Dua hari tak mengisi dialog angkot bukan karena tak pergi dengan angkot, namun karena deadline (wah, alasan!) serta lagi pusing nyiapin ujian advokat. Satu lagi alasan, lagi kerajingan facebook.He...he.
Pagi ini (Sabtu, 29 November 2008) aku sudah siap-siap ujian advokat. Pilihannya, naik bemo, kendaraan Jepang zaman baheula, yang selama hidup aku naiki belum pernah tabrakan atau kecelakaan. Pikiran lagi dipenuhi untuk ujian advokat, kembali ke rimba yang tak jelas, hukum.
Selepas ujian, yang bikin puyeng, waktu hampir pukul 14.30, ssaran kendaraan umum kali ini Metromini. Namun, kendaraan warna oranye jurusan Manggarai- Pulogadung tak penuh saat aku naiki di depan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Metromini, si raja jalanan, begitu pernah disebut, teringat Ramses, seorang supir metro mini yang "berhasil" membawa 33 orang menuju ke surga seketika, saat kendaraan seperempat bis itu nyemplung ke Kali Semper, Jakarta Utara.
Kenapa ke surga? Karena ada joke saat pastor atau khatib ceramah di gereja atau di masjid, orang-oang justru tertidur. Tapi saa, naik metro mini, mereka justru berdoa untuk keselamatan, bukankah jka orang mati dalam doa, apapun agama dan kepercayaannya akan masuk surga?
Lucunya, aku sempet ketemu saat singgah di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat. Ramses mendekam di ruang sel khusus yang dikunci dua kali (double dir, istilahnya, kaena ada dua pintu besi yang dikunci dalam selnya). Ramses, di blok N, sel isolasi itu, menjadi kepala blok, voorman.
Setelah rapi-rapi mengambil akaan dan notebook, aku langsung cabut. Tujuannya Denpasar, da Kongres Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Sanur. Memang ini hari terakhir, mungkin aku juga tak dapat banyak prosesnya. Tapi tak apalah, organisasi yang berdiri 7 Agustus 1994 lalu, ada hubungan sejarah antara aku, dan pers Indonesia.
Naik, Kopaja 502 ke Gambir, tujuanya, bis Damri, arah Bandar Udara Sukarno Hatta (BUSH). Nah, dalam kendaraan nyaman denan tiket senilai Rp 20,000, inilah yang aku mau ceritakan. Bis tak terlalu penuh, ada sekitar enam bangku kosong. Sebelah kanan bangku seorang perempuan berkulit putih, mengenakan pakaian warna merah jambu muda. Di belakang terdengar suara perempuan bercakap minang, di depannya menelepon dengan aksen Sulawesi. Di sebelahnya, lelaki menggunakan handphone berbicara Bahasa Mandarin kepada lawan diseberang telepon genggamnya.
Seorang kenek, kondektur, berwajah brewok menagih uang ongkos dan membagikan karcis. Di dada ada emblem nama, Ujang Winata. Aku tersenyum, lalu terpikir pikiran iseng. Saat ia menagihku, aku tanya, "pak akpa hubunngannya dengan Tomi Winata?" Sang kenek hanya tersenyum, perempuan berbaju pink, tertawa. Tak ada masalah senyum sudah mengembang bukankah itu bagian dari sedekah? Ikut membahagiakan orang dan juga diri sendiri.
Dari bus Damri, tercermin Indonesia, segala suku, dan bangsa ada di situ, terbukti dari bahasa yang mereka gunakan dan wajah yang tampak. Semua diperlakukan sama, bayar Rp 20.000. Akankah nikmat jika, semua suku, agama, ras, dan status sosial diperlakukan sama di depan hukum dan kehidupan sosialnya. Untung, saja aku naik bis itu, bukan bis dengan label agama tertentu, karena saat masuk ke wilayah Tangerang, berlaku hukum syariat, yang bisa saja terjadi entah kapan, jika kita tak bisa menjaga harmoni di negeri ini.
Bis Indonesia itulah harapan kita semua, bukan bis yang melarang ahmadiyah, kafir (lain agama), orang beryoga, kepercayaan, beda mazhab tak boleh masuk ke sana.
BUSH, 29 November 2008
Ahmad Taufik
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar