Hampir tiap hari jalurku adalah jalan kaki menuju angkutan kota (angkot) nomor 102 menuju Parung Bingung, setelah itu nyambung 03 menuju Depok.
Nah, pembicaraan di angkot aku mulai dari Selasa (25 November 2008).
Dari Parung Bingung, aku dapat tempat di belakang sopir. Di depan komplek perumahan Maharaja, dua orang ibu naik, seorang di belakang memojok, seorang lagi memakai jilbab warna putih duduk di depan, jok samping sopir.
Pembicaraan di mulai saat sopir mengomentari jalan yang sedang di beton di ujung Jalan Dewi Sartika. "Kayaknya beberapa bulan lalu jalan itu baru dibetulin deh,"katanya.
"Ya, gimana, abis, duit proyek dimakan orang pemkot,"ibu yang di sebelah sopir langsung nyamber pembicaraan itu.
"Saya kasih contoh misalnya, dapet proyek Rp 2 milyar, paling yang kami bawa Rp 1,3 milyar. Yang terjadi kontraktor ngurangi bestek, yang seharusnya 5 centimeter ketebalan beton, misalnya dibuat 3 centimener. Kami gak mau ngambil proyek yang begitu, menodai nama besar perusahaan kontraktor kami. Mending gak usah diambil,"ujarnya.
Ibu itu menyayangkan Walikota Depok, yang memaki simbol-simbol agama tapi tak bisa menertibkan bawahannya. "Malah lewat bawahannya, ikut merampok kami,"katanya lagi.
"Yach, klo gitu pemerintahan yang sekarang sama dong sama yang dulu, pada zaman korupsi merajalela,"sambung sopir angkot itu.
The angkot must go away. Akhirnya, sampai di depan ITC, ibu itu turun. Angkotpun masuk terminal, yang kumuh dan semrawut. Padahal hanya selemparan batu dengan Kantor Walikota. Istilah "bersih, peduli dan profesional," cuma sampai di mulut dan di spanduk yang berada di seantero Depok yang semakin semrawut dan kumuh. Bukankah, ada istilah, kebersihan itu sebagian dari iman? Apa yang pantas ditasbihkan pada orang yang bicara tapi tak melakukan?
26 November 2008
A.T
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar