Rabu, September 05, 2007

Sandera di Pusaran Konflik Afgan

Taliban mengancam membunuhi sandera dari Korea Selatan jika tuntutan pembebasan tahanan tak disetujui pemerintah Afganistan. Penyelesaiannya belum jelas.

Suara Yoo Jung-hwa terdengar lemah. “Kami lelah karena pindah dari satu tempat ke tempat lain,” kata perempuan 39 tahun yang bekerja sebagai relawan kesehatan dari Komunitas Gereja Presbyterian Saemmul, Bundang, Korea Selatan, itu.

Yoo adalah satu dari 21 orang sandera warga Korea Selatan oleh pasukan Taliban yang masih hidup. Sebelumnya, dua rekannya, Bae Hyung-kyu dan Shim Sung-min tewas ditembak Taliban. Dari rekaman suara Yoo yang disiarkan Reuters, Sabtu dua pekan lalu, dia bercerita tentang kondisinya. “Kami dibagi dalam grup yang terpisah, masing-masing tak ada yang tahu nasibnya. Kami mohon Taliban dan pemerintah membebaskan kami.”

Yoo dan kawan-kawan sebenarnya tak terkait langsung dengan konflik di Afganistan. Mereka datang ke Afganistan untuk membantu orang-orang papa. Namun, pada 19 Juli lalu, dalam perjalanan dari Kabul ke Kandahar, bus yang ditumpangi 23 orang Korea (18 perempuan dan 5 pria) dihadang sekelompok orang bersenjata di Distrik Qarabagh, Provinsi Ghazni, sekitar 175 kilometer di selatan Kabul. Para penumpangnya dipaksa berjalan melintasi gurun. “Kami diajak berjalan satu jam, tapi saya lalu ditinggalkan di desa terdekat,” kata pengemudi bus yang dibebaskan sore pada hari penculikan.

Taliban menyatakan bertanggung jawab atas penculikan warga Korea dan meminta pemerintah Afganistan membebaskan delapan rekannya yang ditahan. “Mereka aman bersama kami,” kata Yusuf Ahmadi dari pihak Taliban ketika itu.

Segera tim perunding Korea yang didampingi sejumlah ulama dan sesepuh masyarakat Afganistan bertemu dengan pihak penculik di Provinsi Ghazni. Ternyata, selain menginginkan pembebasan tahanan Taliban, menurut seorang juru runding Korea, penculik juga menginginkan uang. Tak ada kata sepakat. Hingga pada 25 Juli lalu, mayat Bae Hyung-kyu, salah satu sandera, ditemukan tak jauh dari tempat penculikan, dengan 10 bekas peluru menembus tubuhnya. Sung-min, seorang insinyur, juga ditemukan meninggal pada 30 Juli.

Pemerintah Korea Selatan pun melakukan berbagai usaha untuk membebaskan sisa warga negara Korea yang masih disandera. Menurut Gubernur Ghazni, Mirajuddin Pattan, Kamis pekan silam, sudah ada kesepakatan pertemuan antara delegasi Korea dan pihak Taliban. Di hari yang sama, Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Song Min-soon, bertemu dengan Deputi Menlu AS, John Negroponte, di sela-sela acara konferensi keamanan Asia di Manila Filipina. Mereka membicarakan cara menyelamatkan sandera Korea tanpa melalui operasi militer. “Keselamatan para sandera paling diutamakan,” kata Song.

Masih pada hari yang sama, delapan pejabat penting Korea terbang ke Washington. Delegasi Korea tersebut kemudian bertemu dengan Ketua Kongres Nancy Pelosi, Wakil Menteri Luar Negeri Nicholas Burns, dan Penasihat Keamanan Nasional Stephen Hadley, serta Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa yang juga bekas Menlu Korea, Ban Ki-moon.

Sementara itu, di Seoul, para keluarga sandera dan warga berkumpul di depan Kedutaan Besar AS. “Kami memohon pemerintah AS membantu agar penculiknya membagi cinta kasih, membebaskan mereka, karena mereka kini hidup bagai di neraka.” “Kami percaya pemerintah AS akan berbuat sesuatu demi kemanusiaan.”

Penculikan warga negara asing di Afganistan bisa dikatakan sebagai gaya terbaru bentuk perlawanan kelompok Taliban, baik terhadap pemerintah Afganistan maupun tentara AS dan sekutunya. Tuntutan yang mereka ajukan adalah pertukaran dengan tahanan Taliban oleh pemerintah Afganistan, juga sejumlah uang.

Sebelum menculik 23 orang warga Korea, Taliban beberapa kali menghadang dan menangkap warga asing. Pada Oktober 2006, dua orang wartawan Jerman yang sedang membuat film dokumenter di Bamian diculik Taliban. Maret lalu, wartawan Italia Daniele Mastrogiacomo juga menjadi korban, meskipun kemudian dia dibebaskan. Lalu, sehari sebelum warga Korea diculik, warga Jerman juga ditangkap Taliban di Provinsi Wardak, Afganistan.

Sebenarnya, perlawanan kembali kelompok Taliban dimulai sekitar akhir 2002. Di bawah kepemimpinan Mullah Umar, Taliban berusaha menyatukan sisa-sisa orang setelah diporak-porandakan pasukan AS dan sekutunya pada pertengahan 2002. Taliban dipersalahkan karena melindungi pimpinan kelompok Al-Qaidah, Usamah bin Ladin. Dan Al Qaidah adalah tersangka utama serangan teroris di AS pada 11 September 2001.

Musim panas 2003, Taliban mulai bergerak. Terbagi dalam kelompok-kelompok kecil, sekitar 50 orang bersenjata, mereka menyerang “musuh”, yakni tentara dan orang-orang pemerintah Afganistan, dan para pekerja sosial yang umumnya orang asing. Sedangkan untuk melawan tentara koalisi, biasanya kelompok-kelompok itu menyerang dengan roket atau menanam ranjau-ranjau darat. Taliban membangun kekuatan mereka di Distrik Dai Chopan, Provinsi Zabul, di tenggara Afganistan, serta di pinggiran Kandahar dan Uruzgan, yang merupakan basis-basis kekuatan tradisional Taliban.

Serangan-serangan Taliban ini kemudian mendapat balasan besar-besaran tentara Afganistan yang dibantu kekuatan AS dan sekutunya mulai 2005. Beberapa operasi militer seperti Operation Mountain Thrust dan Operation Medusa dipercaya telah menghancurkan kantong pertahanan Taliban, seperti di daerah Dai Chopan. Tentara pendudukan juga secara rutin melakukan operasi militer dan menyerang daerah-daerah yang dicurigai sebagai basis Taliban.

Model perlawanan Taliban lantas berubah, seraya menggunakan bom-bom bunuh diri. Puncaknya adalah serangan bom bunuh diri di pangkalan militer AS di Bagram. Bom yang membunuh 23 orang ini terjadi ketika Wakil Presiden AS, Dick Cheney, berkunjung ke tempat tersebut. Serangan yang terjadi di lingkungan dalam pagar pengamanan yang dijaga superketat itu, menurut juru bicara Taliban, direncanakan sendiri oleh Usamah bin Ladin dengan sasaran Cheney.

Hari demi hari, persoalan yang dihadapi Afganistan kian pelik saja. Presiden Hamid Karzai tak setuju dengan cara-cara AS dan sekutunya menyelesaikan masalah. Korban sipil Afganistan terus berjatuhan, dan itu membuat Karzai akhirnya berbicara terbuka pada Juni 2006. “Selama dua tahun, saya secara sistematis, konsisten, dan terus-menerus menyampaikan kepada masyarakat internasional tentang apa yang sebenarnya terjadi di Afganistan, dan perlunya untuk mengubah cara penyelesaian masalah di Afganistan,” kata Karzai.

Presiden keturunan Pashtun ini terjepit dari beberapa arah. Usaha Karzai merangkul kekuatan Taliban, yang moderat, ke dalam pemerintahan belum menjanjikan rekonsiliasi. Sedangkan kehadiran pasukan asing selama hampir enam tahun juga tetap membuat runyam. Kini persoalan sandera Korea ini membuat pusaran konflik Afganistan makin memusingkan Karzai.

Ahmad Taufik (Ajlazeera.Net, The Christian Post, The Korea Times, AFP)

Tidak ada komentar: