Lumba-lumba dipercaya dapat membantu penyembuhan stroke. Meski ada kritik, terapi ini terus berkembang.
***-
IDA Bagus Oka tertatih-tatih masuk ke kolam renang. Mantan Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional itu mengenakan pelampung kuning, dituntun Carla Henco, perempuan warga negara Jerman, ke air. Setelah ia beselonjor, dua ekor ikan lumba-lumba mendekati pelan-pelan dan mencium-cium ujung telapak kaki kanan lelaki itu. Oka, yang hanya mengenakan celana pendek, tampak meringis geli. “Saya bisa, bisa…, bisa...,” katanya berulang-ulang sembari menggerakkan sendiri kedua kakinya.
Sesekali, Jack dan John--nama dua lumba-lumba itu--menggulung badan Oka hingga hampir menenggelamkannya. Karena memakai pelampung dan diawasi Henco, Oka tak sampai kelelep. Walaupun tampak kesulitan ketika digulung binatang bermoncong botol, Oka selalu tersenyum. .”Jack..., John..., come here please,” begitu Oka memanggil-manggil mereka agar datang kembali mendekatinya.
“Bermain” dengan lumba-lumba di kolam Hotel Melka, Lovina, Buleleng (Bali utara) menjadi kegiatan rutin akhir pekan Oka dalam tiga pekan terakhir ini. Laki-laki 69 tahun ini divonis dokter terkena stroke. Bekas Gubernur Bali itu kesulitan menggerakkan tangan dan kaki serta terhambat dalam berbicara.
Setelah ditangani secara medis, Oka mencoba cara alternatif untuk fisioterapi atau melakukan latihan fisik. Pilihannya jatuh pada Jack dan John. ”Baru empat kali terapi setelah dua kali datang, kaki kanan saya sudah mulai terasa ringan. Saya akan rutin seminggu sekali ke sini,” katanya. Wajahnya tampak memerah segar setelah berlatih, akibat aliran darah lebih banyak mengalir ke kepala.
Jack dan John adalah lumba-lumba hidung botol (bottle nosed dolphin), jenis yang dapat dimanfaatkan untuk terapi lumba-lumba (dolphin assisted therapy), yang dipercaya membantu penyembuhan stroke, autisme, dan beberapa gangguan bergerak akibat kerusakan saraf. Selain si hidung botol, dari sekitar 80 jenis lumba-lumba yang ada di dunia, hanya ada dua jenis lagi yang punya kemampuan terapi, yaitu spinner dolphin dan spotted dolphin.
Menurut Karl Guenther Meyer, pemilik Hotel Melka yang sudah mengoperasikan dolphin assisted therapy selama setahun ini, saat melakukan terapi, lumba-lumba tidak perlu diarahkan oleh semacam pawang. Sebab, binatang mamalia laut itu memiliki kemampuan mengirimkan suara berfrekuensi tinggi--sekitar 2-13 MHz--ke bagian-bagian tubuh manusia, dan menerima kembali suara tersebut, atau disebut echolocation. Nah, dari kiriman ultrasound yang dipantulkan kembali oleh tubuh manusia itulah lumba-luma dapat mendeteksi bagian tubuh yang bermasalah. Terbukti saat Oka masuk kolam, flipper langsung menyosor kaki kanannya.
Kemampuan menangkap ultrasound, suara berfrekuensi tinggi di atas batas ambang pendengaran manusia (di atas 20 ribu Hz), dimiliki beberapa hewan seperti anjing, kelelawar, dan lumba-lumba. Kelebihan si hewan laut itu adalah mampu menyalurkan suara tersebut ke tubuh manusia. Penembakan pulsa suara berfrekuensi tinggi seperti ini, menurut pakar suara dari Amerika Serikat, Roger Hardy, lebih aman dibandingkan penggunaan sinar laser (X), karena ultrasound tak menggunakan radiasi ionisasi.
Adapun cara kerja “penyembuhan” dengan suara berfrekuensi tinggi lumba-lumba adalah merangsang perbaikan dan penggantian sel-sel rusak dalam tubuh. Meyer menjelaskan, manusia hanya menggunakan sekitar 20 persen kapasitas setiap organnya dalam beraktivitas, sedangkan 80 persen lainnya menganggur. Lumba-lumba, dengan kemampuan alaminya, mampu mendistribusikan dan mensubsidikan sel sehat menuju bagian dari sel yang rusak atau abnormal.
Seperti terapi lainnya, pengobatan bersama si moncong botol ini harus dilakukan rutin. Menurut Meyer, minimal dua bulan. Adapun Oka, yang baru setiap akhir pekan selama tiga minggu terapi, sudah merasakan manfaatnya. Pasien lainnya, Bing Wijaya, 53 tahun, warga Singaraja, bahkan sembuh dari lumpuh setelah delapan kali terapi. ”Hasilnya benar-benar memberi saya harapan baru,” ujarnya. Bin sudah bisa menggerak-gerakkan tubuhnya lebih baik.
Selain untuk “mengobati” stroke, menurut Meyer, terapi lumba-lumba juga dipercaya dapat membantu penyembuhan kanker. Inilah yang baru dimulai di kawasan wisata Lovina itu. “Kami mengundang dua orang penderita kanker, terapi dua minggu gratis,” ujarnya. Kini pengobatan itu sedang berjalan.
Terapi dengan bantuan lumba-lumba mulai banyak dipraktekkan di beberapa negara sejak akhir 1990-an, terutama untuk membantu anak-anak autis dan penderita down syndrome. Lumba-lumba dipercaya dapat menyembuhkan orang karena binatang ini beberapa kali telah menolong orang tenggelam di laut dan membantu menyembuhkan luka mereka. Bila dilihat di Internet, cukup banyak klaim sukses terapi ini, namun banyak juga kritiknya. Umumnya, kritik dilandaskan pada minimnya uji coba ilmiah dan klinis atas terapi ini.
“Tidak ada bukti ilmiah bahwa terapi lumba-lumba membantu penyembuhan. Ini hanya bersifat rekreasi,” kata Bernard Rimland, Direktur Autism Research Institute di San Diego, Amerika Serikat. Bahkan Michael Westerveld, ahli saraf dari Universitas Yale, AS, lebih skeptis. “Bila ada keberhasilan terapi lumba-lumba, ini merupakan efek yang sama bila berinteraksi dengan binatang jinak lain seperti anak anjing,” katanya.
Kritik lainnya adalah biaya terapi lumba-lumba yang mahal. Di Lovina, pasien harus merogoh kocek Rp 40 juta sebulan termasuk akomodasi dan konsumsi. Harga itu pun jauh lebih murah dibanding paket yang sama di AS, misalnya, yang mencapai Rp 400-500 juta. Karena “murah”, usaha yang dirintis sejak tahun lalu di Lovina itu kebanjiran pasien terutama dari luar negeri, seperti dari Singapura, Malaysia, Amerika, dan Eropa.
Bisakah terapi ini diterima secara medis? Menurut Nurdjaman Nurimaba, ahli penyakit saraf Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, terapi lumba-lumba, seperti terapi lainnya--wicara, gerak, hidro, getar, atau penyinaran--merupakan bagian dari fisioterapi aktif. Lumba-lumba merupakan gabungan dari terapi hidro dan getaran suara (ultrasonografi). “Sonar hewan tersebut pada prinsipnya sama dengan terapi getaran untuk menghilangkan sumbatan. Soal seberapa efektifnya, saya tak tahu persis,” ujarnya. Namun semua fisioterapi hanya bisa dilakukan setelah bagian saraf otak ditangani terlebih dahulu secara medis. “Karena itu, walaupun dengan terapi, masih harus disertai obat lainnya,” katanya.
Di luar semua kritik dan keraguan, terapi lumba-lumba tetap berkembang. Di Indonesia, selain di Lovina, terapi lumba-lumba untuk anak-anak autis juga ada di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Itu mungkin karena lumba-lumba selama ini dipercaya sebagai binatang penyayang manusia.
Ahmad Taufik, Made Mustika (Singaraja)
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar