Senin, Maret 17, 2008

Let’s Dance, Let’s Do It :Dari Tradisi Pribadi Terjun ke Masyarakat

Hakikat tari adalah gerak. Sedangkan gerak adalah pangkal mula kejadian. Menurut teori Immanuel Kant dan La Place, kejadian dalam alam semesta karena adanya gerak perputaran yang menguat. Begitu juga bunyi, cahaya dan listrik bisa terjadi karena adanya gerak. Orang Hindu percaya, terjadinya alam semesta karena tarian Dewa Siwa.

Esensi dan makna gerak itulah jiwa dunia tari dan manusianya. Karya koreografer kondang Ingdonesia, Sardono W. Kusumo, yang pernah digelar berkeliling Amerika Serikat, Passage through the Gong, menunjukkan itu. Tak heran jika mahakarya itu dijajakan oleh sebuah lembaga dan sekolah tari yang sangat berpengaruh di AS, Akademi Musik Brooklynn (BAM).

Sesuai konteks jaman tari dapat bermakna banyak. Pada zaman ketika awal mula, di Tiongkok maupun di Yunani kuno, tari merupakan ekspresi ritual yang menghubungkan manusia dengan dunia transendental. Namun, pada masa dan masyarakat tertentu, tari eksis sebagai ekspresi masyarakat agraris yang mengaitkan perayaan siklus tani dengan perayaan-perayaan sosial. Di era ketika modernitas muncul dan menggejala secara luas, seni tari bisa berarti praktek representasional atau praktek kritikal yang melibatkan konsepsi tubuh maupun ruang berfungsi sebagai pola atau ‘interface’ hubungan kedua unsur tersebut sebagai dua buah konsep yang saling berhubungan, bukannya terpisah.

Tari bisa merupakan olah jiwa, hubungan dua jiwa, atau hubungan sosial yang lebih luas. Tak heran jika tari bisa merupakan letupan mulai dari cinta kasih maupun protes sosial. Tampak dari tari tradisi maupun modern. Dalam tari Salsa misalnya, tampak perlu keintiman yang mendalam antara dua penari tersebut. Sedangkan breakdance yan pernah muncul pada awal 1980-an, merupakan protes sosial anak-anak muda terhadap kemapanan gerak. Dengan kemampuan individu mengubah tradisi yang sudah ada sebelumnya. Tak heran jika pada masa itu terjadi demam di berbagai kota di dunia, termasuk Indonesia.

Dalam kurun yang berbeda, tapi pola yang serupa dengan semaraknya breakdance, kini muncul demam let’s dance. Kemunculannya bersamaan dengan kolaborasi kemampuan individu dan kelompok, untuk membuat hidup lebih mudah dijalani. Memang latar belakang kehidupan pribadi sangat kuat mendasari karya cipta, termasuk tari.

Pekerjaan menari harus secara jasmaniah direproduksi untuk konsumsi sebuah kearifan definisi pada posisi masing-masing. Perintis seni tari modern Amerika, Isadora Duncan, misalnya, mulai menari karena tergerak oleh gambar perempuan Mesir kuno pada kotak rokok, maka konsepsi dan teknik tari Isadora, tampak ke mesir-mesir an. Mary Wygman, tokoh seni tari modern Jerman, karya ciptaannya, sangat kuat dipengaruhi kesenian Yunani kuno. Jenis tari Martha Graham, terkenal abstrak, karena berasal dari lingkungan keluarga dokter, sehingga teknik dasar tarinya berdasar pada esensi gerak otot.

Di Indonesia dalam waktu yang relatif singkat individu-individu seperti R Jodjana, penari kraton Solo yang pertama kali memperkenalkan karya tari bernafas modern dalam lingkungan tradisi, atau seniman tari Bali I marya dengan Kebyar Duduknya mengorbit dan menjadi pedobak seni tari. Tercatat juga Nungki Kusumastuti, Farida Oetojo, Sal Murgiyanto dan Sardono W. Kusumo yang mengharumkan nama Indonesia di manca negara dengan karya-karya tari tradisi dengan nafas modern.

Namun di tengah hiruk pikuk perkembangan tari. Ada kritik bahwa tari kontemporer Indonesia beberapa tahun belakangan ini, seolah terjebak pada pendangkalan gagasan dan miskinnya wawasan tentang persoalan-persoalan seputar tari antara ; tubuh, ruang, gerak, diskusi, dialog diskursif tentang tema-tema naratif maupun problematik-problematik yang mengitarinya. Tari kontemporer Indonesia juga terkesan bersikap a-historis, melepaskan diri dari terobosan awal yang dirintis oleh genealogi para penari atau koreografer di masa awal, yang justru membentuk ‘lineage’ atau garis keturunan dimana sejarah penulisan tari kontemporer di negeri ini pertama-tama ditorehkan. ]

Konsepsi tubuh dan ruang – baik lewat gerak, tari dan elemen artistik lainnya seperti musik dan penataan panggung - dirajut dengan sangat verbal, dan tanpa sublimasi. Tubuh si ganjuo lalai yang diwariskan Huriah Adam dan Gusmiati Suid lewat transformasi beberapa dekade karya berkesinambungan, seakan hilang tanpa jejak, berganti dengan tubuh asing yang kadang saja mementaskan frasa-frasa tari Minang, namun tersesat di idiom-idiom tari yang tak jelas pijakan tekniknya. Elemen musik yang menindih suara azan dengan suara musik berirama disco sebagai cerminan keadaan pra-tsunami diramu tanpa upaya sublimasi, lewat abstraksi atau stilisasi artistik misalnya, seperti yang kuat terjalin dalam koreografi-koreografi Gusmiati Suid yang berpusat pada tema-tema kritik sosial dan politis. Singkatnya, tidak ada proses dialektika antar generasi di jalur ‘tradisi’ yang sama.

Padahal, tubuh tidak bisa menipu. Diantara semua jenis ekspresi kultural, seperti ; – film, seni rupa, visual dan teater, tari kontemporer Indonesia termasuk terbelakang dalam mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru yang lintas-batas atau lintas-disiplin. Bahkan meski tampil dengan tubuh yang indah dan beberapa dilengkapi dengan teknik gerak yang intens serta eksploratif, karya para penari (koreografer) masih lemah dalam mengemukakan sesuatu secara konseptual.

Gagasan-gagasan menarik tergelincir dalam stereotip-stereotip pertunjukan tari yang mengisi panggung dengan properti, tanpa garis merah konseptual. Seperti karya penari latar penyanyi Madonna Eko Supriyanto, atau I Nyoman Sura (Waktu Itu) atau Sense of karya Lalu Suryadi Mulawarman. Karya koreografer paling muda Bobby Ari Setiawan (Solo, lahir 1983) berjudul Evolusi yang tampil pada Indonesia Dance Festival di Solo, beberapa waktu lalu, misalnya bisa jadi ditafsirkan sebagai kritik simplistik terhadap proses Darwinisme, namun pilihan-pilihan koreografik Bobby dalam menyampaikan gagasan, pemakaian teknik wayang lewat bayangan hingga kostum kera dan frasa-frasa tari yang ia tampilkan setidaknya tidak lari dari bingkai tema naratif yang berusaha ia bangun. Sebagai koreografi, Evolusi mengalir dan tidak mencoba untuk berkutat dengan idiom-idiom yang tidak ia kuasai.

Potret situasi tari kontemporer Indonesia beberapa tahun terakhir ini boleh dikata mengalami kemunduran. Mulai dari segi kualitas kepenarian, berupa ; teknik, kosa kata gerak, kemampunan koreografik, seperti dalam menerjemahkan gagasan ke dalam abstraksi dan stilisasi, miskinnya wawasan maupun kosongnya wacana baik tentang sejarah tari modern dan kontemporer di Indonesia, apalagi dunia. Sangat ironis, mengingat kekayaan tradisi tubuh , gerak atau tari nusantara yang pontensial melahirkan karya-karya dan wacana tari sebagai representasi kultural yang bukan berharga semata-mata karena keragaman identitasnya, tapi juga menjadi landasan di mana praktek kritikal bisa berlangsung.

Jika di era sebelumnya ditandai dengan pergulatan seniman tari yang mentransformasi tradisi tubuh tertentu ; tradisi tari Jawa, Minang atau balet Rusia, menjadi sebuah identitas baru pertanda tibanya modernisme tari di negeri ini, jejak-jejak emas itu seperti terhilang atau sayup-sayup terdengar sebagai klangenan akan sebuah periode emas dalam babad pencapaian artistik.

Konsep tarian modern, seperti semua sajian, tak lepas dari kemasan. Seperti Michael Jackson, ketika penari dan penyanyi superpop ini menyanyikan tarian tunggalnya, ia memberikan tawaran yang luar biasa. Klip video arahan Billie Jean, disutradarai oleh Steve Barron, dan itu terlihat lagi dalam Beat It hasil koreografi Michael Peters serta arahan Bob Giraldi. Koreografi Peters bersama-sama dengan kekuatan kepenarian pada Jackson jelas tidak dapat dibantah lagi sebagai video musik populer yang paling berhasil dari semua.

Masih tentang Michael Jackson, Thriller (karya penggetar hati), contoh yang paling ideal di Hollywood sebagai sebuah klip video yang menyatukan alur cerita, karakter, seragam, tempat terjadinya peristiwa, musik, tarian, dan lebih jauh lagi kesatuan sempurna dalam dan dengan lirik lagu, sebagai sajian musikalisasi pop. Di dalam Moonwalker, ambisi akting Jackson adalah sebuah titik tercapainya stereotipikalnya peran sinematik dan kelebihannya sebagai manusia biasa. Let’s dance bisa berbicara banyak di dunia tari dan musik modern, bila kemasan yang apik bisa dipadukan dengan kekuatan gerak yang berasal dari dalam diri dan jiwa. Menjadi lebih kuat jika dibarengi untuk berbuat sesuatu yang lebih bermanfaat untuk masyarakat sekitarnya. Kembali ke hakikat tari, yaitu gerak. Sesuatu yang bisa mengubah bahkan menjadikan dunia ini ada dan nyata. Let’s dance, let’s do it.