Yordania memang tak memiliki sumber daya alam mineral, seperti negara-negara Timur Tengah lainnya. Bahkan untuk air minum saja harus diekspor dari Israel. Namun, Urdun, begitu namanya dalam Bahasa Arab menyimpan kekayaan spiritual, beberapa makam nabi berada di negeri itu.
Berbekal sepotong cerita tentang Nabi Musa yang lari dari Mesir karena takut setelah membunuh warga Negeri Firaun, dari sanalah aku mulai perjalanan ku menelusuri makam para Nabi. Sejak pagi aku dan Hadi, seorang mahasiswa jurusan Syariah Universitas Yordan, sudah sibuk mencari-cari mobil sewaan untuk bisa dipakai jarak jauh, berkeliling negerinya Malik Abdullah bin Hussein Al-Hasyimi.
Setelah beberapa tempat persewaan mobil yang dikenal Hadi di ibukota Yordan, Amman, kami tak dapat mobil, maklum, waktu itu Hari Jumat, hari libur di Yordan. Akhirnya di persewaan Camel, di seberang kampus, kami dapat juga Mitsubishi Galant, warna merah hati. Tak terlalu bagus, mesinnya berbunyi, ciiiit, bagasinya tak bisa menutup sempurna dan tanki bensinnya cuma ditutup dengan plastik kresek. Tapi tak apalah kami sudah bertekad untuk pergi hari itu. Sewanya tak terlalu mahal cuma 30 JD (Yordanian Dinar) atawa sekitar 40 US Dolar, tapi Hadi harus membuka cek jaminan 1.000 US Dolar, dengan kartu pelajar dan kalam yahanoo (ngomong berlagak), urusan sewa jadi lancar.
Setelah urusan sewa selesai, aku Sigit (seorang mahasiswa Indonesia di Irak) dan Hadi tancap gas ke luar kota Amman. Tujuan pertama, Makam Nabi Syuaib, salah satu penghulu para Nabi, Mertuanya Nabi Musa. Hadi mengarahkan setirnya ke Salt, udara sangat segar, memang musim dingin masih membekap Yordan.
Tak banyak mobil lalu lalang, hanya satu dua. Tanah yang coklat terang dan jalan aspal mulus yang berkelok-kelok, berkesan khas Timur Tengah, tak ada kerumunan pepohonan. Jalan terus menurun. “Kita sedang menuju titik terendah di dunia,”kata Hadi. Ya, jalan menuju Salt searah jalan ke Laut Mati, yang diyakini sebagai titik terendah di dunia, 600 meter di bawah permukaan laut.
Hampir sejam kami berkendaraan menikmati udara bersih, kami melewati sebuah plang warna biru “Tomb of Brother Jusuf” (Batu Nisan Saudara Nabi Yusuf). Hadi memundurkan kendaraannya, lalu menyeberang ke arah jalan menanjak yang pas hanya satu mobil. Jalan pasir dan berbatu split, tak seperti tujuan sebuah daerah wisata.
Tanpa tanda-tanda lagi, cuma ada tanah untuk parkir di bawah pohon besar yang cukup rindang, lahar parkir itu cuma bisa menampung tiga mobil. Hanya lima langkah berjalan ada sebuah bangunan kecil dari tanah liat. Seseorang menghampiri kami. Tanpa banyak bicara isyaratnya mengajak kami masuk ke bangunan seluas 3 x 4 meter, dengan agak menunduk kami menuruni sepuluh tapak tangga. Di dalamnya tampak sebuah gundukan yang ditutupi oleh sajadah kain. “Mari kita berdoa,”kata sang kuncen mengajak.
Aku cuma tundukan kepala, sambil bertanya-tanya dalam hati, batu nisan saudara Nabi Yusuf yang mana? Dari kisah Nabi Yusuf, hanya seorang, Benyamin, yang baik, lainnya justru menjerumuskan Yusuf ke dalam sumur karena iri hati. Sang kuncen, sempat menyebut nama, Uzair, aku tak tahu pasti. Hanya lima menit digundukan di bunker kecil itu, setelah mengambil foto, kami letakkan 2 JD (Rp 24 ribu) di atas gundukan berselimut sajadah itu.
Kami meneruskan perjalanan menuju tujuan semula, Wadi Syuaib, makamnya Nabi Syuaib. Selewat batu nisan saudara Yusuf, jalannya lebih menarik, menyusuri lembah-lembah, tampak hijau dipenuhi pohon-pohon kecil dan rumput-rumput yang tumbuh di bebatuan. Tampak juga sekelompok domba diangon di antaranya. Hanya berjarak 15 menit dari tempat itu, kami sampai ke tempat tujuan, masuk sekitar 3 kilometer dari jalan utama.
Ada dua bangunan berwarna coklat muda dipagari kawat, yang besar tertulis Masjid Syuaib, di belakangnya, terdapat makam. Seorang Arab, kuncen makam itu langsung mengajak kami memasuki ruangan seluas 5 x 5 meter. Makam semen diselimuti kain bertuliskan kalam illahi menutupi kuburan yang berbentuk keranda. Kami mencoba khusyuk membaca Alfatihah untuk salah satu pemuka para Nabi itu. Namun, sang kuncen Arab yang mengakui bernama Syeikh Sholeh mengganggu kami dengan kata-kata “Shadaqah…shadaqah…” berulang-ulang. Karena tak punya receh selembar uang kertas 5 JD melayang untuk ‘shadaqah’ si Arab tua cerewet.
Selepas berdoa di makam, kami melihat-lihat Masjid cukup bersih dan terawat. Beberapa pengunjung juga tampak mengitari kompleks makam dan masjid itu. Di lahan parkir, beberapa tukang es krim menawarkan dagangannya, ada yang pakai sepeda maupun mobil. Beberapa keluarga menggelar tikar menikmati udara sekitar yang segar, membuka penganan yang di bawa dari rumah.
Tak jauh dari dua bangunan sebuah bukit batu dengan tanaman liar tumbuh disela-selanya. Rombongan domba menikmati, pohon-pohon kecil itu. Baru kotorannya menerpa indera penciuman. Melihat domba-domba itu aku jadi ingat kisah pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Syuaib. Akhirnya, Musa kawin dengan salah seorang anak gadis Syuaib, dengan mahar menggembala domba selama 8 tahun.
Selain makam Nabi Syuaib di daerah Salt, juga ada makam Nabi Yusya. Anak Nabi Nuh dan anak saudara seibu dari Nabi Musa. Yusya merupakan keturunan Nabi Ibrahim, di dalam Al-Quran nama Nabi Yusya hanya disebut sebagai ‘pemuda’ dalam cerita Ashabul Kahfi.
Tujuan berikutnya, Jabal Nebo, yang diyakini oleh pengikut Katolik sebagai makam Nabi Musa. Sebelum ke tempat itu kami mampir ke Laut Mati (Dead Sea) dalam Bahasa Arab disebut Bahrul Mayyit. Waktu itu Hari Jumat, sebenarnya kompleks pantai Laut Mati hanya untuk orang yang berkeluarga atau pasangan yang membawa perempuan. Namun, karena kalam yahanoo Hadi dengan menunjukkan kartu pelajar dan kartu pers, kami bertiga boleh masuk, pelajar cuma bayar 5 JD, tamu 10 JD. Beberapa anak muda tampak kecewa ditolak masuk komplek pantai yang diyakini sebagai tempat terendah di dunia.
Ratusan turis dalam dan luar negeri tampak menikmati Laut Mati, ada yang Cuma melumuri badannya dengan lumpr laut yang hitam, atau mengambang sambil baca koran atau majalah. Tapi awas, kalau air laut itu kena mata, perihnya minta ampun. Karena kadar garamnya tinggi. Aku terkene air saat keseimbangan goyah, dan berbalik telungkup di laut itu. Seorang anak berusia 10 tahun membimbingku menuju pinggir untuk menghilangkan rasa pedih. Laut mati ini kisah ditenggelamkannya kaum Nabi Luth, karena lebih suka dengan hubungan sejenis. Sebelum pulang aku menyempatkan mengambil lumpur sebotol aqua ukuran 1,5 liter buat oleh-oleh, mumpung gratis.
Tak jauh dari laut mati ada gua yang diyakini tempat Nabi Luth pernah berlindung bersama kedua anaknya, Aritha dan Zagritha. Kampung tempat gua itu berada bernama Zughor. Tempat itu kini bernama Sanctuary of Lot.
Ke sebelah selatan, tepatnya di tepian Sungai Jordan, ada tempat yang dikenal sebagai tempat pembaptisan. Disitulah diyakini tepat menyucikan kaki Kristus. Ceritanya, Nabi Isa dibaptis oleh yahya di sungai itu. Di atas tanah yang coklat kemerahan, terdapat beberapa bangunan dari kayu dan batu, diantaranya gereja. Dalam sebuah bangunan yang hanya beratap, tak berdinding yang diyakini tempat Nabi Isa berisitirahat selama 40 hari, selai itu terdapat gentong besar berisi air, tempat itu biasanya digunakan untuk membaptis bayi. Tradisi pembaptisan dikenal baik oleh Katolik maupun Kristen, walaupun cara yang dilakukan berbeda-beda.
Menuju Jabal Nebo, kembali menuju Amman,, sepuluh kilometer dari situs pembaptisan, dari jalan raya tiga jalur harus belok ke kana, menuju pegunungan (jabal). Tapi ingat di jalan raya antara Amman-Laut Mati atau sebaliknya, kendaraan tak boleh dipacu lebih dari 80 km. Mobil yang ditumpangi Tempo sempat dihentikan polisi karena berkecepatan 100 km. Polisi dengan teknologi langsung menegor anda. Bila supir mengaku salah, karena lewat batas maksimum, polisi akan membebaskan, dengan ancaman. “Jika melanggar lagi, kami denda ya 30 JD,”katanya memperingati. Sepanjang jalan itu ada dua kali pemeriksaan tentara. Karena jalur itu lalu lintas menuju dan dari Israel.
Lebih dua pulu kilometer melewati gunung yang gersang, matahari yang menantang. Untung saja musim dingin, panas matahari, kalah dengan udara dingin. Di lembah-lembah tampak juga tenda-tenda kaum badui Arab. Sesekali rombongan domba lewat jalan beraspal diangon para badui itu. Mereka orang yang baik dan jujur. Kami sempat berhenti dan meminta susu kambing domba seger. Sang angon, Ahmad Abdul Azis, lalu mengambilkan salah satu kambing betina yang montok, memegangi kakinya, kita bisa memerah susu langsung dari kambing. Dari dua domba kami mendapat setengah liter susu dari botol bekas dalam kemasan. Berapa? Orang badui Arab itu tak mau dibayar. Syukron!
Setelah menapaki jalan berkelok, di puncak gunung, terdapat tempat parkir dan bangunan itulah Mount Nebo atau Jabal Nebo, salah satu tempat suci kaum Kristen yang diyakini sebagai makamnya Nabi Musa. Di kompleks itu ada beberapa tempat bekas Nabi Musa yang dianggap suci, ada bangunan gereja yang dibangun tahun 393 masehi dan replika tongkat Nabi Musa dari perungu berbentuk ular yang meliliti palang salib dibuat oleh Gian-Paolo Fantoni of Florence, setinggi 4 meter.
Dari replika tongkat Nabi Musa, kita dapat menikmati pemandangan Lembah Yordania, Laut Mati, Jerusalem dan Baitullahm (Betlehem). Almarhum Paus Johanes Paulus II, pada Maret 2000 pernah berkunjung ke tempat ini. Pada abad ke-7 masehi, bukit ini menjadi tempat persinggahan bagi para jamaah haji yang datang dari jauh. Di dalam gereja, dengan altar yang cantik berwarna warni yang masih dalam renovasi. Beberapa artis dan aktor menggunakan tempat ini untuk syuting.
Selain tempat bersejarah para nabi itu. Nabi Hud juga dimakamkan di daerah Jerash, namanya Kafar Hud. Tempat berpijak Nabi Sulaiman ada di sarfah, dekat Karak. Di Karak ada istana ang terkenal semasa perang salib. Pada tahun 1187 masehi, tentara Solahuddin Al-Ayoubi mengepung kota Karang selama 8 bulan, sehingga memaksa tentara pertahanan kota itu menjual anak dan isteri mereka untuk membeli makanan. Akhirnya setahun kemudian, 1188, Solahuddin dapat merebut Karak. Namun gempa bumi pada 1923 telah memusnahkan sebaian kota yang bersejarah. Sampai kini Karak menjadi tempat tujuan wisata yang menarik di Yordania.
Ahmad Taufik
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar