Sidang tahunan MPR 2004 hanya ajang untuk mencuci dosa Sukarno. Apa saja dosa yang dibersihkan?
Pekan ini Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat (MPR/DPR) mendapat tambahan gelar baru, tukang cuci. Bukan cuci baju atau piring, tetapi mencuci dosa-dosa. Bukan pula sembarang dosa yang dicuci, dosa pendiri republik ini, sang proklamator, Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno.
Bung Karno, dianggap berdosa karena melindungi para tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), yang diduga dalang pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira militer pada peristiwa 30 September 1965. Presiden Sukarno, tak menyebut-nyebut kesalahan atau mengutuk PKI dalam pidato kenegaraannya pada 22 Juni 1966 di hadapan sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang kemudian dikenal dengan Nawaksara. Pidato tersebut dianggap tak menjawab persoalan dan pertanggung jawaban presiden atas peristiwa 30 September 1965,dan kebangkrutan ekonomi yang tengah terjadi.
Rasa tidak puas para anggota MPRS hanyalah jalan untuk menekan Sukarno meletakkan jabatannya. Lalu keluar Keputusan MPRS no.5 tahun 1966 yang meminta Bung Karno melengkapi pidatonya. Pada 10 januari 1967, Presiden Sukarno kembali memberikan pidato di depan anggota MPRS di Istana negara, Jakarta dengan judul Pelengkapan Pidato Nawaksara.
Isinya, Bung Karno menyatakan G-30-S adalah kebelingeran pempimpin PKI, dan mengutuk Gestok (Gerakan Satu Oktober). “Sudah terang Gestok kita kutuk. Dan, saya mengutuknya pula. Dan Sudah berulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, Yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangun Mahmilub (Mahkamah Luar Biasa),”tegas Presiden Sukarno.
Bung karno menghindar dari tanggung jawab terjadinya peristiwa 30 September 1965 itu. “Kenapa saya saja yang diminta pertanggung jawaban atas terjadinya G-30-S atas yang saya namakan Gestok itu? Tidaklah misalnya Menko Hankam (waktu itu Jenderal A.H.Nasution) juga bertanggung jawab?”katanya.
Soal kebangkrutan ekonomi dan kemerosotan akhlak yang dituntut MPRS, Bung Karno juga tak mau dipersalahkan. “Adilkah saya sendiri disuruh bertanggung jawab atas kemerosotan ekonomi? Keadaan ekonomi suatu bangsa atau negara bukanlah disebabkan oleh satu orang saja, tetapi adalah satu resultante dari pada proses faktor-faktor obyektif dan masyarakat.”
“Mengenai soal akhlak perlu dimaklumi bahwa ahklak pada suatu waktu adalah hasil perkembangan dari pada proses kesadaran dan laku tindak masyarakat dalam keseluruhannya, yang tidak mungkin disebabkan oleh satu orang saja,”Sukarno.
Setelah pidato Pelengkapan Nawaksara itu, MPRS bersidang dan pada 12 Maret 1967 mengeluarkan ketetapan No.XXXIII/1967 yang mencabut kekuasaan Presiden Sukarno dan menyerahkan kekuasaan pada Suharto secara sepenuhnya. “Oleh BP-MPRS dinilai Presiden Sukarno enggan memenuhi pertanggungjawaban konstitusional. Presiden telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS sebagaimana yang diatur oleh UUD 45,”ungkap Nasution dalam buku terbitan PDAT Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai.
Presiden Sukarno, memang tak bisa disalahkan soal peristiwa 30 September 1965. Karena justru akibat peristiwa itu kekuasaan Bung Karno terancam. Belum jelas benar dalang dari peristiwa itu. Kalau ditarik ke belakang, peristiwa 1965, sebenarnya bermula dari tahun 1957, ketika demokrasi parlementer di Republik Indonesia hancur, terjadi pemberontakan di berbagai daerah lalu diberlakukannya hukum darurat militer sebagai jalan tengahnya dengan Nasution sebagai komandanya. Pada tahun 1959, Presiden Sukarno membentuk pemerintahan otoriter yang disebut sebagai demokrasi terpimpin dengan mengeluarkan Dektrit Presiden 5 Juli 1959. Parlemen hasil pemilihan rakyat diganti oleh dewan legislatif (DPR-GR) yang anggotanya ditunjuk, dan kekuasaan eksekutif pemerintah bertambah besar.
Selain itu, menyusul diberlakukannya hukum militer di tahun 1957, Angkatan Darat memperluas pengaruhnya dan melibatkan diri dalam urusan politik dan ekonomi. Banyak perwira Angkatan Darat di daerah memegang kekuasaan yang tak bisa diganggu gugat. Berbagai macam perusahaan Belanda di nasionalisasi di tahun 1958, ditempatkan di bawah kekuasaan angkatan darat.
Satu-satunya kelompok yang berani menentang kekuasaan Angkatan Darat saat itu adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Demokrasi terpimpin telah menghilangkan kesempatan PKI, padahal partai itu pada pemilihan umum tahun 1955 mendapat 16,4 persen dari jumlah suara), untuk menunjukkan kekuatan yang makin besar dalam Pemilu berikutnya. Menjelang tahun 1965, jumlah anggota melebihi tiga juta orang. Selain itu, organisasi-organisasi massa di bawah PKI mempunyai anggota lebih dari 10 juta orang. PKI mempunyai jumlah anggota yang paling besar diantara partai-partai komunis di luar blok Sovyet dan Republik Rakyat Cina.
Karena Hubungan pimpinan Angkatan darat dan PKI tak harmonis, walaupun mereka bekerjasama di bawah Presiden Sukarno. Sementara itu di beberapa daerah terjadi pertentangan-pertentangan yang amat tajam dan terjadi konflik antara kaum komunis dengan angkatan darat. Komite-komite partai komunis dilarang dan para pemimpinnya ditahan oleh militer. Presiden Sukarno saat itu seperti sedang menjalankan manajemen konflik, dia PKI untuk mengimbangi kekuatan Angkatan Darat.
PKI mengecam pengelolaan ekonomi oleh militer. Hubungan antara Angkatan darat dan PKI semakin tegang, ketika PKI mengusulkan dibentuknya angkatan kelima yang terdiri dari para petani dan buruh bersenjata untuk perang melawan Malaysia, disamping satuan-satuan militer resmi yang ada. Puncak ketegangan hubungan itu akhirnya meletus pada 1 Oktober 1965.
Saat itu sekelompok perwira muda yang dipimpin Letnan Kolonel Untung menculik dan menembak mati enam perwira tinggi serta seorang perwirang menengah. Untung, Komandan Batalyon Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Sukarno juga yang mengumumkan di Radio Republik Indonesia, bahwa dirinya telah mengambil kekuasaan Angkatan Darat dari para jenderal yang tergabung dalam Dewan Jenderal.
Isu Dewan jenederal Yang paling mendekatkan kepada Sukarno hanyalah hasil laporan pemeriksaan Kopkamtib terhadap Bambang Widjanarko, mantan ajudan Bung Karno. Dalam laporan itu, Widjanarko menyebutkan pertemuan Tampak Siring, Bali pada hari ulang tahun BK ke-64 bulan Juni 1965. Dalam acara yang dihadiri oleh beberapa Menteri Koordinator, seperti Leimena, Chairul Saleh, Subandrio dan beberapa orang lainnya,disinggung tentang adanya jenderal yang loyal dan tidak loyal terhadap Sukarno. Dalam laporan itu dikesankan seolah-olah terdapat “skenario Tampak Siring” untuk menyingkirkan para perwira tinggi yang tidak loyal tersebut. (lihat Kolom Asvi Warman Adam). Selebihnya, para petinggi militer hanya mendengar mengenai Dewan Jenderal, sebatas isu saja.
Jika membaca buku Kesaksian tentang Bung Karno yang diungkapkan Letnan Kolonel Polisi Mangil Martowidjojo, tak ada perencanaan yang diketahui Bung Karno pada hari H-nya. Karena Mangil yang memandu mobil yang membawa Bung Karno saat menuju Istana dan membatalkannya, setelah singgah ke berbagai tempat, keputusan akhirnya diambil untuk pergi ke Lapangan Udara milik TNI AU, Halim Perdanakusuma. “Kepergian saya ke Pangkalan udara Halim pada 1 Oktober pagi-pagi atas kehendak saya sendiri. Karena saya berpendapat bahwa tempat terbaik bagi saya adalah tempat dimana kapal udara dapat mengangkut saya setiap saat ke tempat yang lain, kalau terjadi sesuatu yang tidak diharapkan,”kata Presiden Sukarno.
Yang justru patut dicurigai adalah Suharto. Karena para perwira pelaku peristiwa 30 September itu dikenal dekat dengan Suharto. Menurut Kolonel A.Latief, Suharto pernah menghadiri pernikahan Unutung di Kebumen, karena Untung adalah bawahannya di tentara. Dua hari sebelum kejadian, Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya Kolonel Latief bersama isterinya datang ke rumah ke diaman Panglima Kostrad Suharto di Jalan Agus Salim, Jakarta, untuk memberitahu soal rencana kudeta Dewan Jenderal. Bahkan beberapa jam sebelum penculikan para perwira tinggi, Latief juga melapor soal pasukan yang akan bergerak. Saat itu Suharto tengah menunggui Hutomo Mandala Putra alias Tommy yang sedang sakit ketumpahan sup panas di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Tapi Suharto cuek aja.
Menurut sejarawan dari lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, sejumlah ketetapan MPRS yang menghina Sukarno pantas dicabut, pencabutan juga berdimensi kemanusiaan terkait ketetapan tentang pembubaran PKI. “Jutaan orang teraniaya karena ketetapan itu,” kata Asvi. Pada masa pemerintahan Orde Baru, yang beredar dan boleh diketahui masyarakat hanya satu versi sejarah mengenai percobaan kudeta itu yaitu komunis berada di balik peristiwa tersebut. Sukarno diturunkan karena tidak mau mengutuk PKI. “Namun belakangan ini semakin banyak versi yang sudah diketahui umum yang berbeda dengan tafsir rezim Orba, seperti campur tangan pihak asing CIA, konflik intern Angkatan Darat, sampai keterlibatan Sukarno dan “kudeta merangkak” Suharto,”ujar Asvi kepada Jobpie Sugiharto dari TEMPO News Room.
Soal pencabutan Tap MPRS untuk merehabiltasi nama Sukarno, diduga bakal mulus. Tapi tak ada ampun, bila Tap MPRS mengenai komunis juga dicabut. “Kalau rehabilitasi nama Sukarno, boleh, tapi kalau komunis NO. Kalau dipaksakan kami akan bergerak menentangnya,”kata Ketua Gerakan Pemuda Islam, Khoeruddin Amin. Menurut kandidat Master Hukum dari Universitas Islam Bandung, komunis hanya bisa hidup dari kehidupan yang anti demokrasi, seperti di Cina, Rusia atau Kuba. “Jadi jangan harap bisa hidup juga di Indonesia,”katanya.
Ahmad Taufik
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar