Tit…tit…tit…, serantaku berbunyi, tanda ada pesan masuk. “Temui aku di halte dekat Hotel Panghegar, pukul 16.30.Olie”
Waktu baru menunjukkan pukul 12.30 saat seranta masuk. Saat itu perutku sedang berkecamuk ngorok, minta diisi. Aku memang sedang antri mengambil makanan di Warung Gratya, di daerah Sekeloa. Warung makan itu terkenal tempat mahasiswa makan. Selain makanannya beragam kita juga bisa mengukur kemampuan kantong. Pernah dalam suatu masa paceklik, kantong lagi cekak, aku hanya makan sepiring junjung nasi putih, sepotong tempe dengan kuah semur campur kuah gulai. Cuma cepek jigo atawa Rp 125, sama dengan ongkos angkot dari Dago ke Kebon Kelapa.
Tapi saat seranta masuk dari Olie, aku makan cukup bergizi, dengan telur, daging semur, tempe dan kerupuk, hanya gopek. Maklum duit masih ada. Buat makanan nggak usah iritlah.
Selepas azan ashar, aku mandi dan shalat. Hatiku deg-degan. Saat shalat yang terbayang bukan Tuhan atau bacaan shalat, tetapi wajah Olie.
Ada perasaan, aku akan mendapat cewek baru.Baru sekali kenalan lagi. Ini tantangan.
Dengan jeans butut, dan atasan t-shirt, serta sepatu kets, aku naik angkot jurusan Kebon Kelapa. Perjalanan dari Dipati Ukur ke Markas Polwiltabes, dekat Hotel Panghegar, terasa jauh. Mataku terus melirik jam tangan, kawatir kelewat waktu, dan Olie meninggalkan ku.
Sial, angkot yang ku tumpangi kosong. Ia ngetem lama sekali di depan Bandung Indah Plaza (BIP).
Waktu menunjukkan pukul 16.30 saat aku mengatakan “Pinggir” di depan kantor polisi di Jalan Jawa. Angkot langsung menepi, dan aku membayar dengan terburu-buru, duit logam pun jatuh ke bawah jok sopir. Aku langsung lari, menyeberang jalan. Dari kejauhan ku dengar sopir mengumpat. Tapi aku tak peduli.
Aku berlari-lari kecil mengejar waktu. Tepat di depan Hotel Panghegar, sekitar 20 meter dari halte tujuan kulihat Bis Damri maju bergerak pelan. Waduh!
Benar saja, saat sampai di halte, Olie sudah tak ada. Anjriiit! Aku mengumpat..
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar