Rabu, November 28, 2007

Sektor Keamanan : Cuma Pura-pura Reformasi

Tanggal 30 Mei 2007, di Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, empat warga sipil tewas seketika dan delapan lainnnya luka-luka. Penyerangnya, pasukan khusus Angkatan Laut, Marinir.
Kasus penembakan petani di Alas Tlogo itu mengejutkan publik, mengingat konteks zaman yang sudah berubah. Pasca orde baru, institusi militer berulang kali berusaha meyakinkan publik, bahwa telah dilakukan dengan sekuat tenaga kultur dan karakter institusi tersebut, dari yang dikenal sebagai institusi represif di masa lalu menjadi militer modern profesional.
Petinggi militer di banyak kesempatan selalu menyatakan komitmennya untuk meninggalkan arena politik praktis, patuh pada supremasi hukum. Serta lebih fokus pada penguatan kapasitas profesionalnya sebagai prajurit. Sayangnya, insiden Alas Tlogo membuktikan bahwa harapan itu masih jauh untuk dicapai.
Bahkan setelah ditelusuri lebih jauh, insiden Alas Tlogo itu terjadi karena Yayasan Sosial Bhumyamca merupakan perusahaan di bawah koordinasi TNI AL yang bekerjasama dengan PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) dalam PT. Kebun Grati Agung. TNI AL lewat Primer Koperasil AL mendapat 20 persen saham selebihnya milik RNI.
Kehadiran prajurit militer di lapangan (perkebunan) hanyalah menjadi centeng pengusaha. Tak beda jauh dengan kejadian pada masa rezim orde baru. Dalam kasus Tanah Badega, di Garut Jawa Barat pada 1986-1987, misalnya, keterlibatan prajurit militer hanyalah menjadi budak PT. SAM (Surya Andaka Mustika).
Dua hari setelah pembantaian di Alas Tlogi, di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, calon Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, menggandeng militer aktif Mayor Jenderal TNI Prijanto menjadi wakil calon Gubernur pada pemilihan Gubernur Agustus 2007. Prijanto pernah menjabat Komandan Komando Resor Militer-051/Wijayakarya Daerah Militer Jakarta Raya tahun 1999 sampai 2000. Kemudian Prijanto menjabat Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya tahun 2005 sampai 2006, sebelum menjabat Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat mulai 5 Mei tahun 2006.
Pilihan itu bukan saja menyakiti, para calon dari pensiunan militer yang sudah lama berkecimpung di partai politik dan institusi sipil, tetapi juga menodai reformasi TNI yang pernah dicita-citakan, tak terjun di bidang politik. Apa komentar calon Gubernur DKI, Fauzi Bowo, “Dia (Prijanto) tahu semua proyek vital di Jakarta." Semua yang berkaitan dengan militer tak lepas dari proyek rupanya.
Kedua peristiwa gress itu langsung ditonjolkan media massa di Indonesia, bahwa reformasi TNI ternyata cuma pura-pura. Anggota Komisi I DPR Andreas Pareira kepada Media Indonesia, misalnya mempertanyakan reformasi TNI. Sebab hingga saat ini praktik lama kekerasan TNI terhadap rakyat kembali berulang.
Andreas mengingatkan sebelum insiden di Pasuruan, terjadi kekerasan lainnya oleh aparat TNI yakni pembunuhan Man Robert akibat dianiaya, di Solok, beberapa waktu lalu. Menurutnya, reformasi struktur organisasi TNI ternyata tak menyentuh sampai kepada reformasi perilaku prajurit TNI. "Ini gaya lama dan harus menjadi perhatian utama para pimpinan TNI. Kalau dibiarkan, selain akan menebar ketakutan masyarakat, juga akan mengakibatkan munculnya perlawanan masyarakat kepada TNI sebagai aparat negara,"katanya.
Insiden di Solok terjadi ketika lima anggota Kodim Solok diduga melakukan penganiayaan Man Robert hingga tewas. Mayatnya ditemukan mengambang di Danau Singkarak pada setelah dikabarkan hilang sejak Minggu (20/5/2007) malam. Dugaan sementara, Man Robert diculik oknum TNI setelah terlibat pertengkaran dengan seorang penumpang Kijang Innova hitam, yang merupakan komandan Kodim 0309 Solok, Letkol Untung Sunanto. Saat itu, korban dan empat temannya yang berprofesi sebagai 'Pak Ogah' itu, mengatur arus lalu lintas di ruas jalan yang ambrol akibat gempa di pinggir Danau Singkarak.
Terjadi cekcok karena penumpang mobil Innova itu tersinggung setelah mobilnya digedor oleh korban dan kawan-kawannya saat terjadi kemacetan. Setelah itu, sejumlah anggota Kodim 0309 Solok mendatangi lokasi terjadinya keributan itu untuk meminta pertanggungjawaban para pengatur lalu lintas itu, yang berakhir dengan dibawanya Man Robert oleh aparat berbaju hijau itu.
***
Bisnis, itulah yang ada dalam otak militer Indonesia sejak kemerdekaan, tentara sudah merasa memiliki negeri yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Menurut Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono TNI terlibat dalam bisnis dimulai sejak 1952. Pada saat itu, pemerintah melakukan rasionalisasi terhadap intitusi tentara. "Sejak saat itu, komandan mulai dari Pangdam bahkan sampai Babinsa, boleh mencari pemasukkan sendiri," ujarnya ketika memberi sambutan dalam peluncuran buku "Menggusur Bisnis Militer: Tantangan Pembiayaan TNI Melalui APBN, di Jakarta.
Pada waktu itu, menurut Juwono, pemerintah tidak mampu membiayai tentara. Institusi ini kemudian diserahkan untuk mengelola hasil nasionalisasi dari aset negara penjajah. Waktu itu pemerintah harus menanggung hutang 3 miliar gulden ke Belanda. "Jadi sejak awal pemerintah tidak memberikan uang yang memadai untuk pertahanan dan keamanan," ujarnya. Mulai tahun itu, TNI terlibat dalam bisnis yang kemudian disebut-sebut gurita bisnis tentara.
Termasuk di dalamnya terjadi berbagai penyelundupan, mulai dari kebutuhan pokok, sembilan bahan pokok, sandang sampai peralatan perang. Bahkan, perebutan kekuasaan pada 1965, sebelum terjadi perpindahan kekuasaan politik, diawali dengan persinggungan bisnis antar petinggi militer (Jenderal Achmad Yani, Nasution dan Soeharto).
Kenyataan itu tampak ketika Soeharto, berkuasa sejak Maret 1966. Semua bisnis vital dipegang oleh militer konco-konconya. Misalnya Pertamina. Perusahaan minyak milik negara di pegang oleh Ibnu Sutowo Deputi Operasi/Peperpu KSAD, pada masa itu.
Namun, menurut Juwono, bisnis yang dikelola TNI kemudian mulai menurun sejak 1985, ketika banyak perusahaan swasta naik daun. Soeharto hanya menjadikan militer sebagai centeng untuk perusahaan anak-anak, keluarga dan kawan-kawannya. Sampai dia tergusur, pada 1998, dan tuntutan reformasi terhadap TNI terutama di bidang bisnis dan politik.
Formalnya, menurut Juwono, sejak 2004 bisnis TNI harus dikembalikan kepada. "Sejak 1980-an diskusi soal pelepasan bisnis TNI ini sudah dibahas,"ujarnya. Sesuai amanat pasal 76 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, agar bisnis yang dikelola tentara diseerahkan kepada negara, maka awal 2004 itu kemudian dibentuk Tim Supervisi Transformasi Bisnis TNI. Tim yang anggotanya terdiri dari berbagai departemen ini mendata semua aset dan bisnis TNI. "Dari 1.500 usaha, yang termasuk dalam kategori korporasi, dengan aset di atas US$ 50 ribu, hanya enam sampai tujuh perusahaan," kata Juwono.
Tim ini sepakat untuk tidak menyerahkan badan hukum berupa koperasi dan yayasan yang langsung berhubungan dengan kesejahteraan prajurit dipertahankan. Dua badan hukum ini, kata Juwono, adalah lembaga yang selama ini menopang kebutuhan sehari-hari keluarga prajurit, termasuk beasiswa anak-anak tentara. "Ke depan pemerintah yang harus bertanggungjawab untuk menuhi kebutuhan tersebut," ujarnya.
Menurut Ketua Komisi Pertahanan DPR, Theo L. Sambuaga, penyerahan aset bisnis TNI kepada negara tidak selalu mulus. Menurut politikus dari Partai Golkar ini, banyak aset terutama yang berupa tanah, disewakan kepada pihak ketiga. Salah satunya, itulah yang terjadi di Alas Tlogo.
***
Semula orang menduga reformasi TNI berhasil dalam bidang politik, yaitu menyingkirkan militer aktif dalam parlemen dan pemerintahan sipil. Bahkan seorang peneliti asal LIPI Jaleswari Pramodhawardani sempat terkecoh, dalam pernyataannya sebuah diskusi buku di Jakarta, menyatakan, "sejak tahun 1998, ketegangan yang terjadi antara sipil dan militer lebih terkait dua isu, bagaimana mengeluarkan TNI dari politik dan dari bisnis. Kalau untuk yang pertama, prosesnya relatif jauh lebih mudah daripada yang kedua," ujar Jaleswari.
Munculnya, Prijanto militer aktif dalam jabatan politisi sipil sebagai calon wakil Gubernur, menunjukkan tesis Jaleswari keliru. Pengamat CSIS J Kristiadi menilai, pencalonan anggota TNI dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dapat menganggu proses reformasi di tubuh insitusi militer tersebut. "Secara konstitusi anggota TNI hanya boleh memilih, bukan dipilih. Kalau pun dia akan mencalonkan diri harus pensiun terlebih dulu," katanya.
Ketentuan bahwa seorang anggota TNI dapat ikut dalam pemilihan kepala daerah, menurut Kristiadi dapat diartikan bahwa TNI akan kembali pada arena politik praktis yang justru bertentangan dengan reformasi yang kini sedang dijalankan TNI. "Apalagi ada ketentuan seorang anggota prajurit yang kalah dalam bursa pilkada dapat kembali bertugas di dinas kemiliteran meski tidak menduduki jabatan semula. Ini kan, seperti dagelan jadinya," ujarnya.
Karena itu, jika TNI ingin benar-benar menjalankan reformasi hingga menjadi institusi yang profesional dalam menjalankan tugas pokoknya menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI, maka anggota TNI tidak perlu ikut bursa dalam pilkada.

***
Hasil Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Harian Kompas, misalnya, menilai Tentara Nasional Indonesia (TNI) tampaknya sedang berada di persimpangan jalan. Antara meneruskan agenda reformasi dengan meningkatkan profesionalitas dan menahan diri dari politik. Ataukah meninggalkan barak dengan membuka sedikit kebebasan politik di dalam tubuh lembaga pertahanan-keamanan ini?
Ternyata adahal yang sama yang ditemui Kompas dalam penelitiannnya itu, melihat proses politik pasca orde baru, publik mendua saat menyikapi peran TNI saat ini, antara mendukung dan khawatir terhadap penggunaan hak politik TNI. Kesimpulan ini terungkap dari pengumpulan pendapat masyarakat yang secara khusus menyorot peran dan citra TNI menjelang peringatan hari lahirnya, 5 Oktober 2006.
Sebenarnya, citra TNI memperlihatkan kecenderungan membaik, jika dirunut sepanjang reformasi sejak 1998. Pada tahun ini tidak kurang dari 60,6 persen menyatakan citra TNI baik. Namun, di sisi lain mereka yang menilai citra TNI kurang baik justru menunjukkan kecenderungan meningkat.
Jika tahun lalu 22,2 persen responden menilai buruk citra TNI, tahun ini persentase itu meningkat menjadi 35,3 persen responden. Meningkatnya citra buruk TNI tak bisa dilepaskan dari konteks peristiwa yang melingkupi lembaga yang kini berusia 62 tahun itu.
Peristiwa terbesar yang cukup mengguncangkan kepercayaan publik pada 2006 adalah penemuan ratusan pucuk senjata dan puluhan ribu amunisi di rumah almarhum Wakil Asisten Logistik Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Waaslog KSAD) Brigjen Koesmayadi, di Jakarta Utara.
Tak urung, hal ini menjadi polemik yang cukup menimbulkan kecurigaan terhadap adanya gerakan yang tak terkontrol di dalam tubuh TNI. Hampir separuh (47,3 persen) responden menyatakan bahwa penemuan senjata tersebut membuat rasa percaya mereka terhadap TNI berkurang. Lebih lagi, sebagian besar (65,2 persen) responden pun pesimistis, persoalan temuan senjata ini akan diusut sesuai dengan prosedur hukum hingga tuntas. Lepas dari itu, pembenahan dan kontrol atas bisnis senjata di tubuh TNI tampaknya juga belum memperlihatkan hasil nyata. Bahkan, alih-alih berkurang, beberapa hari ini malahan terkuak lagi keterlibatan oknum purnawirawan TNI dalam jual-beli senjata gelap di Amerika Serikat.
Namun, torehan arang yang ditimbulkannya tampaknya tak menghapus citra baik yang sudah mulai dibangun TNI sejak masa reformasi. Ingatan publik akan peran TNI dalam berbagai bencana yang menimpa negeri ini, kesigapan TNI turun ke lokasi bencana, mulai dari letusan Gunung Merapi, gempa Yogyakarta, tsunami Pangandaran hingga lumpur panas Sidoarjo ternyata berhasil membangkitkan apresiasi positif publik. Peran sosial TNI membantu masyarakat dalam berbagai peristiwa mendapat pujian, tiga dari empat (75,0 persen) responden mengaku puas dengan kinerja TNI membantu masyarakat di lokasi bencana alam.
Sayangnya, meski peran sosial TNI mendapat sambutan positif publik, apa yang justru menjadi tuntutan profesional TNI sendiri tampaknya belum memuaskan. Dalam memulihkan keamanan di daerah-daerah konflik, baru 46,3 persen yang mengaku puas, sementara separuh yang lain (50,7 persen) mengaku belum puas. Penilaian terhadap aspek kinerja TNI yang lain seperti menjaga kedaulatan negara pun tidak terlalu antusias disikapi responden.
Terhadap berbagai penilaian kinerja TNI, mereka yang memberi apresiasi positif hampir berimbang dengan mereka yang memberikan penilaian negatif. Secara umum, mayoritas (57,6 persen) publik jajak pendapat memang puas dengan kinerja TNI saat ini. Meski demikian, masih ada 39,7 persen yang merasa tidak puas.
Di antara pujian dan kritik publik, TNI sendiri sedang ada dalam wacana tarik-menarik mengenai peran politisnya. Setelah diredam cukup lama sejak tumbangnya rezim militer Soeharto, kini hak-hak politik anggota TNI mulai dipertanyakan lagi. Keinginan untuk memulihkan hak politik anggota TNI justru beredar di kalangan DPR yang notabene merupakan representasi dari partai politik. Tampaknya persoalan peran politis TNI di mata publik ini memang menimbulkan kegamangan, antara dibiarkan tetapi dikhawatirkan.
Di satu pihak berkembang wacana mengembalikan hak pilih TNI dalam pemilu, yang berarti langsung atau tidak langsung akan kembali membawa TNI masuk dalam praksis politik. Meski dengan cara yang mungkin sama sekali berbeda dengan peran politik TNI pada masa-masa sebelumnya. Di pihak yang lain, tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sampai tiga kali dalam forum resmi meminta agar TNI tidak berpolitik.
Pelaksanaan hak politik TNI pun disikapi mendua oleh masyarakat. Separuh (49,2 persen) publik jajak pendapat ini tidak keberatan prajurit TNI diberi kembali hak untuk memilih seperti pada Pemilu 1955, sementara separuh yang lain (48,8 persen) menolaknya. Di sisi yang lain, kekhawatiran publik diam-diam merebak. Jika TNI diberi hak pilih untuk memberikan suara dalam pemilihan umum, dikhawatirkan TNI akan sulit menjaga netralitasnya. Tidak kurang dari 62,1 persen responden menyatakan kekhawatiran mereka akan hal tersebut. Terlebih, di mata 65,5 persen, selama ini TNI lebih berpihak kepada penguasa ketimbang rakyat.
Pernyataan Presiden Yudhoyono agar TNI tidak berpolitik sangat beralasan. Setidaknya, bagi mayoritas (67,9 persen) responden yang memang menilai TNI masih berpengaruh sangat kuat dalam perpolitikan di negeri ini. Namun, keterlibatan politis TNI saat ini diinginkan atau ditolak publik, tampaknya masyarakat pun masih gamang memutuskan.
Untuk kegiatan politik praktis dengan tujuan memperoleh kekuasaan daerah, misalnya, publik cenderung menginginkan figur sipil lebih tampil ketimbang figur militer. Tidak kurang dari 61,7 persen dengan tegas menyatakan tidak setuju jika ada anggota TNI yang terjun berpolitik untuk memperebutkan kursi kekuasaan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Tampaknya, sebagian besar publik tak ingin kembali ke masa lalu ketika jajaran kepala daerah didominasi oleh militer.
Jika publik masih menampakkan sikap yang ragu terhadap peran TNI di bidang politik, di bidang bisnis secara tegas publik menolak keikutsertaan TNI. Meskipun lebih dari separuh responden (66,2 persen) memandang kesejahteraan anggota TNI saat ini masih memprihatinkan, mayoritas (86,2 persen) menolak TNI berbisnis dan dengan tegas menyatakan negaralah yang seharusnya menjamin kesejahteraan hidup para prajurit tersebut.
Hanya satu dari sepuluh (11,8 persen) responden yang setuju anggota TNI berbisnis. Berbagai hasil jajak pendapat ini semakin menunjukkan sosok TNI di negeri ini yang dipandang tidak selalu dalam satu sisi. Dalam beberapa sisi, keberadaannya kadang kurang diingin, namun di sisi lain pamornya sebagai kelompok terlatih penjaga pertahanan negara tetap selalu menarik perhatian, terkadang kebanggaan. Kebanggaan seperti diungkapkan oleh 63,6 persen responden seandainya ada saudara/famili yang menjadi TNI, mungkin cukup memberikan gambaran tingkat penghargaan yang cukup tinggi terhadap kelas sosial mereka.
***
Kasus Kusmayadi, Alas Tlogo dan Wagub Prijanto merupakan kegagalan dalam reformasi TNI. Nantinya, akan berkaitan dengan rencana ke depan bangsa ini, terutama berkaitan dengan beberapa rancangan undang-undang (RUU). Antara lain RUU Pertahanan dan Keamanan Negara (Hankamneg), Intelejen, Rahasia Negara dan Komponen Cadangan.
Tak heran jika media massa menyoroti hampir semua tingkah laku TNI. Harian Kompas banyak menulis tentang belum siapnya reformasi dalam tubuh TNI. Cuma dalam menyampaikan kritik, Kompas, seringkali tak langsung pada sasarannya. Sehingga sulit dimengerti bagi masyarakat awam. Tulisan kritis terhadap militer justru datang dari para penulis opini, yang bukan orang “dalam” Kompas.
Majalah TEMPO lebih kritis dan langsung menohok. Misalnya, tentang penemuan 103 pucuk senapan, 42 pistol, 6 granat, dan hampir 30 ribu peluru di rumah mendiang Brigadir Jenderal Koesmayadi. Bagi Tempo itu merupakan hal yang serius.
Soalnya, menurut TEMPO, berbagai konflik bersenjata, seperti yang belum lama terjadi di Aceh dan Maluku maupun yang masih berlangsung seperti di Poso dan Papua, sering memunculkan pertanyaan tak terjawab: dari mana senjata standar militer para pelaku kriminal itu diperoleh? Termasuk juga ketika, dalam pekan yang sama, seorang penjual senjata otomatis Uzi di Jakarta Utara ditangkap polisi. Dan sebelumnya, ketika polisi melaporkan telah menyita senapan serupa dari kelompok Jamaah Islamiyah. Temuan di rumah Brigjen Koesmayadi mudah-mudahan akan menjadi titik terang dalam upaya melacak asal-usul peredaran senjata militer gelap yang telah menyebabkan berbagai aksi kekerasan di republik ini, bahkan juga ke luar negeri.
Kompas juga termasuk yang rajin mengamati hal-hal yang formal seperti misalnya pengajuan RUU yang berkaitan dengan TNI. Edagkan Tempo Interaktif, lebih ke soal pernyataan dan kegiatan yang bernilai news-nya.
Bisa dilihat misalnya, dalam pemberitaan mengenai RUU Hankamneg, yang draftnya diajukan oleh Departemen Pertahanan Menteri Pertahanan, kepada situs Tempo Interaktif secara jelas menyatakan, pemisahan TNI-Polri adalah bentuk kebablasan reformasi TNI 1998-1999. Ini seperti memutar balik reformasi TNI yang telah membagi persoalan keamanan kepada polisi sedangkan pertahanan kepada TNI.
RUU itu membutuhkan pengaturan tugas perbantuan TNI dalam masalah keamanan. Tugas perbantuan TNI merupakan tugas-tugas yang diberikan kepada TNI selain tugas pokoknya, menjaga pertahanan negara. Hampir semua negara yang menganut prinsip supremasi sipil memiliki regulasi perbantuan militer. Untuk memperjelas, karena tugas pertahanan dan keamanan memiliki concern yang berbeda.
Kerangka tugas keamanan dan ketertiban Polri kini adalah pelayanan dan pengayoman. Melayani masyarakat dalam hal ketertiban dan keamanan. Melindungi masyarakat dalam hal ketertiban dan keamanan pula.
Cara dan pendekatannya bukan ancaman dan represi, melainkan informasi, komunikasi, persuasi. Dapat kita bayangkan, betapa tidak
sederhananya pekerjaan itu. Di samping mendorong Polri terus-menerus
secara sungguh-sungguh mereformasi diri, masyarakat tidak bisa tinggal diam atau bersikap terima beres.
Ketertiban dan keamanan, apalagi rasa aman sekaligus, merupakan
tanggung jawab masyarakat. Bahkan, reformasi prodemokrasi dan hukum
dan hak-hak asasi manusia, juga memberikan ruang, kesempatan,
tantangan dan tugas lebih besar kepada masyarakat.
Membangun ruang, kesempatan dan tugas lebih besar kepada
masyarakat, agar diterima dan dipahami oleh publik serta para
eksponennya sebagai bagian dari membangun masyarakat madani, civil
society.
Pembagian tugas itu, sebagai konsekuensi dari konsep military
operations other than war (MOOTW) Konsep MOOTW lahir dan muncul sebagai akibat mulai berkurangnya ancaman perang yang bersifat militer (konvensional) dan kian beragamnya ancaman negara yang bersifat nonmiliter.
Menurut Amien Rais ide penyatuan TNI-Polri seperti yang diisyaratkam Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, menandakan dasar lonceng keterpurukan demokrasi. Jika kekuatan militer sudah mengkooptasi kekuatan polisi, sebenarnya salah satu sendi demokrasi, menurut guru besar Ilmu Politik Fisipol UGM Yogyakarta sudah mulai patah. “Jika itu terjadi, sistem Orde Baru yang ditinggalkan akan kembali lagi,”katanya.
Dalam UU No 34/2004 tentang TNI disebutkan 14 macam operasi
militer selain perang, tetapi hingga kini belum dilengkapi mekanisme
dan tata cara pelaksanaannya. Sebagai prinsipnya, tugas perbantuan
TNI ini dilakukan berdasarkan keputusan-keputusan politik pemerintah.
***
Kegagalan reformasi TNI juga terlihat dari penerapan hukum. Dalam kasus penembakan di Alas Tlogo misalnya, pemeriksaan prajurit pada insitusi militer menodai reformasi TNI, sekaligus mengundang kritik. Ketua Komisi Yudisial Busro Muqoddas, misalnya, menyatakan kasus penembakan aparat terhadap masyarakat Pasuruan Jawa Timur sebaiknya diproses hukum di peradilan umum.
Sebab jika diadili di peradilan militer, nuansa esprit de corps ( semangat melindungi korps militer) akan sangat kental. Jika diadili di peradilan umum, menurut Busro, maka prinsip equality before the law atau kesetaraan dan transparan akan terwujud. “Mereka yang terlibat di Pasuruan itu selayaknya kemudian diproses di peradilan umum bukan peradilan militer. Kalau diproses di peradilan militer, kita tahu, korps militer sangat kental," katanya.
Menurut Busro, prinsip kesetaraan dan transparan harus dikedepankan sehingga memang kasus Pasuruan mestinya diproses di peradilan umum. Selain itu, jika kasus Pasuruan diadili di peradilan umum, sekaligus menjadi warning bagi peradilan umum agar berhati-hati dalam membuat keputusan
Dalam kasus di Pasuruan tersebut, Busro menilai ada satu sisi yang menarik untuk ditelaah yaitu sejauh mana tentara baik secara kelembagaan maupun struktural berpandangan terhadap rakyat dan hak-haknya. “Jika rakyat dipandang sebagai satu komunitas bahwa dari rakyatlah kekuasan memperoleh legitimasi, pemasukan dari pajak mereka termasuk untuk membeli peluru tentara, maka mestinya itu tidak untuk melukai rakyat,”ujarnya. Begitu juga kasus-kasus lain yang berkaitan dengan orang sipil dan tindak pidana “sipilis”, walaupun pelakunya tentara, tak boleh lagi diadili di peradilan militer. Karena melihat perbuatannya itu.
Menurut Koordinator Advokasi Imparsial, Donny Ardyanto, dalam bisdang hukum aturan yang dikritisi menyangkut struktur dan organisasi peradilan militer. Seharusnya, pembinaan personel militer, organisasi, prosedur, administrasi dan finansial di lingkungan peradilan militer tidak ditempatkan di bawah panglima TNI untuk menghindari pengaruh komando, juga tidak ditempatkan di bawah Mahkamah Agung. “Bertentangan dengan prinsip TNI sebagai eksekutif (ketika di bawah MA),” katanya. Sementara itu dalam penanganan kasus masih di bawah MA.
Tentang fungsi atasan yang berhak menghukum (Ankum) dan Perwira Penyerah Perkara tidak boleh mempunyai wewenang penuh dalam menentukan yuridiksi pengadilan terkait dengan tindak pidana yang dilakukan prajurit TNI. “Luasnya kewenangan serta kecendrungan ekslusifisme lingkungan militer membuka peluang penutupan kasus yang sebenarnya merupakan wilayah hukum pidana umum,” ujarnya.
***
Memang proses reformasi memerlukan saling kontrol dan saling
mengingatkan. Tetapi, proses reformasi juga memerlukan saling percaya
dan saling memberikan kesempatan. Proses reformasi memerlukan waktu
dan karena itu juga memerlukan suasana yang kondusif.
Menurut pakar militer Salim Said, salah satu tantangan reformasi
keamanan adalah menarik tentara masuk dan bisa menempatkan diri dalam 'agama baru', yakni the religion of democracy. Termasuk dalam konteks ini adalah mencegah polisi termiliterisasikan dan badan-badan intelijen didominasi oleh tokoh dan wacana militer.
Tanpa kesediaan militer untuk masuk ke era baru, sulit bisa diwujudkan konsep keamanan yang lebih menyeluruh dan berpusat pada manusia. Salim melihat ada dua kendala besar. Pertama adalah keengganan tentara untuk bisa mempercayai sipil dan mengakui supremasi sipil. Kedua adalah kesiapan dan keberanian di kalangan sipil sendiri. Contoh teranyar, adalah pasangan Cagub/Cawagub DKI Jaya, Fauzi Bowo/Prijanto itu.
Seorang tentara senior lainnya, Hasnan Habib melihat masih dominannya pandangan dwifungsi di kalangan militer, sehingga mempersulit penegakan profesionalisme di kalangan tentara. Meski ada pandangan yang lebih sesuai untuk era sekarang, the old professionalism, yang dipromosikan Samuel Huntington, tentara profesional di bawah kendali sipil. Namun, kalangan tentara Indonesia condong menganut the newprofessionalism ala Alfred Stephan, yang menjadi basis legitimasi dwifungsi militer di banyak negara berkembang.
Padahal, menurut Salim Said, Stephan sebenarnya hanya memberi baju baru kepada kenyataan di dunia ketiga. Yang memang didesain oleh pemerintah AS untuk menjustifikasi keterlibatan tentara di dalam politik, terutama di bawah rezim Amerika Latin yang didukungnya. Pandangan ala Stephan ini masih dominan di kalangan tentara Indonesia.
Kendala lain datang dari para politisi sipil sendiri, menurut Salim Said masih ada kegamangan sipil bila memutuskan sesuatu terhadap institusi militer. Misalnya, saat parlemen mau menentukan, calon Panglima TNI. Walaupun itu jabatan militer, tetapi penentuannya tetap berada di bawah kendali sipil yang terwujud dalam parlemen itu.
Parlemen, menurut pakar politik lainnya Kusnanto Anggoro, sebenarnya bisa memainkan peran penting dalam reformasi militer. "Secara teoritis, kontrol sipil terhadap militer dapat dilakukan melalui beberapa mekanisme," katanya.
Dia menunjukkan beberapa prosedur, antara lain pemandangan umum (public hearing) dan/atau kontrol anggaran (budgetary control). DPR misalnya dapat menyetujui besarnya anggaran pertahanan dan melalui mekanisme itu menentukan "kekuatan" militer.
Departemen Pertahanan menyusun Buku Putih (Defence White Paper) dan Kaji Ulang Strategi Pertahanan(Strategic Defence Riview) sebagian panduan tentara dalam mengembangkan kekuatan operasionalnya. DPR dapat mempertanyakan kebijakan pertahanan dan keamanan yang diambil Presiden, Menteri Pertahanan maupun Kepala Kepolisian Negara."Namun bahkan sebagian naluri kontrol sipil terhadap institusi militer itupun tampaknya belum cukup kuat bersemayam di berbagai institusi demokratik," kata Kusnanto.
Pilar demokrasi yang lain, menurut Kusnanto, media massa. Namun, pada kenyataannya menghadapi persoalan yang kurang lebih sama. Sebagian besar wartawan lebih tertarik memberitakan "politik para jenderal" daripada soal pertahanan substansial.
Harian Republika, tak terlalu tampak tertarik pada soal-soal reformasi dalam tubuh militer. Bagi ketika ada kejadian atau peristwa tertentu, diberitakan sesuai proporsinya. Ulasan panjang soal reformasi dalam tubuh militer baru dibicarakan pada saat seputar dirgahayu TNI.
Jakarta Post, mungkin karena harian berbahasa Inggris, lebih berani mengkritik TNI. Bahkan dalam, peristiwa berkibarnya bendera-bendera separatism belakangan ini. Militer terutama intelejen TNI, dianggap salah melakukan pendekatan terhadap masyarakat. Sebuah contoh kegagalan reformasi dalam tubuh TNI.
Nampak bahwa aliansi dan koalisi sipil untuk membawa militer ke dalam tatanan demokrasi begitu rapuh sehingga tidak menjamin kesinambungan reformasi militer. Perubahan, kalaupun terjadi, semata-mata mengandalkan pada kesukarelaan tentara. Dalam suasana seperti itu, selalu terbuka kemungkinan bagi struktur politik secara maksimal dieksploitasi kekuatan politik tertentu, termasuk tentara.
Saat ini kalangan sipil sudah selayaknya berani mengambil keputusan untuk membagi peran masing-masing dalam bidangnya. Begitu juga TNI harus sadar dengan pilihan yang diambilnya. Semua ini, berkait dengan pembagian peran dalam memajukan dan mensejahterakan bangsa. Seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini.
Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, jelas, tujuan proklamasi, yaitu membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Negara tersebut, Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (sekian)

Ahmad Taufik,
Jurnalis anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kini bekerja di majalah Tempo.

Sumber :
Laporan sementara Kontras, 6 Juni 2007
Tempo Interaktif, 31 Mei 2007
Media Indonesia Online, 31 Mei 2007
Kompas, 12 Juni 2007
Kompas, Rabu, 04 Oktober 2006
KOMPAS, Senin, 12-12-2005
Tempo Interaktif, 15/2/2005.
TEMPO Edisi 10 Oktober 2004
Antara, 14 April 2005
Tempo Interaktif 7 juni 2007
Tempo Interaktif, 18 Juni 2007
Republika, 6 Oktober 2006
Jakarta Post, 10 July 2007

Tidak ada komentar: