Senin, Mei 07, 2007

Agama : Ahmadiyah

Luka Itu Bernama Ahmadiyah

Orang-orang Ahmadiyah kini tiarap. Mereka diserang dan dianggap anjing kurap oleh para pejabat negeri yang mengurusi soal agama. Beberapa pengikut jemaat Ahmadiyah bahkan berencana minta suaka ke negara lain.

Ustad Ahmad Hidayatullah harus mencari-cari foto sang Mahdi Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan para khalifah penggantinya saat fotografer Tempo ingin ia berfoto dengan potret imamnya. Ia mencoba menelepon dan mengirim pesan pendek melalui telepon genggamnya. Tak ada jawaban. “Sejak penyerbuan semua foto-foto Imam kami disingkirkan dari sini.”. Pecahan bekas paku di tembok ruang tamu memang masih tampak. Akhirnya foto yang dimaksud ditemukan juga dalam gudang.

Ustad Hidayatullah, beserta isteri dan dua anak angkatnya tinggal di rumah tipe 21 di dalam Kampus Mubarak, milik Jamaat Ahmadiyah Indonesia di Parung, Bogor, Jawa Barat. “Sedari awal saya bilang sama polisi saya ingin tinggal disini, kecuali bapak (polisi) kasih rumah, saya akan keluar.”

Kawasan kampus itu, tampak bagai kawasan mati. Police line warna kuning, sudah berdebu menempel pada pagar tertutup kawat. Hanya ada dua orang satuan pengamanan (satpam) yang berjaga di posnya dengan dua buah handy talkie yang terus siaga. Kampus seluas 3,5 hektar itu tak lagi bernyawa sejak serangan massa pada 15 Juli tahun lalu. “Seluruhnya di sekitar sini seluas 10 hektar, tapi pisah-pisah.”

Keluarga Ustad Hidayatullah tinggal disitu bersama belasan orang lain dan beberapa satpam. “Sebelum penyerangan kampus ini marak dengan santri yang belajar agama. Lihat bangunan yang ada disini mulai rusak, karena tak ada penghuninya.” Hidayatullah menunjuk bangunan megah tempat kantor dan sarana belajar mengajar tak jauh dari tempat tinggalnya yang tampak kusam tak terurus. Tak jauh dari sana, puluhan toilet dan jamban jongkok juga rusak dan kumuh.

Menjadi seorang Ahmadi, bagi Hidayatulllah tidak lah mudah. Apalagi Ustad seperti dirinya, kini harus kembali berdakwah dari rumah ke rumah. Karena tak bisa lagi mengaji secara terbuka di tempat-tempat umum. Bahkan semua plang masjid dan tempat pendidikan Ahmadiyah, harus dicopot menghindari provokasi dan kekekerasan.

Hidayatullah mulai mengenal Ahmadiyah saat kelas tiga sekolah menengah atas di Garut, Jawa Barat pada 1971. “Saya kenal Ahmadiyah dari teman sekelas semasa SMA. Dalam tablignya, teman saya bilang Imam Mahdi sudah datang, beliau itu seorang nabi. Saya syok juga. Dalam pikiran saya bagaimana mungkin ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad SAW?”

Kawan yang lain menasehati Hidayatullah dan melarang agar jangan dekat-dekat dengan teman tersebut. Kenapa? “Karena dia itu orangnya eksklusif, dan juga anggotanya juga bukan di kita saja, di Eropa, Amerika Serikat juga ada.” Bukannya menjauh, Hidayatullah malah menjadi tertarik. “Saya, jadi orang Islam karena kebetulan, karena ayah saya, ayah demikian juga menjadi Islam karena kakek juga Islam.”

Hidayatullah muda takjub, karena ada satu golongan yang punya kemampuan mengislamkan Eropa, Amerika. “Pasti ada sesuatu yang istimewa.” Proses berjalan selama enam bulan, baca buku, buku teknis, shalatnya. Saat itu Hidayat masih SMA di Muhammadiyah.

Ayahnya pengikut tarekat naqsabandiyah, meminta Hidayat memilih keluar dari rumah atau keluar dari jemaat Ahmadiyah. “Kalau keluar dari rumah bisa sekarang, kalau keluar dari jemaat tidak mungkin. Setelah saya selidiki dengan hati-hati, saya yakin itu sebuah kebenaran, hari itu juga saya keluar dari rumah.”

Terusir dari rumah ahmadi muda yang lulus SMA ditampung oleh pamannya. “Kebetulan uwak saya sudah baiat, beliau panggil saya ke rumahnya.” Pada 1973, ada pengumuman untuk menjadi mubalig Ahmadiyah, Hidayat ikut dan ditraining di Tasikmalaya selama satu tahun sampai 1974. Lulus dari Kursus Kader Pembinaan Mubalig, Hidayat ditugaskan di Bandung selama dua tahun. Belakangan, pada 2003 ayahnya yang kini berusia 76 tahun bergabung ke dalam jemaat Ahmadiyah.

Dua tahun dakwah dari pintu ke pintu di Bandung, pada 1977 Hidayat dikirim ke pusat Ahmadiyah di Rabwah, Pakistan sampai 1987. Pulang dari sana mengajar di Indonesia selama dua tahun. Lalu ditugaskan mengajar ke Singapura sampai 1993 dan Malaysia. Tahun 2002 kembali ke Indonesia mengajar dan menjadi Direktur di Kampus Mubarak Parung sampai peristiwa penyerangan 15 Juli 2005 itu. “Saya kini kembali berdakwah dari rumah ke rumah.” Hidayat kini banyak mengajar para ahmadi di daerah Peninggilan, Tangerang.
***

Gangguan dimulai pada Kamis 7 Juli 2005. Saat itu Ahmadiyah sedang punya hajat mengadakan pertemuan tahunan, Jalsah Salanah, yang dihadiri sekitar 12.000 pengikut Ahmadiyah dari seantero nusantara dan beberapa negara tetangga. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Amin Jamaluddin, Abdurahman Asegaf dan empat anggota LPPI datang ke Desa Pondok Udik, Parung memanggil pimpinan Ahmadiyah. Pada pertemuan itu, Amin memberikan ultimatum agar kampus ditutup dan pertemuan tahunan dibubarkan. Jika tidak dituruti, Amin mengancam akan menyerang dalam waktu seminggu. Pimpinan Ahmadiyah menolak permintaan Amin dan kawan-kawan, karena merasa sudah mengantungi izin dari kepolisian untuk pertemuan itu.

Belum seminggu sebagaimana ancaman Amin, baru dua hari, sekitar 200 orang menyerang kampus Mubarak. Gapura dirobohkan, batu dan kayu beterbangan ke arah pengikut Ahmadiyah yang tak melawan. Belasan ahmadi berdarah-darah, luka-luka terkena lemparan batu dan kayu. “Jika kami melawan apalah artinya mereka itu. Saat itu kami ada 12 ribu orang. Tapi jelas perintah amir kami, jangan melawan kekerasan dengan kekerasan.”

Tak puas dengan serangan itu, 15 Juli Abdurahman memimpin penyerangan berikutnya. Setelah salat Jumat di Masjid Alhidayah, Jampang, sekitar satu kilometer dari Kampung Mubarak. Selain lemparan batu, kayu dan besi ke arah kampus Mubarak, pesantren putri yang terletak terpisah di belakang kampus juga dibakar. Duapuluh ibu-ibu terjebak dalam api. Namun, akhirnya bisa diselamatkan. Akhirnya para ahmadi dipindah paksa oleh polisi. “ Aparat itu tidak berani tegas, coba, beri tembakan peringatan saja, saya yakin massa akan bubar.”

Kejadian penyerangan sekelompok orang yang mengatasnamakan Gerakan Umat Islam 15 Juli tahun lalu itu membuat Hidayat tak habis pikir dengan cara polisi melindungi warga negara. “Istri saya dari Singapura sangat marah pada polisi. Karena tahu hukum, kalau di negerinya, orang akan berbuat kekerasan saja sudah ditangkap. Kalau disini, orang sudah berbuat kekerasan pun hukum tidak dijalankan, polisi pun berpihak kepada yang menzalimi. Tak masuk akal, kami yang harus dilindungi, kok, malah dizalimi.”

Sejak penyerangan yang brutal, lalu evakuasi para pengikut ahmadiyah, kampus itu disegel polisi. Tak boleh adalagi aktifitas, atau kegiatan apapun. Walaupun beberapa penyerang sudah divonis bersalah, sang pemilik tempat malah terusir dan tak bisa menggunakan untuk kegiatan apapun. “Aneh, kami pemilik tempat ini malah tak boleh masuk. Tidak logis. Kami tak berbuat apa-apa, kok.”

Para pengikut Ahmadiyah dari Malaysia dan Singapura, sangat histeris pada saat kejadian itu. “Sama sekali, tidak pernah terpikirkan bahwa ada masyarakat yang brutal seperti itu. Di Malaysia dan Singapura hukum sangat dihormati tak ada masyarakat yang seperti itu.” Ustad Hidayat teringat Sabda Rasulullah Muhammad SAW, “Satu bangsa yang tidak menghormati hukum, tidak menegakan hukum bangsa itu akan hancur, tidak akan mendapat kemajuan.”

Di negeri ini, menurut Hidayat, hukum dapat dipermainkan, hanya berpihak pada orang yang memiliki sesuatu ; uang, pangkat, kedudukan atau dukungan politik. “Jika terus terjadi, bangsa ini tak ada harapan ke depan. Singapura yang begitu kecil, tetapi menghormati hukum sangat jauh sekali meninggalkan Republik Indonesia.”

Ditilik dari sejarah, Ahmadiyah yang masuk ke Indonesia pada 1925, turut serta pada kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh dan mubalig-mubalig Ahmadiyah mendapat bintang jasa sebagai pahlawan dari negara pada zaman Bung Karno. Diantaranya, Sayid Syah Muhammad. Bahkan pada awal terbentuknya orde baru, korban kekerasan saat pergantian rezim, Arief Rahman Hakim, mahasiswa Universitas Indonesia, pengikut Ahmadiyah.

Keyakinan yang berbeda, menurut Ustad Hidayat, bukanlah alasan untuk dimusuhi. “Seharusnya dihormati keyakinan kami ini, bukan malah dimusuhi bersama-sama, diserang dan dizalimi. Kalau cuma soal solat saja yang berbeda, kok, dimusuhi. Kami bisa berkawan dengan Kristen, Hindu, Budha dan dengan siapa saja, tak ada masalah.”

Maju dan berkembang Ahmadiyah di berbagai daerah di Indonesia membuat iri sekelompok orang. Di Mataram, Lombok, misalnya, pasar di kuasai orang-orang Ahmadiyah yang dikenal santun dan jujur. Karena iri hati dan ulama mengompori massa, menurut Hidayat, pengikut Ahmadiyah di Lombok diserang, dibunuh, dibakar rumah mereka dan diusir. “Delapan kali mereka diperlakukan sepeti itu. Wajar kalau merasa tak aman, mereka minta suaka politik. Suaka politik, itu sunnah, seperti Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah.”

Perlakuan yang sama juga terjadi pada pengikut Ahmadiyah di Cianjur, Majalengka, Padang, Leuwisadeng dan Parung. “Pada waktu pemilu saya ikut Pak SBY, saya berdoa untuk beliau, saya berharap Pak SBY bisa membuat sejarah, membawa Indonesia kepada keadilan dan kesejahteraan untuk semua bukan hanya untuk beberapa gelintir orang saja.”

Suaka, seperti yang diminta 137pengikut Ahmadiyah Lombok, menurut Hidayat, adalah jalan terakhir. “Tidak ada kenginan kami keluar dari negeri ini, kecuali karena terpaksa.” Ustad Hidayat yang kenyang hidup belasan tahun di luar negeri mengaku tetap cinta Indonesia. “Walaupun hidup di Malaysia dan Singapura sudah teratur, tetapi saya tetap ada kerindungan dan kebanggan, pada bangsa ini.”

Tentunya, negara juga harus melindungi warga negaranya yang baik, apapun agama dan keyakinannya. Pengikut Ahmadiyah sampai saat ini masih terluka. Jangan dibiarkan luka itu terus menganga.

Tidak ada komentar: