Sabtu, November 29, 2008

Belum Bisa Kawin

Setelah melepas lelah, karena menikmati kehidupan malam di Legian, Bali, tidur terasa nikmat. Memang kenikmatan baru terasa setelah merasakan kelelahan. Lelah karena kerja atau keriaan.

Menikmati Sanur Beach Hotel, berenang, mengobrol, main di laut dan sauna, pantas kita nikmati sesekali. Temen-temen harus cek-out, dan terbang ke ibukota, Jakarta. Dengan mobil sewaan, mereka mampir di Titiles, sebuah toko penganan yang menjual bahan-bahan daging dalam kemasan, seperti abon, dendeng dan sosis. Jenisnya pun bermacam-macam, mulai dari ikan, sapi, ayam sampai babi. Aku hanya ikut, ke Denpasar, mau menjenguk sepupu yang tinggal di ibukota Pula Bali.

Selesai belanja di toko yang memelihara lima singa dan seekor harimau Jawa, aku masih ikut mobil sewaan itu. Sambil mengingat-ingat jalan-jalan di Denpasar, akhirnya ku putuskan berhenti di perlimaan (klo di Bandung disebut prapatan lima, lucu ya). Tepatnya, di ujung Jalan Teuku Umar dan Jln. Imam Bonjol, aku berjalan sedikit. Bali sulit sekali mencari angkutan umum (angkot),

Ku temui tiga mobil angkutan umum suzuki 1000, warna krem muda. Kosong, tak ada penumpang. Mereka menawariku untuk naik. "Ubung,"katanya. Aku menggeleng, "gak, mau ke Gajah Mada." Kataku menyebut nama jalan.
"O, langsung aja pak!"
"Saya mau ke jalan Arjuna,"kataku.
"Boleh."
"Berapa?"
"Lima belas ribu."
"Sepuluh aja."
"Hooh!"katanya.

Aku naik sendiri di kursi depan dekat sopir. Sang sopir masih muda, tanganya penuh tatoo, juga di dahi yang dututpi topi. Seperti biasa, di depan sopir ada bunga, sembahan, tanda syukur pada sang hyang.

"Kok, sepi?"
"Ya, beginilah, sekarang sepi orang lebih banyak orang naik motor, jarang yang naik angkot,"katanya. Dulu memang kendaraan umum antara Kereneng (tengah kota dekat jalan Diponegoro) dan Ubung (terminal bis), masih bemo. Dulu aku sering naik kendaraan itu saat di Denpasar.

Pas di depan pom bensin, sopir itu berbelok. "Isi dulu ya pak?" Dia mengambil dua lembar uang sepuluh ribuan lecek yang ada di atas dashbor. "Ya, dapet segini cuma bisa beli bensin."katanya. Ada lagi uang seribu rupia lecek juga tergolek tak jauh dari daun sesembahan.

"Penumpang sepi, bensin naik, berat,"ujarnya.
"sehari bawa pulang berapa?"
"Paling cuma enam ribu rupiah."
"Belum kawin ya?"
"Wah, boro-boro untuk kawin atau untuk keluarga, hidup sendiri saja susah,"katanya.

Denpasar, 30 November 2008
Ahmad Taufik

Bus Indonesia

Dua hari tak mengisi dialog angkot bukan karena tak pergi dengan angkot, namun karena deadline (wah, alasan!) serta lagi pusing nyiapin ujian advokat. Satu lagi alasan, lagi kerajingan facebook.He...he.

Pagi ini (Sabtu, 29 November 2008) aku sudah siap-siap ujian advokat. Pilihannya, naik bemo, kendaraan Jepang zaman baheula, yang selama hidup aku naiki belum pernah tabrakan atau kecelakaan. Pikiran lagi dipenuhi untuk ujian advokat, kembali ke rimba yang tak jelas, hukum.

Selepas ujian, yang bikin puyeng, waktu hampir pukul 14.30, ssaran kendaraan umum kali ini Metromini. Namun, kendaraan warna oranye jurusan Manggarai- Pulogadung tak penuh saat aku naiki di depan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Metromini, si raja jalanan, begitu pernah disebut, teringat Ramses, seorang supir metro mini yang "berhasil" membawa 33 orang menuju ke surga seketika, saat kendaraan seperempat bis itu nyemplung ke Kali Semper, Jakarta Utara.

Kenapa ke surga? Karena ada joke saat pastor atau khatib ceramah di gereja atau di masjid, orang-oang justru tertidur. Tapi saa, naik metro mini, mereka justru berdoa untuk keselamatan, bukankah jka orang mati dalam doa, apapun agama dan kepercayaannya akan masuk surga?

Lucunya, aku sempet ketemu saat singgah di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat. Ramses mendekam di ruang sel khusus yang dikunci dua kali (double dir, istilahnya, kaena ada dua pintu besi yang dikunci dalam selnya). Ramses, di blok N, sel isolasi itu, menjadi kepala blok, voorman.

Setelah rapi-rapi mengambil akaan dan notebook, aku langsung cabut. Tujuannya Denpasar, da Kongres Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Sanur. Memang ini hari terakhir, mungkin aku juga tak dapat banyak prosesnya. Tapi tak apalah, organisasi yang berdiri 7 Agustus 1994 lalu, ada hubungan sejarah antara aku, dan pers Indonesia.

Naik, Kopaja 502 ke Gambir, tujuanya, bis Damri, arah Bandar Udara Sukarno Hatta (BUSH). Nah, dalam kendaraan nyaman denan tiket senilai Rp 20,000, inilah yang aku mau ceritakan. Bis tak terlalu penuh, ada sekitar enam bangku kosong. Sebelah kanan bangku seorang perempuan berkulit putih, mengenakan pakaian warna merah jambu muda. Di belakang terdengar suara perempuan bercakap minang, di depannya menelepon dengan aksen Sulawesi. Di sebelahnya, lelaki menggunakan handphone berbicara Bahasa Mandarin kepada lawan diseberang telepon genggamnya.

Seorang kenek, kondektur, berwajah brewok menagih uang ongkos dan membagikan karcis. Di dada ada emblem nama, Ujang Winata. Aku tersenyum, lalu terpikir pikiran iseng. Saat ia menagihku, aku tanya, "pak akpa hubunngannya dengan Tomi Winata?" Sang kenek hanya tersenyum, perempuan berbaju pink, tertawa. Tak ada masalah senyum sudah mengembang bukankah itu bagian dari sedekah? Ikut membahagiakan orang dan juga diri sendiri.

Dari bus Damri, tercermin Indonesia, segala suku, dan bangsa ada di situ, terbukti dari bahasa yang mereka gunakan dan wajah yang tampak. Semua diperlakukan sama, bayar Rp 20.000. Akankah nikmat jika, semua suku, agama, ras, dan status sosial diperlakukan sama di depan hukum dan kehidupan sosialnya. Untung, saja aku naik bis itu, bukan bis dengan label agama tertentu, karena saat masuk ke wilayah Tangerang, berlaku hukum syariat, yang bisa saja terjadi entah kapan, jika kita tak bisa menjaga harmoni di negeri ini.

Bis Indonesia itulah harapan kita semua, bukan bis yang melarang ahmadiyah, kafir (lain agama), orang beryoga, kepercayaan, beda mazhab tak boleh masuk ke sana.

BUSH, 29 November 2008
Ahmad Taufik

Rabu, November 26, 2008

Jalan Rusak di Depok

Hampir tiap hari jalurku adalah jalan kaki menuju angkutan kota (angkot) nomor 102 menuju Parung Bingung, setelah itu nyambung 03 menuju Depok.

Nah, pembicaraan di angkot aku mulai dari Selasa (25 November 2008).

Dari Parung Bingung, aku dapat tempat di belakang sopir. Di depan komplek perumahan Maharaja, dua orang ibu naik, seorang di belakang memojok, seorang lagi memakai jilbab warna putih duduk di depan, jok samping sopir.

Pembicaraan di mulai saat sopir mengomentari jalan yang sedang di beton di ujung Jalan Dewi Sartika. "Kayaknya beberapa bulan lalu jalan itu baru dibetulin deh,"katanya.
"Ya, gimana, abis, duit proyek dimakan orang pemkot,"ibu yang di sebelah sopir langsung nyamber pembicaraan itu.
"Saya kasih contoh misalnya, dapet proyek Rp 2 milyar, paling yang kami bawa Rp 1,3 milyar. Yang terjadi kontraktor ngurangi bestek, yang seharusnya 5 centimeter ketebalan beton, misalnya dibuat 3 centimener. Kami gak mau ngambil proyek yang begitu, menodai nama besar perusahaan kontraktor kami. Mending gak usah diambil,"ujarnya.
Ibu itu menyayangkan Walikota Depok, yang memaki simbol-simbol agama tapi tak bisa menertibkan bawahannya. "Malah lewat bawahannya, ikut merampok kami,"katanya lagi.
"Yach, klo gitu pemerintahan yang sekarang sama dong sama yang dulu, pada zaman korupsi merajalela,"sambung sopir angkot itu.

The angkot must go away. Akhirnya, sampai di depan ITC, ibu itu turun. Angkotpun masuk terminal, yang kumuh dan semrawut. Padahal hanya selemparan batu dengan Kantor Walikota. Istilah "bersih, peduli dan profesional," cuma sampai di mulut dan di spanduk yang berada di seantero Depok yang semakin semrawut dan kumuh. Bukankah, ada istilah, kebersihan itu sebagian dari iman? Apa yang pantas ditasbihkan pada orang yang bicara tapi tak melakukan?

26 November 2008
A.T

Dialog Angkot : Perbincangan dari Angkutan Umum

Cita-cita saya jika bekerja di media harian, adalah menyajikan apa yang terjadi di kalangan rakyat. Untuk mudahnya, menyerap suara rakyat, naiklah angkutan umum.

Rubrik ini saya namakan Dialog Angkot, sebenarnya berawal dari apa yang saya dengar, lihat dan rasakan saat naik angkutan kota (angkot). sesungguhnya rakyat kita tidak bodoh, mereka kesal akan korupsi, jalan yang rusak, pemerintahan daerah maupun pusat yang tak becus mengurus rakyat, sampai kesulitan ekonomi. Segala persoalan bisa terekam saat naik angkutan umum.

Jika kita naik angkutan umum kita bisa mendengar, melihat dan merasakan, apa yang mungkin selama ini kita remehkan. Sekaligus ngitung-ngitung mengurangi kepadatan lalulintas, pembuangan enersi karena macet atau gas buang, tak ada salahnya mari kita naik angkutan umum. DENGARKAN SUARA RAKYAT! Belum terlambat mulai hari ini.

Jakarta, 26 November 2008

Ahmad Taufik

Tak Adakah yang Cocok untuk Mega?

Selama sebulan blog ini mencari pasangan yang cocok untuk Megawati Sukarnoputri. tapi sampai sehari menjelang ditutupnya polling ini, kebanyakan memilih tidak ada yang cocok mendampingi Megawati running for President 2009-2014. Kenapa?
Lalu kenapa Sultan Hamengkubuwono X mendapat tempat kedua. Tunggu besok setelah polling ini ditutup. Terima kasih. (A.T)

Obat HIV Made In Iran

Mungkin ini berita mengejutkan dari negeri para mullah, Iran. Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan Iran tahun lalu, jumlah kasus HIV/AIDS di Iran mencapai sekitar 14 ribu orang dan 1.700 orang meninggal akibat penyakit ini. Penularannya, 63 persen melalui jarum suntik, 28 persen dengan penyebab yang tak diketahui, selebihnya karena kontak seksual.

Karena makin banyaknya jumlah orang terinfeksi virus penurunan kekebalan tubuh itulah, para ahli di sana berusaha keras membuat obat penangkalnya. Tahun lalu ilmuwan Iran menemukan obat berbahan tumbuh-tumbuhan yang mampu meningkatkan sistem imunitas tubuh manusia untuk melawan HIV/AIDS, yang diberi nama Imod. "Obat itu mampu mengontrol virus AIDS serta meningkatkan imunitas tubuh," kata Menteri Kesehatan Iran Baqeri Lankarani, seperti dikutip kantor berita resmi IRNA. Namun obat herbal ini lebih baik digunakan bersama obat antiretroviral (ARV), obat wajib penyandang HIV/AIDS.

Obat herbal tersebut diproduksi setelah dilakukan penelitian selama lima tahun dan diujicobakan pada 200 orang pasien. Sejak digunakan tahun lalu, Iran berhasil mengerem kasus pasien terinfeksi HIV/AIDS sebesar delapan persen. Penggunaan Imod juga bisa membuat pengidap HIV/AIDS di sana melepaskan diri dari ketergantungan terhadap ARV yang dipasok dari luar Iran, yang harganya tak terjangkau masyarakat kalangan bawah. Tak salah jika Indonesia, yang saat ini kekurangan pasokan ARV, bisa melirik obat dari Iran.

Dimuat Majalah TEMPO edisi 24-30 November 2008