Setelah masa Arief Budiman yang melawan kekuasaan pemerintahan orde baru yang menindas dan memaksa, dengan cara tidak memilih saat pemilihan umum. Gerakan mereka, terkenal sebagai golongan putih (Golput). Lalu pada awal 1990-an dua mahasiswa Semarang, Poltak Ike Wibowo dan Lukas Luwarso (kini aktif di Dewan Pers) diadili dan dihukum karena mengkampanyekan kembali golput.
Setelah Suharto tumbang pada 1998, semula orang antusias untuk mau memilih dalam pemilihan umum. Golput, masa awal setelah Suharto tumbang, saat partai bisa tumbuh dengan bebas, sudah jauh berkurang. Namun, pilihan Golput justru pindah pada pemilihan kepala daerah (Pilkada). Bahkan di beberapa daerah yang tidak memilih lebih besar dari suara kepala daerah terpilih.
Suara besar Golput, karena pilihan banyak yang tak sesuai harapan. Sempitnya pilihan masyarakat dan apatis karena kepemimpinan yang anti perubahan. Suara Golput kini kembali menggema di tengah banyaknya partai peserta pemilihan anggota calon legislatif.
Sebulan blog ini membuat polling sederhana, memilih dan tidak memilih pada pemilihan umum 2009 ini, ternyata 54 persen memilih untuk tidak memilih. Memang memilih adalah hak seseorang. Namun, sebaiknya harus didorong sebesar-besarnya partisipasi rakyat untuk memilih wakilnya yang terbaik di dewan perwakilan rakyat. Wakil rakyat yang tidak korup, manipulatif, suka suap menyuap, pelaku tindak kekerasan, kriminal dan pelanggar hak asasi manusia pada saat berkuasa.
Parung Bingung,1 Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar