Rabu, Maret 05, 2008

Generasi Y, Ketika Teknologi Menjadi Tuhan

Ungkapan like father like son, sudah waktunya diubah. Karena Generasi Y tak mau lagi disebut sebagai pengikut generasi pendahulunya.

Pada masa kini tak perlu heran jika bisnis warung internet (warnet) semakin berkembang, dan herannya bilik-bilik warung dunia maya itu selalu penuh pengunjung, lebih dari sebagian besar pengunjungnya kaum belia. Mereka asyik menelusuri dunia saiber, dari mulai sekadar mencari informasi ngobrol (chatting) atau membuat blog pribadi. Pada masa ini muncul blogger-blogger dengan disain dan kata-kata yang mencengangkan. Atau kepandaian anak-anak muda memainkan tuts-tuts handphone mengirim pesan pendek (SMS) atau memainkan blackberry dengan pengetahuan yang luas. Teknologi bagi generasi ini sudah menjadi “tuhan” yang menjadi “petunjuk” setiap lagkahnya.

Mereka itu adalah Generasi Y atau dalam bahasa Inggris disebut Y Generation. Bukan lah sekadar terjemahan atau diartikan dari Young Generation (Generasi Muda), tapi, melainkan sebuah babak dari perkembangan antar generasi. Memang, tiap generasi memiliki sejarah, karakter, cara pandang dan berfikir tersendiri. Suka tak suka, mempengaruhi paradigma berfikir dari setiap generasi. Inilah yang sering menjadi masalah, ketika setiap generasi, berbicara, bertindak dan berfikir menurut pola masing-masing. Sehingga timbul jurang antar generasi (gap).

Generasi Y ini istilah resmi berawal dari Amerika Serikat, saat ada 78 juta orang yang lahir antara tahun 1982 sampai 2000. Masa ini adalah masa berawalnya revolusi komputer dan awal kesadaran akan kekuatan informasi. Kesadaran bersosial dan berteknologi hadir di era ini. Generasi ini memiliki pengharapan dan keyakinan yang tinggi akan masa depan, menyenangi kehidupan yang dinamis, dan bergerak cepat. Boleh dikata kegandrungan tentang teknologi berawal dari generasi ini. Mereka sesungguhnya generasi rumahan yang biasa dimanjakan sejak lahir dan diawasi orangtua mereka hingga dewasa.

Memang ada banyak perdebatan tentang masa Generasi Y ini, namun jika memiliki kecenderungan untuk berfikir dengan perspektif masing-masing, serta memaksakan kebenaran atas perspektif tersebut akan memancing konflik. Pemahaman karakter setiap generasi, akan membantu untuk mengerti sudut pandang berfikir masing-masing pihak. Akan lebih bijak lagi jika, masing-masing generasi, terutama yang lebih tua untuk menyelaminya, dan mencari pendekatan terbaik dalam menyampaikan apa yang diinginkan.

Perbedaan ini harus dipahami secara positif. Betapa eloknya, jika yang muda tetap memiliki etika dan menghormati yang tua tanpa harus memanipulasi diri sendiri, serta yang tua mencoba memahami karakter generasi penerusnya, dan menekan existence syndrome-nya. Terkadang, banyak permasalahan terjadi bukan karena permasalahan yang fundamental, namun lebih kepada masalah cara.

Ucapkanlah selamat datang kepada mereka yang disebut sebagai Generasi Y. Seiring makin mundurnya kaum pekerja dari generasi pendahulu, baby-boomers yang dikenal pekerja keras. Dalam struktur perusahaan, Generasi Y mulai mengambil-alih tempat-tempat penting.

Survei situs CareerBuilder.com mengungkap pemimpin perusahaan yang merekrut karyawan di bawah usia 30 tahun mengeluh. Bahwa, anak-anak muda itu tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, minta gaji lebih besar, rewel minta promosi padahal baru setahun bergabung dengan perusahaan, dan berharap diizinkan untuk bekerja secara fleksibel.

Survei yang melibatkan lebih dari 2.500 pimpinan perusahaan dan manajer itu menemukan hasil terdapat jurang perbedaan yang begitu besar antara (kaum pekerja) Generasi Y dengan jajaran manajer mereka, dan diperkirakan perbedaan itu bisa menimbulkan masalah-masalah yang nyata di kemudian hari. Gaya Komunikasi hampir setengah dari pimpinan perusahaan yang diteliti menunjukkan, terdapat perbedaan yang tajam dalam gaya-gaya berkomunikasi antara karyawan Generasi Y dengan koleganya yang lebih tua. Generasi baru tersebut lebih asyik dan banyak berkomunikasi lewat teknologi ketimbang tatap muka.

Selain itu, seperti ditunjukkan seperempat responden, mereka juga memiliki kerangka-kerangka referensi yang berbeda pada banyak hal, dari soal sikap hingga budaya pop. Sembilan dari 10 manajer professional sumber daya manusia menyatakan, sebagian atau sebagian besar dari Generasi Y merasa "berhak" untuk meminta lebih atas kompensasi, benefit dan promosi dibandingkan dengan generasi pendahulunya. Hampir tiga perempat menunjuk, Generasi Y mengharapkan gaji yang lebih, dengan enam dari 10 meminta fleksibilitas jadwal kerja. Generasi Y dari penelitian itu juga menunjukan lebih dari 50 persennya minta promosi dalam setahun, dan mengharapkan libur yang lebih banyak.

Hal itu tentu saja mengkhawatirkan, lebih dari setengah pemimpin perusahaan yang tak mengikuti perkmbangan zaman. Menurut mereka, Generasi Y sulit diatur dan susah bertanggung jawab. "Karyawan Generasi Y merupakan segmen penting dari ketenagakerjaan dan merekalah masa depan perusahaan," kata manajer human resources CareerBuilder.com Rosemary Haefner.

Menurut Haefner, generasi itu tumbuh dalam dunia yang dikendalikan oleh teknologi. “Dimana standar-standar dan norma-norma sudah berubah dan mereka kerap berjalan di bawah perspektif-perspektif yang berbeda dibandingkan dengan generasi sebelumnya,"ujarnya. Karena itulah Haefner menyarankan, perusahaan hendaknya memiliki budaya yang mampu mengembangkan berbagai tipe generasi yang berbeda. Agar seluruh karyawan bisa mengambil keuntungan dari adanya beragam cara pandang dan gaya kerja.

Bagi konsultan independen HRD Reza Indragiri Amriel, Generasi Y ini memang punya kemampuan lebih dibandingkan generasi baby boomers. “Mereka itu multi talent, sangat tinggi produktifitasnnya, tapi tak mau dibatasi ruang dan waku yang sempit,” katanya.

Kekurangan Generasi Y ini, menurut, Reza adalah komitmen. “Jika mereka merasa tempat dia bekerja tak lagi sesuai, ia akan mudah pindah. “Mereka easy going aja,”ujarnya. Karena itulah, sistem dalam perusahaan yang menampung generasi ini—mau tak mau karena ketersediaan tenaga kerja yang ada – harus berubah lebih dinamis dari sebelumnya.

Untuk mengakomodasi karyawan Generasi Y. perusahaan yang “mengerti zaman”, menyediakan jadwal-jadwal kerja yang lebih fleksibel, serta program-program pengakuan. Selain itu juga memperluas akses pada teknologi, menaikkan gaji serta mengadakan lebih banyak program-program pendidikan dan pelatihan. Upaya lain untuk membuat “betah” karyawan Generasi Y adalah dengan memberikan fasilitas telepon selular, pilihan kerja jarak jauh dan liburan yang lebih banyak. (On-StageMag)

Tidak ada komentar: