Senin, Mei 07, 2007

Libanon : Hidup di Tengah Gempuran

Hidup di Libanon semakin sulit setelah Israel terus menggempur. Kedutaan Besar Indonesia terpaksa mengevakuasi warga negaranya ke Suriah.
Israel dan Hizbullah yang bertikai, Duta Besar Indonesia untuk Libanon Abdullah Syarwani, yang kerepotan. Departemen Luar Negeri Indonesia memintanya melindungi Warga Negara Indonesia yang berada di negeri yang kini tengah di bombardir pasukan Israel. “Memang masih ada puluhan WNI yang belum mengungsi ke KBRI namun telah meminta mereka untuk bersedia dievakuasi ke Suriah. Kami terus mencoba menjangkau mereka. Kami minta Diplomat Indonesia memastikan keselamatan WNI,”kata juru bicara Departemen Luar Negeri, Desra Percaya.

Jumat pagi pukul 10.00 waktu Libanon, pekan lalu Duta Besar Syarwani bersama 14 orang Indonesia lainnya beranjak dari Beirut menuju Damaskus, Ibukota Suriah. “Ini pemberangkatan tahap kedua, dua hari sebelumnya 40 orang Indonesia sudah berangkat dengan bus, kebanyakan anak-anak dan perempuan. Mereka dievakuasi ke Aleppo dan Damaskus di Suriah,”katanya kepada Tempo lewat telepon hubungan Internasional.

Menurut Syarwani hanya ada satu jalan untuk keluar dari Libanon menuju Suriah. “Lewat utara, melalui Tripoli,”katanya. Jalan lain dipastikan tak aman. Itupun Syarwani harus menyewa escort atau penunjuk jalan. “Jika ada gangguan di jalan, bisa melalui jalan alternatif yang lebih aman,” ujarnya. Bila normal cuma dua jam menuju perbatasan, dan dua sampai tiga jam lagi mengurus surat-surat masuk ke Suriah. “Saat evakuasi suara bom terus terdengar, untungnya rombongan pertama sampai selamat di Suriah,”kata Syarwani.

Jalan menuju Suriah tak semudah biasanya, karena jalan juga padat para pengungsi dari negara lain. Disamping itu harga sewa bus ke ibukota Suriah, Damaskus juga melambung gila-gilaan, 10 kali lipat. “Biasanya hanya 300 US dolar, kini bisa 3.000 US Dolar. Pintar juga Arab Libanon mengeruk keuntungan,” kata bekas wakil Ketua Panitia Khusus Kasus Semanggi Berdarah di Dewan Perwakilan Rakyat.

Libanon selama ini dikenal sebagai ”East Paris”-nya Timur Tengah. Karena sebelum merdeka pada tahun 1943, negara ini merupakan negara bekas jajahan Perancis. Wilayah yang terletak di pesisir pantai laut Mediterrania menjadi aset yang paling berharga Libanon di sektor pariwisata. Libanon pada 1960-an dikenal sebagai daerah pusat perdagangan dan tujuan pariwisata yang sangat menarik. Pada masa-masa tersebut Libanon menjadi porosnya Eropa di Timur Tengah. Gaya kehidupan dan bangunan tak jauh seperti Perancis.

Namun akibat perang saudara Libanon hancur dan perkembangan ekonominya. Saat Libanon mulai menggeliat untuk hidup kembali, Israel kini menghancurkan negeri itu. “Lapangan udara Beirut, tak bisa digunakan karena pertama kali dibombardir Israel,”kata Duta Besar Indonesia, Abdullah Syarwani. Jalan tol juga hancur kena hantam rudal Israel.

Sejak Israel mengirimkan rudalnya ke Libanon, tak ada lagi turis-turis yang biasa nongkrong di café-café. Kehidupan malam, night club, pub, cafe, hingga tempat perjudian, Casino du Liban yang mirip pusat perjudian di Perancis ala Monaco langsung tutup. Mobil-mobil mewah yang biasanya berseliweran di jalan-jalan Beirut, malah berdesak-desakan menuju perbatasan Suriah.

Denyut kehidupan Ibukota Libanon, Beirut, menurut Abdullah Syarwani juga tak seperti sebelum serangan bom Israel. Beirut salah satu kota tertua yang masih ada sejak jaman Phoenician, 5.000 tahun silam. Dulunya dikenal dengan nama Biruta, berasal dari kata semitic, dalam Bahasa Arab, bir, yang artinya sumur. Karena air di kota itu melimpah ruah dan menjadi penyuplai air ke kota-kota lain di sekitarnya.

Beirut sejak dulu dikenal sebagai tempat persimpangan jalan antara timur dan barat. Kota tersebut dikenal dengan bangunan-bangunan artistik ciri khas sebagai kota peninggalan masa lampau, dan juga bangunan modern. Dari Beirut, seorang turis mendapat informasi penting tentang peninggalan sejarah yang memiliki nilai seni tinggi. Seperti sisa-sisa bangunan pada masa sejarah Roman, Bizantium, Ottoman, Abbasiah, Persia, Phonecian hingga Kanaan. Sisa-sisa peninggalan rohani masa lalu juga terdapat di Beirut, seperti peninggalan Mesjid Al Omari dan Amir Assaf, Gereja The Greek Orthodox Cathedral of Saint George dan Cathedral of Saint Elias.

Israel, menurut Syarwani, bukan hanya menggempur markas-markas Partai Allah” pimpinan Sayyid Hasan Nasrallah, tetapi juga pemukiman-pemukiman warga Libanon beragama Islam Syiah. “Kini markas hizbullah dan pemukiman warga syiah kosong,”katanya. Dua hari sebelum Syarwani dan rombongan berangkat menuju Damaskus, sebuah ledakan terdengar keras, tak jauh dari Kedutaan Besar Indonesia yang terletak di Avenue Palais Presidential, Rue, Baabda, sektor tiga, Beirut. “Kira-kira satu kilo meter, saya kira Istana Presiden dihantam rudal Israel,”ujarnya. Karena Kedutaan Besar Indonesia, hanya berjarak 500 meter dari sekitar istana.

Untuk warga yang masih tinggal di Beirut, Duta Besar Syarwani, sudah menyimpang stok pangan untuk sebulan ke depan. “Jadi buat makan dan minum selama sebulan ke depan, aman,”katanya. Karena tak banyak toko makanan dan minuman buka selama gempuran bom Israel. “Masih ada yang buka tapi tak begitu banyak, dan harga nya semakin mahal. Kini kami kesulitan mencari sayuran segar misalnya,”ujar Syarwani.

Kedutaan juga sudah menyiapkan generator, lengkap dengan solarnya “Kami kawatir tiba-tiba listrik di sekitar kawasan kedutaan mati, kami sudah siap. Walaupun sampai sekarang hanya di beberapa tempat yang dibombardir, listrik mati,”kata Syarwani.

Hidup di Beirut, semakin lama semakin sulit, bank-bank di Beirut tak lagi membolehkan warganya mengambil uang dalam bentuk dolar Amerika Serikat. “Hanya boleh dalam bentuk Lira Libanon atau Pounds,”ujar Syarwani. Bahkan untuk diplomat, pengambilan dolar dibatasi cuma 5.000 US $. “Kemarin kami mau ambil 10 ribu US $ tak bisa. Cuma boleh lima ribu. Akhirnya kami akali dengan minta tolong dengan mentransfer dana ke diplomat negara lain,”katanya. Para pegawai bank, menurut Syarwani, tampak membawa buntelan ke kantornya. “Jika keadaan memburuk mereka bisa segera cabut, meninggalkan Libanon,”ujarnya.

Di Libanon, menurut data dari Departemen Luar Negeri, ada 177 warga Indonesia. Mereka terdiri dari para diplomat Indonesia dan keluarga, pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, dan para buruh yang umumnya bekerja di sektor pembantu rumah tangga. Direktur Migran Care, Anis Hidayah, yakin tenaga kerja Indonesai yang bekerja di Libanon mendekati angka 300 orang. “Tiga bulan lalu saat saya berkunjung ke sana saya bertemu dengan beberapa buruh yang bekerja di sektor rumah tangga, dan anak buah kapal,”katanya.

Saat di cek datanya ke Departemen Tenaga Kerja, menurut Anis, hanya lima pembantu rumah tangga yang dikirim Libanon. Itupun catatan pada tahun 2001. “Kebanyakan buruh yang tinggal di Libanon adalah kiriman dari agen-agen di Dubai atau Abu Dhabi,”katanya.

Hubungan Indonesia dengan Libanon sejak dua tahun setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Saat itu pada 1947, Presiden Libanon Becharah El-Khoury menyatakan dukungan dan pengakuan secara de-jure negara Republik Indonesia. Libanon adalah negara ketiga yang mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia setelah Mesir dan Suriah.

Hubungan diplomatik kedua negara dirintis sejak tahun 1950-an dengan merangkapkan Duta Besar RI di Kairo, Mesir. Tak lama kemudian pemerintah Indonesia memutuskan membuka perwakilan di Beirut, meskipun masih berstatus Kuasa Usaha. Saat pecah perang saudara di Libanon (1975-1990) perwakilan Indonesia di Beirut pada tahun 1976 ditutup dengan alasan keamanan, tapi dirangkap oleh KBRI di Damaskus. Pada 1995 Libanon menempatkan seorang Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh di Jakarta. Sedangkan Indonesia membuka kembali perwakilannya di Beirut setahun kemudian dan menempatkan seorang Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh di Beirut.

Untuk mempererat hubungan bilateral tersebut, khususnya bidang ekonomi dan perdagangan, pada 1997 Indonesia mengangkat seorang Konsul Kehormatan di Tripoli, kota kedua terbesar di Libanon Utara. “Saya kesulitan menghubungi konsul Indonesia di Tripoli,”kata Dubes Syarwani.

Syarwani beruntung masih bisa mengawasi warga negara Indonesia yang tinggal di Libanon, dan mengatur evakuasi saat terjadi gempuran Israel. Beberapa diplomat negara tetangga, tertahan di Damaskus, tak bisa masuk Libanon.

Duta Besar Syarwani berjanji akan kembali ke Beirut sepekan kemudian. “Masih ada diplomat Indonesia dan staf kedutaan yang tinggal. Semuanya berjumlah delapan orang, mereka orang-orang penting di KBRI,”katanya. Para diplomat itu yang akan terus memantau warga negara Indonesia yang masih bertahan di Libanon. “Ada warga negara Indonesia yang masih bekerja disana, kami minta jaminan pada majikannya,”ujar Syarwani.

Tidak ada komentar: