Jumat, Mei 23, 2008

Potret Rendra Dalam Pembangunan

Kita adalah angkatan gagap
yang diperanakkan oleh angkatan takabur,
Kita kurang pendidikan resmi
di dalam hal keadilan,
karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum


Hendardi, 50 tahun, masih ingat Sajak Anak Muda yang dibawakan penyair Willibrordus Surendra Broto Rendra atau lebih dikenal sebagai W.S Rendra menjadi inspirasi melawan rezim militer orde baru. “Waktu itu saya baru masuk menjadi mahasiswa baru, kakak angkatan kami ditangkapi dan ditahan, militer masuk ke dalam kampus,”katanya.

Dalam keadaan tekanan seperti itu puisi-puisi Rendra, menurut mahasiswa Jurusan Teknil Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 1978, membangkitkan semangat. “Puisi-puisinya mendengung saat happening art dan mimbar bebas di kampus,”ujar Hendardi.

Puisi-puisi itu pula, menurut bekas Ketua Dewan Mahasiswa ITB, yang membuatnya bertahan aktif dan tak kenal menyerah. Hendardi dan kawan-kawan menjadikan puisi Rendra bagian dari pleidoi para aktivis mahasiswa angkatan 1978 yang diadili, antara lain seperti ; Herry Akhmady, Rizal Ramly dan Indro Tjahyono.

Puisi-puisi Rendra yang biasa dibacakan saat demonstrasi dan mimbar bebas itu pada 1980 diterbitkan oleh Lembaga Studi Pembangunan, dalam sebuah buku kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam Puisi. Isinya tentu saja situasi dan keadaan politik sejak 1973, saat sang Burung Merak, masih di Yogyakarta, sampai 1978, saat marak demonstrasi menentang ketimpangan pembangunan dan ketidakadilan. Bahkan sajak-sajak Rendra masih terasa mengedor-gedor semangat aktivis mahasiswa pertengahan 1980-an.

Olah vokal dan ekspresi gerak Rendra masih membayang hingga kini. Bahkan sejumlah penyair di Bandung, pada pertengahan 1980-am, masih tampak meniru-niru gerak dan olah vokal lelaki kelahiran 7 November 1935 di Solo itu. Di lapangan Basket kampus ITB atau di depan Masjid Salman Jalan Ganesha, Bandung, seorang seniman Sujiwo Tedjo, tampak faseh saat membawakan puisi Rendra dalam sebuah panggung di pertengahan 1980-an. “Puisi-puisi Rendra yang dibacakan saat mimbar bebas biasanya yang punya ruh perlawanan, bukan puisi-puisi cinta yang mendayu-dayu,”ujar Hendardi.

Pada masa awal Rendra berkarya sering menulis cerpen dan esei yang dimuat di berbagai majalah: Mimbar Indonesia, Siasat, Kisah, Basis, Budaya Jaya. Kemudian baru menulis drama dan puisi. Satu dramanya, Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954) mengantarkannya meraih hadiah dari Departemen P & K Yogya, waktu itu. Lalu kumpulan sajaknya, Ballada Orang-Orang Tercinta (1957) dan Empat Kumpulan Sajak (1960) adalah sajak-sajak yang paling laku dibaca pada periode 50-an.

Olah vokal dan gerak sarjana muda Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu memang terus bertambah matang saat menimba ilmu di American Academy of Dramatical Arts, Amerika Serikat. Tiga tahun disana, warna Rendra makin kentara, nadanya terbuka, mudah dicerna, dan urakan. Tampak misalnya dalam sajak Rick dari Corona ;

Betsyku bersih dan putih sekali
lunak dan halus bagaikan karet busa.
rambutnya merah tergerai
bagai berkas benang-benang rayon warna emas.
dan kakinya sempurna
singsat dan licin
bagaikan ikan salmon


Namun, panasnya suasana kampus pada 1970-an Rendra melupakan segala kegenitannya pada lawan jenis, serta mengusungnya masuk ke lingkungan perguruan tinggi. Pendiri Bengkel Teater Yogya itu diundang membaca sajak di banyak kampus. Kepiawaiannya mengolah vokal dan gerak mengundang mahasiswa berteriak dan gema tepukan. A.Teeuw dalam kata pengantar buku ini mengakui Rendra Sang Penyair adalah seorang pemberontak, seorang yang selalu sibuk dengan melonggarkan kungkungan dan pembatasan-pembatasan. Karena itulah penyuka oral Hitler dan Bung Karno sempat mencicipi jeruji tahanan pada masa itu. Karyanya dipandang banyak menyuarakan suara protes dan gejolak keberanian para aktivis. Misalnya dalam Sajak Mata-mata;

Ada suara bising di bawah tanah,
ada suara gaduh di atas tanah,
ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah,
ada tangis tak menentu di tengah sawah.
Dan, lho, ini di belakang saya,
ada tentara marah-marah.


Kumpulan sajak Potret Pembangunan dalam Puisi menjadi lebih berarti saat dibacakan di hadapan khalayak ramai. Bahkan lebih hidup dari sekedar propaganda yang menempel di dinding-dinding kampus. Penyair sekaligus dramawan yang sudah banyak menghasilkan karya ini, benar-benar memberikan ruh pada sebuah protes, dalam Aku Tulis Pamplet ini ;
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga-lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah.
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan,
menjadi peng-iya-an.

Tidak ada komentar: