"Indonesia adalah media buram, Perasu retak oleng diterpa angin, Nahkoda tak paham kompas, Akan kemanakah arah mata angin…" Itulah sepenggal bait pusi yang dibawakan penyair jalanan Mudji Ramadhan.
Bersarung jarik, berpakaian lurik Yogya, anak muda kelahiran Madiun Jawa Timur 7 September 1975 itu bersuara lantang di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini Jakarta Pusat, Rabu malam (14/11). Mudji hanya salah seorang dari 13 yang tampil dalam Lampion sastra "Kata di atas Roda".
Mudji terjun ke jalanan sejak 1993 dan aktif di Kelompok Penyanyi Jalanan Bekasi hingga kini. Memang semua yang tampil di gedung teater yang nyaman itu adalah kelompok penyanyi dan penyair jalanan yang biasa membawakan karya-karyanya di bis atau tempat-tempat umum. Tak heran jika ada penyair yang tampil tak sesuai harapan, para seniman TIM menghujani dengan berbagai cemoohan dan komentar. Seperti yang dialami Supardi Jaelani yang bapaknya petani dan ibunya pedagang nasi, tampil apa adanya dengan vokal semampunya.
Menurut kurator acara ini JJ Rizal, pemberian kesempatan tampilnya kelompok sastrawan jalanan merupakan bagian dari sebuah kejujuran untuk menempatkan berbagai macam bentuk kegiatan sastra dan tokoh-tokohnya yang berpera itu pada tempatnya. "Sehingga dengan demikian kitapun dapat memberikan gambaran yang menyeluruh dan obyektif tentang dunia sastra Indonesia,"katanya.
Kesempatan, itulah kata yang pantas, agar seni tidak hanya dikuasai oleh "mafia" dan "preman" yang berbaju seniman. Ada yang menjual seni untuk kepentingan pribadi, maupun yang punya tujuan politik tertentu. Seni adalah milik semua, seperti halnya TIM, tak boleh hanya dikuasai sekelompok orang atau rezim tertentu saja.
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar