Mandiri! Itulah yang dikesankan dari perempuan tua berambut putih, Carmel Budiardjo. Pada saat kedatanganku (1 Oktober 1994), ia hanya ditemani dua relawan yang bekerja paruh waktu tak dibayar, seorang perempuan muda (yang menjemputku di Bandar Udara Heathrow, London) dan lelaki berusia sekitar 35 tahun. Relawan perempuan, hanya bertugas menjemput dan setelah itu libur. Jadi pada hari kerja Carmel, dengan organisasinya TAPOL, hanya ditemani seorang saja yang membantu. Padahal TAPOL pada waktu itu sangat dimusuhi pemerintah Indonesia, karena sangat kritis dan berhasil mengundang simpati aktifis hak asasi manusia di Inggris dan sekitarnya.
Dalam benakku Carmel, yang sebelumnya aku dengar sangat ditakuti oleh pemerintah Indonesia, adalah orang yang kejam. Ternyata ia adalah seorang perempuan tua yang lembut dan keibuan. Perempuan ini mempunyai dua anak, tapi kedua-duanya tinggal di luar negeri ikut bersama suaminya dan anak-anaknya. ‘’Beginilah hidup di negeri barat orang tua hidup sendiri saat tuanya,’’katanya.
Foto anaknya menempel di dinding rumahnya. Carmel tinggal di sebuah rumah tingkat dua berwarna abu-abu yang sederhana pinggiran ke arah selatan Kota London. Ruang tamu, dapur sekaligus ruang makan dan satu kamar ada dilantai bawah, tempat Carmel tidur seorang diri. Sedangkan dilantai atas satu ruangan lengkap dengan komputer dan mesin fax, sebagai ruang kerja, yang menerima ribuan surat dan ribuan informasi dari mancanegara. Di ruang atas juga ada satu kamar kosng yang memang disediakan untuk para aktifis dari Indonesia atau dari tempat lain berkunjung ke London dan tidak punya tumpangan, ia bisa tinggal disana.
Sebagai orang yang mandiri Carmel biasa masak sendiri. Kesukaannya masak atau bikin gado-gado. ‘’Bumbunya instant tinggal dikasih air hangat sudah jadi. Lalu taoge, kacang panjang dan kool dicampur, kan, jadi,’’katanya dengan bahasa Indonesia yang masih fasih. Namun, kadang-kadang bila aku mencoba bahasa Indonesia, yang ia tak mengerti, karena bahasa baru baginya, ia minta persamaannya dalam bahasa Inggris. Hampir semua masakan yang dibuat serba instant. Di kulkasnya ada bubuk tahu, yang bisa dibuat tahu dalam sepuluh menit. Setiap pagi ia menyediakan nasi goreng untuk tamunya, yang tidak cocok dengan roti. ‘’Sesekali saya makan babi, padahal sebagai orang Yahudi saya dilarang makan babi oleh negara saya. Memang, saya bukan penganut agama yang taat,’’katanya. Ia mengaku orang tuanya berasal dari Polandia, tepatnya orang Polandia keturunan Yahudi.
Selain mengkampanyekan persoalan hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia, terutama soal masalah pembantaian tahun 1965 dan Timor-Timur, tiap bulan ia harus mengirimkan ribuan buletin TAPOL yang dikirim ke manca negara, termasuk ribuan pelanggannya di Indonesia. ‘’Pelanggan kami paling banyak dari Indonesia dan Belanda,’’katanya. Untuk mengurusi soal buletin beberapa relawan membantunya dalam parun waktu, ada yang bertugas hanya mengelem amplop, mencekrek lembaran-lembaran buletin sampai mengirimkannya ke pos. Tapi, bila ada tamu dari Indonesia yang datang ke London, ia yang akan mengantar sendiri tamu-tamu itu.
Biasanya tamu-tamu yang datang mengkampanyekan soal pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia yang dilakukan, rezim orde baru. Maka, Carmel akan membawa ke tempat-tempat yang relevan untuk kampanye. Antara lain, front office -kementerian luar negeri Inggris- urusan Asia Tenggara, Radio BBC London, Panos Institute -sebuah lsm mengenai negara-negara berkembang, Amnesty International, dan kantor-kantor media massa dan jurnalis-jurnalis di Inggris.
Carmel, tidak punya mobil. Ia akan mengantar tamunya dengan naik bis kota (tingkat), menuju stasiun kereta api bawah tanah paling dekat, untuk bisa masuk ke tengah kota. ‘’Saya gratis naik kendaraan umum disini, karena umur saya sudah tua, enaknya tinggal di Inggris, ya begini,’’katanya berkelakar. Ia akan cekatan jalan kaki berkilo-kilo menuju tempat tujuan dengan kecepatan yang cukup cepat dibandingkan aku yang waktu itu masih berusia 29 tahun.
Carmel, mengaku mengalami hal-hal yang tidak enak saat tinggal di Indonesia. Ia ditahan tanpa diadili selama 3 tahun. ‘’Untungnya saya bisa melarikan diri dari penjara bukit duri,’’katanya. Maksudnya, setelah dibantu pihak Inggris, ia bisa keluar dan segera dilarikan ke luar negeri. ‘’Saya tidak yakin akan masih hidup bila masih ada di Indonesia, dan saya tak akan kembali ke Indonesia sampai kapanpun,’’ujarnya.
Carmel kawin dengan Budiardjo seorang pegawai pemerintah asal Purwokerto. Dari suami Indonesia ia mendapat anak perempuan (saya lupa satu atau dua orang), yang kini sudah kain dan juga sudah punya anak lagi. ‘’Saya sudah punya cucu,’’katanya. Dalam mengelola TAPOL, Carmel dibantu Liem Soei Liong, seorang Indonesia keturunan Cina yang nasionalis, dan masih ditangkal masuk ke Indonesia sampai sekarang. (AT)
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar