Sabtu, Oktober 18, 2008

Dari Suami ke Ideologi


CALON KUHP baru mungkin akan menjadi kabar buruk bagi para suami. Mereka yang dianggap memaksa istrinya bersebadan, sementara si istri menolak, bisa dihukum. Rumusan delik ini tak ada dalam KUHP sekarang. Yang ada hanya delik pemerkosaan lelaki terhadap perempuan yang bukan istrinya. Rupanya, kata-kata “yang bukan istrinya” ditiadakan. Alhasil, pemerkosaan bisa dianggap terjadi pada semua perempuan.

Banyak yang menentang rumusan delik baru itu. Alasannya, urusan suami-istri adalah urusan rumah tangga, yang tak perlu dicampuri polisi. Tapi kalangan aktivis perempuan menganggap pasal itu penting. Menurut mereka, pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap istri tergolong kejahatan.

Memang, menurut Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Abdul Gani Abdullah, soal marital rape ini masih menjadi perdebatan. Delik begitu dipengaruhi oleh hukum liberal. “Kalau mau diakomodasi, mestinya delik serupa bisa pula dilakukan istri terhadap suami,” ujar Abdul Gani.

Dalam RUU KUHP, rumusan harus adanya ikatan perkawinan dalam kasus perzinaan juga dihapuskan. Itu berarti dua orang dewasa yang berlainan jenis kelamin dan sama-sama belum menikah, bila berhubungan seksual, bisa dipidana. Ini bisa terjadi pada kasus kumpul kebo (samen leven), yang menurut KUHP tak bisa dihukum. Tapi delik kumpul kebo dalam RUU KUHP bersifat aduan. Artinya, harus ada pengaduan dari keluarga ataupun masyarakat.

Selain memperluas rumusan delik susila, RUU KUHP mengukuhkan berlakunya pidana adat di daerah. Misalnya, seseorang yang berbuat asusila atau memasuki tempat suci yang dilarang bisa dikenai pidana tambahan sesuai dengan hukum adat di daerah itu. “Aturan ini berguna untuk mengantisipasi pemberlakuan otonomi daerah,” kata anggota tim penyusun RUU KUHP, Andi Hamzah.

Yang tak kalah menarik, RUU KUHP mencoba “meluruskan” berbagai delik keamanan negara, yang semasa Orde Baru gampang ditimpakan pada mereka yang berani mengkritik pemerintah. Umpamanya pasal tentang penyebaran kebencian (hatzaai artikelen). Dulu, delik ini bersifat formal. Artinya, kalau seseorang dianggap--anggapan ini pun dimonopoli pemerintah--menghina pemerintah, ia bisa diadili. Tapi, dalam RUU KUHP, delik itu diubah menjadi bersifat materiil. Ini berarti harus bisa dibuktikan apakah perbuatan orang itu benar-benar menimbulkan kebencian.

Contohnya adalah yang pernah terjadi pada peristiwa 27 Juli 1996 di markas PDI. Mereka yang mengutarakan pendapatnya secara kritis atau berideologi berbeda dengan ideologi negara mestinya tak dihukum, kecuali bila perbuatan orang itu lantas menimbulkan kerusuhan di masyarakat. “Yang membuat kerusuhan itu yang bisa dihukum,” ujar Andi Hamzah, mantan jaksa yang pernah menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung.

Adapun soal hukuman mati, ternyata RUU KUHP tak mencantumkannya lagi sebagai pidana tertinggi. Hukuman mati dijadikan pidana khusus, yang hanya dijatuhkan pada kasus kejahatan sadistis dengan banyak korban. Pelaksanaan hukuman mati pun dibuat tak gampang. Bila terpidana mati selama 10 tahun di penjara bisa berkelakuan baik, hukumannya bisa diubah menjadi seumur hidup.

--artikel enam tahun silam, dimuat Majalah Tempo edisi 14 Januari 2002--

Tidak ada komentar: