Rabu, Maret 05, 2008

Surat dari Alam Kubur

Akhirnya Datang Juga...

27 Januari 2008

Setelah 24 hari terbaring dalam kehidupan palsu, dengan para dokter
palsu, informasi-informasi palsu, reformis-reformis palsu,
dukun-dukun palsu dan pengikut-pengikut palsu, pukul 01.00 dini
hari datang sesosok makhluk menyeramkan. Wajah seram yang tak penah
aku lihat selama hidupku.

Aku yang selama ini dijuluki prajurit tersenyum tak mampu menahan
rasa takut yang amat sangat. Ruang dingin dengan senjata-senjata
teknologi, yang disebut alat-alat kedokteran, tak mampu mengusir
makhluk itu. Senyumku, memang selama ini senyum palsu.

Senyumku untuk menarik simpati masyarakat. Sesungguhnya aku ini
kejam. Aku bisa bunuh jutaan orang yang mengaku punya ideologi
“anu”. agama “anu” atau orang-orang biasa yang mengaku
memperjuangkan demokrasi. Aku akan tega membunuhi teman-temanku
yang mencoba menasehatiku, dengan cara memenjarai atau
memasukkannya ke rumah sakit “prajurit” dengan alasan “ mengobati”
atau “merawat” dengan biaya Negara. Sesungguhnya aku sedang
memasukkan teman-teman yang bisa menjadi musuh-musuhku itu ke
jurang kematian.

Maka kalau aku sakit, aku tak mau masuk ke rumah sakit itu. Lebih
baik masuk ke rumah sakit minyak, yang emberiku kekaaan dan kjaaan
untuk bertahan lama di singgasanaku. Di rumah sakit prajurit aku
kawatir karma menimpaku. Rumah sakit prajurit itu bukanlah rumah
sakit, tapi “lubang” kematian dengan dokter-dokter kejam yang siap
mengikuti perintahku.

Wajah seram itu datang melotot padaku. “Sudah puas dengan omong
kosongmu selama ini!”

Malam itu aku menahan rasa sakit yang amat sangat. Aku tak berdaya.
Wajah seram itu datang mengecoh para pahlawan berbaju putihku yang
selama ini memberikan informasi palsu kepada para jurnalis yang
“haus” tiap hari pukul 10 pagi. Dini hari itu cuma ada dokter jaga,
yang tak kuat menahan kantuk di pojok ruangan yang sepi.

Anak lelaki tertuaku, sedang bergelut dengan gundik yang baru resmi
dikawininya. Putra kesayanganku asyik menikmati bubuk putih bersama
dayang-yang lelaki dan perempuan untuk menikmati dunia bebasnya.
Anak perempuan sulungku hanya bisa mengelus-ngelus teman sejenisnya.
Yang lain menghitung pundi-pundinya bila aku dinyatakan sudah tiada.

Kesibukan mulai tampak pukul 07.00 pagi. Para hantu berbaju putih
berkumpul sibuk membahas kesehatan diriku dan alasan apalagi yang
akan disampaikan hari ini. Tapi sudah kasep. Ruh ku sudah ditarik
cepat-cepat dengan rasa sakit yang tak terperikan. Masa kehidupan
palsuku sudah habis. Aku sudah diberikan kesempatan, untuk
mengembalikan harta rakyat yang aku rampas.

Tapi keluargaku, para pengacara, prajurit dan banyak pihak yang
selama ini menggandoliku, tak mau mengembalikan hak rakyat yang kini
terpuruk karena kekuasaanku selama 32 tahun. Bahkan sakitku telah
kembali memecah belah bangsaku. Para penjilatku selama ini
mengerahkan semua kemampuannya untuk menakut-nakuti banya orang
untuk mengubah opini tentangku.

Media massa yang masih dalam genggaman anak-anak dan kroni-kroniku
mengobarkan semangat puja-puji itu. Padahal itu justru menyiksaku.
Mereka malah menambah kayu api untuk membakarku dalam neraka minimal
32 tahun. Coba bayangkan sehari di dunia, menurut cerita-cerita
mashur yang dipercayai banyak orang sama dengan seribu tahun. So,
kalau 32 tahun di dunia, berapa miliar atau triliun hari siksa yang
aku peroleh di akhirat. Aduh biyung!

Pukul 13.10

Waktu yang sudah ditetapkan antara anak-anakku, dan dayang-dayang
berbaju putih. Bekas menteri terbata-bata tak berhak lagi
mendampingi. Anak perempuan sulungku duduk berjejer dengan “dokter”
yang selama ini menjaga kehidupan palsuku.

Baju dan kerudung hitam dengan wajah memelas memohon maaf atas
kesalahanku. Kenapa juga bukan atas kesalahannya? Ia kabarkan aku
telah tiada.Jika mau jujur akun sudah lama tiada. Anak-anak dan
kroni-kroniku menggunakan aku sebagai boneka untuk melindungi
kehidupan mereka.

Kroni ku yang kini sedang berkuasa menyambut kabar itu dengan riang
gembira. Satu hambatan yang bisa menjadi pengganjal kekuasaan
periode keduanya sudah tersingkir. Namun, wajah duka tetap harus
ditampakkan. Atas nama negara, bangsa dan rakyat ia memberiku gelar
“pahlawan” dan menetapkan berkabung di seluruh negeri selama tujuh
hari, memaksa rakyat mengobarkan bendera setengah tiang selama itu.

Waduh! Itu semua malah menjadi bara-bara siksa bagiku di alam kubur.

Media massa terutama televisi juga memuja-mujiku dalam tayangan
kenangan. Mereka berusaha meraih simpati dan rating, bahkan ada yang
terus menerus dalam tontonan live. Mereka sesungguhnya sedang
menelanjangi dosa-dosaku, dan menjadi setrika serta besi-besi panas
yang menghunjam jiwaku terus menerus.

28 Januari

Upacara agung dipersiapkan. Tahlil, pengajian dan rapal-rapal doa
dilantunkan. Seperti sedang mempersiapkan pembakaran agung. Aku
sang “pahlawan besar” berpangkat Jenderal Besar hanya terbaring
dalam peti. Wajahku dipaksakan make up dengan wajah senyum, agar
memberi kesan aku mati dalam damai, menyambut sang malaikat maut
dengan senyuman. Aku lah si prajurit tersenyum, bahkan ketika
menghadapi malaikat, sama seperti menghadapi musuh-musuhku atau
rakyat yang aku bantai dengan mesin kekuasaanku.

Anakku, atas namaku minta aku dikuburkan sebelum waktu zuhur di
samping isteriku dalam”istana siksa” O…o…kenapa aku terus tersiksa
sampai di alam kubur. Jika aku banyak berbuat baik dan beramal,
seperti nama masjid yan aku sumbangkan si-amal bakti, seharusnya aku
didampingi para bidadari yang cantik. Tapi kini aku malah di
dampingi perempan yang selama hidup di dunia sudah menyiksaku.
Apakah ini siksa bagiku sepanjang hidup dan matiku?

Anakku mengira, waktu sebelum zuhur, bisa mengecoh malaikat penjaga
kubur untuk menunda siksa. Ia pikir, itu waktu istirahat saat penjaga
kubur makan siang atau leyeh-leyeh. Mereka keliru, malaikat tak
pernah istirahat, apalagi buat aku yang lebih suka menyiksa orang tak
bersalah dalam senyuman dan tak pernah minta maaf atas kesalahan itu.

Yang paling aku sesali adalah saat pidatonya seusai penguburan,
Umumnya, bila usai mayat masuk dan dianam dalam liang kubur, keluaga
atau yang mewakilinya mengucapkan ,’’kami mohon dibukakan pintu maaf
bagi hamba yang mati ini bila ada kesalahannya. Bagi yang punya
sangkut paut atau utang piutang mohon beritahu pada kami segera, agar
bisa kami selesaikan…”

Namun, anakku hanya mengobral minta maaf. Bagaimana dengan
utang-utangku pada bangsa dan rakyat ini. Utang nyawa dan harta
yang aku rampas sehingga kehidupan kekuasaan setelahku terus
terpuruk.

O. anakku, kenapa kau tak serahkan harta rakyat yang telah aku
rampas selama ak berkuasa? Bukankah kau telah nikmati selama ini?
Kenapa kau takut akan kehidupan setelahku? Dulu aku dilahirkan
sebagai petani, tak memiliki kekayaan seperti sekrang ini.
Selayaknya “kita” hidup sederhna kembali dengan dosa-dosa yang
sudah kita lakukan, kekuasaan dan kekeyan yang kita nikmati.

O, anakku, kenapa kamu cuma berjalan di bawah peti matiku dan
memecahkan piring di depan mayatku? Itu tak memecahkan masalah bangsa
dan Negara. Kembalikan harta rakyat kepada negara agar dikelola dengan
baik, itu merupakan harapanku. Sekalian melepaskan tanggung jawab atas
sebagian dosa-dosa yang telah aku lakukan selama hidupku.

Sorry, salampun tak bisa aku ucapkan dari sini. Karena salam itu
sebuah kebaikan. Aduuuuuuuh ! Ampuuuun malaikat, Ampuuuuuun Tuhan.

Alam Kubur, 28 Januari 13.10

S.

Tidak ada komentar: