indonesia dalam hal ini dan inilah kesempatan terakhir kita untuk membuktikan cukuplah sudah perjuangan kita.

Pihak UNAMET dianggap tidak fair, misalnya tidak memberi izin kepada kelompok pemantau yang dianggap pro-otonomi. Bagaimana menurut anda?

Masalah ini kompleks. UNAMET masuk ke Timtim, menyewa rumah dan mobil milik orang pro-integrasi. Bukan pro-kemerdekaan. Nilainya jutaan. Bukan main jumlahnya. Dengan seleksi orang yang memantau jajak pendapat, tidak benar kalau tidak fair. Masa supir, tukang kayu dibilang pro-integrasi. Mengenai masalah ini kita diam saja karena kita tidak mau masalah ini terlalu.... (diam)

Saya bisa bilang, dulu rakyat ditindas, tidak punya suara, tidak punya hak. Setelah TNI dan UNAMET bilang semua punya hak dan kesempatan yang sama. Itu sebabnya mereka merasa ada yang berpihak. Kami juga bisa bilang bahwa polisi tidak fair. Kemarin pagi jam 5, dua kantor CNRT di sana oleh polisi dan TNI sendiri. Kemarin pagi, kita sendiri tidak bisa masuk ke sana karena ada yang jaga dari polisi. Tapi, orang-orang dari milisi bisa masuk ke sana dengan membawa beras, sapu, makanan dsb. Itu semua terjadi di depan polisi. Jadi, dalam kejadian ini, polisi bukan cuma berpihak, tapi ikut serta membunuh orang. Nyatanya kami tidak ada yang bicara. Kita tahu TNI juga ikutserta dalam kelompok pro-otonomi, kita diam saja dan menerima semua. Kita tidak bicara apa-apa. Kita hanya berjaga-jaga dan berhati-hati dalam tindakan kita. Kita tidak mau berdebat tentang masalah ini. Saya nilai Unamet tetap fair dalam menjalankan tugasnya.

Jakarta, 14 dan 15 Mei

Kamis, 14 Mei 1998

19.00, Jakarta lumpuh total, tak ada kendaraan umum yang mau jalan, kecuali beberapa pengojek menawarkan harga yang tinggi untuk tempat yang tidak terlalu jauh. Tanah Abang ke Bendungan Hilir yang biasanya hanya Rp 500 dengan Bemo, ditawarkan Rp 5.000 oleh pengojek. Slipi ke Pondok Gede ditawarkan harga Rp 40.000. ‘’Ya, kalau mau segitu, kalau tidak ya sudah, inipun jalannya harus hati-hati, cari tempat aman ayng bisa dilewati. salah-salah motor kita bisa dibakar massa,’’kata seorang tukang ojek yang berada di Slipi.

Beberapa orang yang membawa barang jarahan berupa organ dan sound sistem terlihat bingung. Ada taksi yang nongkrong tidak mau membawa barang-barang itu, tukang ojek juga tidak mengangkut. Akhirnya mereka harus bawa-bawa barang itu berjalan kaki. ‘’Wah, saya harus ke Warung Buncit, bingung, nih,’’kata sang penjarah.

Akhirnya Aku jalan kaki dari Slipi melewati Gatot Subroto, dengan harapan di Jalan Sudirman akan ada kendaraan yang menuju ke Jalan Diponegoro atau kemanan saja yang ke arah dekat kantor. Tetapi ternyata juga tidak ada, di dekat Karet, berteman dengan seorang warga Matraman, Marjuki, pegawai Ratax yang sudah jalan kaki dari Ciledug, selama 2 jam lebih, dan baru sampai ke rumah setelah berjalan kaki 3,5 jam. Ampun.

Jum’at 15, Mei 1998,

01.00 dini hari Jalan dari Jakarta menuju Kalimalang, Bekasi mencekam. Hanya satu dua kendaraan yang lalu lalang. Dimana-mana bau bekas kebakaran, asap masih mengepul dari bangkai-bangkai bus, kendaraan pengaspal jalan, dan mobil-mobil di sepanjang jalan Pramuka,. Masuk jalan tol, tak dijaga, beberapa bangkai mobil juga tampak di jalan tol dalam kota, yang biasanya harus bayar Rp 3.000. Masuk Tol Cikampek, beberapa mobil ada yang jalan, tapi, puluhan truk dan mobil sedan banyak juga yang berhenti di dekat pintu tol. Mereka tak berani melanjutkan perjalanan, apalagi menuju rumah-rumah mereka yang biasanya berada di sekitar jalan tol. Tak tahu lagi dimana tempat yang aman. Karena pihak keamanan ternyata tak mampu berbuat apa-apa.

Keluar dari tol masuk jalan Caman, tak ada lagi kendaraan yang lewat, yang ada hanya bekas-bekas mobil, asap masih mengepul dan bara yang kelihatan merah. Massa terlihat dalam gelap mengangkuti kasur, kursi, meja, kacamika, dan entah apa lagi.

01.30. Api masih membara di gedung BCA, kantor Starko, Apotik Masnaga, dan tokok-toko di sepanjang jalan mulut menuju perumahan Taman Galaxi Indah, Bekasi Selatan. Suara lemparan batu, dan suara pecahan kaca PRANG! masih terdengar terus. Massa juga tampak masuk ke toko-tokok yang rusak, dan masih tetap menjarah ditengah bara api. GILA. Tak ada ojek untuk mengangkut, lampu mati, jalananan gelap menyeramkan. Di gerbang perumahan Taman Galaxi, 2 truk tentara PHH dan Kodim 501 BS Jakarta Timur, tampak berjaga-jaga. Ada juga yang tidur-tiduran dijalan melepas lelah. Sementara warga berjaga-jaga di gerbang itu dengan senjata yang dimiliki. Isu yang tersebar penjarah akan menyerbu perumahan. Di setiap mulut jalan di kompleks Galaxi, penduduk berjaga-jaga dengan senjata tajam, pipa besi, kayu, wajah mereka tegang. Semua lelaki warga kompleks itu harus mampu bertahan untuk tidak memejamkan mata. Begadang. ‘’Kami khawatir ada yang menyerbu ke sini, kami akan bertahan sampai titik darah penghabisan,’’kata Ilyas, warga Galaxi, wajahnya tegang.

Pukul 10.00 di sepanjang kali malang tampak bangunan-bangunan yang hancur terbakar, dan bangkai-bangkai mobil berserakan di tengan jalan. Di beberapa tempat massa penjarah masih mencari sisa-sisa yang bisa dijarah. Di sepanjang jalan, di jalan aspal juga ditulisi dengan cat semprot macam-macam kata bernada kecaman antara lain “ Harmoko = Aidit ; Suharto PKI, Pemerintah Tai, Barisan Anti Cina, Gantung Suharto, dll.’’

Di salah satu bangunan yang hancur total dan rubuh bekas jarahan, tertulis di sebuah triplek, ‘’Suharto, Harus Bertanggung Jawab.’’

di Toserba Tomang Tol, Jalan Kalimalang, sekitar 20 warga tampak sedang menggotong mainan anak-anak yang biasanya dimasukkan koin, dibawa kekampungnya beramai-ramai. Entah Untuk apa.

Pom-pom bensin sepanjang Kalimalang tampak tutup, tiap tempat ditulisi, Pribumi, Muslim, Milik Haji Uci, H.Yasin dan haji-haji sebagainya, biar aman.

12.00 Di dekat stasiun kereta Jatinegara, massa masih tampak menjarah toko-tokok elektronik disekitar itu. Tentara yang berada di kantor Kodim Jakarta Timur, hanya berjaga-jaga di depan kantor itu membentuk barisan barikade, dan tak memperdulikan warga yang menjarah. Aneh.

Di jalan tol yang sudah tak dijaga, beberapa anak muda menjaga tol, tiap mobil yang lewat dkutip Rp200 sampai Rp 500.

Nusapati : Gara-gara Minta Nomor ke Kuburan , Keluarga Jadi Korban Pembantaian

Sakit demam setelah dari kuburan, Nusapati bermimpi memotong ayam untuk sedekah. Tidak tahunya mertua dan anaknya jadi korban. Kini ia menyesal setengah mati. Nasi sudah jadi bubur, sesal kemudian tak berguna.

Menjelang Maulid Nabi Muhammad SAW, pertengahan Juli 1997, Nusapati membotaki kepalanya. Tapi bukan botak plontos, melainkan hanya bagian tengah beradius 10 centi meter. ‘’Lihat, tuh, Nusapati mulai stress lagi,’’ujar seorang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kuningan ,Jawa Barat.

“Saya tidak gila, tidak stress. Biar saja orang mengatakan saya //kencleng// - istilah khas di LP Kuningan untuk orang yang mulai stress. Asal saja orang itu tidak mengganggu saya,’’kata Pati panggilan akrab Nusapati.

Nusapati, 35 tahun divonis hukuman 13 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Muara Duo, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Ia dipersalahkan membantai mertua dan tidak anaknya, serta melukai isterinya. ‘’Saya sangat menyesal,’’katanya tertunduk dalam-dalam.

Kepadaku, Nusapati menceritakan perjalanan hidupnya hingga kini menjadi penghuni LP Kuningan. Aksen khas Sumatera Selatan masih kental saat ia menceritakan kisahnya.

Saya lahir di Desa Muara Duo, Kecamatan OKU, pada tahun l962. Tanggal tepatnya saya tidak ingat lagi. Ibu saya Hamidah bersuamikan Marin, saya anak ketiga dari empat bersaudara. Ibu meninggal saat saya berusia 4 taqhun, dan Bapak menyusul ketika saya berusia 10 tahun. Menjadi yatim piatu memang tidak enak. Saya tak sempat mengecap bangku sekolah. Akhirnya saya tinggal di rumah kakak sulung, Fendi. Tugas utama saya tiap hari mengurus mesin penggilingan padi milik kakak saya yang beranak lima itu.

Menginjak usia 18 tahun, saya berpisah dengan kakak dan menikah dengan perempuan se kampung Nurlaila, 15 tahun. Sejak itu saya tinggal di rumah mertua, hingga memperoleh seorang anak lelaki, Johnson. Perkawinan kami hanya berjalan empat tahun, akhirnya kami berpisah, saat itu usia ku sudah 22 tahun.

Hidup sendiri memang tak nyaman, apalagi Johnson ikut serta. Akhirnya saya putuskan untuk menikah lagi. Pilihanku Ratmi, 17 tahun, janda beranak satu dari kampung tetangga. Kami berempat tinggal di rumah panggung dan sebidang tanah milik mertua di Desa Sukananti. Tanah itu aku tanami cabai. Mertuaku, Musib, 60 tahun, sering datang membantu bukan hanya materi juga meringankan pekerjaan di kebun. Aku merasa terbantu, apalagi hubungan perkawinan kami menghasilkan seorang anak, Tony.

Walaupun telah menanggung hidup empat mulut, kebiasaan jelekku memasang buntut tak juga hilang. Tambah kerajingan ketika Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) ada. Tiap pekan tak pernah lolos. Sekali pasang berkisar empat ribu rupiah sampai dua puluh ribu rupiah. Herannya, nomor yang aku pasang tak pernah jitu. Semakin hari semakin penasaran. Lalu ada yang menyarankan agar aku berusaha mencari nomor jitu ke kuburan.

Kebetulan tak jauh dari tempat tinggalku ada kuburan keramat. Banyak orang sering bersemadi di Makam Tambak Puyeng Bagindo itu. Kabarnya pula, sering orang memperoleh nomor jitu dari sana. Mulailah aku pergi ke sana bersemadi, sekali dua kali ternyata gagal.

Kali ketiga aku bawa rokok, kemenyan, kopi pahit, kopi manis dan bubur merah putih untuk penghuni makam, maksudnya. Setelah tiga hari tiga malam aku bersemadi di makam itu, tiba-tiba di batu nisan keluarlah gambar daun kopi dan daun cabai, disertai angka 1174.

Aku langsung pulang ke rumah, tapi suhu badanku meninggi disertai demam. Walaupun begitu aku masih sempat memasang nomor hasil bersemadi, 1174, sepuluh ribu rupiah. Tapi keberuntungan belum berada di pihakku. Saat penarikan, angka yang keluar, 1170.

Demamku tak juga sembuh, walaupun sudah dua hari. Malah semakin parah. Aku beli puyer dan obat demam di warung. Walaupun sudah 4 empat bungkus rasa panas dingin belum juga reda. Aku putuskan untuk pergi ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Tapi sial, Puskesmas, tutup, karena Hari Jum’at itu tanggal merah, hari libur. Langsung saja aku pulang ke rumah.

Di kebun, mertuaku sedang memanen cabai . Sedangkan isteri dan dua anakku sedang membantu menyiapkan makan dan kopi. Tiba-tiba kepalaku terasa pening. Lalu terbayang ada acara sedekahan di rumah. Untuk itu aku memotong ayam jago besar. Kedua aku potong ayam betina. Berikutnya aku memotong i anak ayam, malah aku sempat mengejar-ngejar anak ayam jantan .


Setelah acara sedekahan itu, aku lari entah kemana. Ditemukan oleh kakakku dua hari kemudian di tengah hutan, dan aku diserahkan kepada polisi. Saat dimasukkan ke dalam sel kantor polisi sektor Muara Duo, aku baru sadar. Polisi menyatakan aku telah membunuh mertua dan ketiga anakku. Sedangkan isteriku terluka parah di bagian dada tersabet keris panjang. Polisi itu menunjukkan keris panjang yang aku gunakan.

Aku tak percaya. Tapi ini bukanlah mimpi. Aku sangat menyesal, mengapa ayam yang aku potong berubah menjadi anggota keluargaku? Aku masih tak habis pikir sampai sekarang. Berbagai pertanyaan menghantui dalam benakku. Apakah ini karena ulah setan kuburan atau kutukan dari Tuhan karena perbuatan syirik itu? Entahlah.

Aku tak pernah punya masalah dengan mertua, juga dengan isteri dan anak-anakku, mereka semuanya sangat baik. Para penyidik juga semula tak percaya. Malah ketika aku diserahkan ke Koramil, komandan sempat memaksa saya untuk mengaku merencanakan membunuh. Pistol sudah ditodongkan ke keningku. Bukannya takut, aku malah minta agar ditembak saja. “Tembak saja pak, saya pasrah. Lebih baik mati daripada menanggung beban seperti ini,’’ujarku pada komandan Koramil.

Komandan tak berani melakukannya, aku segera di kirim ke Rumah Tahanan (Rutan) Muara Duo. Hanya sehari, aku langsung di kirim ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di Palembang untuk pemeriksaan kejiwaan. Selama empat puluh diperiksa secara lengkap, dengan kabel-kabel listrik yang ditempelkan ke beberapa bagian tubuhku. tapi mereka tak menemukan kelainan jiwa padaku. Aku dikirim kembali ke Rutan Muara Duo, dengan pernyataan aku manusia waras. Semula juga aku ragu pada diriku. masihkan aku manusia waras? Kalau waras, kenapa membunuh 4 jiwa dan itu keluarga sendiri?

Jaksa Penuntut Umum, menuntutku hukuman 15 tahun penjara. Tapi majelis hakim di Pengadilan Negeri Muara Duo, memutuskan hukuman 13 tahun penjara. Aku terima semuanya, dengan niat untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat.

Cobaan terus datang kepada di dalam penjara. Di LP Pakjo, Palembang, aku terserang penyakit ambeien. Darah terus mengucur membasahi kain sarungku. Aku tak bisa menggunakan celana. Dari Pakjo aku dikirim ke LP Tanggerang, Jawa Barat. Baru tiga bulan setengah, bersama narapidana lainnya aku dikirim ke LP Kuningan. Di sini beberapa saat aku tinggal di rumah sakit LP. Suatu malam, dalam cuaca yang dingin aku berjanji akan menjalani ibadah sungguh-sungguh, bila sembuh dari penyakit wasir ini.

Alhamdulillah, beberapa hari kemudian aku sembuh. Untuk mewujudkan tekad dan melaksanakan janji aku belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya. Sampai sekarang aku masih belajar mengaji, dan menjadi tukang azan di masjid LP. Penyakit wasir itu tak pernah lagi datang.

Hidup di dalam penjara harus dapat menahan diri. Pernah suatu kali, beberapa narapidana mengatakan aku gila. Aku tidak terima hinaan itu, dan sempat mengamuk. Lalu, tangan dan kakiku di borgol. Aku marah sekali, merasa diperlakukan seperti anjing. Akhirnya, berkat pengertian kepala Kesatuan Pengamanan (KP) LP, borgolku di lepas, dengan janji tak akan membuat keributan. Kini aku tak peduli, apa yang dikatakan orang terhadapku.

Hidupku kini rasanya sebatang kara, tak ada lagi sanak keluarga yang datang menjenguk. Isteripun sudah minta cerai. Entah mau kemana setelah bebas nanti? Adakah kesempatan untuk dapat bertahan hidup di luar tembok penjara?

Ahmad Taufik (pernah di muat Maalah D&R)

Menonton Nostalgia 80-an

Penampilan Duran Duran masih prima. Penonton cuma menikmati nostalgia.

Romulo Radjidin, 44 tahun tampak sumringah setelah pertunjukkan grup band asal Birmingham, Inggris, Duran Duran di ruang pertunjukkan Jakarta Convention Centre, Senayan, Selasa malam pekan lalu. Pemilik nama beken Lilo, gitaris KLA Project, yang top pada akhir 1980-an dengan tembang Yogyakarta, merasa wajib nonton pertunjukkan ini. “Kehidupan musikku bersama era Duran Duran,”katanya.

KLA lahir 1988, ketika hampir delapan tahun Duran Duran menguasai aliran musik. “Duran Duran yang mengusung new wave dan punk, kami mengusung new romantic, lebih sendu dari Duran Duran di era itu,”ujar Lilo.

Lagu Duran Duran menguasai ruang-ruang diskotik di pertengahan 1980-an. Lilo menyebut musik yang enak untuk fashion show. “Duran Duran memang bisa masuk ke lantai disko pada masa itu, tapi bukan musik disko,”katanya. Duran Duran, diambil dari nama dr Durand Durand dalam film fiksi ilmiah besutan sutradara Roger Vadim, Barbarella. Grup itu dibentuk saat John Taylor, Nick Rhodes bertemu dengan penggebuk drum Roger Taylor usai sebuah pesta. Simon Le Bon juga gabung atas anjuran bekas pacarnya yang bekerja di klub malam Rum Runner, London. Wajarlah nuansa pesta atau klub malam mewarnai kelompok musik ini.

Musik Duran Duran sejak awal termashur hingga album terakhir Red Carpet Massacre, selain ngebeat dipuji Lilo hebat dengan ramuan campuran digital synthesizers. “Duran Duran tuh bener-bener gila nge-remix berbagai suara, tapi tak meninggalkan ciri khas musik masa 80-an. Itu, kelebihannya,”ujarnya.

Selain musik yang boleh dibilang maju era itu, lirik lagu-lagu Duran Duran seperti bertutur. Untuk mengungkapkan cinta Duran Duran tak langsung bilang, “aku jatuh cinta padamu, atau aku suka kamu,” tapi ungkapan perasaan seperti srigala kelaparan
“In touch with the ground,
I'm on the hunt I'm after you,
Smell like I sound,
I'm lost in a crowd,
And I'm hungry like the wolf,
dalam lagu Hungry Like A Wolf di album kedua bertajuk Rio yang dirilis 1982. “Lirik-lirik Duran Duran bertata bahasa apik, edukatif, walaupun gak puitis banget,”kata Lilo.

Dalam lagu maupun pertunjukkan Duran Duran juga selalu membawa pesan-pesan positif, tampak pada lagu Rio, New Religion atau Save The Prayer. Di Senayan, sebelum melantunkan lagu Ordinary World vokalis Simon Le Bon, sempat menyerukan perdamaian. “Kita cukup prihatin dengan berbagai peristiwa yang terjadi di dunia yang bisa kita lihat di televisi. Kini saatnya, kita saling berpegangan tangan untuk perdamaian,"katanya kontan disambut tepukan penonton.

Sambutan kaum yang beranjak mapan, orang-orang seumuran Lilo dan tak jauh di bawahnya. “Dulu, ketika Duran-Duran manggung disini 14 tahun yang lalu, kami cuma bisa nonton di teve. Sekarang, kami udah bisa nonton dan bayar sendiri,”kata salah seorang personil kelompok nyanyi parodi Project P, Udjo Karim, 37 tahun

Memang, nostalgia 80-an itulah yang dibidik oleh Nepathya. “Apalagi 80-an sekarang lagi naik daun, pasti laku,”kata Rinny Noor sang promotor. Malam itu, lebih dari 3.000 orang nonton pertunjukan bertiket seharga Rp 750 ribu – Rp 2 juta. Tak seperti Beyonce atau Mariah Carey, yang minta perlakuan khusus, Duran Duran cuma minta dicariin wine tahun 1980-an. “Kami tak bisa penuhi, susah carinya,”ujar Rinny.

Penampilan prima Le Bon dan kawan-kawan, mengalahkan panggung minimalis yang hanya dengan backdrop deretan gedung jangkung. Lampu yang didominasi warna ungu dan jingga, sesekali warna kuning, merah cukup untuk menampil sosok Duran Duran seutuhnya. Lampu blitz berulang-ulang dengan bunyi seperti klik kamera berulang-ulang mengukuhkan pendapat Lilo, musih untuk fashion. Sesuai pula dengan tema album barunya, pembantaian di karpet merah, cerita kejadian tragis di catwalk. Semua itu membuat penonton terkesiap.

Dari 20 lagu yang dinyanyikan malam itu, beberapa lagu baru dicomot dari Red Carpet Massacre yang kaya melodi, tapi justru tak mendapat sambutan hangat. Namun saat lagu Notorious, Wild Boys, Rio, The Reflex maupun Come Undone dilantunkan penonton menyambutnya. Bahkan belasan penonton di samping kanan panggung nampak berdiskoria.

Pertunjukkan Duran Duran tak cuma menjadi bahan tontonan jika penyelenggara lebih sedikit kreatif. Misalnya, menyulap balai sidang jadi lantai disko. Karena grup ini lebih cocok sebagai musik pengiring. Namun Lilo tak sepakat dengan kesimpulan itu. “Duran Duran tetap band yang pantas ditonton, dan penampilan kali ini asyik banget,”ujarnya.

Ahmad Taufik (edisi edit dimuat di Majalah TEMPO)

Jumat, April 25, 2008

Perempuan, Warga Negara Kelas Berapa?

Perempuan sering kali ditempatkan, sebagai warga negara kelas dua dalam sebuah masyarakat, sesudah pasangan mereka, pria. Tetapi, perempuan selalu menjadi korban pertama dalam kehidupan sebuah bangsa. Dalam bidang politik, perempuan tak mendapat tempat yang pantas di pentas politik. Perempuan berulangkali hanya diikutsertakan, bukan menjadi penentu keputusan dalam pengambilan kebijakan. Tak heran jika keputusan politik selalu merugikan kaum perempuan dalam berbagai hal.

Namun, saat terjadi situasi chaos dan ketidakstabilan politik, perempuan lah yang pertama kali menjadi korban. Dalam peristiwa kekerasan politik tahun 1965 di Indonesia, ribuan perempuan mati dan menjadi tahanan politik. Dalam kekerasan politik di Aceh, perempuan menjadi korban langsung dan tak langsung. Menjadi korban langsung, selain mati terbunuh saat tak bersenjata, perempuan diperkosa dan dilecehkan hak dan kehormatannya. Secara tak langsung perempuan menjadi korban saat suaminya mati dibunuh tentara alias menjadi janda.

Hal yang sama juga terjadi di kawasan Asia Timur, Tenggara, Australia maupun kawasan Pasifik. Penahanan yang berkepanjangan terhadap Aung San Syu kyi di Burma hingga kini, contohnya menunjukkan perempuan yang mencoba bangkit melawan dilemahkan oleh kekuatan militer.

Di Philipina, janda diktator Ferdinand Marcos, Imelda, penah dipakai untuk melawan Corry Aquino yang didukung rakyat. Corry adalah janda Ninoy Aquino yang dibunuh Marcos saat baru tiba di bandar udara Philipina, setelah dari pengasingannya di Amerika Serikat. Diktator Marcos, takut terhadap lawan-lawan politiknya, jalan satu-satunya adalah membunuhi mereka. Corry lah yang menuntut balas, dan memberikan kekuasaan kepada demokrasi rakyat di Philipina. Kekuasaan sekarang yang dipegang oleh Arroyo Macagapal, hanyalah meneruskan jalan setapak yang sudah dirintis oleh Corry aquino. Namun, tak sedikit halangan yang terjadi terhadap Arroyo kini, terutama gangguan dari suaminya, yang “merasa” turut berkuasa.

Di Indonesia, pengalaman yang sama pernah terjadi saat Megawati Sukarnoputri menjadi presiden. Hampir tidak ada kebijakan publik yang dibuat oleh Presiden Megawati, memberi nilai ‘plus” bagi kaum perempuan.

Hambatan terhadap perempuan sering kali juga datang dari penguasa tafsir agama. Agama, selain alasan politis juga sering dipakai sebagai alasan untuk menghambat perempuan-perempuan yang ingin maju. Padahal, inti dari ajaran semua agama tak membeda-bedakan jenis kelamin. Karena ajaran agama itu untuk semua manusia. Cuma terjadi perbedaan penafsiran, yang didominasi kaum laki-laki sehingga peran perempuan disisihkan dalam beberapa segi kehidupan.

Di kawasan Asia Timur, Tenggara, Australia dan kepulauan Pasifik, terdapat bermacam-macam agama dan kepercayaan. Yang tercatat banyak pemeluk agama Islam –nya hanya terdapat di Indonesia, Malaysia dan Brunei. Ajaran Islam yang dominan dalam masyarakat itu mempengaruhi setiap penentu dalam mengambil kebijakan. Di Philipina, walaupun negaranya didominasi pemeluk Katolik, tetapi di beberapa negara bagian, seperti di Pulau Mindanau dan sekitar, pemeluk Islam mendominasi wilayah itu. Sehingga kebijakan juga harus diambil sesuai komunitas di masyarakat itu.

Kedudukan perempuan dalam kebudayaan Indonesia mempunyai banyak segi. Tak bisa diidentikkan dengan satu tipe. Ini terjadi karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku. Dalam suku Minangkabau, di Sumatera Barat, misalnya perempuan mempunyai peran yang dominan dibandingkan laki-laki, sehingga perempuan lebih berhak mendapat hak warisan dibandingkan laki-laki. Dalam hal perkawinan, perempuan suku Minangkabau juga bisa ‘membeli’ laki-laki yang diinginkannya. Seorang laki-laki yang berpendidikan tinggi akan ‘dibeli’ mahal oleh perempuan Minangkabau.

Sistem matrilinear (motherhood) dalam suku Minang memang mengejutkan. Karena justru suku di Sumatera bagian Barat itu terkenal dengan keteguhan memegang ajaran agama Islam. Bahkan dalam konsepnya terkenal motto “Adat bersanding Syara. Syara bersandung Kitabullah’’ Artinya ada harus sesuai dengan syariat agama dan syariat agama (Islam) harus sesuai dengan Kitab Suci Al-Qur’an.

Padahal ajaran Islam, dari tempat agama itu berasal di tanah Arab, terkenal dengan ajaran yang sangat kelaki-lakian. Zaman pada saat Nabi Muhammad lahir di tanah Arab, bagi suku/qabilah yang hidup di tempat itu adanya anak perempuan dianggap musibah, karena itu apabila ada anak perempuan yang lahir segera dibunuh. Karena dianggap akan menyusahkan keluarga itu.

Memelihara anak-anak laki-laki dalam masa itu di tanah Arab dianggap merupakan investasi masa depan. Karena laki-laki bisa segera bekerja menghasilkan nafkah membantu keluarga. Berbeda blan memiliki anak perempuan, hanya bisa dipelihara sampai tiba waktunya diambil oleh (dikawin). Belum lagi resiko yang akan ditanggung bila anak perempuan itu tak ada yang mau mengawini karena cacat atau kekurangan lainnya, dan mengalami perkosaan.

Tapi , hanya jarak sepelemparan batu masih di Pulau Sumatera, tepatnya di Sumatera Utara, lebih khusus lagi suku batak, yang kebanyakan beragama kristen, justru sangat kuat garis kebapakan (manhood). Hanya anak laki-laki yang diakui dan berhak memakai nama bapak atau garis keturunannya (marga).

Di tempat lain, masih di Indonesia, walaupun dalam peri kehidupannya menganut garis kebapakan, tetapi perempuan lebih dominan sebagai tulang punggung pencari nafkah keluarga. Misalnya, suku di Pulau Bali, perempuannya pergi mencari kerja, sedangkan laki-laki peketrjaannya hanya bermain judi sabung ayam atau berleha-leha di rumah menjaga anak. Indonesia memang sebuah negara yang unik, yang terdiri dari banyak suku, agama dan keprercayaan.

Namun, arus besar dalam masyarakat Indonesia, menunjukkan perempuan menjadi orang pinggiran, warga negara kelas dua, dibandingkan laki-laki. Baik karena dominannya agama Islam, juga karena dominannya suku yang menganut garis keturunan kebapakan. Tak heran kebanyakan pahlawan nasional adalah laki-laki, justru pahlawan dari Aceh yang menjadi pahlawan nasional kebanyakan perempuan.

Memang sejak zaman sebelum Indonesia merdeka, para perempuan Aceh melawan secara fisik usaha-usaha penjajahan, seperti yang datang dari Inggris, Portugis dan Belanda. Itu karena para lelaki, telah kalah dan menyerah ke tangan para penjajan, mereka meneruskan perjuangan itu, melawan secara gerilya di hutan atau tangkas di laut seperti Keumalahayati di abad 17 yang menjadi pemimpin wanita di laut melawan pelaut Portugis yang akan menyerang Aceh.

Namun, setelah Indonesia merdeka, perempuan semakin tersisihkan perannya dalam panggung politik, maupun sebagai penentu kebijakan bangsa. Sehingga setiap putusan politik yang diambil, selalu bias gender dan mempersempit ruang gerak perempuan. Selama Presiden Soeharto berkuasa (1965-1998-sering disebut sebagai orde baru untuk membedakan orde lama pimpinan Presiden Soekarno) perberdayaan perempuan ini diwarnai dengan pembisuan dan kooptasi organisasi-organisasi perempuan serta seluruh organisasi independen lainnya. Bercokolnya lembaga Dharma Wanita atau PKK yang mengkoordinir karya perempuan pada masa orde baru menjadi saksi adanya kooptasi rezim orde baru dalam melanggengkan domestifikasi perempuan.

Setelah Soeharto tak lagi berkuasa, meminggirkan kaum perempuan masih terus terjadi. Lewat “demokrasi” kelompok-kelompok keagamaan atau organisasi massa tertentu menekan penguasa-penguasa daerah atau partai politik untuk terus meminggirkan kaum perempuan. Mulai dari alasan peraturan daerah anti maksiat, peraturan daerah berdasarkan syariat Islam, sampai rancangan Undang-undang Anti pornografi dan Porno Aksi yang isinya, tidak mendudukkan perempuan dalam harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Alih-alih alasan mau menjaga martabat perempuan, para pendukung peraturan bernuasansa syariat Islam, lebih berusaha memaksakan kehendaknya. Pengalaman di Afghanistan saat kaum Taliban berkuasa, perempuan menjadi kaum tertindas. Perempuan tak boleh sekolah, bekerja, tapi para Taliban tak pernah mencegah perempuan untuk menjadi peminta-minta. Dalam sejarah pemerintahan para Kalifah Islam, para penguasa yang menggunakan khilafah Islamiyah, justru, “memenjarakan” perempuan dalam ruang-ruang harem. Tak jarang para Raja Islam yang berkuasa menggunakan kitab suci dan para ulama melangengkan peminggiran kaum perempuan, dengan menjadikannya budak nafsu, gundik ataupun selir.

Para penguasa itu, dengan para ulamanya yang 100 persen laki-laki (kalau perempuan hanya sebatas sampai ustadzah/guru agama) menggunakan agama Islam, sesuai penafsirannya sendiri. Padahal ajaran Islam dibangun berdasarkan persamaan baik dari gender (jenis kelamin) maupun status sosial. Karena dalam Al-Quran, jelas disebutkan orang yang tinggi derajatnya, adalah orang yan berilmu dan bertakwa. Tak disebut soal jenis kelamin ataupun kedudukan sosial.

Sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa Islam tak membeda-bedakan jenis kelamin. Tuhan dengan caranya sendiri, tak memberikan keturunan (anak) laki-laki kepada nabi Muhammad, dalam lingkungan Kabilah (suku) Arab yang sangat mengagungkan kedudukan laki-laki. Kini tak perlu lagi menggunakan “tangan” Tuhan untuk bisa mendudukan perempuan setara dengan laki-laki. Karena toh, manusia sudah memiliki akal. Hanya kaum tak berakalah yang masih membeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin dan status sosial.(sekian)