Rabu, Maret 05, 2008

Baasyir, Teroris dan Pesantren

Pekan lalu, saya bertemu dengan kawan lama, dulu masih kecil kami biasa i’tikaf di masjid dekat rumah bersama-sama. Kini dia simpatisan sebuah partai berlabel agama. Kami membicarakan sebuah kasus yang tengah saya investigasi, kebetulan salah satu korban kenal dengannya. "Tolong dong kamu garap serius, kalau gak kita serahkan saja sama Ustad Abu (Bakar Baasyir maksudnya), biar di...krek,"katanya sambil memperlihatkan tangan tanda memotong leher.

Saya terkejut, sikap sekelompok orang yang mulai kesal dengan keadaan dan minimnya kepercayaan hukum penegak hukum, mulai bertindak main hakim sendiri. Lebih terkejut lagi mereka (sekelompok orang itu) menunjukkan Abubakar Baasyir adalah sosok yang pantas melakukan itu. Setahu saya, dari media massa cetak di Indonesia, sosok Abubakar Baasyir, adalah guru agama (ustadz) asal Pondok Pesantren di Ngruki, Solo, Jawa Tengah yang sederhana dan ceplas-ceplos soal ajaran Islam.

Namun, akhirnya saya mengerti, kenapa teman saya menggambarkan sosok Baasyir (maksudnya Abubakar Baasyir, bukan Baasyir sebagai nama marga) seperti di atas? Pengakuan Abu Dujana, tersangka teroris yang baru-baru ini ditangkap polisi Abu Dujana menyatakan Abubakar Ba'asyir pernah terlibat dalam organisasi mereka. Bahkan, Ba'asyir, menurut Abu Dujana, pernah menduduki puncak Jemaah Islamiyah (JI) sebagai amir atau pemimpin setelah kematian Abdullah Sungkar. (metrotv, 18 Juni 2007).

Pernyataan-pernyataan Baasyir yang seperti "mendukung" tindakan teror juga mengkawatirkan dan seakan-akan melegitimasi pengebomam atau tindakan teror yang dilakukan sekelompok kecil orang yang menamakan diri "pejuang" Islam itu. Misalnya dalam kasus Abu Dujana, menurut Baasyir seperti dikutip situs detik.com, tindakan Abu Dujana dan teman-temannya bukan termasuk tindak terorisme. ‘’Justru kontra terorisme terhadap kejahatan Amerika.

Sayangnya pernyataan Baasyir itu seperti tak bersimpati kepada para korban, yang bukan orang Amerika. Bahkan dari kebanyakan korban pengeboman yang dilakukan kelompok teroris itu, adalah orang Indonesia dan muslim pula. Bukankah di dalam ajaran Islam, seorang muslim tidak boleh meneteskan darah seorang muslim lainnya. Apalagi orang itu tak tahu menahu atau terlibat soal permusuhan antara Baasyir Cs dengan Amerika.

Belum lagi ceramah keliling Baasyir ke daerah-daerah, seperti memicu orang untuk marah dan tak puas dengan keadaan, terutama yang berkaitan dengan umat Islam. Gugatan Baasyir ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang sudah dimulai pekan lalu untuk membubarkan pasukan anti teror polisi Densus 88, saya lihat juga merupakan usaha untuk melemahkan usaha pemerintah memberantas teroris di negeri ini.Menurut Ba`asyir, pasukan antiteror tersebut hanyalah proyek pemerintah yang didukung kekuatan asing Amerika Serikat dan Yahudi. (Antara ,19 Juli 2007).

Padahal kita tahu tugas Densus 88 bukan saja memberantas teroris yang mengatasnamakan "Islam", tetapi juga bergerak memberantas separatisme, seperti RMS, OPM dan lain sebagainya. Sebaiknya, kita harus bersimpati dengan tugas khusus yang maha berat dan resiko tinggi, agar negeri ini menjadi aman dan harmonis.


Pecah Belah Umat

Jika Baasyir masih berkelakuan seperti saat ini, dan merasa paling "Islam" sendiri, akan memecah belah umat Islam Indonesia. Padahal saat ini yang diperlukan bangsa yang sedang terpuruk oleh keadaan ekonomi, politik, maupun bencana adalah penguatan di berbagai bidang. Persatuan dan kesatuan seluruh elemen warga bangsa saat ini diperlukan. Agar bangsa ini punya daya tawar (bargain) dalam kehidupan internasionalnya.

Jangan sampai Baasyir dituduh sebagai agen Arab Saudi, yang ikut serta melemahkan Indonesia dengan melarang pesawat Garuda terbang membawa jamaah haji. Karena sudah menjadi rahasia umum, bahwa Arab Saudi adalah agen Amerika Serikat di Timur Tengah. Karena ingin mempertahankan kerajaan kabilah Saud, negeri itubersedia bersekutu dengan AS. Baasyir harusmya menjadi pemersatu umat, kalau ingin memecah belah, sebaiknya minggir saja.

Nama Baik Pesantren

Selain menjadi ancaman serius bagi masyarakat, Abubakar Baasyir juga menciptakan atmosfir yang membuat sekolah keagamaan, terutama pesantren diamati dengan curiga sebagai sarang teroris. Saat ini ada 16 ribu madrasah dan pesantren yang menampung jutaan santri Mereka kini menjadi "korban" stigma buruk, karena perbuatan ceroboh sekelompok kecil orang.

Sejumlah besar lulusan pesantren menjadi korban gagasan radikal yang diindoktrinasikan kepada mereka dan diserap seadanya. Menurut M. Khoirul Mustafa dari Kantata Research Indonesia, mereka yang dugembleng dengan pengajaran agama yang kaku di sekolahnya, setelah lulus cenderung mudah dipengaruhi oleh doktrin radikal.

Kalau sudah punya stigma buruk terhadap pesantren, yang dirugikan bukan sekelompok orang radikal itu saja, tetapi warga negara Indonesia yang benar-benar ingin meraup ilmu agama di pesantren. Sebagian besar, pesantren di Indonesia, adalah warga nahdliyin.

Bagi warga nahdliyin, sudah rugi dua kali. Di kampus dan di daerah perkotaan masjid-masjid yang dulunya 90 persen dipegang ajaran sunnah wal jamaah al-asyariyah, kini sudah direbut kaum tarbiyah wahabiyah. Akankah pesantren akan menjadi korban berikutnya? Sebagai orang tua yang menitipkan anaknya di pesantren saya tak rela. Sebagai bagian warga bangsa tentu kita harus memperjuangkan bersama-sama martabat pesantren, dan menjauhkan dari gaya radikal seperti yang ditunjukkan Baasyir dengan pesantren Al-Mukmin Ngruki itu.

Guru besar di Universitas Paramadina, Jakarta, Bima Arya Sugiarti, menyarankan agar, kelompok radikal yang mencoba mempengaruhi pesantren bergabung ke partai politik. Agar bisa menyalurkan aspirasi politiknya dengan "gentleman". Seperti yang dilakukan teman-teman dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang (PBB).

Jakarta, 21 Juli 2007
dimuat di Koran Derap Pembangunan-Jember-Jawa Timur

Tidak ada komentar: