Sakit demam setelah dari kuburan, Nusapati bermimpi memotong ayam untuk sedekah. Tidak tahunya mertua dan anaknya jadi korban. Kini ia menyesal setengah mati. Nasi sudah jadi bubur, sesal kemudian tak berguna.
Menjelang Maulid Nabi Muhammad SAW, pertengahan Juli 1997, Nusapati membotaki kepalanya. Tapi bukan botak plontos, melainkan hanya bagian tengah beradius 10 centi meter. ‘’Lihat, tuh, Nusapati mulai stress lagi,’’ujar seorang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kuningan ,Jawa Barat.
“Saya tidak gila, tidak stress. Biar saja orang mengatakan saya //kencleng// - istilah khas di LP Kuningan untuk orang yang mulai stress. Asal saja orang itu tidak mengganggu saya,’’kata Pati panggilan akrab Nusapati.
Nusapati, 35 tahun divonis hukuman 13 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Muara Duo, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Ia dipersalahkan membantai mertua dan tidak anaknya, serta melukai isterinya. ‘’Saya sangat menyesal,’’katanya tertunduk dalam-dalam.
Kepadaku, Nusapati menceritakan perjalanan hidupnya hingga kini menjadi penghuni LP Kuningan. Aksen khas Sumatera Selatan masih kental saat ia menceritakan kisahnya.
Saya lahir di Desa Muara Duo, Kecamatan OKU, pada tahun l962. Tanggal tepatnya saya tidak ingat lagi. Ibu saya Hamidah bersuamikan Marin, saya anak ketiga dari empat bersaudara. Ibu meninggal saat saya berusia 4 taqhun, dan Bapak menyusul ketika saya berusia 10 tahun. Menjadi yatim piatu memang tidak enak. Saya tak sempat mengecap bangku sekolah. Akhirnya saya tinggal di rumah kakak sulung, Fendi. Tugas utama saya tiap hari mengurus mesin penggilingan padi milik kakak saya yang beranak lima itu.
Menginjak usia 18 tahun, saya berpisah dengan kakak dan menikah dengan perempuan se kampung Nurlaila, 15 tahun. Sejak itu saya tinggal di rumah mertua, hingga memperoleh seorang anak lelaki, Johnson. Perkawinan kami hanya berjalan empat tahun, akhirnya kami berpisah, saat itu usia ku sudah 22 tahun.
Hidup sendiri memang tak nyaman, apalagi Johnson ikut serta. Akhirnya saya putuskan untuk menikah lagi. Pilihanku Ratmi, 17 tahun, janda beranak satu dari kampung tetangga. Kami berempat tinggal di rumah panggung dan sebidang tanah milik mertua di Desa Sukananti. Tanah itu aku tanami cabai. Mertuaku, Musib, 60 tahun, sering datang membantu bukan hanya materi juga meringankan pekerjaan di kebun. Aku merasa terbantu, apalagi hubungan perkawinan kami menghasilkan seorang anak, Tony.
Walaupun telah menanggung hidup empat mulut, kebiasaan jelekku memasang buntut tak juga hilang. Tambah kerajingan ketika Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) ada. Tiap pekan tak pernah lolos. Sekali pasang berkisar empat ribu rupiah sampai dua puluh ribu rupiah. Herannya, nomor yang aku pasang tak pernah jitu. Semakin hari semakin penasaran. Lalu ada yang menyarankan agar aku berusaha mencari nomor jitu ke kuburan.
Kebetulan tak jauh dari tempat tinggalku ada kuburan keramat. Banyak orang sering bersemadi di Makam Tambak Puyeng Bagindo itu. Kabarnya pula, sering orang memperoleh nomor jitu dari sana. Mulailah aku pergi ke sana bersemadi, sekali dua kali ternyata gagal.
Kali ketiga aku bawa rokok, kemenyan, kopi pahit, kopi manis dan bubur merah putih untuk penghuni makam, maksudnya. Setelah tiga hari tiga malam aku bersemadi di makam itu, tiba-tiba di batu nisan keluarlah gambar daun kopi dan daun cabai, disertai angka 1174.
Aku langsung pulang ke rumah, tapi suhu badanku meninggi disertai demam. Walaupun begitu aku masih sempat memasang nomor hasil bersemadi, 1174, sepuluh ribu rupiah. Tapi keberuntungan belum berada di pihakku. Saat penarikan, angka yang keluar, 1170.
Demamku tak juga sembuh, walaupun sudah dua hari. Malah semakin parah. Aku beli puyer dan obat demam di warung. Walaupun sudah 4 empat bungkus rasa panas dingin belum juga reda. Aku putuskan untuk pergi ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Tapi sial, Puskesmas, tutup, karena Hari Jum’at itu tanggal merah, hari libur. Langsung saja aku pulang ke rumah.
Di kebun, mertuaku sedang memanen cabai . Sedangkan isteri dan dua anakku sedang membantu menyiapkan makan dan kopi. Tiba-tiba kepalaku terasa pening. Lalu terbayang ada acara sedekahan di rumah. Untuk itu aku memotong ayam jago besar. Kedua aku potong ayam betina. Berikutnya aku memotong i anak ayam, malah aku sempat mengejar-ngejar anak ayam jantan .
Setelah acara sedekahan itu, aku lari entah kemana. Ditemukan oleh kakakku dua hari kemudian di tengah hutan, dan aku diserahkan kepada polisi. Saat dimasukkan ke dalam sel kantor polisi sektor Muara Duo, aku baru sadar. Polisi menyatakan aku telah membunuh mertua dan ketiga anakku. Sedangkan isteriku terluka parah di bagian dada tersabet keris panjang. Polisi itu menunjukkan keris panjang yang aku gunakan.
Aku tak percaya. Tapi ini bukanlah mimpi. Aku sangat menyesal, mengapa ayam yang aku potong berubah menjadi anggota keluargaku? Aku masih tak habis pikir sampai sekarang. Berbagai pertanyaan menghantui dalam benakku. Apakah ini karena ulah setan kuburan atau kutukan dari Tuhan karena perbuatan syirik itu? Entahlah.
Aku tak pernah punya masalah dengan mertua, juga dengan isteri dan anak-anakku, mereka semuanya sangat baik. Para penyidik juga semula tak percaya. Malah ketika aku diserahkan ke Koramil, komandan sempat memaksa saya untuk mengaku merencanakan membunuh. Pistol sudah ditodongkan ke keningku. Bukannya takut, aku malah minta agar ditembak saja. “Tembak saja pak, saya pasrah. Lebih baik mati daripada menanggung beban seperti ini,’’ujarku pada komandan Koramil.
Komandan tak berani melakukannya, aku segera di kirim ke Rumah Tahanan (Rutan) Muara Duo. Hanya sehari, aku langsung di kirim ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di Palembang untuk pemeriksaan kejiwaan. Selama empat puluh diperiksa secara lengkap, dengan kabel-kabel listrik yang ditempelkan ke beberapa bagian tubuhku. tapi mereka tak menemukan kelainan jiwa padaku. Aku dikirim kembali ke Rutan Muara Duo, dengan pernyataan aku manusia waras. Semula juga aku ragu pada diriku. masihkan aku manusia waras? Kalau waras, kenapa membunuh 4 jiwa dan itu keluarga sendiri?
Jaksa Penuntut Umum, menuntutku hukuman 15 tahun penjara. Tapi majelis hakim di Pengadilan Negeri Muara Duo, memutuskan hukuman 13 tahun penjara. Aku terima semuanya, dengan niat untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat.
Cobaan terus datang kepada di dalam penjara. Di LP Pakjo, Palembang, aku terserang penyakit ambeien. Darah terus mengucur membasahi kain sarungku. Aku tak bisa menggunakan celana. Dari Pakjo aku dikirim ke LP Tanggerang, Jawa Barat. Baru tiga bulan setengah, bersama narapidana lainnya aku dikirim ke LP Kuningan. Di sini beberapa saat aku tinggal di rumah sakit LP. Suatu malam, dalam cuaca yang dingin aku berjanji akan menjalani ibadah sungguh-sungguh, bila sembuh dari penyakit wasir ini.
Alhamdulillah, beberapa hari kemudian aku sembuh. Untuk mewujudkan tekad dan melaksanakan janji aku belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya. Sampai sekarang aku masih belajar mengaji, dan menjadi tukang azan di masjid LP. Penyakit wasir itu tak pernah lagi datang.
Hidup di dalam penjara harus dapat menahan diri. Pernah suatu kali, beberapa narapidana mengatakan aku gila. Aku tidak terima hinaan itu, dan sempat mengamuk. Lalu, tangan dan kakiku di borgol. Aku marah sekali, merasa diperlakukan seperti anjing. Akhirnya, berkat pengertian kepala Kesatuan Pengamanan (KP) LP, borgolku di lepas, dengan janji tak akan membuat keributan. Kini aku tak peduli, apa yang dikatakan orang terhadapku.
Hidupku kini rasanya sebatang kara, tak ada lagi sanak keluarga yang datang menjenguk. Isteripun sudah minta cerai. Entah mau kemana setelah bebas nanti? Adakah kesempatan untuk dapat bertahan hidup di luar tembok penjara?
Ahmad Taufik (pernah di muat Maalah D&R)
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar