Rabu, November 28, 2007

Jazz Goes to Campus 2007 :Jazz, Bazzar dan Asem Keringat

Salah satu pertunjukkan jazz tertua digelar di Kampus UI Depok. Penontonnya membludak, kebanyakan menikmati jazz pop.

Udara yang pekat, tanpa angin tak menyurutkan semangat orang-orang datang ke perhelatan ke 30 Jazz Goes to Campus 2007 di Kampus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, pinggiran kota Jakarta, Ahad, dua pekan lalu.
Sejak pukul 09.00, suasana kampus sudah ramai. Banyak jalan ditutup ke tempat itu. Bahkan di luar kampus, jalan menuju pusat pendidikan itu macet. Di dalam kawasan pertunjukkan yang dibatasi dengan terpal plastik warna biru, tampak berbagai stand, mulai dari kaos, souvenir, cakram padat (disc) sampai sate padang meramaikan tempat itu. Suasana bazzar sangat kental. “Ada 63 stand,”ujar Anita, seorang panitia.
Sambil kipas-kipas, dan mengusap keringat penonton yang kebanyakan kaum muda-mudi tumplek di depan dua panggung terpisah; Celebration Stage dan Inspiration Stage menikmati berbagai jenis musik jazz. Mulai dari yang pop, fussion, dixie, swing, groovy sampai yang jazzy banget. “Inspiration Stage merupakan panggung yang memberikan kesempatan kepada penonton untuk lebih dekat kepada yang main. Sedangkan Celebration Stage lebih seperti konser,”kata Ketua Panitia Christa Sabathaly.
Di panggung Celeberation yang menampilkan Ireng Maulana, Idang Rasyidi, Andien, Tompi, Benny Likumahuwa, Iga Mawarni dan grup lainnya lebih semarak dan padat. Sedangkan di panggung Inspiration yang menampilkan Syaharami, Balawan, Sol Project dan kelompok jazz lainnya, tak sebanyak panggung satunya. Pembagian panggung sebenarnya punya maksud, inspiration bagi penikmat benar-benar jazz, sedangkan celebration buat penggemar jazz populer.
Pada awal pertunjukkan para penonton bisa duduk di taman-taman rumput atau di tengah lapangan, di depan panggung, bahkan lebih banyak yang pergi berbelanja di counter-counter bazzar. Namun, sejak Tompi tampil, menjelang sore, keadaan sudah padat, para penonton sudah tak bisa rileks lagi, semua berdiri. Bau asem keringat menusuk saat berbaur, karena udara terbuka yang tanpa angin. “Hebat UI, Hebat,”kata Ireng Maulana sambil melemparkan karcis Jak Jazz buat penonton.
“Saya sejak pertama kali acara ini diadakan pada 1977, dan tiga tahun pertama mengisi acara ini, saya terkesan sekali,”kata Ireng memuji perhelatan yang bisa menyedot banyak pengunjung. Sosialisasi musik jazz ke kampus ini digagas Chandra Darusman , terbukti berhasil menarik minat banyak sponsor pendukung, juga jumlah pengunjung yang terus bertambah setiap tahunnya. Dulu pada awalnya di gelar di Kampus Salemba, Jakarta Pusat. “Waktu itu Chandra masih main. Kami diajaknya, Yuk kita main. Yuk kita nge-jam bareng, waktu itu masih pakai tikar. Bagus, sekali, tujuannya mengenalkan jazz ke masyarakat,”kenang Ireng. Karena tempatnya kecil di Salemba, menurut Ireng, penonton sampai naik ke atas genteng.
Jazz Goes to Campus boleh dibilang even musik jazz terbesar dan nomer dua tertua di dunia. Karena kelahirannya hanya berselang setahun setelah North Sea Jazz Festival Belanda yang merupakan even musik jazz tertua dan terbesar di dunia.
Dalam perjalanannya festival Jazz FE UI ini telah menghadirkan sejumlah musisi ternama dunia seperti Bob James, Dave Koz, Claire Martin Quintet, Ron Reeves, Los Cabaleros, Coco York, Mike Del Ferro hingga Curtis King. Dari negeri sendiri ada Bubi Chen, Benny Mustafa, Benny Likumahua, Yopie Item, Ireng Maulana & Friends, Ermy Kullit, Elfa Secoria, Krakatau, Indra Lesmana Reborn, Riza Arshad, Tohpati, SimakDialog, Donny Suhendra, Iga Mawarni, Syaharani, hingga Tompi. “Tujuan pertama memang memperkenalkan Jazz. Yang main waktu pertama kali di bawah pohon, itu sudah meninggal semua. Tapi spiritnya tetap ada,”kata Idang Rasjidi yang hanya absen sekali selama keberadaan festival ini.
Musik Jazz berkembang di Universitas Indonesia tak lepas dari kendali pemerintahan orde baru yang menerbitkan kebijakan apolitis mahasiswa dan kampus (NKK-BKK) pada 1978. Sedangkan kampus-kampus lain, seperti ITB Bandung dan UGM Yogyakarta musik itu tak begitu berkembang, karena mahasiswanya masih sibuk “melawan” pemerintah. Jazz juga dianggap milik “kaum elit”.
Padahal sejarah jazz yang lahir di Amerika Serikat 1868, dan berkembang pada 1917, justru dimainkan kaum kulit hitam di New Orleans. Mereka main di bar, rumah judi dan tempat bordil (pelacuran) yang tumbuh disana.
Di Indonesia, musik ini dikembangkan oleh Jack Lesmana dengan mendirikan sekolah musik pada awal 1970-an. Chandra Darusman, Abadi Soesman, Benny Likumahua, dan anak sendiri Indra menjadi “kelinci” percobaan yang meneruskan sehingga musik ini berkembang pesat. Anak muda, begitulah sasaran Jack menularkan jazz. Chandra membawanya ke kampus UI.
Salah satu keunggulan Jazz Goes to Campus adalah melahirkan grup jazz anyar, lewat jazz competition yang digelar beberapa hari sebelum pertunjukkan akbar. Hasilnya tak jelek, misalnya Witry and friends juara pertama tahun ini yang tampil awal di panggung selebriti, suaranya empuk jazzy dan sang penyanyi cabtik pula. Cuma sayangnya, kelompok ini masih menyanyikan lagu-lagu asing.
Berbeda dengan Tompi yang energik, dengan modal ketenarannya saat ini, berani tampil membawakan lagu Balonku Ada Lima, dan Ketahuan milik Matta dalam balutan jazz. “Memang ada beberapa band yang pronounciation-nya sengaja dibikin-bikin biar terkesan bule, keren. Kalo menurut gue, kalo berbahasa Indonesia yang baik dan benar, kalo nyanyinya enak, tetap enak kok,”kata dokter yang sudah tampil tiga kali di tempat yang sama.
Banyak tampilnya jazz pop membuat Imam Sasongko, 49 tahun, kecewa. Penonton yang membawa serta istrinya, dosen Politeknik Negeri Jakarta mengaku ingin menikmati alunan Jazz mainstream. “Saya kurang puas dengan apa yang ditampilkan, terlalu populer. Mungkin wajar karena, yang datang anak-anak muda,”katanya.
Memang, sejak pagi hingga siang, selain penikmat jazz populer, perhelatan ini menjadi ajang kumpul-kumpul dan pacaran. “Aku kesini mau nonton aja. Kumpul sama teman-teman,”ujar Viki Fitriati, 16 tahun, yang mengaku bukan penggila jazz.
Salah seorang pianis yang tampil rapi solo Nial Djuliarso juga berharap sama seperti Imam. “Pemain sudah banyak. Saya berharap ada yang mengarahkan untuk lebih ke mainstream,”kata pemusik yang sudah kahot di manca negara.
Namun, seperti yang dikatakan Sri Sultan Hamengku Buwono X yang memberikan orasi dan menyerahkan penghargaan kepada jazzer gaek Benny Likumahua, agar tak hanya sekadar mendengarkan musik. “Saya kira ini sesuatu produk maupun aktivitas yang bagus. Apresiasi anak muda terhadap seni. Sekarang gimana apresiasi itu tidak sekedar mendengar, tapi mencerminkan apresiasi rasa orang di dalam konteks memahami keadaan, mengantar seseorang membangun ekspresi, baik emosi, bicara rasa, bicara kegagalan, dan bicara keberhasilan,”ujarnya. Walah!

Ahmad Taufik, Bayu Galih

4 komentar:

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

sebenarnya apa sih itu jazz? di JGTC kami sudah berusaha menghadirkan segala macam jenis jazz.. ada yang mainstream juga, seperti Nial Djuliarso. Tapi we also need to sell, jadi harus juga memberikan tontonan yang banyak disukai massa, dan popular (pop).
Tapi juga proporsi artis harus tepat untuk musisi muda yang memberikan demo, karena salah satu tujuan jgtc adalah sosialisasi jazz dan mendorong talenta2 muda untuk bisa tampil di panggung jgtc.. It's a never ending decision!!seandainya kita punya lebih banyak hari, panggung dan resource lain untuk bisa mengakomodasi semua keinginan penonton. we would love to do that.. but btw...mr. ahmad taufik thank you for writing JGTC.. :)

Unknown mengatakan...

best regards,
christa

Anonim mengatakan...

Wah..JGTC keren ya!?
Sayang saya ga dateng karena bentrok jadwal..

Salam kenal!