Senin, Mei 07, 2007

Haji Abubakar Aldjufri

Tenar Karena Ternak

Melawan cukong-cukong ternak Indonesia di Hongkong, sudah dilakukan Abubakar Aldjufri pada tahun 1973. "Perdagangan ternak kini betul-betul dikuasai cukong-cukong yang berpangkalan di Hongkong. Bukan dalam bentuk penanaman modal langsung tapi berujud monopoli dan diskriminasi angkutan laut,"ujarnya. (Rubrik Ekonomi Bisnis, Majalah Tempo, 23 Juni 1973, hal.39). Saat itu Abubakar menjadi Ketua Gabungan Eksportir Ternak Indonesia (Indapta), sebuah asosiasi 65 pedagangan ternak pribumi Indonesia.

Kekesalan Abubakar Aldjufri pada cukong-cukong ternak, wajar, karena akibatnya, pengusaha yang tergabung dalam Indapta makin lama jumlahnya makin berkurang. Dari 65 anggota yang masih dapat beroperasi tinggal 15 perusahaan. Duapuluh eksportir daerah beralih usaha, dan 30 eks anggota Indapta menjadi komisioner dan berfungsi sebagai orang kepercayaan eksportir yang mendapat modalnya dari Hongkong.

Abubakar Aldjufri dengan perusahaannya Fa. Aldjufri merupakan salah satu perintis ekspor ternak ke luar negeri, terutama Hongkong. Tiap tahun ekspor ternak Indonesia meningkat. Namun, belakangan yang menikmati keuntungan hanyalah para cukong asal Hongkong dan Singapura. Jika para cukong licik itu dapat diberantas, Abubakar yakin lebih banyak dollar dan rupiah mengalir masuk ke kantong eksportir-eksportir maupun petani-petani ternak di Nusa Tenggara Barat, Timur dan pulau dewata. Tapi nyatanya, kenaikan itu tidak dengan sendirinya menguntungkan para eksportir dan peternak Indonesia.

Perjuangan Abubakar untuk membela para peternak Indonesia, selain untuk perusahaan yang dirintis keluarganya, juga kelangsungan hidup para eksportir, peternak Indonesia, dan pemasukan devisa yang tak kecil. Padahal saat itu andalan ekonomi Indonesia, hanyalah berasal dari minyak. Namun, pada 1979, pemerintah melarang ekspor ternak, dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Abubakar tak putus asa, ia terus berjuang dan membentuk organisasi Pedagang Hewan Nasional Indonesia (Pepehani). Maksudnya, ada para peternak dan pedagang hewan tak dirugikan.

Tak heran sebelum meninggalnya, jika setiap Ramadhan, Idul Fitri, maupun Idul Adha, nama Abubakar Aldjufri, selalu dikutip media massa, mengenai stabilitas harga daging dan perdagangan ternak untuk kebutuhan masyarakat. Biasanya, Abubakar berhadapan dengan birokrat pemerintah yang memeras pedagang, lewat keribetan birokrasi dan pungutan-pungutan liar yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

Almarhum Habib Abubakar bin Salim Al-Jufri adalah keturunan ke-36 dari Rasulullah Muhammad SAW. Menurut sejarah, pada akhir abad ke-19 datanglah ke Pulau Jawa tiga orang pemuda Abdurachman, Umar dan Mohammad, putera-putera dari Habib Abdul Kadir Al-Djufri dari Sewun, Hadramaut (sekarang berada di Republik Yaman). Ketiganya dari Pulau Jawa berangkat ke Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur dan berusaha dalam peternakan dan perdagangan hewan. Muhammad dan Umar membuat syarikat Firma Mohammad Aldjufri yang berhasil menjadi perusahaan besar di bidang perdagangan hewan sampai dengan tahun 1957. Sedangkan Abdurrahman lebih banyak mencurahkan waktunya untuk dakwah di Pulau Sumba ditunjang oleh kedua saudaranya. Ketiganya meninggal dan dimakamkan di Surabaya.

Tentang keluarga Al-Jufri terekam dalam Buku Sejarah Republik Indonesia tentang kepulauan Sunda Kecil yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan R.I. Kalau di daerah Sumba kini lebih kurang ada ratusan ribu orang penduduk yang menganut agama Islam dan mempunyai 2 buah sekolah madrasah, maka ini dapat dimengerti karena pada abad XX datang lagi seorang bernama Mochamad bin Aldjufri, seorang Arab pedagang hewan yang terbesar di daerah Sumba hingga sekarang ini.

Almarhum Habib Abubakar Al-Djufri ini adalah putera kandung dari Syarifah Sidah binti Mohammad Al-Djufri dan Habib Salim bin Abdurrahman Al-Djufri. Lahir di Gresik, Jawa Timur 21 Desember (17 Sya’ban) 1926. Anak ketiga dari sebelas bersaudara ini belajar di perguruan Al-Khairiyah dan Islamic Middlebare School di Surabaya. Ia sempat mencicipi sekolah singkat di International Marketing, Colombo Plan, Indian Institute of Foreign Trade, New Delhi, India. Tamat sekolah, ia tertarik pada dunia pendidikan dan menjadi penilik sekolah Arab English School di Pandaan, Malang. Namun, seperti keluarganya yang lain akhirnya terjun juga dalam dunia usaha, tahun 1942 menjadi sekretaris Persatuan Pedagang Asia.

Ketika Jepang berkuasa Abubakar Al-Djufri menjabat kepala Gudang Bongkar Muat perusahaan Ganebo. Juga aktif dalam Keibodan, 1944. Ketika Revolusi Kemerdekaan Indonesia pecah ia menggabungkan diri dalam Barisan pemberontakan Rakyat Indonesia, pimpinan Bung Tomo. Selain itu, ia menjadi wartawan berbagai media yang pro Republik Indonesia sampai tahun 1948. Pekerjaan wartawan ditekuninya pula sampai masa tuanya. Ia adalah wartawan Kantor Berita Antara dengan kode D-13, 1975-1980.

Almarhum Al-Habib Haji Abubakar Aljufri lalu aktif menekuni pekerjaannya sebagai pedagang sapi, dan pekerjaan jasa lainnya. Pemilik ranch di di Pare-pare Sulawesi Selatan dan Sumba, NTT ini juga menjadi penghubung utama para pedagang, petani dan pemerintah Indonesia dengan negara-negara di Timur Tengah.

Organisasi Abubabar Aldjufri tak terbilang banyaknya, ia menjadi perintis beberapa asosiasi, antara lain menjadi ketua Pepehani, hampir sepanjang hayatnya, Ketua Indonesian Man Power Association (IMSA)-Perusahaan Pengerah tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri- , Gabungan Penguisaha ekspor Indonesia (GPEI), Ketua Kamar Dagang Indonesia untuk Timur Tengah, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dan lain sebagainya. Karena aktifnya, beliau pernah memimpin delegasi petani Indonesia di Irak, dan akrab dengan Saddam Hussein. Di Timur Tengah juga beliau pendukung aktif perjuangan kemerdekaan Palestina, dan dikenal dekat dengan pemimpin PLO, Yasser Arafat. Karena dekatnya, saat anak perempuan terakhir lahir dinamai Leila, diambil dari nama seorang pejuang perempuan Palestina Leila Khalid.

Sayyid Abubakar Aldjufri juga pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surabaya pada tahun 1951. Di samping itu tidak melupakan tugas yang dikerjakan nenek moyangnya berdakwah untuk kaum papa di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), ia tergabung dalam satuan ulama untuk daerah tersebut.

Ayah 15 orang anak ini meninggal di Jakarta pada 1996, di rumah isterinya Syarifah Fadilah buah hati pasangan Hasan bin Agil dan Zahra binti Abubakar Alhabsyi, putri Kebon Pala Tenabang, Jakarta Pusat. Sayyid Abubakar Aldjufri dikuburkan di Pemakaman Umum Karet, Jakarta Pusat. (AT)

Tidak ada komentar: