Jumat, Mei 23, 2008

Berkat Air Seni Perempuan Hamil

PROFESOR Yanto Lunardi Iskandar tahu benar, air seni perempuan hamil muda dapat dimanfaatkan menjadi obat kanker termutakhir. Ini bukan main-main, karena lelaki kelahiran Jatinegara, Jakarta Timur, 57 tahun lalu itu bukan orang sembarangan. Kiprahnya dalam penelitian virus hampir 30 tahun. “Saya sudah memasuki masa pensiun,” katanya. Lunardi selama ini bekerja di Institut Virologi Universitas Maryland, Amerika Serikat, bersama Profesor Robert Charles Gallo, penemu virus penyebab penyakit akibat penurunan kekebalan tubuh (HIV/AIDS).

Pada pertengahan April lalu, Lunardi berkunjung ke Indonesia selama sepekan. Warga negara Prancis dan Amerika Serikat itu menjadi pembicara dalam simposium tentang hormon manusia dan sel induk (stem cell) di Rumah Sakit Immanuel, Bandung. Lunardi juga bertemu dengan pasien dan kerabatnya. Tatkala ditemui Tempo di rumah temannya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta, pria berperawakan kecil tapi tegap ini sedang memberikan terapi dan tusuk jarum. “Akupuntur itu hobinya, tapi cuma untuk kerabatnya,” ujar Andini Muksin Rustandi, pasiennya.

Hidupnya dihabiskan di luar negeri. Karena lama belajar dan mengajar di Universitas Sorbonne, Paris, Lunardi mendapat kewarganegaraan Prancis. Juga berkat kemampuannya dalam penelitian virus yang melemahkan kekebalan tubuh itulah, Amerika pun memberinya status warga negara. Sebaliknya, kewarganegaraan Indonesia miliknya dicabut pemerintah.

Lunardi mengaku tak ingin kembali dan tinggal di Indonesia. “Indonesia kan tak mengakui dwikewarganegaraan. Lagipula, saya biasa di luar negeri, dan kalau di sini kendalanya banyak sekali, termasuk cuaca,” katanya. Dia mengaku seperti akan meleleh bila terkena sinar matahari tropis. Namun Lunardi tetap berniat membantu Indonesia di bidang kesehatan.

Bantuannya jelas diperlukan. Penelitiannya tentang virus bermuara pada temuan obat kanker bagi pengidap penurunan kekebalan tubuh. Namun peptide matermin--nama obat itu--juga bisa digunakan untuk mengobati kanker secara umum.

Penemuan itu berawal dari penelitian virus para pengidap virus pemusnah kekebalan tubuh. “Kami punya 7.000 pasien AIDS,” ujar Lunardi.

Nah, pada penderita terinfeksi HIV/AIDS, Yanto Lunardi selalu menemukan kanker yang mempercepat kematian pasien itu, namanya Kaposi sarcoma. Kanker temuan Yanto itu, dalam dunia kedokteran, dipatenkan dengan nama KSY-1. “Y di situ huruf awal nama saya, Yanto,” katanya.

Lunardi dan kawan-kawan melakukan penelitian untuk mencari cara membunuh kanker itu. Ratusan monyet yang menjadi obyek penelitian mati karena wabah penyakit gondongan. Lalu percobaan beralih ke tikus. Hasilnya memuaskan. Ekstrak human chorionic gonadotropin (hCG)--jenis hormon peptide yang dihasilkan embrio baru hasil pembuahan atau dari bagian tertentu plasenta--berhasil membuat sel kanker melakukan bunuh diri massal. Zat tersebut bisa ditemukan dalam air seni perempuan hamil di bawah tiga bulan.

Dalam pembuatannya, gonadotropin itu dibekukan selama 24 jam, lalu disimpan dua hari di dalam laboratorium. Kemudian diberikan sejumlah zat antara lain sodium azide, dipurifikasi, dan dipanaskan dalam suhu 67 derajat Celsius, selama satu jam. Ekstrak human chorionic gonadotropin, yang menyandang nama peptide matermin kini tengah menunggu dipasarkan kepada khalayak penderita kanker dan HIV/AIDS.

Berkat temuannya, nama Lunardi tercatat dalam jurnal ternama bidang kesehatan, New England Journal of Medicine, edisi Maret 2008. Dia juga digadang-gadang sebagai kandidat penghargaan Nobel untuk kesehatan tahun ini.

Lunardi berharap peptide matermin yang ditemukannya juga dapat digunakan untuk pengobatan kanker di Indonesia. “Saya sedang melakukan negosiasi, semoga bisa dijual murah dan bermanfaat bagi banyak orang,” ujarnya.

Ahmad Taufik
(dimuat di Majalah Tempo)

Menggempur Kanker Lewat Dubur

Andini Muksin Rustandi menderita komplikasi sakit jantung, ginjal, dan diabetes. Terakhir dia didiagnosis kanker paru. Hidupnya berubah setelah bertemu Profesor Yanto Lunardi Iskandar, ahli virulogi dan kanker, orang Indonesia berkewarganegaraan Amerika Serikat dan Prancis. Rustandi menjadi pasien pertama pengobatan kapsul yang mengandung sejenis hormon peptide, yang dimasukkan lewat anus. Obat temuan Lunardi sudah disetujui Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat, dan siap-siap disebarkan untuk publik.

PERJALANAN penyakit Andini Muksin Rustandi hampir sepanjang sejarah hidupnya sendiri. Lelaki kelahiran Bandung itu kini berusia 67 tahun. Sejak usia sekolah dasar, Rustandi sudah didiagnosis menderita pembengkakan otot jantung karena klep organ pemompa darah itu bocor.

Ketika sakitnya mulai serius, dokter penyakit dalam memberinya obat. Selama dua puluh tahun, Rustandi mengkonsumsi produk farmasi. Komplikasi pun terjadi. Ginjalnya rusak. Cuci darah pun harus dilakoni. Diabetes ikut bersarang di tubuhnya. “Akibatnya, saya sering pingsan,” kata Rustandi.

Pada Juni 2007, Rustandi mengeluh sesak berat. Dia dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Hasil evaluasi dokter ahli jantung Achmad Fauzi Yahya menyebutkan Rustandi menderita dilated cardiomyopathy, sejenis payah jantung dengan penyebab yang belum jelas. Bekas pengusaha perkebunan teh itu disarankan Fauzi ke rumah sakit pusat jantung di Bangkok, Thailand, untuk mendapat terapi sel induk (stem cell). Jenis pengobatan ini memang terbukti mampu mereparasi otot jantung yang sudah rusak. “Pilihannya waktu itu cuma dua, stem cell atau cangkok jantung. Kalau cangkok, wah, berat buat saya. Saya pilih terapi sel induk,” ujarnya.

Tatkala diperiksa secara teliti sebelum mendapat terapi sel induk, dokter paru di rumah sakit Bangkok samar-samar mendeteksi ada yang aneh di paru Rustandi. Ahli payah jantung di Thailand menenangkan Rustandi agar tak khawatir, dan menyatakan tidak ada masalah dengan parunya. Namun hasil rekam alat pemindai (CT scan) menunjukkan ada tumor segede bola pingpong bersembunyi di bagian belakang paru kanannya. Menurut ahli paru Rumah Sakit Pusat Bangkok, Sermkit Watanawaroon, gumpalan itu dipastikan 95 persen tumor ganas.

Rencana terapi sel induk terpaksa ditunda, hingga kanker diangkat. Rustandi pun minta waktu konsultasi dengan dokter dan keluarganya di Tanah Air. Dokter di rumah sakit Bangkok memberinya waktu dua minggu. Jika lebih dari itu, mereka khawatir kankernya menjalar ke mana-mana.

Ternyata Fauzi, dokter ahli jantung yang biasa menanganinya, melarang Rustandi dioperasi. Alasannya, jantung ayah delapan anak itu lemah. Pendapat sama juga dikatakan dokter langganannya di Jakarta, Yan Djukardi, dari Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta Barat. “Nggak mungkin kamu dioperasi. Operasi paru itu besar, jantungmu sudah tak begitu kuat,” Rustandi menirukan pendapat Yan.

Perbedaan pendapat antara dokter rumah sakit di Bangkok dan di Indonesia membuat Rustandi bingung. Dalam kegalauan, warga Ciumbeuleuit, Bandung, itu kembali ke Jakarta. “Saya berkonsultasi kembali ke dokter Yan. Dia menyarankan, saya mencari jalan yang tidak konvensional,” kata Rustandi. Yan pun memperkenalkan Rustandi dengan Yanto Lunardi Iskandar, profesor dari Universitas Sorbonne, Paris, yang sedang berkunjung ke Indonesia.

Pertemuan Rustandi dengan Lunardi pada Juli 2007 hanya singkat. Profesor asal Indonesia yang kini punya kewarganegaraan Prancis dan Amerika Serikat ini segera kembali ke negara Barack Obama. Rustandi diperiksa, darahnya diambil. “Sampel darah saya dibawa ke Amerika untuk diteliti,” katanya.

Dua pekan setelah membawa darah Rustandi, Lunardi memberikan obat. “Tapi obat ini masih dalam percobaan klinis, belum resmi, dan belum diluncurkan. Mau tidak?” Lunardi menawarkan. Artinya, Rustandi menjadi pasien (baca: manusia) pertama yang “diuji coba” dengan obat temuan Lunardi. Rustandi mengiyakan saja. Toh, dokter sudah memvonis, hidupnya tinggal empat bulan lagi. “Lantaran dijamin dokter Yan, saya percaya saja,” katanya.

Lunardi memang dikenal sebagai peneliti kanker darah (hematolog) dan ahli kanker (onkolog) top di Amerika dan Prancis yang menjadi peneliti di Universitas Maryland. “Kalau bukan dia, siapa lagi yang bisa menolong saya. Saya serahkan saja nasib saya ke dia,” katanya.

Lunardi memberikan 100 butir kapsul kepada Rustandi. Istimewanya, kapsul itu tidak ditenggak, melainkan harus disusupkan melalui liang dubur, dua kali sehari. Cara pengobatan seperti ini biasanya diterapkan pada bayi, yang memang belum bisa menelan obat. “Saya merasa sehat kembali. Padahal waktu itu saya sudah batuk-batuk sampai keluar darah,” katanya.

Merasa tak ada keluhan, satu setengah bulan kemudian Lunardi kembali memberi Rustandi 1.000 butir kapsul yang dia gunakan hingga sekarang. Sepuluh bulan sudah Rustandi menggunakan obat pemberian Lunardi. Vonis hidup empat bulan terlewati sudah. Dia tak perlu lagi cuci darah. Pasalnya, menurut Lunardi, obat tersebut bisa meregenerasi sel, termasuk sel darah.

Apa sih isi kapsul ajaib itu? Namanya peptide matermin. Ini nama paten zat yang terdiri dari bahan alami dengan kandungan asam amino di bawah 50 kilodalton--di atas 50 kilodalton menjadi polypeptide atau protein. Lunardi sudah berhasil membuat sintetiknya.

Secara alamiah, peptide matermin terdapat pada air kencing perempuan dalam tiga bulan pertama kehamilan. Sebab di dalamnya terkandung human chorionic gonadotropin (hCG), jenis hormon peptide yang diproduksi embrio yang baru, hasil pembuahan dan bagian tertentu dari plasenta. Hormon tersebut sangat berguna bagi tubuh, karena dapat membantu perkembangan sel yang masih muda supaya tumbuh dengan baik. “Jadi, zat yang mengandung unsur tersebut bisa membunuh sel kanker dan juga memperbaiki sel yang rusak, seperti jantung Rustandi,” tutur Yanto.

Obat tersebut, menurut Lunardi, sudah disetujui Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika dan dewan kesehatan di sana (NHI). Artinya, ramuannya sudah diakui layak digunakan untuk manusia. “Brand-nya dimiliki Universitas Maryland dan segera diluncurkan untuk masyarakat. Sekarang masih negosiasi harga. Saya sih ingin murah, biar bisa dipakai banyak orang,” katanya.

Memang tak lazim obat kanker dimasukkan lewat dubur. Biasanya obat dimasukkan lewat mulut atau disuntikkan melalui pembuluh darah, yang biasanya disebut kemoterapi. “Kemo itu seperti racun. Kalau kita menggunakannya dengan dosis besar, paling masuknya ke target hanya satu persen. Sisanya lebih banyak singgah di mana-mana. Residunya itu bahaya sekali. Bisa membunuh jaringan jantung, paru-paru, otak, hati, dan ginjal,” katanya.

Kemoterapi juga mengakibatkan rasa sakit tak terperi. Diakui onkolog dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Aru Wisaksono Sudoyo, kadang kala rasa panas atau terbakar menyergap tubuh pasien setelah pemberian obat melalui pembuluh darah. “Rasa sakit yang hebat dapat terjadi bila obat bocor keluar dari pembuluh darah,” kata Aru. Hal lain yang tak menyenangkan pada sesi kemoterapi, jarum harus terpasang selama proses infus berlangsung, biasanya beberapa jam sampai setengah hari.
Nah, tujuan cara pengobatan dengan memasukkan kapsul melalui dubur, menurut Lunardi, agar isinya langsung masuk ke pembuluh darah. Sebab, kalau melalui lambung, akan terganggu enzim, sehingga kandungannya tak murni lagi. “Lambung itu seperti tempat sampah, selain juga fungsinya banyak, kadang-kadang terganggu oleh obat-obatan lain yang sangat beracun,” ujarnya.

Rustandi mengakui, sejak menggunakan peptide pemberian Lunardi, dia merasa sehat. Bahkan Rustandi tetap berolahraga, jalan di treadmill. Lalu bagaimana kanker pada parunya? Memang belum dicek, karena Rustandi belum boleh terkena radiasi, apabila harus dilihat dengan pemindai. “Tapi, saya merasa fit,” ujarnya.

Ahmad Taufik

Infografik:
Cara Kerja Kapsul Peptide

(Gambar: organ tubuh manusia: anus, pembuluh darah, jantung, paru, hati, dan lain-lain. Kapsul dimasukkan lewat anus. Lalu isinya menyebar melalui pembuluh darah sehingga membuat sel kanker di paru hancur)

Kapsul mengandung peptide matermin.

Peptide matermin punya kemampuan seperti sel induk yang mampu mereparasi sel rusak dan menghancurkan yang jahat.

Setelah masuk ke pembuluh darah, akan mengalir ke seluruh tubuh.

Pada organ yang terkena kanker, peptide matermin mampu membuat sel kanker melakukan bunuh diri massal.
***-/**

(dimuat di Majalah TEMPO)
berhubung banyak permintaan kontak profesor Lunardi, saya cuma punya kontak email ; drlunardi@gmail.com

Profesor Susan Shu-wen Tai : Mendeteksi Lebih Dini

Angka resmi tiap tahun menunjukkan sekitar 800 ribu orang di Indonesia menderita berbagai jenis kanker. Taipan pendiri Lippo Grup, Mochtar Riady, memboyong seorang perempuan asal Taiwan, Susan Shu-wen Tai, mengepalai sebuah lembaga yang menggunakan nama konglomerat itu, Mochtar Riady Institute for Nanotechnology. “Penggunaan nama saya itu agar anak cucu saya nanti tidak menutup pusat riset itu, karena dianggap tak menguntungkan,”kelakar Mochtar saat mendampingi profesor asal Leeds University, Inggris, Rabu pekan lalu di lantai 17 Hotel Aryaduta, Jakarta.

Pertemuan Mochtar dengan Profesor Susan berawal dari kunjungannya ke Shanghai, Cina pada 2006. Saat itu Mochtar bersama Profesor Yohanes Surya—salah seorang pendiri pusat riset Nano Mochtar, mencari perabotan buat laboratorium. Bertemulah dengan Susan, penjual mikroskop merk Philips. Kepada Mochtar, Susan justru melarang membeli produk dagangannya. “Saya heran dia penjual, saya mau beli malah gak boleh,”katanya.

Kesan kejujuran dan kecerdasan Susan itu membekas dalam diri Ketua Majelis Wali Amanat Mahasiswa Universitas Indonesia. “Sekalian saja saya tawarkan memimpin proyek riset Nanotechnology di Indonesia,”ujar ayah James Riady. Akhirnya Doktor dari Univeritas Berkeley, Kalifornia, Amerika Serikat itu boyongan memimpin proyek riset termutakhir di Indonesia. “Saya ingin berkontribusi membantu rakyat Indonesia di bidang teknologi dan kesehatan,”katanya.

Pekan ini bertepatan dengan ulang tahun taipan kelahiran Malang, Jawa Timur ke-79, sejumlah ahli kanker dan nanotechnology dari mancanegara diundang Profesor Susan ke Karawaci, Banten, untuk pembukaan pusat riset nanotechnology dan simposium riset kanker. Siang itu perempuan cantik yang mengenakan gaun serba putih dengan blazer rajutan merah muda memberikan wawancara terbatas pada sejumlah jurnalis, termasuk Tempo. Tata bahasa Inggrisnya sempurna, walaupun tetap terasa aksen tiongkoknya saat akhir kalimat, ha. Di bawah ini petikan wawancaranya :

Kenapa Nanotechnology?
Nanotechnology adalah studi fungsi unit paling kecil dari suatu benda, dan unit terkecil di dalam sebuah sel plasma pembawa sifat (gene). Teknologi itu juga menyediakan semua informasi mengenai gen yang berkembang dalam tubuh manusia.

Dimana kedudukan pusat riset ini di Indonesia?
Riset pengembangan teknologi nano ini tak begitu banyak di dunia, di Asia, hanya ada di Singapura, Cina dan kini di Indonesia.

Apa gunanya bagi Indonesia?
Dengan populasi 220 juta orang, Indonesia tentu saja ada gangguan yang serius dengan kesehatan masyarakat, terutama kanker, yang menjadi salah satu penyebab utama kematian di Indonesia. Angka resmi ada 800 ribu orang terkena berbagai variasi kanker tiap tahun. Nah, diagnosa dini dan pengobatan yang efektiv diperlukan untuk mengawasi penyebarannya. Disinilah Riset kanker dibutuhkan untuk berbagai aspek penting, termasuk mengetahui pola gen kanker yang masih belum diketemukan.

Apa fokus yang akan diteliti?
Lembaga ini dan lembaga riset kanker yang akan dibuka pada Juni tahun depan (2009) awalnya akan fokus pada studi kanker hati (Hepatocellular carcinoma, HCC). Kanker ini selalu berkembang mengikuti virus hepatitis yang sangat umum terjadi di Indonesia. Jika seseorang terinfeksi virus hepatitis B dan atau C, dia juga berpotensi resiko penyakit hati yang lebih berat.
Dengan pendekatan sains (nanotechnology) dapat diprediksi jika gen pembuat virus tersebut ditemukan lebih awal, dapat dicegah berkembangnya dalam tubuh pasien kanker hati menjadi penyakit hati yang lebih berat. Pola gen pasien dapat membantu dokter untuk menduga tingkat penyakit itu, dan mengobatinya dengan tepat. Selain kanker hati pusat riset ini nantinya akan mempelajari kanker usus, payudara, otak dan lainnya.

Berguna bagi Ilmuwan Indonesia?
Saat ini ada tujuh orang Indonesia yang bekerja bersama saya. Diharapkan selain, ahli-ahli kanker Indonesia yang bekerja di luar negeri kembali ke Indonesia, tiap tahun setelah pusat riset kanker dan nanotechnology berjalan menghasilkan lima ribu dokter dalam bidang ini. Dokter kanker yang mengetahui konsep nano teknologi.

(dimuat di Majalah TEMPO)

Kebangkitan Gagasan Pluralis

Nurcholish Madjid menyodorkan ide Islam yang universal, inklusif. Tapi beberapa gagasannya pada 1970-an membuat ia dicap penyambung lidah Orde Baru.

PADA 2 Januari 1970, di sebuah diskusi di Jalan Menteng Raya 58, seorang pemuda mengungkapkan sesuatu yang tidak saja baru bagi audiens di hadapannya, tapi juga bagi dirinya. Ia Nurcholish Madjid, usianya 31 tahun, dikenal karena aktivitasnya di Himpunan Mahasiswa Islam dan tulisan-tulisannya tentang Islam.

Hari itu ia membawakan makalah dengan judul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. ”Sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi kaum sekularis. Tapi dimaksudkan untuk menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya,” begitu ia mencoba menjelaskan posisinya.

Nurcholish mungkin sudah berubah. Dua tahun lalu ia dalam sebuah tulisannya menggarisbawahi perbedaan antara westernisasi dan modernisasi dalam Modernisasi Adalah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi. Dan kali itu, ia menyodorkan sekularisasi sebagai solusi. Sebagian orang meliriknya sebagai mujadid. Tapi sebagian lagi, termasuk di antaranya para modernis, memandangnya telah melangkah terlalu jauh. Bahkan Menteri Agama pertama, Profesor H M. Rasjidi, menganggapnya terpengaruh doktrin Barat.

Dalam waktu singkat kedudukannya dalam dunia politik Indonesia pada 1970-an itu pun dipertanyakan. Pandangannya sebelum berkunjung ke Amerika Serikat (1968) berbeda dengan sekembalinya dari tanah Abraham Lincoln itu. Pengaruh Amerika? Yang terang, gagasan dan pikirannya semakin jelas ketika ia menyodorkan ide “Islam Yes, Partai Islam No”. Gagasan yang kemudian membuat ia dicap sebagai penyambung lidah Orde Baru untuk menggembosi Partai Persatuan Pembangunan, yang mengusung Islam sebagai dasar partai.

Politik Orde Baru yang represif terhadap Islam waktu itu menimbulkan antipati di kalangan muslim. Tapi Cak Nur--begitu ia biasa disapa--seakan tak begitu ambil pusing dengan dikotomi pro dan antipemerintah ini. Nurcholish, yang telah mengantongi gelar doktor dari Universitas Chicago serta aktif di dunia akademis dan tulis-menulis, pun tampak semakin matang dengan gagasan-gagasannya. Di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 21 Oktober 1992, di hadapan 400 orang yang hadir, ia menyampaikan pidato kebudayaannya yang berjudul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang”.

Ada kontroversi yang hampir sama dengan tahun 1970-an kembali muncul. Cak Nur memiliki jangkauan lebih luas dan lebih filosofis. Bekas Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam itu mengolah gagasannya tentang Islam sebagai agama yang hanîf dan inklusif serta melancarkan kritik keras terhadap gejala fundamentalisme dan radikalisme agama. Ia melontarkan gagasan tentang kepasrahan sebagai inti dasar keislaman. Islam dalam pandangannya bukan hanya sebutan khusus bagi suatu agama, melainkan juga sebutan yang berlaku untuk semua bentuk keberagamaan berdasarkan kepasrahan terhadap kebenaran mutlak.

Menurut dia, beragama yang benar adalah yang al-hanifiyyat al-samhah--mencari kebenaran yang lapang dan toleran, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.

Gagasan tersebut ia gali dari khazanah klasik Islam--dalam hal ini pemikiran Ibnu Taimiyyah--dan juga Al-Quran serta hadis yang dalam beberapa kesempatan berbicara tentang warisan Nabi Ibrahim, millati Ibrahim, yang mengalir dalam tiga agama besar: Yahudi, Kristen, dan Islam. Pada dasarnya, Cak Nur hanya ingin menghilangkan efek buruk yang lahir dari sikap fanatik.

Ridwan Saidi termasuk salah seorang politikus yang sejak dulu keberatan dengan pandangan Cak Nur itu. Ia menilai, “Masalah kerukunan beragama di Indonesia lebih berkadar sosial-politik. Nah, Nurcholish mencari jawab persoalan ini dari segi teologi. Kalau mencari jawab dengan teologi, larinya akan ke pandangan filosofi. Jadi enggak ketemu."

Terlepas dari segala kontroversi dan penolakan, suatu diskursus panjang telah disulut Nurcholish. Menurut dosen Universitas Islam Negeri Jakarta, Bahtiar Effendy, gagasan Nurcholish turut mendorong terjadinya transformasi pemikiran dan praktek politik Islam di Indonesia. *


(dimuat dalam edisi khusus Majalah Tempo 100 tahun Kebangkitan Nasional)

Hanya Ada satu Kata, Thukul

"bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata : lawan!”


Bagian akhir puisi bertajuk Peringatan yang dibuat di Solo 1996, lebih dikenal dari sang penyair penciptanya, Wiji Widodo nama asli lelaki kelahiran Kampung Sorogenen, Solo, 26 Agustus 1963, Wiji Thukul. Bahkan ketidakhadirannya hingga kini tak menjadi buah bibir.

“…kalimat pendek itu menunjukkan pilihan hidup Wiji Thukul…bukan pilihan yang mudah Wiji Thukul telah membayarnya dengan mahal, dia telah menjadi korban praktek penghilangan orang,”tulis Direktur Komisi Korban Kekerasan dan Orang Hilang, Munir—yang akhirnya juga menjadi korban, meninggal diracun—dalam pengantar buku kumpulan Puisi Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru.

Sosok Thukul—nama itu kini digunakan seorang komedian terkenal berwajah ndeso asal Semarang, Riyanto— awalnya hanya dikenal kalangan aktivis gerakan mahasiswa di Jawa Tengah dan Yogyakarta. “Kami sering menginap di rumahnya di kawasan kumuh di Solo, saat memperjuangkan tanah rakyat yang tenggelamkan rezim Soeharto dalam proyek Kedung Ombo,”kata bekas Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), Budiman Sudjatmiko.

Karena seringnya menginap dan berinteraksi dengan para aktivis, seniman pelo (cadel) bergabung dengan partai ‘haram’ pimpinan Budiman. “Semua kekuatan harus bersatu untuk melawan rezim otoriter dan militeristik, katanya, dan Thukul memimpin Jaringan Kerja Kesenian Rakyat, sayap seniman PRD,”ujar Budiman.

Puisi-puisi Thukul lalu menjadi salah satu slogan dalam gerakan mahasiswa, petani maupun buruh. “Kata-kata baris akhir dalam puisi Peringatan itu bagi gerakan sama saja dengan slogan saat Proklamasi dulu, merdeka atau mati,”ujar Budiman yang kini Ketua Umum Relawan Pejuang Demokrasi, sayap pemuda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Budiman dan kawan-kawan tak melupakan Wiji Thukul. “Saya ditangkap setelah peristiwa 27 Juli 1996, Thukul tak pernah ketemu dan menghilang sejak 1998,”katanya.

Thukul termasuk seniman yang tak sepakat pekerja seni alergi pada politik. “Dengan tidak tahu soal politik kita mudah saja dipermainkan. Kita harus jadi pelaku, bukan objek,”katanya dalam wawancara di buku terbitan Indonesia Tera, Juni 2000.(hal.170).

Selain catatan keseharian yang ada di sekelilingnya, semangat perlawanan tampak dalam puisi-puisi ayah Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Dalam puisi berjudul Sajak Suara, Thukul, menulis ;

sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
disana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!


Memang suara tak bisa diredam dan dipenjarakan. Tapi pemilik suara itu bisa dihilangkan, walaupun puisinya masih tetap menjadi ikon semua gerakan dan aksi unjuk rasa. Dalam sajak berjudul Udara, penyair drop out jurusan tari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo (1982) sudah menghirup aroma maut.

dari udara sama
dihirup
udara di kampung udara di kuburan
menyambut kematian!
begitu miskin
milik kita kalimat berat
selamat datang!


(dimuat di edisi khusus Majalah TEMPO 100 tahun Kebangkitan Nasional)

Potret Rendra Dalam Pembangunan

Kita adalah angkatan gagap
yang diperanakkan oleh angkatan takabur,
Kita kurang pendidikan resmi
di dalam hal keadilan,
karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum


Hendardi, 50 tahun, masih ingat Sajak Anak Muda yang dibawakan penyair Willibrordus Surendra Broto Rendra atau lebih dikenal sebagai W.S Rendra menjadi inspirasi melawan rezim militer orde baru. “Waktu itu saya baru masuk menjadi mahasiswa baru, kakak angkatan kami ditangkapi dan ditahan, militer masuk ke dalam kampus,”katanya.

Dalam keadaan tekanan seperti itu puisi-puisi Rendra, menurut mahasiswa Jurusan Teknil Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 1978, membangkitkan semangat. “Puisi-puisinya mendengung saat happening art dan mimbar bebas di kampus,”ujar Hendardi.

Puisi-puisi itu pula, menurut bekas Ketua Dewan Mahasiswa ITB, yang membuatnya bertahan aktif dan tak kenal menyerah. Hendardi dan kawan-kawan menjadikan puisi Rendra bagian dari pleidoi para aktivis mahasiswa angkatan 1978 yang diadili, antara lain seperti ; Herry Akhmady, Rizal Ramly dan Indro Tjahyono.

Puisi-puisi Rendra yang biasa dibacakan saat demonstrasi dan mimbar bebas itu pada 1980 diterbitkan oleh Lembaga Studi Pembangunan, dalam sebuah buku kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam Puisi. Isinya tentu saja situasi dan keadaan politik sejak 1973, saat sang Burung Merak, masih di Yogyakarta, sampai 1978, saat marak demonstrasi menentang ketimpangan pembangunan dan ketidakadilan. Bahkan sajak-sajak Rendra masih terasa mengedor-gedor semangat aktivis mahasiswa pertengahan 1980-an.

Olah vokal dan ekspresi gerak Rendra masih membayang hingga kini. Bahkan sejumlah penyair di Bandung, pada pertengahan 1980-am, masih tampak meniru-niru gerak dan olah vokal lelaki kelahiran 7 November 1935 di Solo itu. Di lapangan Basket kampus ITB atau di depan Masjid Salman Jalan Ganesha, Bandung, seorang seniman Sujiwo Tedjo, tampak faseh saat membawakan puisi Rendra dalam sebuah panggung di pertengahan 1980-an. “Puisi-puisi Rendra yang dibacakan saat mimbar bebas biasanya yang punya ruh perlawanan, bukan puisi-puisi cinta yang mendayu-dayu,”ujar Hendardi.

Pada masa awal Rendra berkarya sering menulis cerpen dan esei yang dimuat di berbagai majalah: Mimbar Indonesia, Siasat, Kisah, Basis, Budaya Jaya. Kemudian baru menulis drama dan puisi. Satu dramanya, Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954) mengantarkannya meraih hadiah dari Departemen P & K Yogya, waktu itu. Lalu kumpulan sajaknya, Ballada Orang-Orang Tercinta (1957) dan Empat Kumpulan Sajak (1960) adalah sajak-sajak yang paling laku dibaca pada periode 50-an.

Olah vokal dan gerak sarjana muda Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu memang terus bertambah matang saat menimba ilmu di American Academy of Dramatical Arts, Amerika Serikat. Tiga tahun disana, warna Rendra makin kentara, nadanya terbuka, mudah dicerna, dan urakan. Tampak misalnya dalam sajak Rick dari Corona ;

Betsyku bersih dan putih sekali
lunak dan halus bagaikan karet busa.
rambutnya merah tergerai
bagai berkas benang-benang rayon warna emas.
dan kakinya sempurna
singsat dan licin
bagaikan ikan salmon


Namun, panasnya suasana kampus pada 1970-an Rendra melupakan segala kegenitannya pada lawan jenis, serta mengusungnya masuk ke lingkungan perguruan tinggi. Pendiri Bengkel Teater Yogya itu diundang membaca sajak di banyak kampus. Kepiawaiannya mengolah vokal dan gerak mengundang mahasiswa berteriak dan gema tepukan. A.Teeuw dalam kata pengantar buku ini mengakui Rendra Sang Penyair adalah seorang pemberontak, seorang yang selalu sibuk dengan melonggarkan kungkungan dan pembatasan-pembatasan. Karena itulah penyuka oral Hitler dan Bung Karno sempat mencicipi jeruji tahanan pada masa itu. Karyanya dipandang banyak menyuarakan suara protes dan gejolak keberanian para aktivis. Misalnya dalam Sajak Mata-mata;

Ada suara bising di bawah tanah,
ada suara gaduh di atas tanah,
ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah,
ada tangis tak menentu di tengah sawah.
Dan, lho, ini di belakang saya,
ada tentara marah-marah.


Kumpulan sajak Potret Pembangunan dalam Puisi menjadi lebih berarti saat dibacakan di hadapan khalayak ramai. Bahkan lebih hidup dari sekedar propaganda yang menempel di dinding-dinding kampus. Penyair sekaligus dramawan yang sudah banyak menghasilkan karya ini, benar-benar memberikan ruh pada sebuah protes, dalam Aku Tulis Pamplet ini ;
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga-lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah.
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan,
menjadi peng-iya-an.

Membuang Kayu Lapuk

Elisabeth, pasien penyakit paru-paru busuk sehat kembali setelah dioperasi kapal medis Amerika Serikat. Kini hidupnya melayani umat.

Jangan pernah menyerah. Renova Elisabeth Pangabean, 31 tahun membuktikan kekuatan kata itu untuk menyembuhkan diri dari penyakitnya. Ibu dari dua putra ini kini kembali hidup normal dan kembali sehat menjadi aktivis gereja melayani umat. Siapa sangka tiga tahun silam dua paru-paru sebelah kanannya pernah diambil oleh tim dokter dari Kapal USNS Mercy.

Riwayat penyakit Bebet-begitu panggilannya di kalangan keluarga- bermula saat masih duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Farmasi di Sumatera Utara. Perempuan kelahiran kota rambutan Binjai, sekitar 21 kilometer dari ibukota Sumatera Utara itu sering bartuk-batuk di malam hari. Sebagai anak yatim, dan keterbatasan biaya, batuk-batuk itu tak diobati secara intensif.

Penyesalan baru terjadi dua tahun setelah usai sekolah dan melamar pekerjaan. Semua tes untuk masuk sebuah perusahaan farmasi besar di Jakarta sudah lulus dijalani. Namun saat tes kesehatan anak keempat dari lima bersaudara itu batuk-batuk, dan di dalam paru-parunya ditemukan cairan yang cukup banyak. “Akibat itu saya tak diterima,”katanya pada Tempo lewat saluran telepon pekan lalu.

Bebet lalu periksa ke rumah sakit, Dokter di RS Mitra Keluarga menemukan abses pada paru-paru kamar bawah, putusannya harus dioperasi. Tak puas dengan informasi itu, dia cek kepada tiga dokter di rumah sakit yang berbeda, di Jakarta dan Tangerang, Banten. Bebet memutuskan kembali ke Binjai bekerja sebagai asisten apoteker.

Di Binjai, Bebet berobat pada Dokter Spesialis paru Tamsil Syafiuddin, gratis. Karena tak punya biaya, Dokter Tamsil tak menyarankan operasi pemotongan paru. Karena penyakitnya sudah parah Bebet mulai sering muntah darah dan masuk rumah sakit dua pekan lamanya jika batuknya mulai tak berhenti. “Setahun sudah sampai empat kali muntah darah,”katanya.

Dua tahun menjelang pernikahan, pada 12 Juli 2000, Bebet memeriksakan diri ke Island Hospital, Penang, Malaysia. Dokter dato Zainuddin Wazir yang memeriksanya memberi saran yang sama, operasi paru, jika tidak, akan terjadi pendarahan tiap bulan tanpa henti. Setelah kalkulasi biaya dengan nilai tukar rupiah ke ringgit Rp 2.500/ringgit, biaya operasi dan finishing mencapai Rp 250 juta.

Elisabeth melupakan niatnya, lebih memilih kawin pada Agustus 2002. Saat mengandung anak pertama, Bebet sempat tiga kali masuk rumah sakit karena sakit parunya. Cara caesar diambilnya saat melahirkan, begitu juga saat mengandung anak kedua, dua kali dia masuk rumah sakit. Surat juga dikrimkan ke juragan Microsoft, Bill Gates, tanggapannya, yayasan nir laba yang dikelola Bill & Melinda Gates Foundation hanya untuk penyakit infeksi karena HIV/AIDS, kesehatan reproduksi dan anak, serta tak melayani permintaan perseorangan.

Kehidupan tambah berat, ibunya meninggal pada 2005. Dua minggu kemudian yatim piatu itu kembali muntah darah, ditambah mental yang sedang tak sehat, Bebet dirawat di rumah sakit. Dokter menyatakan paru-paru dalam kondisi yang paling buruk, dan saran dokter tetap, operasi.

Dalam kondisi sulit, adiknya, Jordan membawa majalah Tempo bekas, ada sebuah artikel Pada Sebuah Kapal (edisi, 20 Maret 2005), menarik perhatiannya, berkisah tentang sebuah kapal, rumah sakit terapung milik Amerika Serikat USNS Mercy yang membantu mengobati warga korban tsunami Aceh, termasuk mengoperasi tumor ganas. Sayang kapal itu sudah pergi dari Aceh. Saat itu Bebet berdoa semoga kapal mundur kembali.

Ndilalah, dua hari pulang dari rumah sakit, terjadi gempa di Nias. Bebet menonton dalam liputan 6 SCTV, tentang kapal Mercy yang mundur dan kembali ke Nias. Liputan yang sama ditonton Bebet di televisi yang berbeda Indosiar dan Metro TV. Tanpa membuang waktu Bebet dan keluarga berangkat ke Nias, berharap bisa diobati.

Saat sampai di Nias, ia cuma bertemu tentara Australia. Tak lama kemudian bertemu dokter tentara AS. Tapi dia menolak menerima Bebet. Lalu Bebet bertemu dengan seorang dokter Indonesia yang juga membantu di Nias. Setelah beberapa orang mendesak dokter AS itu akhirnya mau mengangkut Bebet dan suaminya dengan helikopter yang tersedia di lapangan terbang setempat. Langsung di bawa ke USNS Mercy. Tepat turun dari helikopter, Bebet muntah darah.

Tanpa banyak tanya, Bebet langsung diisolasi dalam sebuah ruangan. “Menurut dokter AS, prosedurnya demikian, kawatir ada kuman atau virus yang menyebar ke rumah sakit terapung itu,”cerita Elisabeth. Di ruang itu, paru-paru Bebet dikeringkan, agar saat dioperasi tak menjalar ke paru-paru lain. Dari hasil pemeriksaan paru-paru kanan bawah bebet 100 persen rusak, sedangkan kanan tengah 10 persen. “Namun, kedua paru itu harus diambil, kata mereka,”ujar Bebet.

Setelah tiga hari Bebet dioperasi sekitar tujuh jam, dua parunya diambil. Kini dia hidup normal, sehat, melayani umat gereja Komunitas Imamat Rajani. “Saya tak pernah batuk lagi, bahkan juga tak pernah kena flu,”katanya.

Dokter Tamsil, yang dulu merawat Elisabeth, mengakui ibu dua anak itu kini sehat setelah paru-parunya dibuang. “Memang, paru-paru Elisabeth itu ibarat kayu dimakan rayap, sudah lapuk. Jalan yang terbaik yang dibuanglah sudah tak berguna,”kata dokter spesialis paru lulusan Fakultas kedokteran Universitas Indonesia dengan logat Melayu Medan.

Menurut Tamsil yang juga guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, keadaan paru-paru Bebet, berasal dari penyakit tuberkolosis –TBC- yang tak tuntas diobati. “Jadinya infeksi dan kena kuman hingga seperti itu,”katanya. Penyakit TBC kini masih menjadi pembunuh nomor tiga di Indonesia. “500 orang Indonesia meninggal tiap hari akibat penyakit ini,”katanya.

Bakteri TB, yang berbentuk batang dan bertahan hidup sampai berbulan-bulan di lingkungan kering, mudah disebarkan lewat batuk, bersin, dan ludah. Seseorang akan terinfeksi bila terjadi kontak dekat secara terus-menerus dengan penderita. Sebab itu, bila dalam sebuah keluarga ada seseorang yang terjangkiti TB hendaknya segera berobat. Sambil diobati, gizi makanan penderita harus baik dan istirahat cukup. Anak-anak juga hendaknya dijauhkan dari penderita.

Sebenarnya, selama daya tahan tubuh kuat dan bakteri yang masuk tidak terlalu banyak, beberapa bakteri dengan sendirinya akan mati oleh serangan sel darah putih. Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita TB antara lain pleurel effusion (pengumpulan cairan di antara paru-paru dan dinding rongga dada) atau pneumothorax (terdapat udara di antara paru-paru dan dinding rongga dada). Keadaan akan fatal kalau kerusakan paru-paru sudah luas. TB ada kalanya dapat menjalar ke organ tubuh lain melalui aliran darah.

Jutaan manusia sebenarnya hidup dengan kuman TB tanpa harus menjadi sakit. Namun suatu saat bila daya tahan tubuh menurun, kuman tubercle dapat bangkit memperbanyak diri kembali, kemudian menyerang masuk ke bagian lain dari paru-paru. Pada taraf ini penderita masih merasa sehat sampai gejalanya muncul, misalnya saat fungsi pernapasan terganggu, batuk, dan muntah darah. Itulah yang terjadi pada Bebet.

Elisabeth, menurut dokter yang kini bertugas di Rumah sakit Pirngadi, Medan, kini tak lagi memiliki dua paru-paru yang diambil itu. “Namun dia tetap bisa hidup normal, 55 persen paru-paru saja sudah cukup,”kata Tamsil.

Ahmad Taufik (hasil editan dimuat edisi khusus TEMPO 100 tahun Kebangkitan Nasional)