Senin, September 17, 2007

1. Kenalan

Perapatan Jalan Braga, baru saja lewat. Aku lagi asyik berangin-angin, dengan jendela terbuka lebar. Bis Damri jurusan Cikapundung-Cicaheum berhenti di halte dekat Hotel Panghegar. Tiba-tiba, duk! Sebuah pantat dihempaskan di bangku sebelahku yang sedari tadi kosong. Aku kaget.

Dengan berat kepala ku palingkan ke kanan, seorang perempuan, berambut panjang melebihi bahunya. Dari tempat duduknya dapat ku taksir, tingginya tak jauh dari tinggi tubuhku. Badannya juga proporsional. Hidungnya bangir, tidak mancung, juga tidak pesek. Matanya sedikit sipit. Kulitnya, amboi ! Kuning mulus bak duku Palembang mutu nomor satu.

Ketika bus mulai bergerak, Aku mencoba mulai membuka percakapan,”haredang, ya?”
“Iya, Nih”jawabnya.
Aha, pancinganku kena. Jarang ada orang yang mau menanggapi pernyataan orang yang baru dikenal, apalagi Cuma kata basa-basi.
"Pulang kerja?" Aku mulai berani
"Ya," jawabnya singkat, "Kamu?"
"Abis jalan-jalan," kataku sekenanya.

Memang aku habis jalan-jalan cari angin dan cari buku-buku bekas di Jalan Cikapundung, persis di sebelah gedung PLN. Di trotoir itu biasanya terhampar buku-buku, majalah-majalah dan bacaan-bacaan bekas. Ada juga buku-buku baru, tentu saja yang bajakan. Karena harganya bisa separuh harga dari toko buku.

"Abis beli buku," kataku sambil membuka tas kresek dan memperlihatkan beberapa buku yang aku beli. Ia ikut memegang dan melihat buku-buku yang aku perlihatkan padanya.
"Aku Alex, kamu?"
"Olie."

Namanya selicin perkenalan kami. Cuma bedanya, kalau olie mesin warnanya gelap, apalagi yang bekas. Tapi kalau Olie, yang ini bersih kulitnya.

Dari percakapan, akhirnya aku tahu Olie, bekerja menjadi sekretaris di sebuah perusahaan tekstil, tak jauh dari tempat ia naik bis tadi,

Ia bercerita, kalau kakaknya Pinkan, juga pernah bekerja disitu. Tapi kini sudah pindah ke kantor lain.

Olie enak diajak bicara. Dia lebih banyak cerita tentang diri, keluarga dan segala macam, juga pekerjaannya.

"Kamu berasal dari mana?"
"Ciamis," katanya singkat.

Pantas memang, nama tempat asalnya saja, artinya, air (cai) manis.
Karena terlalu asyik ngobrol, tak terasa tempat tujuanku turun di Pasar Kosambi sudah lewat.

"Kamu turun dimana?"
"Cicadas."
"Memang rumahmu dimana?"
"Di Cicadas, di belakang Matahari."

Aku berikan nomor telepon dan nomor serantaku.

"Siapa tahu kamu mau kontak aku lagi."

Tidak ada komentar: