Sejarah memang seharusnya ditulis sebelum para 'tokoh'nya meninggal atau tak tentu rimbanya. Sekaligus juga agar orang-orang 'licik' dan punya 'kepentingan' pribadi tak menyalahgunakannya. Pencatatan penting untuk mengkorfirmasi dari para pelaku sejarah tersebut, yang tentunya mempunyai pikiran dan pandangan yang tak sama.
Kalau bicara masalah sejarah Aliansi Jurnalis Independen, saya harus mengacu pada sejarah Forum Wartawan Independen (FOWI) di Bandung. Sebulan lalu (Juli 2004) saat saya tengah siap-siap pindahan dari tempat kontrakan ke rumah pinjaman kakak saya, saya menemukan berkas-berkas mulai dari undangan pertama sampai hasil pertemuan, dan rencana pertemuan berikutnya. Saat itu sekitar tahun 1991.
Idenya waktu itu, karena banyak tekanan terhadap para jurnalis, namun pembelaan masih tak memadai. Bukan saja dari satu-satu organisasi wartawan yang ada waktu itu (PWI-Persatuan Wartawan Indonesia), bahkan para petinggi di perusahaan tempat wartawan itu bekerja cenderung menyalahkan para wartawan, dan kembali menjalin kerjasama yang manis dengan para 'penindas' itu. Selain itu, kami para wartawan muda juga tengah menjalin banyak kerjasama dengan para mahasiswa dan aktifs-aktifis pergerakan (pro demokrasi). Para aktifis atau gerakan mahasiswa agar tak tercium pihak intelejen, hanya mau mengundang jurnalis-jurnalis yang mereka percayai. Karena pada masa itu banyak perusahaan pers disusupi para intel yang jadi jurnalis.
Saya masih ingat, pertemuan pertama di rumah kontrakan saya di Jln. Ir.H.Juanda (Dago) No.372, di sebuah rumah semi permanen dengan tembok seperempat dan gedek di atasnya. Beginilah bunyi dan naskah asli Undangannya :
Forum Wartawan Independent (FOWI).
Kepribadian Wartawan Indonesia, menurut Kode etik Jurnalistik, wartawan Indonesia adalah warga negara yang bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat pada UUD 1945, bersifat ksatria dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia serta perjuangan emansipasi Bangsa dalam segala lapangan dan dengan itu turut bekerja ke arah keselamatan Masyarakat Indonesia sebagai warga dari masyarakat Bangsa-bangsa di dunia.
Jelas dalam kode etik jurnalistik mengajak kita menyelamatkan Bangsa ini dengan segenap kemampuan dan daya yang kita miliki. Sebagai wartawan kita wajib turut serta menyelamatkan Bangsa Indonesia.
Kebebasan berkumpul dan berserikat juga dijamin oleh UUD 1945 dan Piagam Hak Asasi Manusia. Tak ada seorangpun atau satu pihak yang dapat menghalangi..... keinginan seseorang, atau sekelompok orang untuk berkumpul. Atas dasar keinginan bersama, tercetus keinginan dan buah pikiran untuk berkumpul bertukar pikiran dalam sebuah forum.
Sebagai langkah pertama telah diadakan pertemuan di Jln.Dago 372 Bandung. Dengan keterbatasan waktu dan kesempatan untuk mengundang, melalui telepon, facsimili maupun pertemuan tak disengaja. Direncanakan mengadakan pertemuan pada 24 Mei 1992, Ahad.
Dalam undangan untuk pertemuan informal itu tercantum 24 wartawan. Yaitu : Tjahya Gunawan dan tri Haryono dari Harian Kompas. M.Yamin dari Harian Surya, Lucky Rukminto dari Majalah dwi mingguan Forum Keadilan, Enton Supriyatna, Achmad Setiyaji, Soni Farid Maulana, Ida Farida, Teguh, Ella dan Asep Bakry dari Harian Umum Pikiran Rakyat. Walid Syaikhun dari MBM Editor, Ahyani dari Harian kedaulatan Rakyat, Petty dari The Jakarta Post, Syawal dan leila dari radio Mara FM, Imbalo dari Radio Ganesha, Taufik Abriyansah dan ahmad Taufik dari MBM Tempo, Hidayat Gunadi dari Harian Pelita, Setiyaji P dari MBE Prospek, Wisnu dari Majalah islam Suara Hidayatullah, Nor Pud Binarto dari Radio Tri Jaya FM.
Kerana keterbatasan segalanya yang bisa terhubungi yaitu warga Harian Pikiran Rakyat, Warga harian Kompas, warga Hariab Surys, warga MBM Tempo, Warga MBM Editor, Warga The Jakrta Post, warga Radio Mara FM, Warga Harian Pelita, warga Majalah Forum keadilan dan warga radio tri Jaya FM.
Sedangkan yang hadir pada pertemuan awal itu, adalah : Enton Supriyatna, Lucky Rukminto, Ahmad Taufik, Walid Syaikhun dan M.Yamin. Kemana yang lauinnya? Tjahya Gunawan kebetulan sedang mendapat tugas di Tanggerang. Tr Haryono ada tugas deadline, kampanye PDI minggu itu. Teguh dari PR terserang penyakit (semoga lekas sembuh). Petty ada acara tujuh hari di rumahnya.
Atas usulan forum pada pertemuan 24 mei itu disepakati untuk ditambah kawan-kawan lainnya, yaitu : Edi Hidayat dari Media Indonesia, Suherman dari mandala, Aep Saefudin dari Harian Gala dan Ina Pamungkas dari Harian Pikiran Rakyat. Kesepakatan untuk mengadakan pertemuan lagi juga tercetus dalam forum informal, yaitu : Pada : Hari Ahad/Minggu, 14 Juni 1992 Waktu Pukul 15.00-19.00 WIB Tempat : Jln.Dago 372 (Sebelum Hotel Sheraton Inn). Bandung.
Undangan sengaja berbentuk seperti ini bagi kawan-kawan wartawan lain yang ingin turut serta dalam forum ini kami persilakan hadir pada waktu dan tempat di atas.
Turut Mengundang :
Lucky Rukminto, Enton Supriyatna S.Walid Syaikhun, Ahmad Taufik dan M.Yamin."
Acara pertemuan-pertemuan sampai mengkristal hingga pertemuan-pertemuan berikutnya. Untuk mendapat manfaat dari sekadar silaturahmi dan juga untuk menarik khalayak wartawan lebih banyak adalah dengan mengisi otak kepala kita (charge baterry) dengan tokoh-tokoh yang berkompeten dalam bidangnya. Janji-janji dari kawan yang tergabung dalam FOWI mulai menebar jaring dengan nara sumber untuk bertemu. Pertemuan pertama yang bisa diwujudkan yaitu dengan Rahman Tolleng, tokoh pergerakan politik, di rumahnya di kawasan Gegerkalong, Bandung.
Untuk terus menggerakkan pertemuan diadakan pertemuan lanjutan dengan isi undangan (asli) sebagai berikut :
FORUM WARTAWAN INDEPENDENT (FOWI)
"Good journalists never retire ; they just drop dead" (Strait Times) Wartawan-wartawan yang baik tidak pernah mengundurkan diri ; mereka hanya jatuh mati. Ungkapan di dalam Starit Times itu, cocok dengan kode etik jurnalistik, yang pernah disitir pada kertas undangan seperti ini juga, yang lalu. Bahwa wartawan Indonesia adalah warga negara yang bertakwa kepada tuhan YME, berjiwa Pancasila, taat pada UUD 1945, bersifat ksatri dan menjunjung tinggk hak-hak asasi manusia, serta memperjuangkan emasipasi bangsa dalam segala lapangan dan dengan itu turut bekerja ke arah keselamatan masyarakat Indonesia sebagai warga dari masyarakat bangsa-bangsa di dunia.
Bersyukur, bahwa kawan-kawan punya pertahian besar, begitu juga beberapa narasumber yang mengetahui adanya forum ini. Antusias kawan-kawan forum ini, terbukti dari usulan-usulan nama untuk forum ini. Di samping FOWI, ada yang mengusulkan FWI (Forum wartawan Indonesia), FWB (Forum Wartawan Bandung), Club Wartawan (CW) dan International Journalists Forum (IJF). "Apalah arti sebuah nama"kata Shakespare, mungkin penting,tapi sebelum ada kesepakatan tentang nama forum nama ini, tak ada salahnya tetap menggunakan nama FOWI (Forum Wartawan Independent).
Kesepakatan kawan-kawan yang sering hadir pada Hari Minggu, untuk menetapkan setiap Minggu Sore, pukul 16.00-19.00 WIB sebagai hari silaturahmi FOWI di Jln. Dago 372 (sebelum Hotel Sheraton). Untuk itu diharapkan kawan-kawan hadir pada hari itu kalau ada kesempatan. Antusias kawan-kawan wartawan dari Jakarta untuk juga membentuk FOWI cabang Jakarta, juga perlu disamput, disupport.
Sebagai langkah pertama FOWI telah mengadakan pertemuan dengan seorang tokoh politik, penerbitan dan aktivis eksponen 66. Sayang dalam pertemuan 11 Juli 1992 di rumah tokoh itu hanya diikuti oleh 6 orang. Waktu itu banyak kawan yang tak sempat, bahkan ada yang jatuh sakit dan dioperasi perutnya pada saat pertemuan itu. Tapi bukan masalah, sesuai rencana, ada beberapa tokoh yang perlu temu muka dengan FOWI ini. Bukan untuk berita tapi untuk isi kepala kita.
Atas kesepakatan pertemuan Minggu lalu untuk membentuk kelompok kerja agar memudahkan pengamatan tentang perkembangan masyarakat kita. Ada juga kawan-kawan lain yang mau bergabung dengan forum ini, silakan ini forum terbuka kok ! Untuk itu kawan-kawan yang tercantum di bawah ini hadir pada Minggu, 2 Agustus 1992, 16.00-18.30 WIB di Jln.Dago 372, Bandung.
Tjahya Gunawan, Try Haryono, M.Yamin, Lucky Rukminto, Enton Sopriyatna S.,Teguh, Ella, Ida Farida, Ina Pamungkas, Soni Farid Maulana, Asep Bakri, Achmad Setiyaji, Walid Syaikhun, M.Toha, Ahyani, Petty, Syawal, Gangsa Sukrisno, Leila, Hidayat Gunadi, Andre, Dina, Wisnu, Slamet Heryadi, Setiyaji P., Ahmad Taufik, Taufik Abiyansah, Lea Pamungkas, Ging Ginanjar, Aep Saefudin, Suherman, dan Eufrat.
Cabang Jakarta : Edi Hidayat, Riza Sofyat, M.F.Rahman, dan N.P.Binarto. Bagi kawan-kawan yang ingin bergabung dalam forum ini silakan datang seperti undangan di atas.
Forum ini terus berkembang menjalin dengan profesi lainnya, yang paling dekat terutama dengan para seniman. Bahkan Soni Farid Maulana wartawan yang juga penyair, mengusulkan wartawan membukukan sajak-sajaknya secara gabungan. Lalu mengadakan malam pembacaan sajak wartawan, selain untuk eksistensi, perluasan wacana juga untuk mengumpulkan dana agar gerak organisasi itu bisa berjalan dan tanpa tergantung dari bantuan.
Forum ini berjalan antara di bawah tanah dan di atas permukaan, seperti tiada tapi terasa keberadaannya. Agar tetap berada di permukaan, saya yang punya naskah tentang jurnalisme, bertemu dengan aktifis mahasiswa Eko 'Item' Maryadi, mahasiswa Sastra Arab Universitas Padjadjaran Bandung, dengan modal Rp 25.000, Item mencetak tulisan saya menjadi sebuah buletin FOWI. Itulah buleti yang hanya terbit sekali pada waktu itu sekitar Oktober 1992. Keberadaan Forum Wartawan ini juga rupanya sudah dicium dengan jajajarn PWI Jawa Barat. Pernah saya bertemu dalam sebuah forum diskusi di Bandung dengan Pemimpin Redaksi Harian Umum Pikiran Rakyat Atang Ruswita (almarhum)-juga sesepuh PWI, dengan senyum khasnya, bertanya soal forum yang kami bentuk. Karena saya sudah akrab dan seribg bertemu, kami bercanda seperti ayah dan anak. Saat itu kami berjalan beriringan bertiga (kalau tidak salah, salah satunya Jacob Oetama) keluar dari pintu Hotel Santika, Bandung. Saya tidak tahu apakah Jacob bertanya pada Atang. Tetapi kepada Jacob, Atang Ruswita sempat berujar,"ini anak-anak muda bikin organisasi (wartawan, red) baru." Di Harian Pikiran Rakyat, teman-teman yang tergabung dan simpatisan FOWI bergerak diam-diam (klandestein). Karena tempat itu merupakan 'sarangnya' PWI Jawa Barat.
Sampai akhirnya, pengumuman pemerintah lewat Dirjen PPG, Subrata, soal pembredelan tiga media massa. TEMPO, Editor dan DeTik. Di bawah ini ada catatan wartawan TEMPO Biro Bandung Asikin Hasan.
Malam, 21 Juni 94, setelah Subrata mengumumkann pembredelan SIUPP Majalah Tempo, Editor dan tabloit DeTtik, lebih dari seratusan telepon berdering ke kantor Tempo Biro Bandung di Jalan Dr.Junjunan 146 Bandung. Deringan telpon simpatik pada Tempo itu, baru berhenti sekitar pukul 00.30 WIB, lewat tengah malam.
Semua penelpon menyesalkan tindakan rezim Soeharto yang cenderung totaliter dan anti demokrasi itu. Lalu, mereka juga menanyakan dosa apa gerangan yang telah dilakukan Tempo, sehingga pemerintah Indonesia melakukan tindakan yang sesungguhnya bertentangan dengan Undang-undang Pers dan UUD 45.
Sebagian penelpon, dengan nada marah menilai, pemerintah Indonesia melakukan tindakan membabi buta. seorang penelpon, dengan sangat kecewa mengatakan, pemerintah Indonesia melakukan bunuh diri dengan tindakan pembredelan ini. "Apa yang bakal terjadi di negerei ini",kata seorang penelpon penuh tanda tanya. Hingga keesokan harinya, 22 Juni 94, puluhan telepon terus mengalir, menyatakan simpatiknya pada Tempo. Bukan hanya telepon, tapi juga pernyataan prihatin dalam bentuk faximili. Belasan wartawan Bandung juga, bertandang ke kantor Tempo, takziah atas kematian pers di negri ini.
Rabu, 22 Juni 1994, TEMPO Bandung diundang Senat Mahasiswa Unisba, dan Pers Mahasiswa se-Bandung, di Unisba untuk menanyakan pasal apa yang menyebabkan Tempo dibreidel. Hadir Kepala Biro Bandung, pasukannya dan wartawan-wartawan lain dalam pertemuan sekitar 25 orang. Akhir penentangan terhadap pembredelan tersu terjadi, mulai dari aktifis mahasiswa, para wartawan sampai para seniman. Bahkan Seniman Harry Roesli dengan kawan-kawan senimannya membentuk Kelompok Malam Rabu Anti kekerasan-Bandung, yang menentang pembredelan dan kekerasan akibat protes pembredelan itu.
Selain itu, hampir tiap senin, kami serombongan wartawan TEMPO ke Jakarta. Mulai dari urusan demonstrasi, unjuk rasa sampai urusan internal TEMPO yang dirusak pihak luar maupun orang-orang Tempo sendiri yang kemaruk kekuasaan dan takut asapnya tak ngebul karena 'berjuang' menentang pemerintah yang membredel. Komunikasi intensif juga dijalin dengan organisasi serupa di Yogyakarta (FDWY-Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta) dan Surabaya (SPC-Surabaya Press Club). Belakangan wartawan-wartawan muda di Jakarta juga membentuk organisasi serupa. Rapat-rapat pematangan untuk membentuk organisasi tandingan PWI, yang lebih nasional terus dilakukan. Panitia dari Bandung sudah siap dengan proposal Pertemuan Wartawan Indonesia, proposal itu dibuat 11 Juli 1994. Terakhir para jurnalis muda sepakat mengadakan demo untuk menuntut sikap PWI atas pembredelan itu. Namun, unjuk rasa di depan kantor pusat PWI tak mendapat tanggapan serius dari pengurus organisasi satu-satunya wartawan Indonesia itu.
Rapat terakhir pematangan pertemuan wartawan itu diadakan di lantai 7 kantor TEMPO di Kuningan, Jakarta Selatan. Pertemuan direncanakan di Bandung. Namun, karena banyak diantara para jurnalis masih bekerja dan tinggal di Jakarta disepakati pertemuan mengambil tempat yang bisa dijangkau banyak pihak. Karena untuk para jurnalis di daerah sudah diberitahu pertemuan diadakan di Bandung. Selain itu untuk kepentingan 'mengecoh' aparat intelejen, biar kabar yang tersiar pertemuan diadakan di Bandung. Padahal pertemuan diadakan di Wisma Tempo Sirnagalih (WTS), Mega Mendung, Bogor, Jawa Barat.
Agar bisa berjalan lancar, panitia di Bandung mempersiapkan evakuasi para peserta daerah yang akan berdatangan ke Bandung. Berangkatnya juga dibagi dalam enam kelompok dengan mobil yang berbeda-beda. Namun, ada juga peserta yang berjalan dengan kelompoknya sendiri, misalnya 5 orang rombongan yang dipimpin seniman Harry Roesli, atau yang menggunakan kendaraan sendiri. Tercatat rombongan asal Bandung : Aceng Abdullah, Enton Supriatna, Herry Dim, Ridho Eisy(telat), Harry Roesli (dan 4 orang lainnya), Asep Nurjaman, Ahmad Taufik, Asikin, M.Yamin (telat), Happy Sulistyadi, Ida Farida, Petty P, Lea P., Ging Ginanjar, AA Sudirman, Tjahja Gunawan (telat), Try Haryono (telat), Lucky Rukminto, Alex H., Heryawan, Eryandi Budiman, Sarja, Fajroel Rachman, Deddy Pakpahan, dan Rini R.S.. Rombongan asal Jawa Tengah/Yogya : Rustam F.M., Heddy Lugito, M.Toriq, Faried C, Marcel, Bambang WK, Nanang Junaedi dan Nuruddin. Sedangkan rombongan Jawa timur : Moebanoe Moera, Jalil Hakim, Zed Abidin, K.Chandra Negara, Kelik Nugroho, Putu Wirata, Anis, dan M.Toha.
Pemberangkatan peserta langsung diberangkatkan setelah mobil sudah penuh, persis seperti angkutan umum. Mobil Daihatsu yang dipimpin Herry Dim serta 6 orang lainnya mogok di tengah jalan. Saya, merupakan tim terakhir yang berangkat, sebagai tim sweeping (penyapu). Sabtu sore , 6 Agustus 1994 hampir semua peserta dari daerah sudah sampai di tempat pertemuan di WTS. Perdebatan seru sekaligus lucu, terjadi soal nama ada yang ingin pakai nama Sarikat Wartawan Indonesia disingkat SAWI (emangnya sayuran). Namun akhirnya disepakati dengan memakai nama Aliansi, karena ikatan ini merupakan dari beberapa organisasi yang sudah ada dan pribadi-pribadi. Nama Jurnalis dan Independen sengaja diambil agar tak sama dengan PWI, apalagi disepakati AJI, bukan sekadar merupakan organisasi tandingan PWI, tetapi memperjuangan kebebasan pers, kebebasan berorganisasi dan kebebesan berekspresi.
Saat penandatangan deklarasi jurnalis yang berasal dari Bandung mengadakan pertemuan khusus. Lalu sepakat penandatangan diwakilkan pada orang-orang tertentu, dengan alasan perjuangan dibagi dua tahap, yang berada di permukaan yang menandatangani deklarasi yang akan disepakati itu, sedangkan yang lainnya bergerak di bawah tanah (klandeistein). Strategi ini diambil untuk perjuangan yang bisa terus dilanjutkan. Untuk putaran pertama ditunjuk saya, Ahmad Taufik sebagai Ketua Presidium AJI, dengan ketua lainnya berasal dari kota-kota lain antara lain Nuruddin Amin dari Yogya, Zed Abidin Surabaya dan Santoso dari Jakarta yang ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal.
Dari pertemuan itu juga disepakati, Buletin FOWI menjadi Buletin AJI. Artinya semua informasi yang diterbitkan melalui FOWI yang digarap oleh Ging Ginanjar, sebagai kepala proyeknya, serta kawan-kawan lainnya. Begitulah yang terjadi sampai tanggal 7 Agustus 1994. (saya masih memiliki beberapa catatan, dan foto copy naskah asli deklarasi Sirnagalih). Semoga sejarah ini berguna bagi generasi lainnya.
Jakarta, 16 Agustus 2004.
Ahmad Taufik, anggota AJI
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar