Selasa, Mei 08, 2007

Epilog

Kembali ke Tangan Rakyat

Presiden (sementara) Irak Ghazi Al-Yawer tepat pukul 07.00 waktu Baghdad, Irak, Hari Minggu, 30 Januari 2005 di Gedung Irak Convention Centre menandai hari bersejarah bagi Bangsa Irak. Di hadapan ratusan kamera televisi dan mata jurnalis dari seluruh pelosok dunia berjalan menuju kotak suara. Dengan mencontreng sebuah nama pilihannya untuk duduk di Dewan Konstitusi, salah seorang kepala suku Bangsa Arab Irak berpaham Sunni itu memulai pemungutan suara. "Saya berharap seluruh masyarakat Irak datang ke tempat pemungutan suara. Ini sebuah momen penting bagi negara kita untuk bangkit dari keterpurukan,"katanya setelah memilih.

Pemungutan suara yang dilakukan Presiden Ghazi dan para pejabat lainnya yang disiarkan secara langsung oleh televisi setempat merupakan konsumsi masyarakat agar mau datang ke tempat pemilihan. Karena suasana tegang dan ketakutan masih meliputi masyarakat Irak untuk ikut datang ke tempat pemungutan suara.

Rakyat takut dengan ancaman bom dan terror, menjelang hari pemungutan suara, ledakan bom dan mortir (huwen) terus berdentam di banyak sudut. Tempat-tempat umum dan jalan-jalan di Kota Baghdad juga tampak sepi. Apalagi beberapa hari sebelum hari H, di seluruh Irak diberlakukan jam malam. Pukul tujuh malam sudah tak boleh ada orang yang berkeliaran.

Setengah jam setelah Presiden Irak dan para pejabat tinggi in action di televisi, Tempo mendatangi tempat pemungutan suara di kawasan Al-Watheq Squar, keadaan masih sepi, belum ada masyarakat yang datang untuk memilih. "Pergi sana belum ada orang yang datang, nanti saja,"kata seorang polisi penjaga TPS saat Tempo mendekati tempat itu.

Menurut seorang warga yang ditemui Tempo di rumahnya yang tak jauh dari TPS, Abu Ziena, 56 tahun, memang terlalu pagi. "Belum ada yang datang masih terlalu pagi, nanti jam 08.30, mungkin sekarang orang masih ketakutan, mereka menunggu keadaan dulu,"kata montir mobil itu.
Keadaan jalanan memang sepi, karena pada hari pemilihan umum (30/1) mobil dilarang lalu lalang. Bahkan sepeda juga tak boleh mendekati TPS.

Tank-tank tentara AS juga tampak berkeliling di jalan-jalan kota Baghdad. Selama lima menit dua rombongan tank lewat. Tiap grup berisi tiga kendaraan lapis baja. Helikopter perang AS juga terbang rendah, meraung-raung di atas udara berkeliling kota. Suara tembakan dan ledakan mortir terdengar keras, pukul 07.30. Merupakan ledakan kesekian kali, yang sudah mulai terdengar sejak pukul 6 pagi.

Abu Ziena benar, menjelang pukul 09.00 pagi warga Baghdad berbondong-bondong menuju tempat pemungutan suara. warga Baghdad di sekitar Karada, Alwatheq, Nabimiyah dan Park Saadoun, berduyun-duyun pergi ke TPS dengan pakaian baru, dan wewangian layaknya hari raya. "Lihat wajah mereka gembira bukan? Karena ini pemilihan umum pertama yang paling demokratis, kami akan mengembalikan negara ini kembali sebagai negara yang beradab,"kata Essam Saeed, 46 tahun.

Selama zaman Saddam Hussein, menurut Essam, tak ada pemilu. "Karena Saddam sudah memilih orang yang mau dia dudukan di dewan. Sekarang saatnya kami bangkit, kami tak takut dengan teror-teror yang seperti anda dengar sekarang ini,"kata Essam, saat itu beberapa kali terdengar suara ledakan. "Warga sudah tak takut lagi, ini sudah jadi pendengaran yang biasa,"katanya. Saddam Hussein, menurut Essam memerintah secara diktator. "Kami tak mau lagi disebut Ali Baba (perampok, konotasi negatif), karena itu menggambarkan kekuasaan Saddam yang korup dan bengis,"ujarnya.

Penduduk beragama Islam Sunni, Syiah maupun Kristen tampak menyatu mengambil kesempatan untuk memilih. "Tak ada lagi perbedaan agama maupun suku, semuanya adalah orang Irak, untuk membangun kembali Irak dari keterpurukan dan ketidakberadaban,"kata Hayez Farouq, 25 tahun, seorang Kurdi. Menurut Mahasiswa Teknik Universitas Baghdad itu, pemilu kali ini, merupakan pengalaman baru dalam kehidupan politik yang demokratis. "Ini memang pengalaman baru, harus kami ambil kesempatan ini,"katanya sesudah memilih di TPS Karada Dakhil.

Walaupun suara mortir terus berdentam dan pengamanan ketat mereka tak peduli. "Kami ingin semua kekacauan ini segera berakhir dan mempunyai negara yang berpemerintahan,"kata Naif Gassan, 30 tahun.

Di tempat pemungutan suara Nadhimiyah, puluhan polisi berjaga-jaga, anak-anak muda berpistol dengan badge panitia pemilu tampak sibuk mengawasi warga yang berdatangan. Kawat berduri dipasang, di sisi sebelum orang masuk, diperiksa polisi, lalu melewati lagi penjagaan semen beton untuk diperiksa kembali.

Warga berjalan kaki dari rumah-rumahnya karena tak boleh ada kendaraan berjalan. Dari tempat pemeriksaan warga harus berjalan lagi sekitar 200 meter menuju tempat pemungutan suara. Tempo sempat dicegat, karena membawa kamera dan terjadi salah paham dengan penjaga keamanan. Setelah mereka merampas kamera dan mengambil badge, serta memeriksanya, kamera dan badge dikembalikan lagi. "Mohon maaf kami harus memeriksa dengan ketat,"katanya.

Wajar kekawatiran petugas pemungutan suara dan aparat keamanan. Sejak pukul 08.00 pagi sampai 12.30, delapan bom bunuh diri meledak dekat tempat pemungutan suara (TPS). Ledakan terjadi enam di sebelah barat Sungai Tigris (Karkh) dan dua di kawasan timur Tigris (Rosafah). Sungai Tigris adalah sungai yang membelah kota Baghdad menjadi dua bagian. Dua polisi tewas, dan beberapa orang sipil juga menjadi korban.

Karena tak boleh ada kendaraan, bahkan sepeda pun tak boleh mendekati TPS, bom bunuh diri itu diikatkan pada pelakunya. Sang pelaku berlari menabrakkan diri saat penjagaan awal menuju pintu masuk TPS. Tak diketahui siapa pelakunya? Diduga pengikut Abu Musab Al-Zarqawi, warga negara Jordania, teroris yang paling dicari di Irak yang diduga kaki tangani Al-Qaidah. Kepala Zarqawi dihargai 250 ribu US Dolar bagi yang mengetahui, menangkap atau berhasil membunuhnya.

Penjagaan ketat tampak di tempat pemungutan suara di Karada Dakhil, penduduk Irak berbaris untuk bisa masuk melewati penghalang beton dan penjaga keamanan yang bersenjata. Mereka tertawa-tawa setelah memilih dan tangannya bertanda tinta hitam. "Ini seperti hari raya saja, orang ramai, berpakaian bagus, coba anda lihat mereka tak peduli dengan suara bom itu,kan,"kata Fariz Daud di dekat TPS Karada Dakhil.

Abu Zahrah, 60 tahun, juga berharap mendapat pemerintahan yang kuat dengan pemilu kali ini. "Saya memilih Iyad Alawi, karena dia orang yang kuat dan pintar. Dalam masa seperti ini kami butuh orang yang kuat, tetapi tidak diktator,"kata Abu yang biasa dipanggil Babii. Abu Zahrah memilih di TPS Park Saadoun. Ia harus berjakan kaki sejauh 3 kilo meter dari tempat kerjanya di kawasan Al-Watheq Squar.

Sekitar pukul 13.00 sudah tak tampak lagi antrian warga yang ingin masuk ke tempat pemungutan suara. Hanya beberapa belas orang saja yang masuk ke tempat pemungutan suara, walaupun TPS baru akan ditutup pukul 18.00 sore. "Bagi warga yang tidak memilih ini sebuah kerugian. Karena itu saya sarankan warga Islam sunni Irak ikut memilih agar wakilnya ada di dewan yang akan membentuk konstitusi,"kata Presiden Irak, Ghazi Al-Yawer, setelah memasukkan kartu pilihan di gedung Irak Convention Centre, Baghdad.

Pemilihan umum di Irak, kali ini adalah baru awal, untuk memilih dewan konstitusi yang akan menyusun rancangan konstitusi baru Irak, serta bentuk pemerintahan Irak yang akan datang. Segala yang dibuat oleh dewan nantinya akan diadakan referendum atau pemilihan oleh rakyat langsung terhadap konstitusi dan bentuk pemerintah yang diusulkan. Namun, ada kelompok yang tak setuju dengan pemilihan umum 30 Januari itu, karena dianggap 'buatan AS', dan menguntungkan kelompok Islam Syiah, yang mayoritas atau berdasarkan sensus tahun 2002, 63 persen penduduk Irak.

Diduga di dalam anggota dewan kebanyakan yang akan duduk adalah wakil dari Syiah. Sedangkan Islam sunni yang populasinya sekitar 30 persen dari penduduk Irak, akan tersisihkan. Selama ini minoritas sunnni diberi tempat istimewa oleh Presiden Irak Saddam Hussein. Kelompok Syiah dan Suku Kurdi ditindas.

Kekawatiran itu ada benarnya, kelompok Syiah dan Kurdi benar-benar memanfaatkan demokrasi dan berhasil menguasai parlemen, serta pemerintahan. Kelompok yang selama ini mendapat keistimewaan dari pemerintahan yang diktator tersisih. Namun, kelompok Syiah sadar, sebagai mayoritas mereka tak boleh semena-mena dalam negara yang sedang membangun kembali dari keterpurukan. Walaupun, berkuasa secara politik, karena perjuangan untuk Bangsa Irak, kelompok sunni, juga dirangkul untuk membangun bersama-sama.

Tempat pemungutan suara ditutup pukul 18.00 waktu Baghdad (WB). Ketika Tempo terakhir mengunjungi tempat pemungutan suara (TPS), warga yang mau memilih di perintah cepat-cepat masuk ke lingkungan TPS. Para calon pemilih yang hanya tinggal belasan saja berlari-lari terburu-buru. Apalagi, di sebuah TPS di Karada Dakhil, sekitar 300 meter dari TPS Nabamiyah, terdengar tembakan. Para penjaga keamanan pun segera menutup ring dua dengan pagar kawat berduri. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 17.20 WB.

Pesawat helikopter apache terbang rendah mengitari Baghdad. Pemilu yang dalam ancaman teror dan kekerasan, tergolong sukses, walaupun keamanan sangat ketat. Warga pemilih tampak mengikuti Pemilu dengan antusias, seperti hari raya. Pukul 16.30 panitia Pemilu Independen Irak mengumumkan bahwa 72 persen warga mengikuti pemungutan suara. "Bahkan para narapidana di penjara-penjara seperi Abu Ghuraib, Ummul Kutsar dan lainnya juga diberihak untuk memilih,"kata Menteri Hak Asasi Manusia Irak, Bachtiar Amin.

Pemilu di Irak dikuti 5.587 TPS dengan 90 ribu kotak suara yang tersebar di seantero Irak. Di Samarra, sebelah utara Baghdad pemungutan suara tak bisa terselenggara karena alasan keamanan. Di segitiga kematian yang didominasi kaum Islam Sunni, antara lain : Kota Ramadi dan Falujjah, pemerintah setempat mengumumkan kotak suara belum boleh dibuka dengan alasan keamanan.

Lebih dari 100 ledakan mortir (huwen) di sekitar Baghdad, sampai menjelang pukul 18.00 masih terdengar. Delapan bom bunuh diri dilakukan kelompok yang tak setuju pemilihan umum. Di Sadr City, dekat Baghdad 4 orang meninggal, 7 orang luka-luka, karena serang mortir. Di Mansour, Baghdad 6 orang meninggal 13 luka-luka, karena ada mobil yang nyelonong dan membawa bom. Tujuh mortir meledak di daerah kelahiran bekas diktator Irak, Saddam Hussein. Lima belas orang meninggal dan luka-luka di pintu masuk Zayyunah, Baghdad, sekitar 3 km dari tempat Tempo tinggal.
Di Kirkuk, ledakan terjadi di bandar udara yang dijadikan pangkalan udara tentara Amerika Serikat.

Sore menjelang penutupan TPS dan menjelang jam malam baghdad kembali sepi, kembali menjadi kota mati, berbeda dengan siang hari bahkan sejam sebelum penutupan TPS. Bahkan, pukul 16.00 WB masih tampak masyarakat bermain bola di taman Al-Watheq Squar, yang hanya berjarak 700 meter dari tempat tembakan di dekat TPS Karada Dakhil. Dingin kembali membekap Baghdad, dan rasanya sampai ke tulang.

Sehari setelah pemungutan suara jalanan di Kota Baghdad mulai dipenuhi mobil yang lalu lalang. Tetapi masih banyak jalan ditutup. Terutama jalan menuju komplek pemerintahan Irak, gedung Irak Convention Centre (Qosrotul Mu'tamar), Kedutaan Amerika Serikat, Inggris dan tempat orang asing menginap daerah itu disebut kawasan green zone. Tempo yang mencoba naik taksi ke gedung convention centre tak ada yang mau mengantar. "Wah, pak jalan kesana ditutup semua, kata sopir taksi.

Aku mencoba mencari mobil polisi untuk bisa membawa kesana. Tapi polisi di dekat gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia, malah sedang sibuk mencegah mobil melewati jembatan yang tak jauh dari KBRI tersebut. Keadaan jadi kacau balau sekitar dua puluh mobil dipaksa balik arah dalam jalur yang hanya muat 1,5 mobil sedan. Kebetulan saya melihat seseorang yang wajahnya agak pernah lihat saat mendaftar untuk mendapatkan press badge.

Saya langsung menegornya dan minta liften ke Qosrotul. Ia mengizinkan walaupun dengan rasa curiga. "Maaf saya musti lihat identitas anda, coba paspor anda, bukan saya tak percaya anda jurnalis. Maklum nyawa saya cuma satu, saya tak mau mati cuma mengizinkan anda ikut di mobil saya,"katanya terus terang. Ia juga memeriksa tas bawaanku. Ia kawatir, bisa saja orang mengaku jurnalis, tetapi malah bawa bom bunuh diri. "Saya tak mau mati konyol di Baghdad ini,"katanya.

Ia bertanya tentang mobil taksi yang saya naiki. "Mereka gak ada yang berani ke Convention Centre,"kataku. Kini kami berempat, di dalam mobil honda civic warna putih.

Sang sopir mencari jalan yang tidak ditutup. Lebih setengah jam kami berputar-putar tak karuan. Mobil juga masuk ke perkampungan. "Umpetin identitas wartawan anda, buat masyarakat justru berbahaya. Kalau gak ditembak, kita bisa diculik dan para penculik akan minta tebusan yang sangat besar ke negara kita. Anda gak mau itu terjadi, kan,"kata Daoud Kutab, wartawan harian Al-Ahram, Mesir.

Akhirnya kami tiba di dekat sebuah jembatan. Mobil berhenti panjang dan lama sekali. Rupanya, mobil satu persatu masuk lewat jembatan itu pun dengan pemeriksaan ketat tentara AS. Daoud mengajakku turun dari mobil. "Kita jalan kaki aja,"katanya. Sekitar 500 meter menuju jembatan. Dua ratus menjelang jembatan, kartu tanda pers dikeluarkan Daoud tinggi-tinggi,aku ikut saja, persis seperti pesakitan. Kami antri untuk diperiksa ketat tentara AS. Mengetahui Tempo orang asing, ia terlihat santai dan bersapa bersahabat.

Lewat pemeriksaan, kami melintasi jembatan sepanjang 700 meter. Lalu berjalan kaki sekitar 3 kilometer menuju tempat tujuan. Daoud memperingatkan ku untuk memasukkan lagi kartu pers, kawatir terhadap masyarakat yang anti AS dan anti pemilihan umum. Kami berjalan di daerah green zone, tempat biasanya mortir jatuh meledak. "Deg-deg-kan juga sih, tapi kan mati di tangan Allah."

Aku agak lega setelah melihat daerah kawasan ketat untuk masuk ke Convention Centre. Daoud mengajak jalan lewat yang belum pernah aku lalui. Setelah itu aku gak tenang, walaupun mata tetap waspada memandang langit. Kawatir huwen (mortir) tanpa mata menghantam non-combatan.

Di dalam Convention Centre para jurnalis menunggu konperensi pers yang akan dihadiri Perdana Menteri Irak, Iyad Allawy. Hanya sekitar 30 jurnalis hadir pada acara konperensi pers itu. Iyad yang menggunakan jas warna gading, hanya menyapa para jurnalis langsung menuju podium. Ia bersyukur pemilihan umum bisa berjalan dengan baik, walaupun di beberapa daerah pemungutan suara tak bisa dilakukan karena alasan keamanan. "Namun, secara keseluruhan pemilu ini berjalan, dan lebih 70 persen rakyat pergi ke tempat pemilihan,"katanya.

Walaupun kaum Islam sunni Irak merupakan kelompok yang paling sedikit berpartisipasi dalam pemilu kemarin, Iyad berharap, seluruh masyarakat Irak berdiri bersama membangun negeri ini. "Kita mulai dialog nasional yang menjamin semua suara orang Irak : Syiah, Sunni, Kurdi. Kristen dan lainnya terwakili dalam pemerintahan yang akan datang,"katanya.

Dengan pemungutan suara kemarin, Iyad mengajak masyarakat Irak bekerjasama membangun Irak yang aman dan damai. "Teroris tahu bahwa mereka tidak akan menang, kalau kita bisa bekerja bersama-sama,"katanya. Pemilu (30/1), menurut Iyad, adalah pintu masuk ke era dan sejarah baru Irak untuk membangun demokrasi. "Mulai sekarang saatnya kita membangun kembali Irak menjadi sebuah negara besar yang menghormati hak asasi manusia, yang dulu, pernah dicabut pada zaman Saddam Hussein,"ujarnya.

Banyaknya pemilih dalam pemilihan umum di Irak ini terbantu dengan populasi kelompok Syiah Irak yang lebih dari 60 persen dari seluruh penduduk Irak. Tak salah jika pada hari pemungutan suara, masyarakat tampak antusias mendatangi kotak-kotak suara. Tak peduli dengan dentuman mortir dan bom.

Presiden Irak, Ghazi Al-Yawer, sebelumnya memperingatkan, kepada warga sunni agar ikut pemungutan suara, agar memiliki perwakilan lebih banyak di dewan konstitusi. "Karena pemungutan suara kali ini untuk kita memulai membangun masa depan bersama sama,"kata Ghazi yang kepala suku kaum Sunni Irak yang moderat. Namun, menurut Ghazi, kaum sunni tak perlu kawatir, karena konstitusi yang nanti dirancang, akan dimintai pendapat kembali kepada masyarakat melalui referendum.

Jalan-jalan di Kota Baghdad macet. Tanda kehidupan kota sudah mulai normal. Saadoun street yang biasanya lengang, karena tak jauh dari green zone, macetnya minta ampun. Selain banyaknya mobil yang turun ke jalan juga, karena ada beberapa ruas jalan yang masih ditutup. Jalan raya Abdul Gassim juga macet. Toko-toko juga sudah mulai buka. Di dekat Kampus Universitas Teknik Baghdad, toko-toko komputer, hampir semua buka. “Kami tak takut lagi, pemilu sudah lewat, semua berjalan aman-aman saja kan,”kata Awab Suaib, pemilik toko komputer Taj.

Di beberapa stasiun pompa bensin juga tampak antrian kendaraan sampai 5 kilometer lebih. “Itu bisa sampai besok, juga belum habis,”kata Ahmad Khalil, 41 tahun sopir taksi. Menurut Ahmad sejak Saddam jatuh, kendaraan semakin banyak. “Dulu tak sebanyak ini, sehingga agak mudah mendapatkan bensin,”katanya.

Untuk mendapatkan 50 liter bensin di tempat pompa bensin, Ahmad harus pagi-pagi mengantri dan memberikan 4000 ribu dinar kepada polisi agar bisa masuk menyerobot. Walaupun sudah menyogok, menurut Ahmad masih untung. Karena harga bensin di SPBU 20 dinar, sedangkan di luar SPBU 500 dinar seliter. “Coba anda bayangkan perbedaannya,”kata Ahmad, sopir asal Palestina.

Pintu-pintu perbatasan juga sudah dibuka. Bus-bus dan mobil antar Negara sudah bisa memasuki wilayah Irak. Bandar Udara Irak juga sudah mulai dibuka, walaupun masih dalam pengawasan ketat dan penerbangan tertentu saja. Secara kasat mata memang Irak sudah normal. Menurut Presiden Irak Ghazi Al-Yawer dalam konperensi pers di gedung Irak Convention Centre (Qosrotul Mu'tamar) Selasa siang (1/2), pemerintahan sementara Irak masih membutuhkan tentara asing. "Non sense, menyuruh tentara asing pergi meninggalkan Irak sekarang, minimal sampai akhir tahun ini,"kata Al-Yawer.

Menurut kepala suku Sunni Arab Irak itu, pemerintah baru saja memulai penghitungan suara hari Selasa (1/2). 5.200 TPS di seluruh Irak, dikerjakan oleh 200 petugas dengan 80 terminal komputer, membutuhkan waktu yang cukup lama. "Keadaan normal sangat dibutuhkan, karena itu tentara asing disini masih dibutuhkan bagi sebuah negara yang sedang dalam keadaan vacuum of power,"katanya.

Tentara asing pimpinan AS, menurut Ghazi Al-Yawer, terbukti membuat aman jalannya pemungutan suara. "Tentu saja selain 170 ribu tentara asing, keterlibatan masyarakat juga membantu, berjalannya pemilihan umum ini,"katanya.

Sejam setelah konperensi pers Presiden Ghazi Al-Yawer, Menteri Pertahanan Hazeem Syahlan, juga memberikan konperensi pers di tempat yang sama, di dampingi dua orang tentara Irak. "Disatu sisi kami tak ingin kehadiran pasukan asing disini, tetapi kehadirannya sekarang dan sampai pemerintahan baru terbentuk sangat dibutuhkan,"kata Hazeem.

Menurut Hazeem selama pemungutan suara berlangsung di seluruh Irak 40 orang tewas, karena lebih dari 100 TPS berusaha dibom. Selain itu pihak keamanan, menurut Hazeem, juga menangkap lebih dari 200 orang yang diduga mengganggu jalannya pemilihan umum. "Tetapi secara keseluruhan, semua berjalan baik, karena tak ada penyerangan besar-besaran selama pemungutan suara,"kata Hazeem. Setelah konperensi pers, anak buah Menteri Pertahanan membagi-bagikan gambar ratusan mortir yang berhasil dipotret setelah meledak dan yang tak meledak di dekat TPS-TPS pada hari pemungutan suara Minggu (30/1)

Perkembangan semakin baik, ada yang berubah menjelang pengumuman suara (12/2), antrian bensin tak lagi sepanjang sebelumnya. "Dalam beberapa jam kami sudah dapat bensin biasanya harus antri dua hari,"kata Ahmad. Di Saadoun Street, maupun di Sanaa tak tampak antrian bensin. Mobil GMC yang Tempo naiki dari Baghdad ke Amman, di SPBU Saadoun Street hanya menunggu setengah jam untuk mendapatkan bensin dan mengisinya dengan penuh. Di sebelah Hotel Coral Palace, belasan pekerja bangunan nampak sibuk membangun bangunan berlantai empat juga baru mulai aktif dibangun beberapa setelah pemilu usai. "Ini untuk hotel,"kata Yasser, penjaga keamanan hotel.

Ketua Partai Dakwah Islam (Hizbut Da’wah Islamiyah), Sayyid Ibrahim Ja’farii, salah satu calon anggota dewan dengan nomor pilihan 169, gembira dengan terselenggaranya pemilu. “Saya sangat gembira. Saat itulah saya lihat bagaimana rakyat Irak berjuang untuk bisa hidup (fight for struggle). Kami sudah berkorban banyak keluarga kami yang mati dan hilang pada Zaman Saddam Hussein, kini seperti terhapus dengan kekekuatan rakyat yang menggebu-gebu untuk menentukan bangsanya di masa depan. Bagi saya pemilu kemarin bagaikan hari perkawinan, perkawinan antar rakyat Irak,”katanya.

Lelaki berbrewok putih ini, seorang diantara tokoh Islam Syiah Irak yang dihormati dan banyak pengikutnya bersaing dengan tokoh syiah dukungan Amerika Serikat, Iyad Alawi. “Ini pemilu yang saya lihat ini adalah rakyat Irak, bukan hanya syiah, identitas mereka seakan hilang, semua ini untuk Irak,”katanya.

Ghazi Al-Yawer selaku, salah satu suku Sunni Irak, dan juga, di dalam konperensi pers mengaku, telepon langsung ke tokoh-tokoh Islam di Falujah, sebuah kota Sunni Irak yang anti terhadap pemilu. “Ternyata, tanpa diduga masyarakat Falujah banyak mendatangi tempat pemungutan suara, sebuah kejutan dan saya anggap sukses,”kata Ghazi. Menurutnya,, sangat disayangkan jika orang Sunni Irak tidak ikut partisipasi dalam pemilu. “Perwakilannya akan sedikit dan ini tentu akan merugikan sendiri, tak ada kesempatan kedua,”katanya.

Menurut Ghazi, pemilu sekarang telah menghilangkan perbedaan syiah atau Sunni, kini semua rakyat dan kami bekerja untuk Irak yang baru. “Irak yang bisa diterima oleh masyarakat dunia yang beradab, bukan lagi Irak yang korup dan diktator, seperti di zaman yang telah lewat,” katanya.

Pemilu Irak yang diselenggarakan pada 30 Januari 2005 lalu, menurut pengamat internasional dari Institute Study for Islamic Strategic (ISIS) Abdul Choliq Wijaya berlangsung dengan relatif baik, meskipun diwarnai berbagai aksi kekerasan dan pemboikotan oleh kaum Sunni. Pemilu Irak itu digelar untuk pertama kalinya setelah jatuhnya rezim Saddam Hussein, 9 April 2003 lalu menyusul digelarnya invasi oleh pasukan koalisi terbatas pimpinan Amerika Serikat (AS).

Pemilu Irak itu dimaksudkan untuk memilih anggota Dewan Nasional (Parlemen) Irak yang berjumlah 275 kursi, dewan provinsi, dan parlemen regional Kurdi. Partai koalisi Aliansi Irak Bersatu yang didukung Ayatullah Ali al-Sistani berhasil meraih kemenangan dengan 48,1 persen suara (132 kursi), kemudian disusul Aliansi Partai Utama Kurdi yang meraih 25,7 persen suara (71 kursi), lalu partai pimpinan PM Iyad Allawi yang memperoleh 13,8 persen suara (38 kursi), partai Sunni pimpinan Presiden Ghazi al-Yawar hanya memperoleh 5 kursi.

Sebenarnya, kemenangan kelompok Syiah sekitar 61,9 persen suara -- gabungan suara dari Partai Aliansi Irak Bersatu dan partai pimpinan Iyad Allawi --. Wajar, karena penduduk Irak menurut perhitungan tahun 2002 63 persen Syiah.

Kemenangan partai beraliran syiah tersebut merupakan buah dari kerja keras dan strategi para pemimpin Syiah Irak. Khususnya bimbingan ulama asal Kota Suci Najaf, Ayatullah Ali al-Sistani yang mempunyai pengaruh besar terhadap kaum Syiah Irak.

Sejak awal, Ali al-Sistani, ulama besar dan rujukan keagamaan tertinggi umat Syiah Irak, terus mendesak diselenggarakannya pemilu untuk memilih para anggota Dewan Nasional Irak, guna mengakhiri masa transisi pemerintahan. Ali al-Sistani menilai pemilu merupakan jaminan terbaik untuk menyerap tuntutan rakyat Irak secara adil, yang dapat menciptakan keamanan dan perdamaian di Irak. Di samping itu, pemilu merupakan perwujudan dari kebebasan dan demokrasi, seperti yang juga diharapkan AS.

Keberhasilan pemilu Irak, meskipun terdapat banyak kekurangan, tetaplah merupakan suatu tahap penting menuju terbentuknya pemerintahan Irak yang legitimate. Menurut Abdul Choliq, legitimasi merupakan hal yang sangat urgen untuk tercapainya pemerintahan Irak yang kuat, berwibawa, efektif, dan efisien.

Selama rezim Baath berkuasa selama 35 tahun, rakyat Irak praktis berada dalam kehidupan yang serba tertekan, terpasung kebebasannya untuk mengekspresikan harapan sosial mereka dalam kehidupan politik, pemerintahan, dan kenegaraan. Rakyat Irak setelah pasukan koalisi asing menyingkirkan Saddam Hussein juga merasakan kepedihan betapa tertekannya harga diri suatu bangsa dalam pendudukan, pendiktean, dan bayang-bayang militer AS.

Kaum Sunni Irak untuk pertama kalinya akan mengalami nasib sebagai kaum minoritas dalam kehidupan politik di Irak. Mereka telah memboikot pemilu, sesuai dengan alasan-alasan subjektifnya, seperti tidak kondusifnya keamanan menjelang pemilu dan masih maraknya berbagai aksi kekerasan. Mereka juga beralasan bahwa tidak mungkin mengikuti pemilu sebelum jelas jadwal penarikan tentara AS dari Irak. Akibatnya sedikit terlibat dalam memberikan suara pada pemilu lalu, memperkecil peluang bargaining untuk menentukan "jago" dalam pemerintahan ataupun percaturan politik di Irak ke depan.

Memang terbukti, Ibrahim Jaafari, akhirnya terpilih sebagai Perdana Menteri, sedangkan pendiri Persatuan Patriotik Kurdistan, Jalal Talabani, 72 tahun menjadi Presiden. Bagi-bagi kekuasaan untuk merangkul semua pihak sangat terasa, ketua DPR berasal dari politisi sunni, Hajem al-Hassani. Selain selalu ada pendampingan tiga kekuatan itu. Jika Presidennya dari Kurdi, maka wakilnya dari syiah badan sunni, begitu juga jika ketua DPR nya dari Sunni, maka wakilnya dari dua kubu lain. “Aliansi Syiah dan Kurdi harus menghargai hak saudara kita Arab Sunni sebagai satu elemen penting rakyat Irak,” kata Talabani.

Menurut Presiden Talabani, kini Bangsa Irak membangun kembali pemerintahan Irak berdasarkan prinsip demokrasi, federalisme, kemajemukan, dan kesetaraan warga negara. Perdana Menteri Ibrahim Jaafari, saat diwawancara Tempo bersama jurnalis TV lokal Sumuriyah, beberapa saat setelah pemungutan suara, berjanji akan membangun negara Irak yang merangkul semua pihak. “Karena rakyat Irak terdiri dari bermacam-macam agama, kami tidak ingin lagi Irak yang diktator, Irak yang feodal, tidak, kami tidak akan mendirikan Irak negara agama,”katanya.

Bentuk yang cocok menurut Ibrahim Jaafari itu adalah federal. Ibrahim berharap bentuk federal bisa menampung banyak aspirasi dan perbedaan-perbedaan. Tugas berat pemerintah pimpinan Perdana Menteri Ibrahim al-Jaafari adalah memulihkan keamanan. “Setelah masa singkat turunnya kekerasan, kekerasan meningkat tajam lagi, bahkan kembali pada keadaan tahun lalu,”kata Jenderal Myers, salah seorang pejabat militer Amerika.

Korban kekerasan yang tewas sejak Januari 2005 sampai akhir Juli 2005, tercatat 4.000 orang. Sebagian korban adalah sipil. Walaupun jika dibedah sasaran kekerasan itu, bisa tampak tujuannya adalah kantung-kantung polisi, tentara Irak dan militer asing.

Jika korban adalah sipil, itu merupakan efek dari tempat kekerasan terjadi dan provokasi. Karena kenyataan di lapangan baik elit politik, maupun masyarakat kebanyakan tak terlalu mempermasalahkan perbedaan aliran dalam Islam atau suku di Irak. Hanya sekelompok orang militan, dan siluman yang membuat kekacauan di Irak. Pemerintahan demokratis yang baru terbentuk diharapkan bisa mengubah lingkaran setan kekerasan itu kepada pembangunan Irak baru yang lebih damai.


(sumber Majalah Tempo, Tempo Interaktif, Afp, reuters dan Pikiran Rakyat)

Tidak ada komentar: