Populasi Kaum Hazara memang cuma 20 persen dari Bangsa Afganistan. Namun, nasibnya terpuruk dan tersingkir sepanjang sejarah Afganistan. Setelah menjadi warga negara kelas dua, kaum Hazara melawan dominasi etnik Pastun, dengan bersatu membentuk partai politik yang kuat. Tapi karena mereka beragama Islam Syiah, mereka tak dapat tempat layak, sejak zaman Mujahidin berkuasa, apalagi saat Taliban yang membenci ajaran Syiah. Mereka tersingkir ke Iran dan Pakistan. Di tempat itu, nasib mereka juga bukan lebih baik, terutama di Pakistan, dimana masyarakat Islam Sunni Pakistan adalah pendukung pemerintah Taliban Afganistan.
Raut muka Haji Sarbini, 68 tahun tampak tegang dan sinis. Lelaki berpeci putih, dengan janggut putih di wajahnya tampak bergetar. ‘’Buat apa anda tanya nama saya dan buat apa wawancara ini?’’katanya dalam Bahasa Parsi.
Presiden Hagy Camp, tempat tinggal kaum Hazara di ibukota Propinsi North-West Frontier, Peshawar, Pakistan itu tampak tak suka. ‘’Terus terang kami takut, bila pemerintah Pakistan membaca tentang kami yang bercerita dengan anda, kehidupan kami akan semakin disudutkan. Apalagi di tengah lingkungan kota perbatasan Pakistan seperti ini yang sunni dan mendukung Taliban,’’kata Haji Sarbini.
Lelaki tua bertongkat kayu bersama delapan pengikutnya, dua diantara masih berusia 24 tahun, Ali Zada dan Mahram Ali, datang menemui saya di Peshawar International School, karena tak mau ditemui di tempat tinggalnya. Karena kebaikan seorang aktifis pendidikan yang mengelola sekolah itu, kami bertemu di ruang guru sekolah yang berada di pinggir jalan raya Islamabad- Peshawar. ‘’Mereka tak mau anda datangi di tempat mereka,’’kata Abid Zareef, aktifis lembaga swadaya masyarakat bidang pendidikan itu.
Ketakutan Haji Sarbini dan kaum Hazara karena pengalaman yang tak mengenakkan di Afganistan. Sejarah kehidupan kaum Hazara penuh duka. Setiap zaman dan pemerintahan menjadi korban pembantaian. Padahal kaum Hazara, menurut Haji Sarbini memiliki populasi 20 persen dari penduduk Afganistan. Lima persennya adalah berasal dari keturunan Nabi Muhammad dengan memakai gelar Sayyid di depan nama mereka. Dari jumlah penduduk, 6 juta warga Suku Hazara adalah etnik terbesar ketiga, setelah Pashtun dan Tajik, dari 24 juta warga Afganistan. Soal populasi kamu Hazara ini memang beberapa sumber menyebutnya berbeda-beda.
Majalah Time menyebut 19 persen dari penduduk Afganistan, di bawah Pastun, Tajik dan Uzbek. Tetapi dibantah situs Hazara Net yang menyebut 25 persen alis nomor tiga di atas suku Uzbek. Mereka mendiami kawasan tengah Afganistan yang luas, di daerah yang dikenal sebagai kawasan Hazarajat atau Hazaristan, yang termasuk wilayah Khorasan. Tepatnya, di provinsi-provinsi Bamiyan, Samangan, Ghazni, Oruzban, yang adalah kawasan berpemandangan indah, bergunung-gunung, dingin dan dialiri sungai-sungai besar. Lebih dari setengah wilayah Afganistan dihuni orang-orang dari suku Hazara.
Sejarah datangnya kaum Hazara ke wilayah yang waktu itu bernama Khorasan, sebelum berubah menjadi Afghanistan, menurut S Mousavi dalam buku Hazaras of Afghanistan bersamaan dengan datangnya Jengis Khan, di jalur sutra itu. Tak heran asal muasal kaum Hazara, menurut para antropolog, orang-orang Hazara kini adalah keturunan campuran dari para leluhur yang datang dari Mongol dan Turki yang datang ke Hazaristan, ribuan tahun silam. Campuran ketiga bangsa itu menghasilkan orang-orang berkulit putih dengan pipi merah bagai apel royal gala, mata sipit, tapi berhidung mancung wajah khas suku Asia Tengah.
Sebelum Islam masuk, sebagian leluhur orang-orang Hazara adalah penganut-penganut Buddha dari Mongol. Salah satu bekasnya, adalah artefak-artefak dan peninggalan Buddha lainnya yang terserak di kawasan Hazaristan. Salah satu yang terkenal adalah patung Buddha tertinggi di dunia, di sebuah lekuk bukit di Hazaristan, yang dihancurkan oleh rezim Taliban pertengahan tahun silam. Kini kaum Hazara mayoritas beragama Islam Syiah Itsnaasariyah (Syiah 12 Imam)-aliran Syiah terbesar, sebagian kecil menganut Syiah Ismailiyah dan Sunni (baca tulisan Seno). Bahasa yang digunakan penduduk Hazara yang dikenal dengan nama Hazaragi, adalah perpaduan kata-kata dari bahasa Mongolia, Turki dan Parsi, dari dialeknya lebih dekat dengan Bahasa Persia.
Sudah sejak lama kaum Hazara sudah tak disukai Suku Pastun. Pemerintah Afganistan sejak 1880-an, menurut Bernt Gltazer dalam tulisannya Is Afghanistan on The Brink of Ethnic and Tribal Disintegration?, menempatkan kaum Hazara sebagai negara kelas dua di bawah kekuasaan tentara suku Pastun. Meraka pandai bekerja di bidang pertanian dan perkebunan untuk suku Pastun dan para elit. Sampai tahun 1978, mereka sudah diperkenalkan pekerjaan lain, seperti administrator, pedagang, rentenir, pemilik perkebunan dan perantau ke kota-kota lain di Afganistan.
Hazara membebaskan diri dari rezim komunis pada tahun 1979. Setelah itu mereka juga menolak segala akses Pastun di Afganistan Tengah. Karena itu suku nomaden beretnik Pastun yang berada di kawasan itu mengalami penderitaan yaitu kelaparan. Karena mereka sangat tergantung pada suku Pastun di daerah lain.
Setelah bebas dari komunis Sovyet, kaum Hazara terpecah dalam berbagai partai mulai dari yang ultrakonservatif jaringan para mullah (Shura-I-Ittifac) sampai yang moderat konservatif dan nodern islam radikal (Nasr) dan ada juga yang partai Maois. Pada tahun 1980 terpilih Ayatullah Abdullah Ali Mazari sebagai pemimpim aliansi Syiah Afganistan. Tentu saja dia kelompok ini didukung pemerintah Republik islam Iran, pimpinan Ayatullah Rahullah Khomeini. Selama periode jihad, pusat perjuangan mereka diatur dari Mashhad, Iran. Tetapi kemudian pindah ke Quetta di Propinsi Baluchistan, Pakistan.
Pada Juni 1990, berbagai grup Syiah tergabung dalam Hizb-I-Wahdat (Partai Persatuan). Mazari memimpin partai itu. Mereka bersatu juga karena tekanan pemerintah Iran, negeri Ayatullah Khomeini itu juga mendukung partai kaum Hazara termasuk keuangan. Setelah tahun 1992 saat peran sipil di Afganistan memaksa mereka tambah bersatu dalam bidang politik. Tapi pada tahun 1994 Mazari terbunuh oleh konspirasi kelompok mujahidin beretnik Pastun, Hizbi-I-Islam pimpinan Gulbddin Hekmatyar. Perjuangan selanjutnya Mazari digantikan Abdul Karim Khalili.
Pembantaian pertama suku Hazara saat pemerintahan Mujahidin terjadi pada 11 Februari 1993. Ketika itu sekitar pukul satu dini hari warga Hazara yang sedang tidur lelap di Kampus Institut Ilmu Sosial kota Afshar, tiba-tiba diserang dari tiga penjuru. Dari sebelah barat pasukan Ittihad-I-Islami pimpinan Profesor Sayyaf, dari utara dan selatan diserang pasukan Presiden Burhanuddin Rabbani, pemimpin Hizb-I-Islami.
Para penyerang itu dibantu oleh para pengkhianat yang berada di dalam partai kaum Hazara. Pasukan yang loyal pada Sayyaf dan Ahmad Shah Massoud menyerang seluruh area itu sampai ke Kota Karteh Sahe, sebelah barat ibukota Afganistan Kabul. Selama 24 jam mereka membunuhi, memperkosa, membakar rumah dan menangkapi anak-anak laki dan perempuan. Akibat kejadian itu dilaporkan sekitar 700 orang diperkirakan mati dan hilang. Setahun kemudian, setelah daerah itu kembali direbut oleh pasukan Hizb-I-Wahdat, ditemukan kuburan massa, berisi 58 tubuh. Sebuah lembaga pengamat hak asasi manusia, Human Right Watch, yang berpusat di New York, Amerika Serikat melaporkan pembantaian itu menyebabkan seribu orang tewas dan hilang, mayat yang ditemukan leher, tangan atau kaki korban putus.
Karena pembantaian itulah kaum Hazara mulai tak percaya dengan para pejuang Mujahidin di bawah pimpinan Rabbani. Maka ketika pasukan Taliban datang ke Kota Mazar-I-Syarif pada 1996, kaum Hazara menyambut dengan sukacita. ‘’Semula kami menganggap Taliban yang membawa bendera pemerintahan Islam akan membawa kehidupan yang lebih baik dibandingkan di bawah kepemimpinan para Mujahidin yang korup dan merampasi barang-barang milik rakyat,’’kata Haji Sabirin yang tinggal disana waktu itu.
Namun, harapan kaum Hazara, hanyalah harapan hampa. Ternyata pemerintah Taliban tak lebih baik dari Mujahidin. ‘’Mereka membantai kaum kami dengan alasan tidak taat dan memberontak. Mereka masukkan anak-anak ke dalam truk trailer lalu menembaki mereka, oh, sungguh kejam,’’air mata Presiden Hagy Camp itu menetes.
Yang paling menyakitkan, menurut Haji Sabirin, saat Gubernur Mazar-I-Syarif, Abdul Manan, mengumumkan kaum Hazara harus bayar Jizyah. Yaitu suatu pembayaran yang biasa ditujukan untuk kaum kafir sebagai ketertundukan kepada pemerintah Islam, semacam uang perlindungan. Bahkan Komandan Pasukan Taliban, Niazi, mengancam bila kaum Hazara tak membayar jizyah, dipotong lehernya. ‘’Nah, sejak itu kami anti Taliban, kami melawan dimana-mana, dan sejak itu pembantaian kaum kami terus berlangsung,’’katanya.
Untuk menghindari musnah kaumnya, warga Hazara lari ke berbagai penjuru ke Iran, Tajikistan dan Pakistan. Di Iran mereka kebanyakan tinggal di camp-camp pengungsi di Kota Mashhad. Menurut seorang pemuda Hazara yang lari dari pengungsian di Mashhad, Rashid Ali, 19 tahun, kehidupan kaum Hazara tak diurusi pemerintah Iran. ‘’Kami tinggal berdesak-desakan disana, hanya diberi makan sehari sekali. Kabarnya, sengaja dilakukan pemerintah Iran, agar kami segera kembali ke tanah kami di Afganistan,’’katanya. Banyak diantara pengungsi itu yang lari dari kamp dan bekerja menjadi kuli di kota-kota besar di Iran. Paman Rashid, bekerja sebagai sopir taksi di Iran.
Di Tajikistan mereka hidup di camp-camp pengungsi dekat perbatasan. Hidupnya juga tergantung belas kasihan lembaga donor dunia. Di Pakistan mereka hidup di Quetta dan Peshawar. Di Ibukota Propinsi Baluchistan, daerah sebelah selatan Pakistan itu mereka hidup berdagang dan menjadi pekerja perkebunan tuan-tuan tanah Suku Balukh. Beberapa pekerja suku Hazara ditemui TEMPO bekerja pada perkebunan milik keluarga Kakar. Mereka tinggal di gubuk-gubuk tanah kosong milik perkebunan, dipinggiran Kota Quetta, berbatasan dengan gunung-gunung yang kering. Setiap hari mereka naik sepeda sejauh 16 kilometer menuju tanah perkebunan. Lebih dari 23 ribu keluarga tinggal di Quetta.
Di Peshawar, menurut Haji Sarbini, 27.000 keluarga kaum Hazara tinggal, sebagian besar tinggal di Hagy Camp. Tak jauh dari terminal dengan nama yang sama di pinggiran Kota Peshawar. Mereka hidup seadanya. TEMPO berkunjung ke tempat itu tanpa sepengetahuan Haji Sarbini melihat warga Hagy Camp yang tinggal di rumah terbuat dari tanah lempung. Rumah berdempet-dempetan dengan jalan-jalan kecil, cukup luas. Komplek itu terletak di kelilingi jalan melingkar (outer ring road) pinggiran Peshawar. ‘’Kami hidup miskin, belum lagi dimusuhi orang-orang Pakistan yang didominasi Islam Sunni dan para pendukung Taliban,’’kata Haji Sarbini.
Bagi yang berduit, kaum Hazara di Peshawar lebih suka tinggal tinggal di Kompleks Perumahan Hayatabad, bercampur dengan suku dan warga lainnya. ‘’Bagi yang tak sanggup lari, kami hidup meninggalkan atribut kami sebagai penganut agama Islam Syiah,’’ujar Kakek 8 cucu itu. Di Kabul mereka hidup sangat miskin dan biasanya disebut kuli.
September 1997, sekitar 70 orang sipil termasuk perempuan dan anak-anak dibantai oleh tentara Taliban di desa Qezelabad dekat Mazar-I-Syarif. Karena Taliban ingin merebut daerah itu yang masih belum dikuasainya saat itu. Namun pemerintah Taliban mengaku tak bertanggung jawab atas pembantaian itu.
Pembantaian terhadap kaum Hazara juga terjadi pada Agustus 1998, Taliban dilaporkan melakukan pembunuhan massal kaum Hazara dalam dua kesempatan. Pada kesempatan pertama 2.000 orang tewas, dan dalam kesempatan lain 5.000 mati mengenaskan. Tentara militan Taliban datang masuk dari rumah ke rumah kaum Hazaran dan mengambil laki-laki yang mereka hitung sudah bisa melakukan perang, tak jarang anak-anak lelaki berusia 10 – 12 tahun mereka seret ke luar rumah. Mereka bunuh di depan keluarga mereka, ada yang ditempat atau digorok lehernya. Karena penjara di kota-kota sudah penuh sesak. Mereka dibunuh seperti sampah, hanya karena mereka berbeda agama dan darah.
Pembantaian massal kaum Hazara terakhir di Yakawlang, Propinsi Bamiyan pada 7 Januari 2001. Itulah tempat terakhir kaum Hazara, setelah tersingkir di mana-mana. Menurut seorang saksi mata sebagaimana dilaporkan HRW, ‘’malam hari 7 Januari seorang kawan berkata pada saya mendengar suara helikopter terbang dekat Feroz Bahar. Orang-orang pikir itu adalah pesawat bantuan yang membawa bahan makanan dan obat-obatan dari badan dunia. Tetapi ternyata yang terbang itu adalah pesawat tentara Taliban. Malam hari itu terdengar suara pertempuran. Paginya lagi, kami mendengar ada suara tembakan yang terus menerus di Desa Nayak, tak jauh dari tembakan semalam. Siang harinya ditemukan ratusan orang tewas mengenaskan.’’
Melihat nasib kaumnya yang semakin menyedihkan, Haji Sarbini berharap adanya pemerintahan yang demokratis di Afganistan. ‘’Pemerintahan yang melindungi semua pihak, tak memandang suku, agama atau jenis kelamin,’’katanya. Karena itulah dalam sejarah perjalanan hidup kaum Hazara, walaupun pernah dihianati berbagai kelompok dan suku, sebagian dari mereka rela bergabung dalam kelompok aliansi utara. ‘’Lebih baik berusaha bersama mengusir Taliban, lalu merumuskan kembali pemerintahan Afganistan untuk Bangsa Afgan dimasa mendatang, bukan untuk Bangsa Arab, Pakistan atau lainnya,’’kata Haji Sarbini.
Ahmad Taufik, Tomi Lebang
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar