Selasa, Mei 08, 2007

Mutia Hafidz dan Budiyanto

Drama Penculikan di Irak

Surya Paloh, Ketua Tim Pembebasan Dua Jurnalis Indonesia, pukul 09.00 pagi waktu Amman (22/02/05) menelepon Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla lewat telepon genggaman. “Pak saya laporkan, bahwa Dua Jurnalis Indonesia dan sopirnya, sudah dalam keadaan selamat, sekarang masih berada di perbatasan Irak. Belum bisa keluar dari Irak, karena kantornya tutup, mungkin pemerintah Irak perlu keterangan dari orang-orang yang diculik itu. Nah, sekarang peranan Departemen Luar Negeri diperlukan untuk segera mengeluarkan mereka dari Irak,”kata Surya Paloh.

Seharusnya kalau Departemen Luar Negri bisa berperan jauh, Mutia Hafidz dan Budiyanto, dua wartawan Metro TV yang diculik di Irak, bisa bebas sore kemarin (21/02). Karena Mutia dan Budi sudah sampai di perbatasan Irak pukul 17.15 waktu setempat. Namun sampai pukul 23.33 saat tempo meninggalkan perbatasan Yordania, Karameh, tak ada tanda-tanda para korban keluar dari pintu gerbang perbatasan. Tim dari Departemen Luar Negeri yang dipimpin Triyono Wibowo, yang berada di dalam pintu perbatasan Yordania cuma menunggu di dalam mobil di depan toilet perbatasan.

Mutia lewat handphone sopirnya. Ibrahim Abdul Kadir Abu Fadaleh, bisa berkomunikasi dengan bosnya Surya Paloh, yang berada di ruang tunggu khusus Kerajaan Yordania di perbatasan Karameh, saat Mutia sampai di perbatasan Irak. Bahkan rekan kerja Mutia, Sandrina Malakiano, juga sempat mengkontak Mutia. Dari seberang telepon genggam Sandrina terdengar isak tangis Mutia. “Sannnnnn…”

Mutia, Budi dan Ibrahim dilepas sendiri oleh penculiknya Minggu sore (20/02/05). “Mereka jalan sendiri dari tempat penculikan, yang diperkirakan berada di daerah Ramadi menuju border yang berjarak sekitar 400 kilometer. Itu berbahaya, karena mereka cuma bertiga dan tak ada kendaraan lain, saya bersyukur mereka selamat sampai perbatasan,”kata Ahmad Gofar, warga Negara Indonesia yang memantau pergerakan dua jurnalis Indonesia lewat kenalannya di Baghdad.

Tim pimpinan Surya Paloh, melalui isteri Ibrahim sempat mengontak Ibrahim, yang minta dijemput di perbatasan, Senin pagi (21/09) pukul 07.00 waktu Amman. “Kami akan menuju Yordania,”kata Ibrahim singkat, batere handphonenya lemah. Sekaligus, membantah kabar yang beredar sebelumnya, bahwa para korban penculikan menuju ibukota Irak, Baghdad. Mutia kabarnya juga sudah mengontak KBRI di Amman.

Surya Paloh dari kamar 700 Presiden Suite Room Hotel Intercontinental, langsung berkoordinasi dengan tim dari Deplu. Surya bersama tim langsung pergi menuju perbatasan, titik terdekat yang akan dilalui Mutia dan Budi. “Wajar, dong, keduanya kan anak-anak saya,”kata Surya. Namun, tim Deplu pimpinan Triyono, meminta Surya menunggu saja di KBRI, Amman. “Kalau saya tunggu di Amman, buat apa saya jauh-jauh ke Yordania, saya tunggu saja di Jakarta terima beres,”kata Surya.

Kepergian Tim pimpinan Surya ke perbatasan, rupanya membuat gusar Triyono. Mercedes dan Kia Carnival, dua kendaraan milik KBRI menyusul bis yang berisi rombongan Surya Paloh, anggota DPR, keluarga Ibrahim dan wartawan dari Indonesia. Rombongan KBRI kembali terlewati gara-gara mereka mengisi bensin dan makan di tengah jalan. Tim Surya Paloh datang terlebih dahulu di perbatasan Yordania dan diizinkan masuk ke ruang tunggu kerajaan. Rombongan Surya Paloh bisa masuk ke ruang itu, karena sudah ada izin dari Princess Basma, adik almarhum Raja Yordania Hussein. Namun, 20 menit kemudian rombongan Surya Paloh diusir oleh tentara perbatasan dengan alasan tak punya otorisasi berada di tempat itu. Yang dibolehkan hanya Surya Paloh, bersama dua tentara utusan raja yang diminta mendampingi Surya Paloh.

Saat rombongan keluar ruangan, tampak Triyono dan Sekretaris Pertama KBRI, Musrifun La Jawa berada di dalam mobil di luar arena ruang khusus tersebut, mereka sedang berbicara dengan tentara perbatasan yang mengusir kami. Muchlis Hasyim, wartawan senior Media Indonesia dan Reporter Metro TV, Sandrina Malakiano, yang mencoba mencari tahu tahu kepada Triyono, dari dalam mobil yang jendelanya dibuka sedikit, Triyono dan Musrifun mengusir kedua orang tersebut. “Pergi sana, kalian mengacaukan rencana kami. Rencana bisa berantakan, Mutia dan Budi bisa diculik kembali, kalau mereka (penculik) tahu ada wartawan di perbatasan,”kata Triyono kepada Muchlis dan Sandrina dengan wajah tak ramah. “Selama saya berkarir 14 tahun, baru pertama kali diperlakukan seperti itu, oleh seorang diplomat lagi, seharusnya kan, mereka bisa ngomong baik-baik,”kata Sandrina kesal.

Triyono dan Musrifun ternyata juga marah-marah kepada reporter APTN, Lina yang datang menyusul dan menemui mereka berdua. “Ih, jijik, mereka itu begitu kasar,”kata Lina melihat kelakuan Triyono dan Musrifun. Triyono merasa wajar marah-marah, karena sesuai kesepakatan dengan Surya Paloh, tak boleh ada wartawan yang ikut ke perbatasan. Kepada jurubicara Departemen Luar Negeri, Musrifun melaporkan bahwa Mutia mengirim SMS meminta agar tak ada wartawan dalam penjemputan itu. “Itu bohong, sebagai jurnalis tak mungkin Mutia minta seperti itu,”kata Muchlis.

Banyak kejanggalan yang diucapkan Triyono kepada Muchlis dan Surya Paloh. Kepada Muchlis dan Sandrina, Triyono mengatakan sudah ada deal bahwa tak boleh ada wartawan yang menjemput, karena bisa diculik kembali. “Apakah triyono melakukan deal dengan penculik?”kata Muchlis.

Kepada Surya Paloh, Triyono menyatakan, bahwa penculiknya tidak minta tuntutan apa-apa, cuma uang 2.000 US Dolar untuk pergantian biaya taksi mengirim wartawan itu ke perbatasan. Nyatanya, Mutia dan Budi pulang dengan Ibrahim dengan taksi mereka sendiri yang disewa atas nama Metro TV.

Mahmoud Abu Fadaleh, kakak Ibrahim yang ikut menjemput saudaranya merasa aneh dengan kelakuan tim Deplu itu. “Kami kesini ingin menyelamatkan dan melihat langsung muka saudara kami, mereka , kok, berebut untuk poin politik,”katanya kesal. Anggota DPR Komisi III asal Partai Kebangkitan Bangsa, Imam Anshori Saleh yang berada di perbatasan dan juga diusir menyesalkan cara-cara Ketua Tim Deplu pimpinan Triyono itu. “Seharusnya kita pergi bersama-sama, kita omong baik-baik, sebagai sesama warga Negara Indonesia, bukan malah pakai cara-cara tidak terhormat, sudah bohong caranya juga menjijikkan. Nanti, akan saya laporkan pada teman-teman anggota Komisi I DPR,”kata Imam.

Drama di atas warna dari pembebasan dua jurnalis Metro TV, Mutia Hafidz dan Budiyanto. Saya mengenal Mutia dan Budi pertama kali di Coral Palace Hotel, di Al-Watheq Square, Baghdad. Keduanya datang setelah pemilihan umum usai. Namun, masih ada rangkaian puncak pemilu itu, perhitungan suara. Sesama pendatang ke negeri asing, kami anak satu negeri merasa dekat. Budiyanto, kameraman Metro TV, bukan kali pertama, dia sudah tiga kali, ini kali keempat. Bahkan, menurut ceritanya, Budi, sempat terjebak di suatu pertempuran di Ramadi, pusatnya, gerakan perlawanan yang didominasi kaum sunni Irak.

Keduanya sibuk merekam dan melaporkan kejadian-kejadian setelah pemungutan suara yang tak kalah seru. Bahkan Mutia dan Budi, datang ke lokasi pemboman di bundaran Tahrir (Tahrir Square) di depan taman Bunda (Ummu Garden), 15 menit setelah kejadian. Mutia masih bisa membalik-baliknya kepala korban yang tercabik-cabik, tanpa rasa ngeri.

Tanggal 12 Februari 2005, mereka diminta pulang ke Amman, Yordania, untuk segera kembali ke Jakarta. Pengumuman akhir pemungutan suara 14 Februari, sudah dipastikan kaum Syiah yang selama rezim Saddam Hussein ditindas akan memenangkan suara. Cuma soal kepastian angka terakhir. Saya diajak untuk pulang bersama-sama. Namun, saya menolak dengan alasan akan menunggu peringatan Assyura (10 Muharram) di Karbala, tempat Imam Hussein, salah satu anak Imam Ali bin Abi Thalib yang dibantai anak Muawiyah, Yazid, sebuah cerita kelam sejarah Islam, sepeninggal nabi Muhammad dan para Khulafaur Rasyidin (4 kalifah utama).

Namun, sehari setelah mereka meninggalkan Baghdad, entah apa yang menggerakkan saya memesan taksi GMC-Chevrolet untuk kembali ke Amman, Yordania, pada 13 Februari. Alasan utama, sepekan menjelang Assyura, perbatasan akan ditutup, daan sepekan setelahnya baru dibuka kembali, jadi praktis masih ada waktu dua pekan. Padahal hanya ada kejadian-kejadian yang sudah menjadi “sarapan” atau “makan siang” pemboman dan kekerasan di berbagai tempat. Belum lagi batasan-batasan pada orang asing memasuki daerah tertentu, termasuk, Karbala, tempat puncak Hari Raya Asyura dilaksanakan.

Setelah menempuh perjalanan selama 18 jam, dengan berbagai ketegangan, dan phobia orang asing dari sopir GMC, saya sampai di Amman. Setelah mencari hotel yang agak di tengah keramaian kota, saya mengkontak Budi dan Mutia. Malam itu, saya langsung ke Hotel Intercontinental nan mewah yang ditempati mereka. Saat itulah saya mendapat kabar, bahwa kedua jurnalis itu ditugaskan oleh bos-nya di Jakarta kembali ke Irak meliput Asyura. Mutia, merajuk mengajak saya ikut lagi pergi ke Irak. Apalagi, saya dianggap lebih tahu, daerah Selatan Irak, terutama Karbala, tempat puncak Asyura akan dilaksanakan.

Beberapa jam sebelum kembali ke Irak, Tempo masih bersama-sama Budi "Blegedes" Yanto dan Mutia, Kameramen dan Repoter Metro TV. "Kami akan berangkat pukul 02.30,"kata Budi. Saat itu aku, Budi, Mutia dan seorang mahasiswa Indonesia diYordania, Rofii, berkunjung ke hotel tempat mereka tinggal, Intercontinental Hotel di Amman. Aku masih sempat kirim satu berita ke kantor Tempo lewat laptop mereka. Sementara mereka sedang merapikan barang-barang untuk persiapan ke Irak.

Budi sudah keempat kali ke Irak dan Mutia, untuk kali kedua, setelah sebelumnya hampir sepuluh hari. "Aku sudah kangen Jakarta, isteriku sedang hamil dan sedang muntah-muntah,"kata Budi. Mutia juga sudah mau pulang, karena sudah beli oleh-oleh. "Aku mau titip barang sama siapa, ya?"kata Mutia. Mereka berdua akan segera kembali ke Irak, karena kantornya menyuruhnya kembali untuk meliput perayaan Assyura (10 Muharram) di Karbala, setelah kelompok Islam Syiah menang mendapat 48 persen dalam Pemilu Irak yang diumumkan Minggu pekan lalu. "Mas, ikut saja deh sama kita,"kata Mutia.

Untuk persiapan meliput ke Karbala, siang hari hingga magrib, di Balad (city centre) Amman, Mutia membeli baju panjang muslim warna hitam. Sedangkan Budi hanya membeli jaket tebal, tempat Mutia beli jaket, sebelumnya. Seharusnya berangkat menuju Baghdad pukul 00.30. Namun, karena GMC-langgananya baru saja datang dari Baghdad mereka baru berangkat pukul 02.30. "Mau istirahat dulu, dan biar tak terlalu lama menunggu border (perbatasan) dibuka,"kata Budi menirukan sopir yang akan membawanya ke Baghdad.

Menurut Budi, ia sudah kenal dengan sang sopir, karena sudah beberapa kali membawanya dari Amman ke Baghdad. "Dia itu orang tua dan orangnya ngemong, kami dianggap anaknya sendiri,"kata Budi memuji sang sopir. Namun, perjalanan nasib penuh teka-teki. Budi dan Mutia diculik para pemberontak sunni.

Budiyanto datang memakai kopiah putih dan masih berjaket Metro TV. "Aku di tempat penculikan dipanggil Haji Abud,"katanya singkat Mutia Hafidz terlihat pucat dan wajahnya semakin tirus dengan rambut panjang, tubuhnya masih terbalut jaket hijau yang dibelinya di Balad (City Center) Amman. Jaket itu pula yang digunakan mereka sebelum berangkat kembali ke Irak, dan yang juga dipertontonkan para penculik di televisi.

Selasa malam (22/02/05), pukul 19.15 waktu setempat Budi dan Mutia dengan GMC warna coklat keemasan tiba di Wisma Indonesia, Amman, disampingnya para pejabat Departemen Luar Negeri yang menjemput mereka di perbatasan Yordania. Pejabat itu pula yang Senin (21/02/05) mengusir para wartawan dan membohongi Tim Pembebasan Jurnalis Indonesia pimpinan Surya Paloh.

Budi dan Mutia bergerak dari perbatasan Irak menuju perbatasan Yordania pukul 15.35 waktu setempat. Wartawan Tempo, yang sedang jalan menuju border terpaksa kembali ke Amman, setelah menelpon Ibrahim Abdul Kadir Abu Fadaleh, sopir yang membawa kedua jurnalis Indonesia itu. "Saya sudah lima belas menit ke luar perbatasan Yordania, sendirian, dua teman anda sudah dibawa oleh orang-orang kedutaan besar anda naik mobil lain,"katanya. Budi dan Mutia diculik oleh sekelompok orang di dekat Ramadi, Irak. "Kami disergap setelah membeli bensin, dipemberhentian ketiga,"kata Budi.

Penyergapan itu sempat membuat takut kedua jurnalis itu. Beberapa orang mendadak masuk dari depan, tengah dan belakang mobil chevrolet, senjata api laras panjang ditodongkan. Kemudi diambil alih penculik, dua jurnalis Metro TV dipaksa merunduk, bahkan laptop dan barang-barang perlengkapan wartawan Metro TV itu diinjak-injak. Setelah beberapa menit perjalanan, Mutia dan Budi tak lagi dipaksa merunduk, mereka masih sempat melihat mobil yang dikemudikan para penculik itu melewati perkampungan penduduk. Lalu sampai ke sebuah tempat, tak jauh dari sungai, sebuah gundukan tanah seperti gua yang dijadikan tempat berlindung.

Dari “gua” itu Budi mengaku mendengar beberapa kali raungan suara helikopter. Mengetahui dua wartawati asal Indonesia itu beragama Islam, menurut Mutia para penculik itu memperlakukan mereka dengan baik. "Kami tidak diperlakukan kasar,barang-barang kami tidak diambil satupun, kami diberikan makan yang layak seperti layaknya orang Irak makan,"kata Mutia.

Lalu para penculik itu merekam kedua korbannya dengan kamera untuk publisitas. Budi bahkan sempat “mengajarkan” para penculiknya untuk mengambil angle dan komposisi gambar yang lebih bagus Hasil rekaman itulah yang dikirimkan penculiknya ke stasiun TV AP dan Al-Arabiya

Mengetahui korban penculikan “seiman”, mereka justru ketakutan korbannya akan celaka. Karena bisa saja pasukan AS menemukan persembunyiannya. Apalagi, beberapa pihak telah melobi tokoh-tokoh ulama sunni di Irak agar menghubungi para penculik untuk melepaskan sanderanya. Menurut Budi, para penculik akan melepaskan korbannya, tetapi menunggu “permohonan” dari pemimpin warga negara yang diculiknya. “Presiden kamu harus bertanggung jawab terhadap warga negaranya,”kata salah seorang penculik, seperti diceritakan kembali oleh Budi.

Benar saja, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tampil di televisi Al-Jazeera, meminta kedua jurnalis Indonesia itu dilepaskan, para penculik itu sibuk. “Your President…your president…your Imam...,”katanya berulang-ulang untuk menyatakan Presiden Yudhoyono tampil di televisi minta sandera dibebaskan.

Tak lama setelah tampilnya Presiden Yudhoyono, para penculik mempersiapkan pembebasan dua wartawan Indonesia itu. Rencana pembebasan sempat tertunda sehari, karena keadaan di luar “gua” membahayakan. Raungan helikopter tentara AS semakin santer dan sering. Diduga tentara AS sedang mencari “sarang” para pemberontak sunni itu. Para penculik kawatir bila meeka lepaskan begitu saja, kedua jurnalis itu malah ditawan tentara atau intelejen AS. Para penculik sempat memberikan beberapa rekaman VCD yang memnggambarkan serangan mereka terhadap musuh-musuhnya.

GMC yang dikemudikan Ibrahim berjalan, menuju perbatasan Yordania, Karameh. Para penculik mengiringi dari kejauhan. Sampai akhirnya mereka selamat sampai perbatasan dan menunggu izin dari penguasa Irak. Karena perbatasan ditutup seminggu menjelang dan setelah peringatan asyura.

Mutia dan Budi setelah makan dan diperiksa oleh dokter di Wisma Indonesia, AmmanYordania. Menurut Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Yordania, Ribhan Abdul Wahab, Mutia, Budi diamankan. Sehari setelah itu Mutia dan Budi langsung dibawa ke Istana Presiden, bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Saya rasa lebih cepat sampai ke Jakarta lebih baik,"kata Ribhan. (Ahmad Taufik)

Tidak ada komentar: