Sabtu, Agustus 16, 2008

Hakim Asep Iwan Iriawan : Naik Angkot, Hilangkan Jejak

Profesi hakim rentan suap dan ancaman. Hakim Asep yang memvonis mati lima terdakwa kasus heroin, memilih naik angkutan umum untuk menghindari ancaman dan tak mau menerima tamu di rumah agar setan suap tak mampir.

Penembakan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita oleh orang-orang Tommy Soeharto saat mau ke kantor membuat Hakim Asep Iwan Iriawan, harus mengubah jadwal pergi dan pulang dari kantornya. ‘’Kami hakim di Jakarta Pusat takut dan berhati-hati, bagaimanapun profesi hakim rentan dari ancaman,’’kata Asep. Ia mengaku belajar dari ayahnya, Abidin Sukarjo, pensiunan tentara dari kesatuan Kodam Siliwangi, Jawa Barat.

Hakim Asep tak pernah meninggalkan jejaknya selama perjalanan pulang dari kantor. Kendati pulang menggunakan angkutan umum ataupun diantar rekannya, tak pernah sampai di depan rumahnya. Ia turun di jalan dan memilih untuk berjalan-jalan lebih dulu. Sehari-hari pada waktu kerja pria berkaca minus bulat bening itu berangkat dari rumahnya saat matahari baru nongol dari ufuk timur, pukul enam pagi. Berjalan kaki, menuju halte di depan bekas perkulakan Goro, di Jalan Raya Pasar Minggu, lalu naik metromini menuju Tanah Abang. Setelah itu berganti lagi mikrolet jurusan Kota, dan turun persis di depan kantornya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada. Sebenarnya Asep punya mobil Escudo , tetapi mobil itu diberikan kepada adiknya. ‘’Saya tak bisa menyetir,’’ujarnya.

Itu bukan alasan sebenarnya, ia tak mau terlacak. Ikuti saja, kalau pulang Asep memilih jalur lain, rutenya pun berubah-ubah tiap hari. Ia bisa jalan-jalan dulu ke Blok M Mall, Pasar Minggu atau pusat perbelanjaan lainnya. Kalaupun ia memilih pulang menumpang kendaraan temannya sesama hakim, tak pernah mau diantar sampai depan rumah. Karena itu ia menolak diikuti atau memberitahu alamat rumahnya pada Eduardus Karel Dewanto dari Tempo News Room. ‘’Saya jangan diikuti dan profil saya jangan ditulis,’’kata pria yang lahir di Bandung 10 Juni 40 tahun yang lalu

Kebiasaan itu dimulai setelah Hakim Asep bersama Satria US Gumay dan Prim Haryadi yang pernah dikenal sebagai ‘tiga serangkai’ memvonis hukuman mati terhadap lima terdakwa pengedar heroin di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Tiga terdakwa terakhir adalah orang Indonesia ; Meirika Franola atau Ola, yang membawa 3.600 gram heroin, Rani Andriani alias Melisa Aprilia pemilik 3.500 gram kokain dan dan Deni Setia Maharwan alias Rapi Mohamed Majid pembawa 3.000 gram kokain. ‘’Ola itu adalah perempuan Indonesia pertama yang dihukum mati dalam kasus narkotika,’’kata Asep. Sebelum itu dua orang lelaki berkebangsaan Nepal yang juga kena palu ‘mati’ Hakim Asep, yaitu Nar Bahadur Tamang dan Bala Tamang, keduanya masing-masing membawa 1.750 gram heroin

Namun, bukan berarti Asep takut dalam menjalankan tugasnya, untuk memutuskan perkara seadil-adilnya berdasarkan hati nurani. Walaupun dari palunya, saat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Tangerang, sudah mengantarkan orang ke juru tembak. Menurut Asep timnya, majelis hakim yang memutuskan perkara terdakwa pengedar heroin itu sudah memikirkan masak-masak. ‘’Secara yuridis, mereka terbukti bersalah selama persidangan. Secara filosofis harus dihukum, karena kesalahannya berat hukumannya juga harus berat, hukuman maksimal yang bisa dijatuhkan oleh hukum kita adalah hukuman mati. Karena itu kita matiin aja. Lagipula itu sesuai dengan kehendak masyarakat,kan yang ingin hukuman seberat-beratnya pada pengedar narkoba,’’katanya. Sayangnya semua terpidana mati, diubah menjadi hukuman seumur hidup oleh hakim agung di tingkat kasasi, Mahkamah Agung.

Reputasinya sebagai hakim anti narkotika dan obat terlarang mengantar Asep menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kiprahnya pun lantas melejit sebagai hakim pengadilan umum dan niaga. Ia pernah memutus perkara kepemilikan senjata dengan terdakwa Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek, puteri bungsu mantan presiden Soeharto. Ia juga memutus perkara kepemilikan narkoba dengan terdakwa aktor Hengki Tornando, perkara korupsi yang Hendra Raharja dengan peradilan in absentia, perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan terdakwa Gubernur Syahril Sabirin dan Direktur Utama Bank Surya, Bambang Sutrisno.

Dalam kasus peradilan in absentia Hendra Rahardja yang kabur ke Australia, Hakim Asep bahkan mengusir pengacara O.C.Kaligis. Akibatnya Kaligis mengirim surat melaporkan tingkahnya ke Mahkamah Agung. ‘’Biar saja dia melapor, MA tahu kok yang mana yang salah yang mana yang benar,’’katanya. Memang, surat Kaligis tak berbunyi menghadapi Hakim Asep, karena MA tak mempersoalkannya.

Tapi sejak menangani kasus-kasus perbankan di PN Jakarta Pusat tak urung ia diisukan makan uang suap Rp 30 miliar dari Bambang Sutrisno. Namun, tak ada bukti dan tak ada yang mempercayainya. ‘’Nggak mungkin dari sejak kuliah saya tahu Asep orangnya jujur dan tegas,’’kata seorang kawannya sesama hakim. Asep juga membantah isu itu, “Kalau saya menerima, saya rela dihukum seumur hidup.”

Hakim Asep pun menganggap tudingan itu tak sesuai dengan langkah yang ia lakukan terhadap perkara-perkara itu. Bila tak bersikap tegas, tak akan mengganjar hukuman seumur hidup bagi Hendra Raharja dan hukuman mati bagi pengedar narkoba. “Saya sudah melakukan itu, ngapain saya harus menerima uang sebesar itu,’’ katanya. Hakim Asep juga merahasiakan rumah dinas yang ditinggalinya. Ia punya Komitmen tak menerima tamu di luar jam kerja, apa lagi di rumahnya. ‘’Rumah hanya tempat untuk istirahat. Selain di kantor saya tidak pernah menerima tamu. Bahkan ibu saya belum pernah menginjakkan kakinya di rumah saya,”ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan , Bandung. Kenapa? “Saya takut dituduh macam-macam kalau menerima tamu di rumah. Sekarang kan tudingan hakim menerima suap sangat kencang,”kata Hakim yang kini tengah mengambil program master dibidang hukum bisnis.

Sehari-hari Asep tampil sederhana, tak tampak barang mewah atau pakaian branded yang melekat ditubuhnya. Asep merasa gaji Rp 3,5 juta perbulan, cukup baginya yang masih bujangan. Ia dan beberapa hakim yang seide ingin menghapus imej buruk hakim. ‘’Walaupun Asep anak orang kaya, ia tak ingin menunjukkan kekayaannya. Sampai sekarang orang tetap jujur, tetapi kalau sudah memutus perkara dan tanpa tedeng aling-aling, kalau salah ya, dihukum berat, tanpa kompromi,’’kata kawan satu kampus dan kinis ama-sama bertugas di PN Jakarta Pusat. namanya.

Ketegasan Hakim Asep juga dipuji mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Bambang Widjojanto. ‘’Asep, salah satu hakim baik, yang kita miliki. Ini investasi masa depan, dia itu hakim yang langka, di tengah citra buruk hakim saat ini,’’ujar Bambang. Hakim Asep lebih memilih ke Cipanas, Jawa Barat tempat ibunya setiap kali setelah menjatuhkan hukuman yang berat kasus yang ditanganinya. Bukan ke tempat lain. ‘’Bersama ibu saya merasa aman,’’katanya.

Ahmad Taufik


Profil
Asep Iwan Iriawan
Lahir di Bandung 10 Juni 1962
Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahiyangan(1981- 1985)
STIA LAN Bandung(1994-1996)

Aktif di Organisasi :

Saat masih mahasiswa aktif menjadi anggota Senat dan Badan Pertimbangan Mahasiswa Universitas Parahiyangan, juga aktif di di Masjid SALMAN, ITB, Bandung.
Sekretaris I pengurus Pusat IKAHI
Bendahara Ikatan Hakim Indonesia(IKAHI), Muara Enim 1991

Karir :

Calon Hakim Pengadilan Negeri Bandung(1987-1991)
Hakim Pengadilan Negeri Muara Enim(1991-1993)
MA(bagian Puslitbang Diklat) 1993-1999
Hakim Pengadilan Negeri Tangerang(1999-2000)
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat(2000)
Jabatan :Hakim Niaga Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

1 komentar:

atto Tvone mengatakan...

nama gw kok gak ditebelin bang taufiq? hampir semuanya kan gw yang reporting. hehehehe... btw merasa tersanjung namaku ada di blok seorang at... :p