Senin, Mei 07, 2007

International Affair : Irak

Menyerang Tentara Surga

Pasukan Amerika Serikat dan tentara Irak menyerang serta membunuh 263 orang bersenjata di Zarqa, dekat kota suci Najaf. Kenapa ada milisi asal Arab Saudi dan Afghanistan di kawasan syiah itu?

Langit belum terang, ketika tentara Irak dibantu tank, jet tempur F-16 dan helikopter serdadu Amerika Serikat serta Inggris menyerbu dusun pasar buah-buahan, Zarqa, di timur laut, tak jauh dari kota suci, Najaf, Irak Selatan. Bom 500 pounds dijatuhkan dari udara, suara senjata mesin merentet-rentet mengeluarkan mitraliur.

Sasarannya, menurut juru bicara pemerintah Irak, Ali Dabbagh, Kelompok Tentara Surga. Pemimpin pasukannya, Ali bin Ali bin Abi Thalib alias Diya Abdul-Zahra Kadhim, 37 tahun. Mereka merupakan pengikut Ahmad Hassani Al-Yamani yang mengaku sebagai Imam Mahdi, sang messiah yang dipercayai hampir semua kelompok Islam akan muncul ketika dunia hampir kiamat. Hassan Al-Yamani, diakui pengikut dan pasukanya, sebagai Imam syiah yang menghilang, dan kini muncul lagi.

Pasukan itu merupakan gabungan dari sempalan syiah dan orang-orang sunni dari Yaman, Arab Saudi, Pakistan, Afghanistan dan Sudan. Menurut warga setempat, Niama Hannoun al-Hatami, beberapa pengikut Tentara Surga, sudah tinggal di daerah tersebut sejak tahun 1992. “Mereka hidup mengasingkan diri di peternakan dan perkebunan mereka, tidak mau bercampur baur dengan warga desa lainnya. Sampai beberapa hari lalu polisi menyerang mereka,”ujarnya.

Menurut Gubernur Najaf, Asaad Abu Gilil, Tentara Surga atau Jund al-Samaa’ yang saat diserang memakai ikat kepala bertuliskan bahasa Arab, “askarul Jannah”, sedang menyiapkan rencana menyerang perayaan hari Asyura (10 Muharram), dan membunuh pemimpin Islam yang tinggal di Najaf, Ayatullah Ali Hussain Al-Sistani. Kelompok tersebut menganggap Ayatullah Ali Al-Sistani menghalang-halangi perjuangan “Islam” dengan memberikan jalan pemerintahan Irak melalui demokrasi. Beberapa pengikut Tentara Surga yang sudah menyusup di Najaf ditangkap di kamar hotel di depan madrasah pemimpin spiritual syiah paling senior di Irak, membawa senjata api.

Kelompok ini, menurut Menteri Dalam Negeri Irak, Mayor Jenderal Hussein Kamal, sudah sejak dua tahun lebih bergerak, mengumpulkan senjata dan pengikut serta menyusun kekuatan pasukan di Irak Selatan itu. Menurut Wakil Gubernur Najaf Abdul-Hussein Abtan, militer Irak menyita 500 senapan otomatis, sejumlah mortir, dan senapan mesin berat serta roket-roket Katyusha buatan Rusia dari kelompok tersebut. Intelejen tentara Irak “mencium” pergerakan itu akan “berulah” di hari suci Asyura. “Mereka akan mengangkat senjata melawan negara. Karena itu kami serang duluan, sebelum mereka membuat kekacauan,”ujarnya.

Akibat gempuran pasukan gabungan yang berlangsung sampai Senin pagi itu membuat 263 orang tewas, sekitar 500 luka-luka dan 300 lebih ditangkap. Dalam daftar yang tewas, menurut komandan militer Irak untuk wilayah Najaf, Mayor Jenderal Othman al-Ghanimi, termasuk pemimpinnya, Diya Kadhim. Di pihak penyerang belasan tentara Irak, dua pilot Amerika mati dan helikopternya jatuh, serta puluhan serdadu lain luka-luka.

Najaf, sekitar 160 kilometer selatan ibukota Irak Baghdad, merupakan kota kedua terbesar di Irak. Daerah pemukiman berpenduduk sekitar 600 ribu orang itu tempat klahifah keempat dalam Islam, Imam Ali bin Abi Thalib dimakamkan. Kuburannya menjadi tempat keramat bagi pemeluk syiah, selain Karbala dan makam para imam lain yang tersebar di beberapa tempat di Irak.

Kota ini termasuk juga kota ilmu pengetahuan. Di awal abad 18, kota ini setiap tahun dipenuhi setengah juta santri yang belajar sastra, teologi bahkan pengetahuan umum. Sebagian besar datang dari Cina, India, Libanon, Pakistan dan Iran. Hampir semua pemimpin Syiah yang berkuasa pernah “nyantri” di al-Hawzah al-Ilmiyyah, yang melahirkan ulama-ulama kharismatik seperti ; Mulla Aliyari Tabrizi, Ayatollah Sayed Mohammad al-Khoei dan Ayatollah Mohammad Sadiq Sadr, ayah Muqtada Al-Sadr. Bahkan pemimpin revolusi Islam Iran Ayatullah Rohullah Khomeini, pada kurun waktu 1964-1978, mengajar dasar-dasar konsep wilayatul faqih -- otoritas pemuka agama mengawasi pemerintahan, di kota itu.

Tampilnya Partai Baath ke pucuk kekekuasaan di Irak, dimulai berakhirnya masa emas Najaf. Pemerintahan pimpinan Saddam Hussein, melalui agen intelijen Mukhabarat, Komando Keamanan Nasional dan Fedayeen Saddam, operasi pembunuhan pemuka Syiah gencar dilakukan. Di akhir 70 dan awal 80, Irak mendeportasi puluhan ribu pelajar asing di Najaf. Pemerintah juga menolak visa yang diajukan para pelajar. Akibatnya, jumlah pelajar asing yang tersisa hanya 2000. Fungsi Najaf sebagai kota pendidikan Syiah digantikan Qum, Iran.

Selama invasi pada 2003, Najaf menjadi salah satu target serangan pasukan Amerika Serikat. Perang dahsyat terjadi pada 26 Maret 2003, kota itu baru bisa diduduki tiga April oleh dua batalyon, infantri dan divisi khusus pasukan tempur udara. Para ulama syiah yang tinggal di Sadr City (dulu Saddam City) memproklamirkan pemerintahan otonomi Najaf, pertengahan April, setelah Baghdad jatuh ke tangan pasukan koalisi AS..

Pada 29 Agustus 2003 bom mobil meledak di dekat masjid komplek makam Imam Ali, lebih dari 80 orang tewas, termasuk ulama berpengaruh Sayyid Muhammad Baqir al-Hakim, Ketua Dewan Tertinggi Revolusi Islam Irak (SCIRI). Tak ada yang mengklaim bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut, Saddam saja sedang bersembunyi waktu itu. Najaf terus bergejolak, Tentara Mahdi menyerang markas tentara Spanyol dan Salvador di Najaf pada 4 April 2004. Akhirnya pasukan koalisi menyerahkan kekuasaan Najaf dan sekitarnya kepada pemerintah sementara Irak pada 30 Juni.

Kekerasan dan pemberontakan terus meningkat, sejumlah masjid rusak berat terutama di Kufah, tak jauh dari Najaf. Perang antar kelompok syiah, Tentara Mahdi melawan Organisasi Badr tak bisa dihindari. Tentara Mahdi pimpinan Moqtada al-Sadr menguasai kawasan makam Imam Ali, menerapkan hukum syariah dan tahanan ilegal. Kuburan Najaf, kompleks perkuburan terbesar di dunia menjadi ladang peperangan kedua kelompok itu. Perang antara tentara AS dengan Tentara Mahdi pecah pada pertengahan Agustus di sekitar kompleks makam Wādī' as-Salām. Pertempuran baru selama tiga minggu baru berhenti setelah ulama senior Irak Al-Sistani turun tangan. Ribuan milisia tentara Mahid tewas, dan beberapa bagian komplek makam Imam Ali rusak berat.

Muqtada menyerahkan secara simbolis kunci makam kepada Ayatullah Al-Sistani, dan meminta kompleks makan tersebut direnovasi. Saat Tempo berkunjung setahun kemudian, Februari 2005, kompleks makam tersebut tengah diuprek-uprek. Kompleks tersebut dilingkari kawat berduri setinggi setengah meter, jalan sekitar makam diaspal kembali, gorong-gorong dan saluran air dipasang, lantai marmer yang rusak diganti baru.

Kompleks makam itu berada di antara pemukiman yang cukup padat. Untuk mencapai makam Imam Ali, masuk lewat jalan-jalan kampung yang berdebu di sela-sela bangunan batu bata dari tanah kapur. Kendaraan pengunjung kompleks makam tak bisa mendekat, harus parkir sekitar satu setengah kilometer. Lalu berjalan kaki, menuju jalan besar, cukup untuk dua jalur mobil, kawasan pedesterian.

Masuk ke jalan itu dijaga tentara bersenjata lengkap dan memeriksa setiap barang bawaan pejalan kaki, gulungan kawat setinggi setengah meter menutupi tengan jalan. Kiri kanan jalan itu, toko-toko keperluan sehari-hari, dan souvenir makam, seperti gambar-gambar tokoh-tokoh syiah, 12 imam, turbah (tanah karbala yang dikeraskan untuk sujud), kaset-kaset, perlengkapan shalat, minyak wangi, cincin-cincin batu, serta aneka jenis makanan. Suasana menuju kompleks makam persis kawasan makam Sunan Ampel di Surabaya, Jawa Timur.

Di belakang toko-toko banyak gang-gang kecil, juga terdapat penginapan-penginapan. Tempat para penziarah bermalam. Satu kamar berisi dua sampai 10 tempat tidur. “Kebanyakan tamu datang dari Iran,”ujar pemilik penginapan Al-Dahawi. Hanya berbeda satu gang dari funduk Al-Dahawi, terletak madrasah Ayatullah Ali Al-Sistani, namun tak sembarang orang bisa masuk disana. Di mulut gang dijaga orang bersenjata. Makan Imam Ali juga cuma berjarak 300 meter dari madrasah Ayatullah itu. Makam hanya dibuka dan boleh diziarahi mulai pukul delapan pagi sampai menjelang malam.

Imam Ali bin Abi Thalib, sepupu dan sekaligus menantu Nabi Muhammad, berwasiat: "setiap muslim yang dikubur di Najaf akan masuk surga". Wasiat tersebut diyakini pengikut Syiah dan menjadikan Najaf sebagai tempat bermukim terakhir setelah nyawa lepas dari badannya. Keyakinan yang sama, seperti kelompok Tentara Surga yang diserang militer AS dan Irak, sehari menjelang asyura.

Sumber : Tempo,Reuters, Aljazeera.net, AP, dan TNR

Tidak ada komentar: