Senin, Mei 07, 2007

Iran : Di Bawah Tekanan Resolusi

Presiden Ahmadinejad menghadapi tekanan dari dalam dan luar negeri. Mampukah ia bertahan?

Deru pesawat tempur Amerika Serikat dari landasan kapal perang USS Underwood di atas laut Teluk Persia tampak sibuk, seperti mempersiapkan perang besar. Memang, sejak resolusi 1747 Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai sanksi terhadap Iran dijatuhkan akhir pekan lalu, AS meningkatkan angkatan lautnya dan memamerkan kekuatannya secara langsung kepada Iran. Tak tanggung-tanggung 125 jet tempur dan 15 kapal tempur dalam unjuk gigi itu.

Bukan saja untuk "mengamankan’ resolusi itu, tapi Amerika juga tak mau seperti 15 awak angkatan laut sekutunya, Inggris, yang ditangkap saat inspeksi di perbatasan laut Irak-Iran.

Cara Amerika itu bisa memicu sebuah konfrontasi berbahaya. Karena di dalam negeri Iran, para pemimpinnya tengah menggalang rasa nasionalisme menentang kekuatan asing. "Jika negara-negara Barat memperlakukan kami dengan ancaman dan penggunaan kekerasan, tak diragukan lagi bahwa mereka harus tahu bahwa bangsa dan pemerintah Iran akan menggunakan semua kemampuan untuk membalas musuh-musuh yang menyerangnya,"ujar pemimpin tertinggi Republik Islam Iran, Ayatollah Ali Khamenei.

Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad dalam situsnya menyatakan, "DK PBB bisa mengeluarkan ratusan dokumen seperti itu (resolusi), tetapi biarkan mereka yakin, tak akan ada yang berubah di Iran, dan kami akan terus berjalan tanpa interupsi." Resolusi 1747 PBB, berupa perluasan sanksi terhadap Iran. Resolusi itu disetujui dengan suara bulat oleh 15 anggota DK PBB, termasuk Indonesia. Menurut Ahmadinejad, Iran tak akan menghentikan pengayaan uraniumnya meskipun PBB telah menjatuhkan sanksi. "Iran tak akan menghentikan proses pembangunan nuklirnya yang damai dan legal, untuk sedetik pun, hanya karena munculnya resolusi yang tak legal itu,"ujarnya.

Dalam konstalasi politik di Iran, Ahmadinejad diuntungkan dengan adanya resolusi PBB itu. Elemen anti kekuatan asing semakin menguat. Apalagi rahbar, atau pemimpin tertinggi Iran, roh dari kekuatan bangsa Persia, Ayatullah Khamenei menyokong perlawanan tersebut. Secara praktis, kontrol kebijakan luar negeri, nuklir dan ekonomi berada di tangan pimpinan tertinggi.Ayatullah Ali Khamenei juga menguasai parlemen, peradilan, tentara, radio dan televisi.

Belum lagi sistem politik Iran, teokrasi demokratis atau demokrasi relijius yang berdasarkan ajaran Islam syiah. Dalam ajaran syiah, agama mayoritas yang dipeluk penduduk Iran, Khamanei adalah marja’, wakil Imam yang ditaati segala perintah dan larangannya, sama seperti Sayyid Hussein Fadlullah, yang menjadi marja’ bagi syiah yang berada di Libanon dan Suriah.

Sebelum resolusi PBB diputuskan, keras kepalanya Ahmadinejad banyak ditentang tokoh-tokoh syiah berpengaruh. Bekas saingannya Ali Akbar Hashemi Rafsanjani dan juga bekas Presiden Iran sebelumnya, Muhammad Khatami, mengimbau agar Ahmadinejad lebih lunak menghadapi tekanan internasional. Namun AS dan sekutunya, dengan resolusi 1747 justru menaikkan pamor kembali bekas Walikota Teheran tersebut.

Ahmadinejad terpilih sebagai Presiden Iran pada 24 Juni 2005, setelah mengumpulkan 17 juta suara, dari 27,5 juta suara yang ada. Saingannya Rafsanjani hanya mendapat 9,8 juta suara, dalam putaran terakhir. Sebelumnya suara Rafsanjani tak beda jauh dengan Ahmadinejad. Namun, karena "barat" memuji-muji Rafsanjani sebagai kandidat presiden Iran dari kubu yang moderat, pamor Ahmandinejad malah meningkat. Sejak Agustus 2005, Ahmadinejad adalah presiden pertama dalam 24 tahun terakhir di Iran, yang bukan berasal dari ulama.

Bekas komandan Garda Revolusi itu dalam kampanyenya menjanjikan perbaikan ekonomi, dan beasiswa bulanan untuk setiap warga negara. Tak heran, jika para pemilihnya pada putaran pertama banyak berasal dari kantung warga miskin di selatan Teheran.Ahmadinejad menyebut program pemerintahannya berfokus pada sosialime Islam. Ia menolak keistimewaab dan korupsi kalangan kelas menengah yang berorientasi pasar versi "barat". Terpilihnya lelaki kelahiran Garmsar, tenggara Teheran 1956 itu sempat membatalkan sejumlah proyek minyak dan gas dengan perusahaan asing. Apalagi dengan tegas Ahmadinejad menyatakan akan meninjau keanggotaan dalam organisasi perdagangan dunia (WTO), jika ekonomi Iran disakiti. Bukan maksudnya, mengambil alih perusahaan asing, tetapi berusaha mengatasi pengangguran yang ada.

Ahmadinejad menang dalam keadaan masyarakat pasar dan investasi yang tak mendukungnya, para penanam modal ketakutan.Ahmadnejad memerintah dalam keadaan lambatnya kemajuan ekonomi dan tekanan yang kuat dari kaum kelas menengah di dalam negeri.

Setahun setelah pemerintahannya, dalam pemilihan tingkat rendah, popularitas Ahmadinejad menurun tajam. Ia kehilangan banyak suara, terutama dari kaum kelas menengah yang sudah sejak semula ragu-ragu memilihnya, kecuali dengan isu memberantas korupsi.Presiden Ahmadinejad juga kehilangan pendukungnya dari masyarakat intelektual, akademisi dan budayawan. Karena kebijakannya memasuki wilayah kebudayaan, memblok sejumlah situs, menghalang-halangi profesor yang berfikir kebarat-baratan dan membatasi penerimaan siaran satelit dari luar Iran. Ahmadinejad dituduh memaksakan perempuan Iran memakai cadar, seperti di Saudi Arabia dan Afghanistan saat pemerintahan Taliban. Namun, Ahmadinejad membantah isu tersebut. Perempuan Iran tetap memakai hijab atau baju panjang yang menutupi tubuh dan kepala, bukan wajahnya. Menurutnya, masalah Iran, bukanlah cadar, tetapi perkembangan ekonomi yang lambat.

Dengan resolusi 1747, Ahmadinejad, seperti mendapat "darah segar" untuk injak pedal gas melawan barat yang dimotori AS. Usahanya melobi negara-negara Arab, untuk mendukungnya melawan Amerika dan Israel juga tak mendapat support penuh. Terbukti dari mulusnya, resolusi itu lolos. Bahkan Indonesia, negara muslim Islam sunni terbesar di dunia, ikut "membenamkan" Iran dari situasi yang sulit. "Iran tak akan melupakan negara-negara yang mendukung maupun menentang resolusi Dewan Keamanan PBB. Kami akan menyesuaikan hubungan internasionalnya,"kata Ahmadinejad.

Yang sudah terasa, akibat ketegangan antara Iran versus AS dan sekutu-sekutunya adalah beranjak naiknya harga minyak. Dalam perdagangan di New York, pekan lalu mendongkrak harga minyak ke 68,09 US dolar perbarel, lonjakan tertinggi sejak 6 September lalu. Menurut pakar perdagangan komoditi strategis dari Commonwealth Bank of Australia, Tobin Gorey, situasi konflik Iran- Barat mendominasi perdagangan dunia. "Masyarakat bisnis kawatir dengan situasi seperti ini suplai minyak terhambat dan harga terus menanjak,"ujar Gorey.

Karena itulah Ketua Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Javier Solana membuka jalan dan menawarkan jalan perundingan kepada Iran. "Pintu perundingan telah dibuka. Saya berharap kami dapat bersama-sama menemukan cara pemecahannya,"katanya. Menurutnya, negara-negara yang terlibat dalam masalah resolusi 1747 telah menugasinya melanjutkan kontak dengan juru runding Iran, Ali Larijani, "Untuk melihat apakah kami dapat duduk bersama. Kami ingin melihat keberhasilan Iran sepenuhnya terintegrasi dengan komunitas internasional. Secara khusus, Uni Eropa menginginkan hubungan yang lebih baik dan lebih dekat dengan Iran,"ujarnya.

Iran, masih belum kalah. Antara lain menguatnya dukungan dari dalam negeri bagi Ahmadinejad. Serta menguatnya hubungan dengan negara-negara sosialis di Amerika Selatan. Masalahnya, pasar Iran adalah eropa dan Asia, terutama Cina, yang kini berada satu kubu dengan AS. Jika tekanan dari luar merontokkan ekonomi Iran, Ahmadinjad bisa saja ditinggalkan pendukungnya yang tidak loyal, terutama kaum kelas menengah yang pernah dimusuhinya saat pemilihan umum lalu. Jika tak mampu mengelola krisis ini, dipastikan pada pemilihan umum tahun 2009, Ahmadinejad akan kehilangan kekuasaan.

sumber : Tempo, Reuters, IRIB, IRNA, Xinhua, Bernama dan IranMania

Tidak ada komentar: