Kedudukan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert terus digoyang di dalam negerinya. Jurus apa yang digunakan Olmert untuk bertahan?
Perang dengan Hizbullah sudah berlalu sembilan bulan lewat tetapi di dalam negeri Israel pertempuran masih berlanjut. Kamis pekan lalu sepuluh ribu orang turun ke jalan di Ibukota Tel Aviv meminta Perdana Menteri Ehud Olmert turun dari jabatannya. Sehari sebelumnya, Menteri Luar Negeri Tzipi Livni juga mendesak Olmert mundur. Ketua koalisi partai-partai di parlemen bahkan mengundurkan diri sebagai protes pada Olmert yang ogah lengser.
Jabatan Olmert boleh dibilang tinggal menghitung hari. Sebab beberapa hari sebelumnya di Gedung Konferensi Yerusalem dihadapan sekitar 200 jurnalis Komisi Penyelidikan Perang Libanon juga membebani Olmert dengan menyerahkan laporan setebal 320 halaman.
Olmert, Menteri Pertahanan Amir Perez dan Kepala Staf Militer Dan Hallutz, dalam laporan itu dituding bersalah dalam mengambil keputusan untuk berperang dengan Hizbullah. "Kami menyatakan bahwa keputusan tersebut telah mengakibatkan kesalahan berat. Untuk itu kami meminta pertanggungjawaban utama kepada Perdana Menteri, Menteri Pertahanan, dan bekas Kepala Staf Militer. Ketiga orang tersebut telah melibatkan pikiran pribadi dan pengaruhnya dalam keputusan itu serta memutuskan sendiri pelaksanaannya,"kata Ketua Komisi Elijahu Winograd.
Sejak usai perang yang mempermalukan Israel, kedudukan Olmert terus digoyang. Perdana Menteri Israel dianggap bersikap pasif, terlibat dalam perang dan begitu saja mengandalkan perhitungan Kepala Staf Militer dan mengaburkan masalah yang penting. Laporan Komisi Penyelidikan juga melemparkan kritik kepada Menteri Pertahanan Amir Perez. Bekas ketua serikat buruh dituding tidak cakap dalam memperhitungkan konsekuensi operasi militer yang diajukan angkatan bersenjata. Perez yang tidak punya latar belakang militer dianggap tidak melakukan konsultasi dengan staf ahli kementerian pertahanan, tetapi hanya bertukar pikiran dengan kelompok pensiunan militer.
Kritik paling tajam Komisi itu ditujukan kepada Kepala Staf Militer Dan Halutz. Pejabat yang kini telah mundur dan kini tinggal di Boston, Amerika Serikat itu dinilai arogan, terburu-buru, mengeksploitasi Perez dan Olmert. Hallutz mengajukan satu-satunya rencana operasi militer rancangannya, mengandalkan serangan udara dengan target Libanon. Kastaf Militer itu juga melarang semua jenderal lain untuk mengajukan pendapatnya.
Israel melancarkan perang terhadap Libanon setelah milisi Hizbullah menangkap dua tentara Israel dalam serangan lintas perbatasan 12 Juli tahun lalu. Sekitar 1200 warga Libanon, sebagian besar warga biasa, dan 160 warga Israel, sebagian besar tentara, tewas dalam konflik itu. Namun, dua tentara Israel sampai sekarang masih ditahan. Itulah yang dinilai banyak pihak mempermalukan Israel. Karena itu Olmert harus bertanggungjawab dan mundur dari jabatannya.
Bukan tak sadar kedudukannya sedang kritis, tapi Olmert memberi sinyal akan terus bertahan. "Saya tahu, akhir-akhir ini memang sedang mengalami masa sulit. Ini merupakan tugas yang berat dan sulit. Namun, saya menarik pelajaran, dan mengoreksi semua kesalahan dan memastikan di masa depan, kesalahan tersebut tidak lagi diulangi,"katanya.
Olmert mencoba mengembangkan taktik mempertahankan diri untuk meredam desakan banyak pihak.
Olmert bertemu dengan anggota Partai Kadima untuk meminta dukungan mereka. Partai oposisi yang dipimpin Benjamin Netanjahu sudah mengincar kedudukan Perdana Menteri, dengan mendesak pemilihan umum yang dimajukan. Dalam situasi seperti ini bisa jadi Olmert keok dan oposisi memenangkan pemilu.
sumber : Tempo, DW dan AP
Pendidikan Nasib
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar