Senin, Mei 07, 2007

International Affair : Irak

Enggan Terkubur Bersama Saddam

Walau sudah tak berkuasa kekuatan Partai Baath di Irak, masih bisa menggerakkan pengikutnya. Bagaimana nasibnya setelah Saddam dieksekusi?

Empat hari setelah vonis hukuman mati, karena dianggap bertanggung jawab dalam kasus pembunuhan 148 warga Syiah di Desa Dujail, bekas Presiden Irak, Saddam Hussein melalui pengacaranya mengirim surat kepada para pemimpin Partai Baath, yang berada di pengasingan. Isi surat itu meminta para bekas pemimpin Partai Baath memilih Ketua baru setelah dia dihukum, dan ikut serta dalam membangun proses politik di Irak. “Untuk kebaikan rakyatmu,”tulisnya.

Sebelumnya, bekas wakil Presiden dan juga orang kedua di Partai Baath, yang kini buron, Izzat Ibrahim al-Duri memerintahkan pasukan sunni yang loyal kepada Saddam Hussein untuk membuat kekacauan. Sehari setelah perintah al-Duri, yang kepalanya dihargai 10 juta Dolar AS, 14 orang warga Syiah tewas dalam serangan mortar, pada saat yang sama tujuh penduduk sunni ditemukan tak bernyawa.

Adu domba rakyat seperti ini dipahami betul oleh jajaran bekas pengurus partai yang pernah berkuasa di masa rezim Saddam Hussein, Baath. Akibatnya, keadaan dipandang menjadi tidak stabil. Ujung-ujungnya, tawar menawar kekuatan mengajak rekonsiliasi politik. Saddam, beberapa saat setelah sidang dalam pembunuhan 180 ribu warga Kurdi dalam Operasi Anfal tahun 1988, mengutip sabda Nabi Muhammad dan Yesus untuk saling memaafkan. “Saya katakan peda semua orang Irak, Arab, Kurdi, untuk saling memaafkan, rekonsiliasi dan berjabat tangan membangun kembali Irak yang hancur lebur saat ini.”

Al-Duri diduga berada di Yordania, bersama pentolan partai Baath lainnya. Anggota Partai Baath menggerakkan delapan kelompok pemberontak yang mengacaukan Irak. Mereka antara lain; Brigade Revolusi 1920, Tentara Islam Irak, Tentara Muhammad, Majelis Syura Mujahidin, termasuk kelompok Al-Qaidah Irak. Sasaran kelompok itu, serdadu AS, tentara Irak,m warga sipil Syiah dan milisinya. Bassam, salah seorang bekas tentara Garda Revolusi Saddam Hussein, mengakui bekas anggota Partai Baath masuk dan berjuang bersama-sama kelompok Islam radikal Irak. “Kami terpaksa merapat dengan kelompok sunni radikal Irak, agar bisa bertahan dan punya daya tawar politik,”ujarnya.

Saddam adalah seorang Arab sunni, kelompok minoritas di Irak, selama berkuasa menindas mayoritas syiah Irak. Namun, tersingkir pada April 2003, setelah pasukan Amerika Serikat menyerbu Irak. Beberapa bulan setelah masuknya tentara AS dan sekutunya ke Irak terus terjadi kekacauan hingga kini. Partai Baath dan sunni radikal Irak, terus mengobarkan peperangan melawan pemerintahan, yang mereka sebut pemerintahan bikinan AS. Memang, pucuk pimpinan pemerintah Irak kini dikuasai oleh Kurdi dan Syiah, yang dulu ditindas Saddam. Namun, dalam proses terbentuknya pemeintahan dilakukan secara terbuka mengajak seluruh unsur rakyat Irak, tanpa membedakan agama, sekte atau suku.

Bulan lalu, Duta Besar AS untuk Irak, Zalmay Khalilzad meminta kekuatan Sunni Arab di Mesir, Saudi Arabia, Yordania dan Uni Emirat Arab untuk berbicara dalam satu meja membahas persoalan di Irak. Karena pemberontak sunni radikal di Irak juga dibantu oleh kelompok-kelompok radikal Arab dari negara-negara tersebut.

Direktur Eksekutif Komisi Sunni Anti Baath, Ali Faisal al-Lami, mengindentifikasikan ada 1.500 anggota Partai Baath yang aktif menggerakkan pemberontakan di seluruh Irak. Pimpinannya ditentukan dari negara tetangga, Yordania, yang banyak menampung pelarian politik dari Irak. Menurut Ali Faisal, walaupun anggota partai Baath masih yakin platform partai itu yang bisa menyatukan Irak kembali, namun, masa berkuasa sudah berakhir dengan jatuhnya Saddam.

Perdana Menteri Jawad Al-Maliki juga sepakat dengan Ali Faisal, menurutnya . masa kejayaan Saddam dan partainya, Baath sudah lewat. “Seperti juga masa keemasan Mussolini dan Hitler," katanya.

Sumber : Tempo, Boston Herald, dan Reuters

Tidak ada komentar: