Jumat, Mei 23, 2008

Membuang Kayu Lapuk

Elisabeth, pasien penyakit paru-paru busuk sehat kembali setelah dioperasi kapal medis Amerika Serikat. Kini hidupnya melayani umat.

Jangan pernah menyerah. Renova Elisabeth Pangabean, 31 tahun membuktikan kekuatan kata itu untuk menyembuhkan diri dari penyakitnya. Ibu dari dua putra ini kini kembali hidup normal dan kembali sehat menjadi aktivis gereja melayani umat. Siapa sangka tiga tahun silam dua paru-paru sebelah kanannya pernah diambil oleh tim dokter dari Kapal USNS Mercy.

Riwayat penyakit Bebet-begitu panggilannya di kalangan keluarga- bermula saat masih duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Farmasi di Sumatera Utara. Perempuan kelahiran kota rambutan Binjai, sekitar 21 kilometer dari ibukota Sumatera Utara itu sering bartuk-batuk di malam hari. Sebagai anak yatim, dan keterbatasan biaya, batuk-batuk itu tak diobati secara intensif.

Penyesalan baru terjadi dua tahun setelah usai sekolah dan melamar pekerjaan. Semua tes untuk masuk sebuah perusahaan farmasi besar di Jakarta sudah lulus dijalani. Namun saat tes kesehatan anak keempat dari lima bersaudara itu batuk-batuk, dan di dalam paru-parunya ditemukan cairan yang cukup banyak. “Akibat itu saya tak diterima,”katanya pada Tempo lewat saluran telepon pekan lalu.

Bebet lalu periksa ke rumah sakit, Dokter di RS Mitra Keluarga menemukan abses pada paru-paru kamar bawah, putusannya harus dioperasi. Tak puas dengan informasi itu, dia cek kepada tiga dokter di rumah sakit yang berbeda, di Jakarta dan Tangerang, Banten. Bebet memutuskan kembali ke Binjai bekerja sebagai asisten apoteker.

Di Binjai, Bebet berobat pada Dokter Spesialis paru Tamsil Syafiuddin, gratis. Karena tak punya biaya, Dokter Tamsil tak menyarankan operasi pemotongan paru. Karena penyakitnya sudah parah Bebet mulai sering muntah darah dan masuk rumah sakit dua pekan lamanya jika batuknya mulai tak berhenti. “Setahun sudah sampai empat kali muntah darah,”katanya.

Dua tahun menjelang pernikahan, pada 12 Juli 2000, Bebet memeriksakan diri ke Island Hospital, Penang, Malaysia. Dokter dato Zainuddin Wazir yang memeriksanya memberi saran yang sama, operasi paru, jika tidak, akan terjadi pendarahan tiap bulan tanpa henti. Setelah kalkulasi biaya dengan nilai tukar rupiah ke ringgit Rp 2.500/ringgit, biaya operasi dan finishing mencapai Rp 250 juta.

Elisabeth melupakan niatnya, lebih memilih kawin pada Agustus 2002. Saat mengandung anak pertama, Bebet sempat tiga kali masuk rumah sakit karena sakit parunya. Cara caesar diambilnya saat melahirkan, begitu juga saat mengandung anak kedua, dua kali dia masuk rumah sakit. Surat juga dikrimkan ke juragan Microsoft, Bill Gates, tanggapannya, yayasan nir laba yang dikelola Bill & Melinda Gates Foundation hanya untuk penyakit infeksi karena HIV/AIDS, kesehatan reproduksi dan anak, serta tak melayani permintaan perseorangan.

Kehidupan tambah berat, ibunya meninggal pada 2005. Dua minggu kemudian yatim piatu itu kembali muntah darah, ditambah mental yang sedang tak sehat, Bebet dirawat di rumah sakit. Dokter menyatakan paru-paru dalam kondisi yang paling buruk, dan saran dokter tetap, operasi.

Dalam kondisi sulit, adiknya, Jordan membawa majalah Tempo bekas, ada sebuah artikel Pada Sebuah Kapal (edisi, 20 Maret 2005), menarik perhatiannya, berkisah tentang sebuah kapal, rumah sakit terapung milik Amerika Serikat USNS Mercy yang membantu mengobati warga korban tsunami Aceh, termasuk mengoperasi tumor ganas. Sayang kapal itu sudah pergi dari Aceh. Saat itu Bebet berdoa semoga kapal mundur kembali.

Ndilalah, dua hari pulang dari rumah sakit, terjadi gempa di Nias. Bebet menonton dalam liputan 6 SCTV, tentang kapal Mercy yang mundur dan kembali ke Nias. Liputan yang sama ditonton Bebet di televisi yang berbeda Indosiar dan Metro TV. Tanpa membuang waktu Bebet dan keluarga berangkat ke Nias, berharap bisa diobati.

Saat sampai di Nias, ia cuma bertemu tentara Australia. Tak lama kemudian bertemu dokter tentara AS. Tapi dia menolak menerima Bebet. Lalu Bebet bertemu dengan seorang dokter Indonesia yang juga membantu di Nias. Setelah beberapa orang mendesak dokter AS itu akhirnya mau mengangkut Bebet dan suaminya dengan helikopter yang tersedia di lapangan terbang setempat. Langsung di bawa ke USNS Mercy. Tepat turun dari helikopter, Bebet muntah darah.

Tanpa banyak tanya, Bebet langsung diisolasi dalam sebuah ruangan. “Menurut dokter AS, prosedurnya demikian, kawatir ada kuman atau virus yang menyebar ke rumah sakit terapung itu,”cerita Elisabeth. Di ruang itu, paru-paru Bebet dikeringkan, agar saat dioperasi tak menjalar ke paru-paru lain. Dari hasil pemeriksaan paru-paru kanan bawah bebet 100 persen rusak, sedangkan kanan tengah 10 persen. “Namun, kedua paru itu harus diambil, kata mereka,”ujar Bebet.

Setelah tiga hari Bebet dioperasi sekitar tujuh jam, dua parunya diambil. Kini dia hidup normal, sehat, melayani umat gereja Komunitas Imamat Rajani. “Saya tak pernah batuk lagi, bahkan juga tak pernah kena flu,”katanya.

Dokter Tamsil, yang dulu merawat Elisabeth, mengakui ibu dua anak itu kini sehat setelah paru-parunya dibuang. “Memang, paru-paru Elisabeth itu ibarat kayu dimakan rayap, sudah lapuk. Jalan yang terbaik yang dibuanglah sudah tak berguna,”kata dokter spesialis paru lulusan Fakultas kedokteran Universitas Indonesia dengan logat Melayu Medan.

Menurut Tamsil yang juga guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, keadaan paru-paru Bebet, berasal dari penyakit tuberkolosis –TBC- yang tak tuntas diobati. “Jadinya infeksi dan kena kuman hingga seperti itu,”katanya. Penyakit TBC kini masih menjadi pembunuh nomor tiga di Indonesia. “500 orang Indonesia meninggal tiap hari akibat penyakit ini,”katanya.

Bakteri TB, yang berbentuk batang dan bertahan hidup sampai berbulan-bulan di lingkungan kering, mudah disebarkan lewat batuk, bersin, dan ludah. Seseorang akan terinfeksi bila terjadi kontak dekat secara terus-menerus dengan penderita. Sebab itu, bila dalam sebuah keluarga ada seseorang yang terjangkiti TB hendaknya segera berobat. Sambil diobati, gizi makanan penderita harus baik dan istirahat cukup. Anak-anak juga hendaknya dijauhkan dari penderita.

Sebenarnya, selama daya tahan tubuh kuat dan bakteri yang masuk tidak terlalu banyak, beberapa bakteri dengan sendirinya akan mati oleh serangan sel darah putih. Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita TB antara lain pleurel effusion (pengumpulan cairan di antara paru-paru dan dinding rongga dada) atau pneumothorax (terdapat udara di antara paru-paru dan dinding rongga dada). Keadaan akan fatal kalau kerusakan paru-paru sudah luas. TB ada kalanya dapat menjalar ke organ tubuh lain melalui aliran darah.

Jutaan manusia sebenarnya hidup dengan kuman TB tanpa harus menjadi sakit. Namun suatu saat bila daya tahan tubuh menurun, kuman tubercle dapat bangkit memperbanyak diri kembali, kemudian menyerang masuk ke bagian lain dari paru-paru. Pada taraf ini penderita masih merasa sehat sampai gejalanya muncul, misalnya saat fungsi pernapasan terganggu, batuk, dan muntah darah. Itulah yang terjadi pada Bebet.

Elisabeth, menurut dokter yang kini bertugas di Rumah sakit Pirngadi, Medan, kini tak lagi memiliki dua paru-paru yang diambil itu. “Namun dia tetap bisa hidup normal, 55 persen paru-paru saja sudah cukup,”kata Tamsil.

Ahmad Taufik (hasil editan dimuat edisi khusus TEMPO 100 tahun Kebangkitan Nasional)

Tidak ada komentar: