Rabu, Maret 05, 2008

Artikel Kawan -- Iran : Yang Sukses Mengekang Bensin

MALAM sebentar lagi memasuki batas hari di Teheran, Iran. Namun sebagian besar warga tak juga ke peraduan. Mengendarai beragam kendaraan, mereka memadati stasiun-stasiun pengisian bahan bakar. Antrean pun mengular seakan hari tak boleh beranjak. Sebab, jika penanggalan masuk 27 Juni 2007, itu berarti mereka tak bebas lagi membeli bensin. Semua dijatah, termasuk pejabat pemerintah.

Tiga bulan sebelumnya, pemerintah Iran sudah menyiarkan rencana pembatasan pembelian bensin itu. Selama ini, Iran memang memberikan subsidi yang sangat besar. Harga bensin di Iran cuma Rp 1.000 per liter, seperlima harga pasar. Tak mengherankan jika jumlah kendaraan terus bertambah setiap tahun. Akibatnya, konsumsi bensin pun meledak sampai 74 juta liter per hari pada 2006. Repotnya, fasilitas pengilangan di Iran tak mampu memasok bensin sebanyak itu.

Jadi, meskipun Iran merupakan produsen minyak mentah terbesar keempat di dunia--produksinya 3,85 juta barel per hari--negeri itu tetap harus mengimpor bensin dalam jumlah lumayan besar. Setiap hari tidak kurang dari 30 juta liter harus dibeli dari luar negeri. Setidaknya, pemerintah Iran mesti menombok US$ 5 miliar per tahun untuk memenuhi kebutuhan bensin rakyatnya. Itulah sebabnya pemerintah negara itu berencana membatasi pemakaian bensin.

Tapi perlawanan datang dari pelbagai penjuru. Lima puluh ekonom Iran meminta Presiden Mahmud Ahmadinejad membatalkan rencana itu. Mereka beralasan pembatasan bisa menghambat laju ekonomi. Apalagi pemerintah Iran baru dua bulan memotong subsidi sampai 25 persen menjadi Rp 900 per liter. Akibatnya, harga barang-barang melayang. Bank Sentral Iran meramalkan inflasi akan mencapai 17 persen hingga Maret 2008.

Perlawanan juga datang dari parlemen Iran. Kubu moderat dan reformasi berancang-ancang meluncurkan undang-undang untuk menghentikan penjatahan. Namun rencana ini gagal karena ditentang kubu konservatif. Dan kepada parlemen, Mostafa Pour-Mohammadi dan Kazem Vaziri-Hamaneh, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perminyakan saat itu, mengatakan bahwa kesulitan keuangan telah memaksa pemerintah mengambil keputusan tersebut.

Masyarakat juga marah ketika pemerintah tetap melaksanakan kebijakan tersebut pada 27 Juni 2007. Kemarahan merebak di mana-mana. Entah siapa yang memulai, sebuah pompa bensin di Pounak, tak jauh dari pusat Kota Teheran, dibakar. Kerusuhan pun menjalar dan 11 stasiun pompa bensin lain ikut dibakar. “Ada sebagian masyarakat yang menentang pada masa-masa awal penerapannya,” kata Atase Ekonomi Kedutaan Besar Iran di Indonesia Mahmud Reza Radboy.

Akibat kebijakan ini, semua warga, termasuk pejabat negara, harus berhitung jika hendak bepergian. Untuk mobil pribadi, misalnya, satu bulan hanya boleh membeli 120 liter. Jika di tengah bulan kehabisan bensin, mobil harus diparkir di garasi atau berburu bensin di pasar gelap--tapi harganya selangit, minimal Rp 8.000 per liter. Ada juga yang mengakalinya dengan membeli taksi bekas atau mobil barang untuk mendapatkan jatah lebih besar.

Pada saat yang sama, angkutan umum juga dibenahi. Hampir semua titik di perkotaan terjangkau kendaraan umum. Tarifnya pun sangat murah. Bus kota cuma Rp 2.000 sekali jalan. Tarif kereta api malah hanya separuhnya. Angkutan umum itu juga dilengkapi pendingin pada musim panas dan pemanas pada musim dingin. “Transportasi publik di sana sangat nyaman,” kata Ahmad Taufik, wartawan Tempo yang berkunjung ke Iran pada Januari lalu.

Lambat-laun langkah ini mendapat banyak dukungan. Mohsen Pahlevani Rad, Presiden Direktur PT Indonesia Iran Trading House, mengakui langkah tadi efektif menekan pemborosan. Subsidi menyentuh yang berhak. Dengan pendataan elektronik menggunakan smart card, setiap tetes yang keluar dari pompa bensin terdata.

Setelah hampir setahun kebijakan itu diberlakukan, impor tinggal 15 juta liter. Uang negara US$ 2,5 miliar bisa dihemat. Dana ini kemudian dialihkan ke berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, dan pertanian. Tak hanya itu. Dulu, setiap hari, 10 juta liter bensin diselundupkan ke luar negeri. Kini hampir tak ada.

Muchamad Nafi (dari Majalah TEMPO, edisi 25 Feb-2 Maret 2008)

Tidak ada komentar: