Sebuah media ibukota memasang headline dalam surat kabar yang terbit pagi ini "Lurah Jakarta Hamili ABG". Di depanku duduk dua perempuan berjilbab berseragam pemerintah daerah DKI Jakarta, tampak dari emblem di pundak kirinya, memegang selembar koran tersebut. Mereka berdua membicarakan lurah yang menghamili anak "perawan" itu.
"Ah, memang anaknya aja yang mau,"seorang yang memakai rok panjang berkomentar, sambil membali-baikkan koran ke halaman sambungannya.
"Iya, apa lagi kan sudah dibayar Rp 5 juta, cuma dikasih ke mucikarinya,"sambung seorang yang memakai celana panjang.
"Wah, lulusan IPDN lagi,"kata sambung menyambung.
"Ah, lelaki mah, biasa melakukan itu,"ujarnya.
Pembicaraan soal lurah terhenti, mereka bicara masalah lain. Seorang diantaranya menelepon lewat telepon genggamannya. "O, itu yang diceritakan semalam,"ujarnya.
Ceritanya, menurut koran yang saya baca, setelah turun dari kereta api, seorang siswi SMA di Cengkareng Jakarta Barat berusia 16 tahun itu ditiduri Sang Lurah Tambora. Jakarta Barat, enam bulan silam. Lurah itu mengaku membayar Rp 5 juta pada kawan sang korban. Dalam sebuah hotel di bilangan Grogol, sang korban diserahkan dan "digagahi" Lurah itu lalu memberin ongkos pada korban Rp 200 ribu.
Terbongkarnya perbuatan sang lurah, karena ibunya curiga pada perut anaknya semakin hari semakin membuncit, belum lagi permintaan pembelian pembalut tiap bulan tak ada lagi. Di minta tanggung jawab, sang lurah hanya "hooh". Namun, janji hanya sebatas mulut. Informasi lewat radio dengkul pun terdengar luas, akibatnya Selasa kemarin (2/12/08) masyarakat bergerak, unjuk rasa ke kantor lurah dan camat setempat, minta lurah tersebut dipecat. (diringkas dari Warta Kota, 3/12/08 hal-1-19).
Pembicaraan soal lurah berlanjut, saat kereta AC dari Depok Lama menuju Jakarta Kota memasuki stasiun Pasar Minggu. " Kasihan ya, cuma soal begituan karirnya rusak, padahal masih bisa jadi camat,"kata ibu berok panjang.
"Ia, dia itu gak mikirin anak isterinya, orang tuanya udah sekolain tinggi-tinggi ke IPDN, malah begitu,"seorang menyaut.
Institut Pendidikan Dalam Negeri yang kini berganti nama menjadi Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri--yang memproduksi calon birokrat, memang hanya sering mendapat predikat memalukan. Mulai dari kekerasan senior terhadap yunior yang menyebabkan kematian, sampai bikin ribut di sekitar kampus terpadunya di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
Tentu tak semua lulusan IPDN/STPDN seperti Lurah Tambora itu atau para pelaku tindak kekerasn. Masih banyak birokrat yang mau menjaga "harga diri"nya dari perbuatan tercela, korupsi atau tindak kekerasan. Sayangnya disiplin "ala militer" yang diterapkan di sekolah tersebut terbukti tidak mampu, membuat birokrat sipil menjadi lebih baik, terhormat dan mau menjaga martabatnya.
Aku turun di Stasiun Gondangdia, pehawai negeri berseragam itu entah kemana? Padahal itu waktu kerja, sekitar pukul 09.00 pagi. Mudah-mudahan tak meneruskan gosip-gosip lurah yang suka "makan" anak orang.
Jakarta, 03/1/08
A.T