Rabu, Maret 05, 2008

Seni : Hilangnya Tanda Kota

Sekelompok orang tidur bersama dalam sebuah selimut, di atas sebuah panggung dalam gedung pameran. Di sampingnya foto printing raksasa menggambarkan enam pemuda dalam tidur tak beraturan dalam satu selimut.

Project Satu Selimut begitulah judul art performing yang mau digambarkan sekelompok seniman lulusan jurusan seni rupa Universitas Negeri Jakarta. "Kami ingin menggambarkan anak-anak kost yang hidup dalam rumah kos atau kontrakan hidup dalam satu selimut,"kata Kepala proyek itu, MG Pringgotono.

Kelompok Serrum itu hanya satu dari 17 kelompok dari Jakarta, Bandung, Jatiwangi, Semarang, dan Yogyakarta dalam pameran seni rupa Festival Tanda Kota di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Cikini Jakarta Pusat. Menurut Kurator pameran itu, Reza Afisina, Tanda Kota, sebuah festival seni rupa berniat mencatat perkembangan visual kota yan terbentuk karena usaha mandiri bertahan hidup masyarakatnya. "Kini sebuah warung di persimpangan jalan secara tak sengaja telah menjadi penanda lokasi yang sejajar dalam sejumlah monumen dan gedung tinggi yang memang ingin dikenal dan menjadi penanda lokasi sejak didirikan,"ujarnya saat pembukaan pameran Rabu malam (14/11).

Memang ide, pameran ini ingin menggambarkan sebuah kota tanpa perencanaan yang matang, yang terjadi adalah carut marutnya konta dan tanda itu bisa berubah tanpa sengaja. Dulu, ketika Presiden Pertama Sukarno membangun ibukota Jakarta, Monumen Nasional (Monas) sebagai pusat kota. Lalu di sudut-sudut lain ditandai dengan jalan melingkar Semanggi, Gelora Senayan bersama gedung MPR/ DPR dulu untuk konperensi Dunia ketiga (Conefo), lalu patung-patung sebagai penanda suatu kawasan. Misalnya, Pancoran dengan patung miring menunjuk ke atas, Lapangan Banteng berdiri kokoh patung pembebasan Irian Barat, serta Bundaran Senayan dengan patung api semangat orang asing menyebutnya pizzaman, karena berbentuk seperti orang membawa pizza—makanan khas Italia.

Ide Bung Karno tak orisinal ia mengikuti pola pembangunan kota di Eropa, terutama di bagian Timur, kawan sekubunya waktu itu. Ide Bung Karno sempat diikuti oleh Gubernur Sutiyoso, dengan membangun patugn sesuai dengan nama jalan. Misalnya, patung Jenderal Sudirman berdiri kokoh menghadap istana,atau patung Diponegoro di depan Gedung Bappenas, menggantikan patung Ibu dan Anak yang ada disana sebelumnya. Sayangnya, Sutiyoso justru meruskan kota dengan menghilangkan banyak tanda di kawasan dengan memberi izin pembangunan banyak mal.

Pameran Tanda Kota yang berlangsung 15 sampai 30 November 2007 agaknya ingin menyindir, sekaligus mengungkapkan fakta di lapangan, bukan hanya di atas kertas yang namanya perencanaan alias masterplan.

Tidak ada komentar: