Kejaksaan menangguhkan eksekusi tiga terpidana mati kasus Bom Bali I, yakni Amrozi, Imam Samudra dan Ali Ghufron alias Mukhlas hingga setelah lebaran. Berarti “kontrak hidup” ketiga pelaku bom bali 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang dan ratusan luka-luka itu, sudah bisa ditentukan. Kendati para pengacaranya meminta eksekutor menunggu keputusan uji materi Mahkamah Konstitusi mengenai cara pelaksanaan hukuman mati. Artinya, Ramadan ini adalah bulan puasa terakhir untuk mereka.
Ketiga “mujahid” itu, melalui kuasa hukumnya, resmi mengajukan uji materi dan formal atas Undang-Undang tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati. Dalam permohonan uji formal, mereka menilai pembentukan undang-undang tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pembentukan undang-undang itu dilakukan dengan cara penetapan presiden yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Anggota DPR Gotong Royong juga ditetapkan dan diangkat presiden tanpa pemilihan umum sebagai mana ketentuan konstitusi. Mereka menilai materi Undang-Undang Hukuman Mati bertentangan dengan Pasal 28 (i) UUD 1945 karena menyiksa terhukum mati. Dalam ketentuannya disebutkan, hukuman mati dengan ditembak dilakukan dengan cara ditembak hingga mati. Cara ini dianggap akan menimbulkan penderitaan sebelum mati.
Sebenarnya penolakan hukuman mati dengan cara ditembak sudah sejak lama ditolak ketiga terpidana mati itu. Dalam tayangan eksklusif televisi swasta, ketiganya meminta hukuman mati dengan cara di pancung. Menurut mereka merasa hukuman pancung "lebih Islami". Walaupun apa yang mereka bilang sesuai ajaran Islam cara hukuman itu belum tentu benar. Tentu ada cara-cara hukuman yang berbeda di berbagai negara kini. Terlepas dari manusiawi atau tidak, jenis hukuman mati antara lain ; di depan regu tembak, kursi listrik, suntik mati dan lain sebagainya.
Memang lucu permintaan hukuman mati dengan cara dipancung. Jika mau dihukum pancung, seharusnya mereka melakukan perbuatan itu di Arab Saudi, atau di tempat tempat yang memberlakukan hukum pancung atas kejahatan seperti itu. Toh, di Arab Saudi misalnya, ada tempat-tempat yang mereka golongkan musuh, seperti Amerika Serikat, Australia dan Inggris. Misalnya (bukan menyarankan) perusahaan minyak negara-negara tersebut, kedutaan besar atau kantor-kantor perwakilan resmi pemerintah atau perusahaan milik negara tersebut.
Mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, juga merupakan kelucuan lain. Karena sebelumnya mereka menganggap pemerintahan Negara Republik Indonesia yang ada sekarang ini sebagai pemerintahan yang menjalankan hukum-hukum kafir otomatis dianggap pemerintah yang tak harus ditaati, sebagaimana ayat yang sering disitir kaum Assyariyah "taatilah Allah, Rasul dan ulil Amri diantara kamu."
Sebenarnya mempercepat hukuman mati ketiganya, menolong mereka ke puncak “kesyahidan”. Bidadari “impian” segera menjemputnya sesaat ajal lepas dari badan itulah yang mereka yakini. Jika mereka jadi dihukum mati, seperti permintaan mereka dalam sebuah tayangan khusus sebuah tevisi swasta, "tidak perlu kita tangisi." Karena, mereka merasa sebagai pejuang Islam.
Seharusnya, “kita” muslim kebanyakan yang tak sepakat dengan aksi segelintir orang itu pun tidak menjadikan mereka "pahlawan’ atau syahid, karena perbuatan mereka bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang luhur dan penuh ketauladanan, seperti yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW dan beberapa sahabat-sahabat setelahnya. Karena mereka bukanlah representasi pejuang Islam, walaupun dibela oleh sekelompok pengacara yang menamakan diri Tim Pembela Muslim.
Dalam ajaran Islam perbuatan mereka itu disebut al-harabah atau kejahatan terhadap ciptaan Allah . Dalam Quran Surat Al-Maidah ; ayat 33, disebutkan jenis hukuman terhadap pelaku terorisme. Terjemahannya ; "sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan di bumi adalah, dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar."
Tafsir turunnya surat ini, menurut Buku Tafsir Nurul Quran, berkaitan dengan sekelompok orang kafir yang datang ke Madinah dan menjadi muslim. Mereka lelah dan sakit. Karena itu Nabi SAW memerintahkan agar mereka ditempatkan di daerah yang beriklim baik di luar kota Madinah. Mereka juga diizinkan memanfaatkan susu dari unta-unta zakat disana. Setelah mereka sehat kembali mereka menawan gembala-gembala muslim yang menggembalakan unta-unta tersebut yang tinggal disekitar tempat itu dan memotong tangan dan kaki mereka, membutakan mata serta merampok unta-unta mereka. Rasul memerintahkan menangkap mereka dan memperlakukan sama seperti yang mereka lakukan terhadap penggembala tersebut.
Pembalasan ini yang disebutkan dalam ayat di atas dihitung sebagai hak-hak Allah, dan mereka tidak diampuni, hukumannyapun tidak diubah (Athyabul Bayan). Dalam Tafir Al-Mizan, disebutkan bahwa pilihan salah satu hukuman dari keempat hukuman tersebut terserah kepada pemimpin kaum muslim. Jadi, meskipun para pemilik darah orang yang terbunuh memberikan maaf, namun salah satu dari hukuman tersebut harus dilaksanakan. Karena agar memberikan pelajaran pada masyarakat atau orang-orang yang jahat untuk melakkan kejahatan serupa.
Kejahatan seperti yang terjadi zaman Nabi itu, dalam masa yang lebih modern sekarang bisa digolongkan sama bila menggunakan bom, granat atau senjata api, seperti yang dilakukan ketiga terpidana mati terebut. Ayat tersebut menyebutkan subyek dan tujuan yaitu perang melawan masyarakat dan menyebarkan kerusakan di atas bumi. Hukuman berat di atas menunjukkan perhatian Islam pada permasalahan ini. Islam menegakkan prinsip tanggung jawab personal dan memandang serangan berupa apapun terhadap orang tak berdosa sebagai kejahatan besar.
Islam berorientasi pada perlindungan pada si lemah, tertindas. Umat Islam diharuskan senantiasa membela orang-orang tertindas. Namun tak boleh salah jalan (sesat) seperti yang dilakukan ketiga terpidana matinitu dan kelompok serupa dimanapun berada.
Syaik Muhammad Ali Tashkiri cendikiawan muslim yang baru-baru ini datang ke Indonesia dalam pertemuan cendikiawan Islam se-dunia, berpendapat bahkan perbuatan seperti itu tergolong terorisme. Menurut Tashkiri, salah satu golongan kejahatan dari enam golongan, yang termasuk dalam terorisme, antara lain ; pemboman atas area yang bependuduk menggunakan senjata kimia, menyerang kapal terbang sipil, bandara nasional kendaraan komersial dan turis dan metode-metode sejenisnya yang secara universal dikutuk dalam peperangan.
Sepantasnya Ramadan terakhir ini saatnya untuk bertobat, benar-benaqr bertobat (taubatan nasuha), meminta maaf kepada para keluarga korban yang dibomnya. Jika hukuman mati itu jadi dilaksanakan, mungkin menjadi “pelajaran” (ibrah) bagi kita semua dan orang-orang yang ingin coba-coba melakukan perbuatan seperti itu. Sebagai sesama muslim, walau tak sepakat dengan perbuatan itu, saya hanya bisa mengucapkan selamat jalan “para mujahid”, salam kepada 202 orang tak bersalah yang anda bunuh.
Ahmad Taufik,
Ketua Umum Garda Kemerdekaan
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu