Rabu, September 05, 2007

Amerika Serikat :Senjata untuk Arab Saudi

Amerika Serikat memasok senjata buat Arab Saudi dan lima negara Teluk lainnya. Buat melawan kekuatan Iran.

PADA Senin pekan ini, jika tak ada halangan, Kongres Amerika Serikat akan menyetujui rencana pemerintah Presiden George Walker Bush menjual senjata ke Arab Saudi dan lima negara Teluk lainnya.

Bush telah meminta persetujuan Kongres agar meloloskan paket penjualan senjata ke Arab Saudi dan sekutu-sekutu Arabnya untuk melawan pengaruh dan kekuatan Iran di kawasan itu. Dan Arab Saudi bakal menerima persenjataan canggih, termasuk bom yang dapat dipandu melalui satelit, senilai US$ 20 miliar atau Rp 190 triliun. Selain Saudi, negara Teluk lainnya yang mendapat “berkah” serupa: Uni Emirat Arab, Kuwait, Qatar, Bahrain, Oman, dan Mesir.

Untuk memasarkan usulnya, Bush mengutus Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice dan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates ke Mesir dan negara Teluk. Kedua pejabat penting AS itu juga berkunjung ke Arab Saudi dan negara lain tujuan pemasaran senjata itu secara terpisah. “Amerika ingin menegaskan kembali kepada semua negara bahwa politik yang ditempuh (Presiden AS George W. Bush) di Irak selama ini, dan akan terus menjadikan stabilitas serta keamanan kawasan Teluk sebagai prioritas yang sangat tinggi," ujar Robert Gates.

Rice membantah tudingan Iran bahwa pasokan senjata untuk negara-negara tersebut sebagai taktik politik AS yang menyebarkan ketakutan di Timur Tengah. Sebaliknya, Menteri Luar Negeri AS itu menyatakan untuk mempersatukan para sekutu Amerika menghadapi Iran, Suriah, dan Hizbullah. "Tidak ada keraguan, saya rasa, Iran merupakan satu ganjalan paling penting terhadap kepentingan-kepentingan AS di Timur Tengah dan kondisi keamanan serta perdamaian di kawasan tersebut," katanya.

Tapi sebentuk kecemasan muncul dari Israel. Negara itu menentang rencana Bush menjual senjata ke Saudi Arabia dan negara Arab lainnya. Israel khawatir, paket bantuan pasokan senjata ke negara-negara Arab itu akan mengurangi keunggulan militernya.

Memang angka penjualan senjata dan perlengkapan lain yang berhubungan dengan program pendukung dan logistik militer negara-negara Timur Tengah tanpa bantuan AS telah mencapai lebih US$ 1,5 miliar.

Namun Bush menepis tudingan Israel itu. Bahkan, bersamaan dengan usul mengenai paket bantuan penjualan senjata untuk negara-negara Arab, Israel mendapat bantuan yang serupa dan lebih besar, US$ 30 miliar. Untuk meredam gejolak di dalam negeri, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert mengabarkan kepada jajaran pemerintahannya bahwa AS memberikan jaminan penuh, persenjataan Israel tak akan terungguli oleh negara-negara Arab, baik dari segi kualitas maupun jumlah.

Bantuan persenjataan AS kepada Israel bersifat rutin dan terus bertambah setiap tahun, sejak negara Yahudi itu berdiri 1948. Setelah Perang Enam Hari, Juni 1967, dan Perang Yom Kipur, Oktober 1973, bantuan persenjataan tersebut menjadi kewajiban mutlak. Dalam buku American Aid to Israel: Nature and Impact, disebutkan bantuan persenjataan AS kepada Israel tidak bersifat mengikat, cenderung bebas dan gratis. Setiap tahun bantuan AS untuk Israel melebihi bantuan untuk negara mana pun. Sejak 1987 bantuan ekonomi dan militer langsung mencapai US$ 3 miliar, bantuan pengaturan finansial US$ 5 miliar setahun. Belum termasuk bantuan-bantuan berbentuk garansi khusus yang mencapai US$ 10 miliar setiap diperlukan.

Berdasarkan data terbaru Kementerian Pertahanan Israel, kekuatan personel angkatan perang Israel termasuk senjata jauh di atas kekuatan angkatan perang seluruh negara Arab. Israel memiliki 125 ribu pasukan angkatan darat reguler dengan cadangan dan wajib militer 450 ribu, diperkuat tank jenis Merkava, Centurian, dan Tiran 3.650 unit, kendaraan lapis baja jenis Zelda, Halftrack, dan Nagmashot 12.500 unit, serta 5.200 unit artileri berat Jericho, SAM 1298, FIM-92-A. Angkatan lautnya diperkuat 21 unit kapal perang Elat Sa'ar dan Hetz Sa'ar, 35 unit kapal patroli Super Drova, Dabur PFI. Di udara Israel memiliki 630 unit pesawat tempur F-15, F-16, A4, RF-AE, dan 100 unit helikopter tempur Apache dan Hughes.

Israel juga mengembangkan sendiri pesawat tempur modifikasi dari pesawat yang sudah ada. Antara lain jenis Lavi yang setara dengan F-16 dan Nesher yang tak jauh beda dari F-21A. Keahlian Israel di bidang pembuatan senjata didukung industri persenjataan militer Elbit System Lmtd., Israel Aircaft Industries, dan RAFAEL, yang khusus mengembangkan senjata dan kendaraan tempur darat.

Walaupun begitu, negeri di tanah harapan itu masih cemas. Saudi pada awal 2006 dianggap mendukung gerakan Hamas mengambil alih Palestina dan tak mendukung Fatah. Padahal Hamas di mata Israel dan AS sebagai organisasi teroris. Karena itu kedua negara tersebut langsung memotong semua akses keuangan, bisnis, dan diplomatik Palestina ketika di bawah Ismail Haniya. Pemerintah Bush akhirnya menekan Raja Arab Saudi, Abdullah, untuk menyatukan keduanya dalam “pemerintah bersatu”. Pada awal 2007, keduanya akhirnya bertemu di Mekah, menandatangani kesepakatan tentang pemerintah bersatu ala AS. Belakangan keduanya pecah kongsi, bertikai, hingga Mahmud Abbas dari Fatah mengambil alih pemerintahan, atas restu AS dan Israel.

Oleh AS, Arab Saudi juga dituding sebagai penyebab pertikaian di Irak berkepanjangan. Sejak awal Amerika Serikat dan sekutunya menyerbu Saddam Hussein, negeri kabilah Saud itu tak setuju.

Sebenarnya “kemesraan” Arab Saudi dengan AS bukan barang baru. Pada 1990-1991 Presiden George H.W. Bush, ayah presiden AS kini, mengirim tentaranya melindungi Kerajaan Arab Saudi, setelah Saddam Hussein menyerang Kuwait. Pada awal Perang Teluk, Pentagon mengirim banyak senjata ke negeri kaya minyak itu dengan persetujuan Tel Aviv--karena negeri Arab tak bisa mendapat peralatan militer dan teknologi jika tanpa izin dari negeri Yahudi. Berdasarkan catatan Departemen Pertahanan, dalam periode 1997-2004 Amerika Serikat mengirim senjata militer senilai US$ 22,9 miliar ke Saudi.

Kritik penjualan senjata ke Timur Tengah datang dari sekutu AS sendiri, Jerman. Menurut pejabat urusan kerja sama Amerika Serikat dan Jerman, Karsten Voigt, politik luar negeri Amerika Serikat berstandar ganda. Selama ini, menurut Voight, Amerika selalu mendengung-dengungkan perlunya demokratisasi di Timur Tengah. Tapi kini Amerika justru menjual senjata kepada rezim di kawasan itu. “Yang dibutuhkan Timur Tengah bukan perlombaan senjata tapi proses pelucutan senjata,” katanya.
Menurut juru bicara Departemen Luar Negeri Jerman Martin Jäger, solusi konflik Timur Tengah dapat dicapai melalui dialog atau diplomasi, bukan kekuatan senjata. “Diplomasi tetap merupakan jalan terbaik untuk mencapai perdamaian di kawasan Timur Tengah,” ujarnya.

Usul Bush mengenai transaksi persenjataan itu tampaknya akan menghadapi tantangan. Dua anggota Kongres dari Partai Demokrat, Anthony Weiner dan Jerrold Nadler dari New York, menyatakan akan mengajukan undang-undang untuk menghalangi bantuan militer kepada Arab Saudi.

Ahmad Taufik (Washington Post, DW, Reuters, dan BBC)

Tidak ada komentar: