Senin, Mei 07, 2007

Irak : Matinya Sang Diktator

Eksekusi Menjelang Fajar

Sabtu dini hari, 30 Desember. Nun di Kadzimiyah, pinggiran Bagdad, Saddam Hussein menjemput maut. Tak ada pilihan, memperlihatkan sikap tenang. Berjanggut lebat, mengenakan baju warna gelap dan menggenggam kitab suci Al-Quran, ketika dunia muslim tengah menyambut Idul Adha, bekas orang terkuat Irak itu menghampiri seutas tali gantungan yang siap merenggut nyawanya.
Tangannya terikat di belakang. Beberapa pria di sekelilingnya, yang seluruh kepalanya diselubungi kain hitam—dan hanya memperlihatkan mata—melapisi leher Saddam dengan seutas kain. Dia ditawari untuk mengenakan penutup kepala. Tetapi Saddam menggeleng. Maka, para algojo memasukkan kepala Saddam ke lingkaran tali pencabut nyawa. Salah seorang mengetatkan tali dan mendirikan Saddam pada posisi yang tepat. Terdengar suara orang membaca syahadat, “Asyhadualla ila ha ilallah, wa asyhaduanna…,” tapi belum lagi lengkap dua kalimat syahadat itu, lantai tempat lelaki itu berdiri terkuak ke bawah. Dalam hitungan waktu yang begitu cepat, tampak tubuh sang pria berjanggut lebat itu tergantung-gantung. Terdengar teriakan keras salawat “Allahuma shalli ala Muhammad wa’ala ali Muhammad.”
Saddam Hussein, 69 tahun, bekas pemimpin Irak, mati di tiang gantungan. Situs www.YouTube.com menayangkan prosesi kematian Saddam dalam dua versi rekaman. Sorotan dari lantai satu memperlihatkan Saddam tergantung-gantung. Rekaman kedua memperlihatkan sudut sorot lantai dua saat para algojo sibuk mempersiapkan penghabisan ajal bekas Presiden Irak itu. Di antara tiap rekaman itu ada perbedaan. Sebuah rekaman ada suara seruan “… muqtada…muqtada…” (nama pemimpin muda karismatik Syiah di Irak, Moqtada al-Sadr) serta rekaman orang menari-nari setelah penggantungan. Sedangkan rekaman lain memperlihatkan sebuah rekaman lengkap dengan suara ucapan syahadat, dan tampak keluar bukan dari mulut Saddam, serta bacaan seruan salawat.
Itulah akhir sebuah perjalanan panjang lelaki yang lahir di Al-Awja, Tikrit, Irak, dengan nama lengkap Saddam Hussein Abdul al-Majid al-Tikrit itu. Kematian itu hanyalah puncak perjalanan hidup perebutan kekuasaan, kekejaman, saling bunuh, pembantaian massal, diktatorial, invasi, dan rangkaian proses sidang yang penuh tekanan.
Beberapa hari sebelum tewas di tiang gantungan, Saddam sempat menulis surat. "Saya mengorbankan diri saya. Jika Tuhan menghendakinya, Dia akan memasukkan saya ke golongan martir dan orang-orang yang lurus." Bahkan seperti disiarkan jaringan televisi CNN dan BBC, Saddam mengatakan, "Inilah akhir hidupku. Saya mengawali hidupku sebagai pejuang, karena itu kematian tidak menakutkanku."

***
EKSEKUSI ini memang terkesan terjadi tanpa keributan, tanpa pengumuman, tanpa kehebohan. Masyarakat dunia, bahkan pers, berasumsi bahwa Saddam masih harus melalui belasan pengadilan lagi atas belasan tuduhan yang disandangnya. Paling tidak, jika beberapa vonis sudah berlapis, maka eksekusi terhadap dirinya terasa lebih kuat.
Sehari sebelum eksekusi itu, Perdana Menteri Nuri Kamal Muhammad Hasan, atau yang juga dikenal dengan nama Jawad al-Maliki, menyatakan bahwa hukuman mati Saddam merupakan peluang untuk menutup kisah sedih dan dendam. Bagi dia, kini orang Syiah atau suku Kurdi--yang pernah ditindas saat Saddam masih berkuasa--tak memiliki alasan lagi untuk melakukan aksi kekerasan. “Setelah diputuskan pengadilan, tak seorang pun bisa menentang keputusan untuk mengeksekusi penjahat Saddam. Mereka yang menolak eksekusi Saddam artinya merendahkan martabat para martir Irak,” ujar sang Perdana Menteri di depan kerabat korban penindasan Saddam. Di masa pemerintahan Saddam, Maliki juga pernah dijatuhi hukuman mati. Namun dia berhasil lari dari penjara ke Iran dan Suriah sebelum dia sempat dieksekusi.
Wartawan asal Turki, Ilnur Cevik, yang bekerja untuk The New Anatolian dan ditugasi meliput Bagdad, bahkan meninggalkan Bagdad persis sehari sebelum eksekusi karena memang tak ada kasak-kusuk apa pun mengenai pelaksanaan eksekusi itu. Menurut Cevik, jika Saddam hidup dalam penjara atas kejahatan kemanusiaannya, sebetulnya akan lebih baik dibanding dieksekusi dan mati. “Mengeksekusi hanya membuat Saddam sebagai martir dan pahlawan di mata pengikutnya,” kata Cevik.
Analisis Cevik ada benarnya. Muhammad Natiq, seorang mahasiswa dari Tikrit, tetap yakin Saddam masih hidup dalam hati sanubari warga Irak. “Tuhan sudah menggariskan hidup Saddam berakhir. Tapi bagi pengikutnya, semangat dan ajaran dia tak akan pernah berakhir."
Di Kirkuk, utara Irak, menurut Salamah Abuli yang dihubungi Tempo melalui saluran internasional, masih ada orang Irak yang tak percaya Saddam Hussein telah mati. Bahkan orang-orang Kirkuk, menurut Salamah yang mengutip keterangan saudara-saudaranya, merasa telah melihat Saddam berada di bulan. “Mereka berkata sungguh-sungguh, tapi saat saya keluar rumah melihat ke langit Bagdad, bulan masih biasa saja, tak ada Saddam di sana,” ujarnya tertawa.
Salamah mengaku terkejut mendengar kematian Saddam, beberapa saat sebelum salat Idul Adha. “Hanya beberapa menit setelah eksekusi itu, kami sudah mendapat kabarnya. Itu perbuatan yang tidak adil yang dilakukan pemerintah Irak sekarang,” katanya.
Menurut Salamah, bukan hanya orang Sunni Irak yang marah dan sedih atas kematian Saddam, tetapi juga orang Syiah. “Mereka mengatakan hukuman mati Saddam di hari raya Idul Adha sungguh menyakitkan hati. Hanya orang dari Iran yang senang,” ujarnya.
Sejak eksekusi itu, Salamah dan belasan warga di kawasan Badriyah, ibu kota Irak, Bagdad, berdoa bersama atas kematian bekas Presiden Irak Saddam Hussein. “Di sini kami membaca Al-Fatihah atas kematian bekas presiden kami,” katanya.
Bagi pengacara Human Rights Watch Timur Tengah, Fadi al-Qadi, eksekusi Saddam mengancam dan mendiskreditkan sistem hukum di Irak. “Apa yang dikatakan Irak baru yang respek terhadap hukum yang adil menjadi runtuh karena eksekusi tersebut,” ujarnya. Apalagi sidang dalam kasus kedua, pembunuhan terhadap 180 ribu warga etnis Kurdi dalam Operasi Anfal, juga belum tuntas. Menurut Al-Qadi, “Terlalu terburu-buru putusan itu.”
Hukuman mati Saddam bermula dari vonis majelis hakim Pengadilan Khusus Irak 5 November 2006, yang memutuskan bekas diktator Irak itu bersalah atas kasus kejahatan kemanusiaan di Desa Dujail pada 1982. Dalam proses pengadilan yang berlangsung sejak 19 Oktober 2005 itu, Saddam terbukti memerintahkan anak buahnya membunuh 148 warga Syiah.
Perintah pembunuhan ini bermula karena pemerintah Saddam menganggap penduduk Dujail, pendukung partai oposisi, Partai Syiah Dawa, telah berencana membunuh Saddam. Saat itu Presiden Irak tersebut memang tengah berkunjung ke Dujail, 60 kilometer sebelah utara Ibu Kota Bagdad. Saddam selamat dari serangan bersenjata. Namun dia memerintahkan anak buahnya membantai semua lelaki dewasa dan anak-anak di desa tersebut.
Selain terjadi pembantaian itu, menurut The New York Times, berdasarkan keterangan para saksi di pengadilan, pemerintah Saddam memerintahkan penahanan ratusan penduduk Dujail tanpa alasan. Mereka disiksa dan ada 46 orang yang dijatuhi hukuman mati tanpa bukti. Puluhan warga Syiah juga ditahan tanpa alasan jelas selama bertahun-tahun. Semua ini terbukti dengan surat tertulis perintah eksekusi yang bertanda tangan Saddam Hussein.
Sidang kasus Dujail, yang mengajukan Saddam Hussein bersama tujuh anak buahnya, menjelma menjadi panggung drama. Menjelang sidang pertama, 19 Oktober 2005, lokasi gedung terletak di Zona Hijau--daerah di Bagdad dengan tingkat keamanan maksimum dan padat dengan pengawal bersenjata.
Saat itu Saddam masih merasa sebagai pemimpin Irak. Ketika hakim ketua Rizgar Mohammad Amin menanyakan identitas Saddam, dia menolak membuat konfirmasi tentang identitas dirinya. “Siapa Anda? Apa-apaan semua ini?” kata Saddam dengan berang sembari menyebut diri sebagai Presiden Irak yang sah.
Semua terdakwa lain menyatakan diri tidak bersalah. Para saksi pun menolak hadir dengan alasan pengadilan dipimpin seorang hakim Kurdi. Karena heboh ini, akhirnya setelah tiga jam berkutat, hakim memutuskan menunda sidang sebulan kemudian.
Pada pengadilan berikutnya, hanya ada dua dari 10 saksi korban yang berani menyebut nama dan bersaksi secara terbuka. Saksi korban pertama, Ahmad Hassan Mohammad, diserang habis-habisan oleh Saddam dan Barzan. Sedangkan Ali Mohammad Hassan al-Haydari, yang semua keluarganya dibunuh dan 43 lainnya disiksa, bernasib sama dengan Ahmad. “Ketika saya disiksa, Barzan duduk sembari makan anggur,” demikian Hassan berkisah seperti dimuat majalah Tempo. Barzan langsung berteriak ke hakim bahwa dia bukan kriminal, melainkan politisi. “Tangan saya bersih,” katanya.
Selain itu, semua yang bersaksi di pengadilan anonim dan dari balik tirai. Seorang saksi perempuan yang pernah dipenjara di Abu Ghraib selama empat tahun hanya berani bersaksi dengan menyamarkan suaranya. Sedangkan sebagian besar lainnya urung atau tidak berani bersaksi karena merasa hidup mereka terancam.
Selain menghujani para saksi dengan pertanyaan keras, Saddam juga menjadikan pengadilan sebagai panggung pidato. Hakim Raouf Abdul Rahman segera mematikan mikrofon di depan Saddam. Pemimpin Partai Baath itu kadang berteriak-teriak saat memasuki ruang sidang. Pada jadwal berikutnya, Saddam juga beberapa kali memboikot persidangan, termasuk melakukan mogok makan. Alasannya, dia mengaku dipukuli tentara AS dan tidak memperoleh perawatan kesehatan yang layak. Saking bandelnya Saddam, Abdul Rahman sampai mengeluarkan peraturan: absen atau tidak, sidang Saddam dan terdakwa lainnya akan terus berjalan.
Menurut juru bicara pengadilan dan hakim ketua untuk penyelidikan kasus Raed al-Juhi, Saddam naik banding atas putusan hakim. Proses naik banding berlangsung hingga 30 hari. Pada 26 Desember 2006, pengadilan tinggi menolak permohonan banding Saddam. Hanya empat hari setelah itu, Saddam dieksekusi.

***


SEBUAH PETI MATI diikat di perut helikopter militer AS, Black Hawk. Heli mengangkasa menyeberangi gurun mengantar jasad Saddam Hussein ke Desa Ajwa, 13 kilometer dari Tikrit. Bekas penguasa Irak itu menjelma menjadi tokoh gerakan perlawanan anti-Amerika. Malam hari, jasad itu dikuburkan, tanpa banyak pengantar.
Seusai penguburan, bangunan makam berkubah setinggi enam meter berdinding kayu jati bermotif Maroko itu pun dipadati seratus lebih anggota suku dan pendukung Saddam. Mereka menangis dan merintih sembari berlutut di depan pusara yang diselimuti bendera Irak itu. Di dekat sana sebuah kursi penuh berisi foto berbingkai besar Saddam. "Hukuman mati adalah sebuah kejahatan. Nasionalisme Arab harus dibayar dengan darah," ujar seorang kerabat Saddam, Salam Hassan al-Nasseri, 45 tahun.
Sejak awal, Saddam meminta vonis mati dengan cara ditembak. "Saya adalah panglima tertinggi. Saya lebih memilih dihukum tembak oleh regu tembak. Itu cara yang tepat untuk mengeksekusi pemimpin militer," katanya kepada pengacara Issam Ghazzawi. Tak ada satu peluru pun menembus tubuhnya. Hanya seutas tali yang mencekik lehernya dan segera mengakhiri hidup seseorang yang pernah sangat berkuasa di negerinya.
Setengah bulan setelah eksekusi Saddam Hussein, dua terhukum mati, adik tiri Saddam, Kepala Dinas Intelijen Barzan Ibrahim al-Tikrit dan Ketua Dewan Revolusioner Irak, Awad Ahmad al-Bandar, Senin pagi 15 Januari 2007 bernasib sama, tewas di tiang gantungan. Seperti Saddam keduanya juga divonis bersalah dalam kasus 148 orang Syiah di Kota Dujail pada 1982.
Dalam eksekusi itu, kepala Barzan terlepas dari badannya. Beberapa jurnalis yang terpilih diundang menyaksikan video rekaman eksekusi itu, agar pemereintah Irak tak dituduh memperlakukan eksekusi di luar batas kewajaran. “Eksekusi dijalankan sesuai hukum. Terpenggalnya kepala Barzan adalah insiden yang jarang terjadi,”ujar Juru bicara pemerintah Irak Ali Al-Dabbagh.
Dalam rekaman itu, seperti dilaporkan BBC London, para algojo yang mengenakan kupluk penutup kepala dan wajah, memasangkan tudung di kepala terhukum lalu mengalungkan tali di lehernya. Pada saat tali menjerat leher, karena injakan bawah si terhukum, terbuka, nyawa lepas dari badan, kepala Barzan juga tampak terlepas dari badannya.
Memang tak seperti Saddam yang tampak siap dieksekusi, menurut pejabat senior Irak, Bassam Ridha, kedua terhukum tampak gemetar ketakutan saat digiring ke tiang gantungan. Itulah nasib tak ada yang bisa meramalnya.

Tidak ada komentar: